Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hamida Hayati Faisal
"Kanker Nasofaring KNF merupakan salah satu kasus keganasan paling sering di Indonesia dengan karakteristik yang unik secara epidemiologi, patologi dan klinis. Faktor prognosis KNF telah menjadi fokus penelitian yang cukup penting dalam sejumlah studi yang telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik pasien KNF yang terdiagnosis di Poli THT RSCM serta angka kesintasan dengan melakukan analisis terhadap faktor yang berperan terhadap prognosis. Penelitian ini merupakan suatu penelitian kohort retrospektif dengan subjek penelitian bersifat total sampling pasien KNF yang terdiagnosis di Poli THT. Sebanyak 561 subjek penelitian ini, pria memiliki prevalensi sebanyak 2.8 kali daripada wanita. WHO tipe 3 dan WF tipe A menjadi jenis histopatologi paling dominan. Stadium IV A didapatkan pada 30.1 subjek dan 18.9 subjek sudah berada dalam kondisi metastasis jauh. Nilai tengah untuk waktu tunggu radiasi adalah 91 12-344 hari dengan durasi radiasi 53 39-95 hari. Stadium IVC, p= 0,000 , N3 p= 0,018 , metastasis jauh p= 0,000 , dan drop out atau tidak mendapat terapi p= 0,000 menjadi faktor yang memberikan kesintasan lebih buruk pada penelitian ini.

Nasopharyngeal Cancer NPC is one of the most frequent cancer in Indonesia which has a unique characteristic in epidemiology, pathology and clinical features. Prognostic factors are recently became the most important research foci, and a large number of investigation in this area have been performed. The objective of this study is to know the characteristics of NPC patients that have been diagnosed in ENT Department of RSCM and analyzed some factors that might have role in overall survival. This is the retrospective cohort study with total sampling subject. From 561 subjects, Male has 2.8 higher prevalence than female. WHO type 3 92,3 and WF type A 97,1 are the majority hisopathological result. Stage IV A is found in 30,1 subjects and 18,9 subjects were already in metastatic state. The median value of radiation waiting time was 91 12 344 days, duration time of radiation was 53 39 95 days. Stage IVC p 0,000 , N3 p 0,018 , distant metastatic p 0,000 , and drop out or no treatment p 0,000 are found to be the factors that give a negative impact in overall survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Aini Hanifiah
"Latar belakang: Tingginya prevalensi kejadian kekambuhan kanker nasofaring (KNF) di negara dengan insidensi tinggi merupakan tantangan utama bagi klinisi dalam penganganan KNF kambuh karena angka mortalitasnya yang tinggi. Penilaian faktor-faktor untuk memprediksi kejadian kekambuhan KNF penting untuk diketahui agar bisa memprediksikan lebih awal dan memberikan strategi penanganan yang tepat bagi pasien KNF.
Tujuan: Mengetahui prevalensi, disease-free survival 60 bulan, dan faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya kekambuhan kanker nasofaring.
Metode: Studi kohort retrospektif dilakukan terhadap 350 subjek yang didiagnosis KNF dan dinyatakan remisi dari tahun 2015-2019 dan diamati selama 60 bulan setelah remisi. Dilakukan analisis bivariat antara usia, jenis kelamin, ukuran tumor, keterlibatan kelenjar getah bening, hasil histopatologi, komorbid, dan terapi definitif menggunakan cox regression dan dilakukan analisis kesintasan dengan Kaplan Meier. Analisis multivariat menggunakan cox regression.
Hasil: Dari 350 subjek, didapatkan 127 (36,3%) mengalami KNF kambuh selama 60 bulan dengan median kesintasan adalah 25 bulan. Faktor-faktor prediktor yang berperan terhadap kejadian kekambuhan kanker nasofaring adalah jenis histopatologi, ukuran tumor, dan keterlibatan KGB dengan masing-masing HR 5,561 (2,324 — 13,305, p<0,001), 2,17 (1,00 — 4,69, p=0,049) dan HR 3,82 (1,99 — 7,29, p<0,001) berturut-turut.
Kesimpulan: Prevalensi kekambuhan KNF di studi ini termasuk tinggi dan faktor-faktor yang berperan penting sebagai prediktor kekambuhan KNF yaitu jenis histopatologi, ukuran tumor dan keterlibatan KGB.

Background: The high prevalence of recurrent nasopharyngeal cancer (NPC) in high incidence countries is major problem of recurrent NPC management due to its high mortality rate. Analysis of the predicting factors to recurrent NPC has an important role to improve treatment outcome.
Objective: To identify the prevalence, 60-month disease-free survival, and predictive of recurrent of nasopharyngeal cancer.
Methods: A retrospective cohort study was conducted on 350 subjects diagnosed with NPC and observed for 60 months after remission. Bivariate analysis of age, gender, tumor size, lymph node involvement, histopathological type, comorbidities, and definitive therapy was performed using the cox regression and survival analysis using Kaplan Meier. Multivariate analysis was performed using cox regression.
Results: Of the 350 subjects, 127 (36,3%) experienced recurrent NPC within 60 months with a median survival of 25 months. The predictive factors that played a role in the recurrent nasopharyngeal cancer were histopathological type, tumor size, and lymph node involvement with HR 5,561 (2,324 — 13,305, p<0,001), 2,17 (1,00 — 4,69, p=0,049) dan HR 3,82 (1,99 - 7,29, p<0,001) respectively.
Conclusion: The prevalence of recurrent NPC in this study is relatively and the important factors as predictors of recurrent NPC are histopathological type, tumor size and lymph node involvement.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Cahyanur
"Latar belakang: Kanker nasofaring (KNF) merupakan kanker leher kepala terbanyak di Indonesia (28,4%) dan sebagian besar terdiagnosis pada stadium lanjut. Modalitas pengobatan pada kasus KNF stadium lanjut adalah kemoterapi dan radioterapi. Namun, pada stadium sama, respon terhadap pengobatan memiliki hasil berbeda dikarenakan adanya perbedaan karakteristik biologi molekular. Cyclin D1 adalah protein yang berperan dalam siklus sel. Peningkatan ekspresi cyclin D1 akan mempercepat proliferasi. Penelitian ini ingin mengetaui tingkat ekspresi cyclin D1 terhadap respons kemoterapi. Hal tersebut berdasarkan perbedaan hasil penelitian terdahulu. Data ekspresi cyclin D1 pada KNF di Indonesia belum ada, sehingga perlu penelitian ekspresi cyclin D1 pada KNF serta hubungannya berdasarkan respons pengobatan.
Metode: Penelitian ini menggunakan studi kohort retrospektif dengan subjek merupakan pasien KNF yang berobat di RSCM pada kurun waktu 2015-2018. Gambaran radiologi sebelum dan sesudah pengobatan ditinjau ulang berdasarkan kriteria RECIST. Pewarnaan imunohistokimmia cyclin D1 menggunakan antibodi monoklonal cyclin D1 NovocastraTM dengan teknik pengambilan antigen suhu tinggi dan intensitasnya dinilai dengan H-skor menurut kriteria Allred.
Hasil: Terdapat 16 subjek (51,6%) dengan ekspresi cyclin D1 positif dan 15 subjek (48,4%) dengan ekspresi negatif. Peneliti menemukan bahwa ekspresi cyclin memiliki perbedaan rerata yang bermakna antara kelompok subjek yang respons (rerata 116,24 ± 57,80) dan tidak respons (rerata 77,97 ± 45,27) terhadap pengobatan (p = 0,048).
Simpulan: Penelitian ini menunjukkan ekspresi cyclin D1 yang kuat pada kelompok dengan respons pengobatan yang baik.

Background: Nasopharyngeal cancer (NPC) is the most type of head and neck cancer in Indonesia (28.4%) and mostly diagnosed at advanced stage. Treatment of this stage is chemotherapy and radiotherapy. However, patients with the same stage of disease had different treatment response probably due to different characteristics of molecular biology. Cyclin D1 is a protein involved in cell cycle, which the overexpression of it will fasten proliferation. Studies regarding the association of cyclin D1 expression and chemotherapy response have shown a different result. In Indonesia, data of cyclin D1 expression of NPC do not yet exist. This study aimed to examine the proportion of cyclin D1 in NPC and its association with treatment response.
Methods: A retrospective cohort study was conducted using subjects of NPC patients at Cipto Mangunkusumo Hospital from 2015 until 2018. The response of treatment was reviewed based on RECIST criteria. The technique used for cyclin D1 immunohistochemistry staining was antigen retrieval methods, using cyclin D1 NovocastraTM monoclonal antibody and the intensity was assessed based on Allred criteria.
Results: Sixteen subjects (51.6%) had positive expression of cyclin D1 and 15 subjects (48.4%) had negative expression. The researchers found that cyclin D1 expression had significant mean differences between groups of subjects who responded (mean ± SD = 116.24 ± 57.80) and did not respond (mean ± SD = 77.97 ± 45.27) to treatment (p = 0.048).
Conclusion: This study suggests that higher expression of cyclin D1 is associated with a good treatment response in NPC patients.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55560
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tirawan Sutedja
"Tujuan : Mengetahui kepatuhan panduan terapi terhadap angka keberhasilan terapi kanker nasofaring. Metode : Penelitian kohort retrospektif terhadap 269 pasien kanker nasofaring yang berobat di RSCM periode Januari 2017-Juli 2018. Analisis bivariate, log regression dan kesintasan hidup Kaplan Meier dilakukan pada 140 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil : Didapatkan 67,1% pasien lelaki, median usia 48 (18-73) tahun, rujukan internal RSCM 52,9% dengan 57,1% dari Departemen THT-KL. Sekitar 49,3% pasien datang dengan stadium IV A (49,3%), tipe histopatologi WHO III (90%), dan mendapatkan kemoradiasi (60,7%). Angka kepatuhan terhadap PPK dari interna dan RSCM adalah 21,6% dan 6,1%. Ketidakpatuhan penggunaan modalitas terapi dan penegakkan diagnosis kerja internal dan eksternal RSCM adalah 6,8%-4,06% dan 13,6%-31,8%. Ketidakpatuhan pemberian jumlah siklus kemoterapi neoajuvan dan ajuvan sebesar 29,27% dan jumlah siklus pada kemoterapi konkuren sebesar 70,71%. Sekitar 2,14% pasien mendapatkan dosis radiasi <70Gy. Durasi waktu dimulainya terapi adalah 92,5 (14-830) hari, dimulainya kemoradiasi paska kemoterapi neoajuvan adalah 146 (SB 10,04) hari, dimulainya kemoterapi ajuvan paska kemoradiasi adalah 121,88 (SB 18,35) hari. Durasi radiasi / kemoradiasi adalah 48 (39-77) hari. Kesintasan hidup satu dan dua tahun pada masing-masing stadium I, II, III, IV A, dan IV B secara berurutan adalah 100%, 85%, 85%, 84%, 87% dan 100%, 85%, 77%, 69%, 46%. Dosis radiasi dan kemoterapi neoajuvan berpengaruh terhadap angka kesintasan hidup pasien (P < 0,01 dan P < 0,03). Kepatuhan terhadap modalitas dan durasi waktu terapi secara statistik tidak bermakna namun memiliki trend perbedaan dalam memperngaruhi kesintasan. Kesintasan hidup satu dan dua tahun pada kelompok yang patuh PPK adalah 94,1% dan 80,5%. Pada kelompok yang tidak patuh PPK, didapatkan 82,6% dan 64,2% (P <0,19)

Objective: The purpose of this study was to determine adherence to therapeutic guidelines and their effects on the success rates of nasopharyngeal cancer therapy. Methods: A retrospective cohort study was performed to 269 nasopharyngeal cancer patients treated at Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital (RSCM) from January 2017 to July 2018. Bivariate analysis, logistic regression and Kaplan-Meier survival analyses were conducted to assess the 140 patients who met the inclusion criteria. Results: In our cohort, approximately 67.1% of male patients, median age was 48 years (18-73 years old ), and RSCM internal referrals were 52.9% with 57.1% from the ENT Department. The majority of patients came with stage IV A (49.3%) with WHO III (90%) histopathological type and chemoradiation was the main modality used (60.7%). The compliance rate for PPK from the RSCM internally was 21.6% and the RSCM external was 6.1%. Non-compliance of the usage of therapeutic modalities and the diagnosis from internal and external referrals of the RSCM is 6.8%-4.06% and 13.6%-31.8%. Non-compliance with the number of cycles of neoadjuvant and adjuvant chemotherapy was 29.27% ​​and the number of cycles in concurrent chemotherapy was 70.71%. About 2.14% of patients get a radiation dose under 70 Gy. Duration of commencement therapy was 92.5 (14-830) days, the commencement of chemoradiation after neoadjuvant chemotherapy was 146 (SD 10.04) days, the commencement of adjuvant chemotherapy after chemoradiation was 121.88 (SD 18.35) days. Radiation / chemoradiation duration is 48 (39-77) days. The survival of one and two years for each stage I, II, III, IV A and IV B sequentially was 100%, 85%, 85%, 84%, 87% and 100%, 85% , 77%, 69%, 46%. In general, radiation doses and neodjuvant chemotherapy affect the survival of patients (P<0,01 and P<0,03). Compliance with modalities and duration of therapy is not statistically significant but has a trend of difference in influencing survival in groups that are obedient and not obedient to PPK. The survival of one and two years in the PPK-compliant group was 94.1% and 80.5%. In the PPK non-adherent group, 82.6% and 64.2% were found (P<0.19)"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58883
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Haryoga
"Latar Belakang: Skrining awal dengan pemeriksaan viral load EBV plasma belum menjadi pemeriksaan rutin pada kanker nasofaring. Penelitian ini dikhususkan meneliti peran viral load EBV plasma pada pasien kanker nasofaring. Penelitian ini akan menjadi studi pilot di bidang viral load EBV plasma pada kanker nasofaring, khususnya di Indonesia.
Metode: Desain penelitian ini adalah Study Ekploratif, mengeksplorasi hubungan antara viral load EBV plasma dengan viral load EBV jaringan pada kanker nasofaring stadium lokal lanjut dan stadium lanjut. Besar sample diambil berdasarkan rule of thumb, diperkirakan 15 sampel memberikan gambaran yang cukup memadai, mempertimbangkan biaya dan waktu penelitian. Untuk pemeriksaan viral load EBV plasma maupun jaringan tumor dilakukan dengan metode Real Time PCR dengan Kit dan alat PCR milik perusahaan QIAGEN®.
Hasil: Ditemukan korelasi lemah-sedang (R= 48,3%) antara viral load EBV plasma dengan viral load EBV jaringan, dengan nilai p = 0,003 yang menyatakan bahwa korelasi ini dapat dipercaya. Tidak ada korelasi antara konsentrasi PD-L1 ELISA, IFN gamma, Limfosit, Neutrofil, maupun Leukosit dengan viral load EBV plasma. Kesimpulan: Semakin tinggi konsentrasi DNA EBV jaringan, semakin tinggi pula konsentrasi viral load EBV plasma, walaupun korelasi lemah-sedang, namun signifikan. Sampel yang sedikit menjadi kelemahan dalam penelitian ini, karena biaya dan waktu yang terbatas.

Background: Initial screening with plasma EBV viral load has not become a routine examination of nasopharyngeal cancer. This research will be a pilot study in the field of plasma EBV viral load in nasopharyngeal cancer, especially in Indonesia.
Method: The design of this study was an Explorative Study. This study explores the relationship between plasma and tissue EBV viral load in locally advanced and advanced stage nasopharyngeal cancer. Large samples are taken based on the rule of thumb, it was estimated that 15 samples would provide an adequate picture. Plasma and tissue DNA EBV PCR examinations were carried out using the Real Time PCR method with the company's QIAGEN® Kit and PCR tool.
Results: There is a weak-moderate correlation (R = 48,3%) between plasma EBV viral load and tissue EBV viral load, with a value of p = 0.003 which indicates that this correlation can be trusted. There is no correlation between the concentration of PD-L1 ELISA, IFN gamma, Lymphocytes, Neutrophils, or Leukocytes with plasma EBV viral load. Conclusion: The higher the tissue EBV viral load concentration, the higher the plasma EBV viral load concentration, although this correlation was weak - moderate, but significant.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Rahman
"Latar Belakang. Kesintasan 3 tahun pasien KNF stadium lokal lanjut di Indonesia lebih rendah dibandingkan luar negeri. Prediktor alternatif dari rasio hemoglobin-trombosit (RHT) lebih sederhana, murah, dan stabil nilainya dibanding rasio dari komponen sel leukosit, namun belum ada studi yang meneliti perannya dalam memrediksi mortalitas tiga tahun pasien KNF stadium ini.
Tujuan. Mengetahui peran RHT sebelum terapi dalam memrediksi kesintasan tiga tahun pasien KNF stadium lokal lanjut.
Metode. Studi kohort retrospektif yang meneliti 289 pasien KNF stadium lokal lanjut yang diterapi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dalam rentang waktu Januari 2012 - Oktober 2016. Nilai RHT optimal didapatkan menggunakan receiver operating curve (ROC). Subjek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok, di bawah dan di atas titik potong. Kurva Kaplan-Meier digunakan untuk menilai kesintasan tiga tahun dan dilakukan uji regresi Cox sebagai uji multivariat terhadap variabel perancu (usia > 60 tahun, stadium, jenis kelamin, dan indeks massa tubuh) untuk mendapatkan nilai adjusted hazard ratio (HR).
Hasil. Nilai titik potong RHT optimal adalah 0,362 (AUC 0,6228, interval kepercayaan (IK) 95% : 0,56-0,69, sensitivitas 61,27%, spesifisitas 60,34%). 48,44% pasien memiliki nilai RHT <0,362 dan memiliki mortalitas tiga tahun lebih besar dibandingkan kelompok lainnya (50%vs31,54%). RHT < 0,362 secara signifikan memrediksi kesintasan tiga tahun (p = 0,003; HR 1,75; IK 95% 1,2-2,55). Pada analisis multivariat, RHT < 0,362 sebelum terapi merupakan faktor independen dalam memrediksi kesintasan tiga tahun pada pasien KNF stadium lokal lanjut (adjusted HR 1,82; IK 95% 1,25-2,65).
Simpulan. RHT < 0,362 sebelum terapi dapat memrediksi kesintasan tiga tahun pasien KNF stadium lokal lanjut.

Background. The 3-year survival of locally advanced nasopharyngeal cancer (NPC) patients in Indonesia is lower than in foreign countries. Alternative predictors from the hemoglobin-platelet ratio (HPR) as single variable are easier, cheaper, and stable in value than the ratio of leukocyte cell components, but there are no study conducted to know its potential in predicting three-year survival in locally advanced nasopharyngeal cancer.
Objective. To determine the role of pre-treatment hemoglobin to platelet ratio in predicting three-year survival of locally advanced nasopharyngeal cancer patients.
Method. Retrospective cohort study that examined 289 locally advanced NPC patients who underwent therapy at the National Government General Hospital-Cipto Mangunkusumo from January 2012 to October 2016. HPR cut-off was determined using ROC, and then subjects were divided into two groups according to its HPR value. The Kaplan-Meier curve was used to determine the three-year survival of the patients and cox regression test used as multivariate analysis with confounding variables in order to get adjusted hazard ratio (HR).
Results. The optimal cut-off for HPR was 0,362 (AUC 0,6228, 95% CI: 0,56-0,69, sensitivity 61,27%, specificity 60,34%). Patients with HPR < 0,362 occurred in 48, 44% and had higher three-year mortality (50% vs. 31, 54%). HPR <0.362 significantly predicted the three years of survival (p = 0,003; HR 1, 75; CI 95% 1, 2-2, 55). In multivariate analysis, it was concluded that pre-treatment HPR < 0,362 was an independent factor in predicting three-year survival in locally advanced NPC patients (adjusted HR 1, 82; CI 95% 1, 25-2, 65).
Conclusion. Pre-treatment HPR < 0, 362 could predict the three-year survival of locally advanced nasopharyngeal cancer patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Cahyanur
"Kanker nasofaring (KNF) merupakan kanker leher kepala terbanyak di Indonesia (28,4%) dan sebagian besar terdiagnosis pada stadium lanjut. Modalitas pengobatan pada kasus KNF stadium lanjut adalah kemoterapi dan radioterapi. Namun, pada stadium sama, respon terhadap pengobatan memiliki hasil berbeda dikarenakan adanya perbedaan karakteristik biologi molekular. Cyclin D1 adalah protein yang berperan dalam siklus sel. Peningkatan ekspresi cyclin D1 akan mempercepat proliferasi. Penelitian ini ingin mengetaui tingkat ekspresi cyclin D1 terhadap respons kemoterapi. Hal tersebut berdasarkan perbedaan hasil penelitian terdahulu. Data ekspresi cyclin D1 pada KNF di Indonesia belum ada, sehingga perlu penelitian ekspresi cyclin D1 pada KNF serta hubungannya berdasarkan respons pengobatan. Metode: Penelitian ini menggunakan studi kohort retrospektif dengan subjek merupakan pasien KNF yang berobat di RSCM pada kurun waktu 2015-2018. Gambaran radiologi sebelum dan sesudah pengobatan ditinjau ulang berdasarkan kriteria RECIST. Pewarnaan imunohistokimmia cyclin D1 menggunakan antibodi monoklonal cyclin D1 NovocastraTM dengan teknik pengambilan antigen suhu tinggi dan intensitasnya dinilai dengan H-skor menurut kriteria Allred. Hasil: Terdapat 16 subjek (51,6%) dengan ekspresi cyclin D1 positif dan 15 subjek (48,4%) dengan ekspresi negatif. Peneliti menemukan bahwa ekspresi cyclin memiliki perbedaan rerata yang bermakna antara kelompok subjek yang respons (rerata 116,24 ± 57,80) dan tidak respons (rerata 77,97 ± 45,27) terhadap pengobatan (p = 0,048). Simpulan: Penelitian ini menunjukkan ekspresi cyclin D1 yang kuat pada kelompok dengan respons pengobatan yang baik.

Nasopharyngeal cancer (NPC) is the most type of head and neck cancer in Indonesia (28.4%) and mostly diagnosed at advanced stage. Treatment of this stage is chemotherapy and radiotherapy. However, patients with the same stage of disease had different treatment response probably due to different characteristics of molecular biology. Cyclin D1 is a protein involved in cell cycle, which the overexpression of it will fasten proliferation. Studies regarding the association of cyclin D1 expression and chemotherapy response have shown a different result. In Indonesia, data of cyclin D1 expression of NPC do not yet exist. This study aimed to examine the proportion of cyclin D1 in NPC and its association with treatment response. Methods: A retrospective cohort study was conducted using subjects of NPC patients at Cipto Mangunkusumo Hospital from 2015 until 2018. The response of treatment was reviewed based on RECIST criteria. The technique used for cyclin D1 immunohistochemistry staining was antigen retrieval methods, using cyclin D1 NovocastraTM monoclonal antibody and the intensity was assessed based on Allred criteria. Results: Sixteen subjects (51.6%) had positive expression of cyclin D1 and 15 subjects (48.4%) had negative expression. The researchers found that cyclin D1 expression had significant mean differences between groups of subjects who responded (mean ± SD = 116.24 ± 57.80) and did not respond (mean ± SD = 77.97 ± 45.27) to treatment (p = 0.048). Conclusion: This study suggests that higher expression of cyclin D1 is associated with a good treatment response in NPC patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Ronald Barata Sebastian
"Tujuan : untuk mengetahui waktu terbaik dilakukan adaptasi perencanaan radiasi terhadap kasus kanker nasofaring yang menjalani radiasi di RSCM serta mencari tahu hubungan penurunan berat badan dan pengecilan ukuran tumor terhadap perubahan dosimetri pasien kanker nasofaring serta batasan perubahan separasi leher yang memerlukan tindakan adaptasi perencanaan radiasi. Metode : Dilakukan studi kohort prospektif pada 11 pasien kanker Nasofaring. Dilakukan pengukuran berat badan dengan timbangan dan separasi pada tip mastoid , kelenjar getah bening terlebar menggunakan alat ukur di TPS pada data set CT Simulator dan pada CBCT fraksi 1,6,11,16,21,26,dan 31. Data set hasil CBCT dilakukan fusi terhadap data set CT simulator kemudian dilakukan delineasi dan dilanjutkan rekalkulasi dosis dengan parameter yang sama seperti perencanaan radiasi awal kemudian dilakukan evaluasi dosimetri. Jika terdapat deviasi pada minimal 1 organ normal berisiko atau target volume maka masuk ke kriteria untuk dilakukan adaptasi perencanaan radiasi. Batasan waktu dalam menilai hubungan adaptasi perencanaan radiasi dengan parameter klinis dilakukan menggunakan kurva ROC (Receiving Operator Characteristic) Hasil : Dari 11 pasien yang diteliti,terdapat 10 pasien yang memerlukan adaptasi perencanaan radiasi dikarenakan melewati batas toleransi. Perubahan dosimetri yang menyebabkan adaptasi perencanaan radiasi, terjadi pada fraksi dan struktur organ yang berbeda. Hubungan antara waktu fraksinasi dengan indikasi tindakan adaptasi perencanaan radiasi signifikan mulai fraksi ke 6 sedangkan perubahan relative risk terbesar terdapat pada fraksi 11 ke fraksi 16. Indikasi adaptasi perencanaan radiasi dengan parameter klinis; Δ separasi KGB terlebar (AUC 0.951, 95% CI 0.905-0.996), Δ separasi Tip mastoid (AUC) 0.741, 95% CI 0.631-0.852, Δ persentase berat badan ((AUC) 0.911, 95% CI 0.844-0.978). dengan batas tengah kurva ROC pada Δ separasi KGB terlebar 1,21 cm dan Δ persentase berat badan 4,49 %. Kesimpulan : dari penelitian ini, pasien kanker nasofaring membutuhkan radiasi adaptif untuk memberikan terapeutik ratio yang baik dan didapatkan adanya hubungan antara perubahan separasi dan penurunan berat badan dengan adaptasi perencanaan radiasi.

Objectives: to determine appropriate timing for adaptive radiation therapy for nasopharyngeal cancer cases undergoing radiation at the RSCM and to find out the relationship between weight loss and tumor size reduction on dosimetry changes in nasopharyngeal cancer patients and the cut off of changes in neck separation that require adaptive radiation therapy. Methods: A prospective cohort study was conducted on 11 nasopharyngeal cancer patients. Separation measurements were made on the tip mastoid, the widest neck lymph node using a measuring instrument at the treatment planning system (TPS) on the CT Simulator data set and the CBCT data set fractions 1,6,11,16,21,26, and 31. The CBCT data set was fused to the CT data set. The CBCT data set was then delineated and continued with dose recalculation using the same parameters as the initial radiation plan, then dosimetry evaluation was carried out. If there is deviation in at least 1 normal organ at risk or target volume, then it is included in the criteria for adaptive radiation therapy. The time limit in assessing the relationship between adaptive radiation planning adaptive and clinical parameters was carried out using the ROC (Receiving Operator Characteristic) curve. Results: there were 10 out of 11 patients who required adaptive radiation planning due to exceeding the tolerance limit. Dosimetry changes that cause adaptive radiation planning occur in different fractions and organ structures. The relationship between fractionation time and indications of radiation planning adaptative measures is significant starting from the 6th fraction, while the largest relative risk changes are found in fractions 11 to 16. Indications of adaptive radiation planning with clinical parameters; widest lymph node separation (AUC 0.951, 95% CI 0.905-0.996), tip mastoid separation (AUC) 0.741, 95% CI 0.631-0.852, weight percentage ((AUC) 0.911, 95% CI 0.844-0.978). with the middle limit of the ROC curve at the widest KGB separation 1.21 cm and body weight percentage 4.49%. Conclusion: Nasopharyngeal cancer patients require adaptive radiation to provide a good therapeutic ratio and there is relationship between changes in separation and weight loss with adaptive radiation planning"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alma Milania Djamal
"Latar Belakang Kanker nasofaring menduduki peringkat keempat kanker terbanyak di Indonesia. Di antara gejala-gejalanya, sakit kepala sering dilaporkan dan terkadang menjadi satu- satunya keluhan. Opioid telah lama menjadi pendekatan utama untuk mengatasi nyeri kanker neuropatik; namun efektivitasnya sering kali dianggap kurang optimal. Akibatnya, obat-obatan tambahan, termasuk Gabapentin, sering kali diintegrasikan ke dalam rejimen pengobatan untuk meningkatkan manajemen nyeri. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kemanjuran terapi opioid saja dan terapi kombinasi dalam pengobatan nyeri kanker. Metode Sebuah studi kohort retrospektif dilakukan dengan meninjau rekam medis dari dua rumah sakit di Jakarta, Indonesia. Penelitian ini mencakup sampel 139 pasien yang didiagnosis menderita kanker nasofaring. Ekstraksi data meliputi demografi pasien, resep opioid awal dan akhir, intensitas nyeri awal dan akhir yang dinilai dengan Numerical Rating Scale (NRS), jenis kanker nasofaring, dan peresepan gabapentin. Hasil Analisis statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam rata-rata penurunan NRS. Pasien dalam kelompok terapi kombinasi, termasuk gabapentin sebagai bahan pembantu, mengalami penurunan rata-rata skor Numerical Rating Scale (NRS) sebesar 2,141, sedangkan pasien pada kelompok opioid saja mengalami penurunan rata-rata skor NRS sebesar 0,894. Kesimpulan Studi ini menyoroti penurunan signifikan secara statistik pada rata-rata skor NRS, yang menegaskan potensi kemanjuran gabapentin sebagai bahan tambahan opioid dalam mengurangi nyeri kanker di antara pasien kanker nasofaring.

Introduction Nasopharyngeal cancer ranks as the fourth most prevalent cancer in Indonesia. Among its symptoms, headaches are frequently reported and, at times, can be the sole complaint. Opioids have long been the primary approach to managing neuropathic cancer pain; nonetheless, their effectiveness is often considered suboptimal. As a result, adjuvant medications, including Gabapentin, are frequently integrated into treatment regimens to augment pain management. This study aims to compare the efficacy of opioid-only and combination therapy in the treatment of cancer pain. Method A retrospective cohort study was undertaken by reviewing medical records from two hospitals in Jakarta, Indonesia. The study encompassed a sample of 139 patients diagnosed with nasopharyngeal cancer. Data extraction included patient demographics, initial and final opioid prescriptions, initial and final pain intensity assessed by the Numerical Rating Scale (NRS), type of nasopharyngeal cancer, and the prescription of gabapentin. Results Statistical analysis demonstrated a significant difference in mean NRS reduction. Patients in the combination therapy group, including gabapentin as an adjuvant, experienced a mean reduction of 2.141 in Numerical Rating Scale (NRS) scores, while those in the opioid-only group had a mean reduction of 0.894 in NRS scores. Conclusion The study highlighted the statistically significant reduction in mean NRS scores, affirming the potential efficacy of gabapentin as an adjuvant to opioids in alleviating cancer pain among nasopharyngeal cancer patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Retma Aswarni
"Kemoterapi pada kanker nasofaring, sepeti sisplatin-5-fluorourasil dan sisplatin-doksetaksel, dapat menimbulkan efek samping mual dan muntah. Untuk mengatasinya, pasien dapat menggunakan antiemetik golongan antagonis reseptor 5-HT3. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran hasil penggunaan antiemetik yang menyertai pemberian kemoterapi serta faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan pasien pasca kemoterapi. Penelitian dilakukan terhadap pasien kanker nasofaring di ruang rawat inap RS. Kanker Dharmais pada periode Juni 2005-Mei 2006 dengan menggunakan desain cross sectional dan bersifat retrospektif dan dengan cara observasional.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pemberian antiemetik ternyata tidak ada hubungan antara jenis kelamin, usia, dan seri kemoterapi dengan kejadian tidak muntah pasca kemoterapi (p>0,05). Tetapi ada hubungan antara jenis kemoterapi dengan kejadian tidak muntah pasca kemoterapi (p<0,05). Ramosetron memiliki kejadian tidak muntah 1,40 kali dibanding ondansetron. Ramosetron memiliki kejadian tidak muntah 1,13 kali dibanding granisetron. Sedangkan granisetron memiliki kejadian tidak muntah 1,24 kali dibanding ondansetron.

Chemotherapy in nasopharyngeal cancer, such as cisplatin-5-fluorourasil and cisplatin-doxetaxel, can induced nausea and vomiting. To prevent both side effects, patients can used 5-HT3 receptor antagonist. The purpose of this research is to know the pattern of received antiemetics that followed by chemotherapy and to know relation between factors influenced in nausea and vomiting with patients condition post chemotherapy. Research had done to nasopharyngeal cancer patients that hospitalized in Dharmais Cancer Hospital during June 2005-May 2006, by used cross sectional design and have the retrospective quality with observational method.
The result shown after received antiemetics, there was no relation between patients gender, age, and chemotherapy cycles with condition of non-vomiting post chemotherapy (p>0,05). But there was relation between chemotherapy kind with condition of non-vomiting post chemotherapy (p<0,05). Ramosetron had possibility of non-vomiting 1,40 times than ondansetron. Ramosetron had possibility of non-vomiting 1,13 times than granisetron. While, ondansetron had possibility of non-vomiting 1,24 times than ondansetron.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2006
S32782
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>