Metode penelitian yang digunakan yaitu metode kualitatif (Creswell, 2012) dengan menggunakan teori antroponimi, etimologi, dan teori presuppositional meanings (makna praanggapan) dari Nyström sebagai pisau analisis. Penelitian ini bertempat di pulau Lombok di 5 kabupaten/kota dengan 24 titik penelitian yang berbasis kecamatan. Sumber data berupa data tertulis sebagai data utama dan data lisan sebagai data pendukung. Data tertulis berupa KK (Kartu Keluarga) dan data lisan berupa wawancara ke masyarakat, belian (dukun beranak), budayawan, dan sejarawan Lombok. Penelitian ini menunjukkan bahwa nama diri orang Sasak mengalami perubahan. Berdasarkan jumlah katanya, nama diri orang Sasak mengalami perubahan dari nama yang pendek menjadi nama yang cenderung panjang. Berdasarkan asal bahasanya, nama diri yang paling banyak ditemukan adalah nama diri yang berasal dari Bahasa Arab kemudian diikuti dengan bahasa Jawa. Hal ini menunjukkan adanya warisan ekspansi dari wali songo dan kerajaan Majapahit. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa terjadinya perubahan nama disebabkan asosiasi masyarakat bahwa nama-nama dahulu cenderung kurang modern, sementara nama sekarang dianggap lebih modern. Nama asli Sasak pada umumnya ditemukan pada generasi Kakek/Nenek. Pada generasi Ayah/Ibu hanya ditemukan 1 nama diri yang berasal dari bahasa Sasak, sementara pada generasi Anak tidak ada nama diri yang berasal dari bahasa Sasak. Untuk mempertahankan identitas lokal yang tercermin dalam nama diri kiranya perlu ada revitalisasi penggunaan nama Sasak sebagai penanda jati diri bangsa.
Kata kunci: epigrafi, antroponomastika, nama diri, binatang, makasirkasir
Old Javanese literary works, especially panji tales, contain many character names derived from animal names such as Kuda Narawangsa, Kebo Kanigara, and Kidang Walangka. This naming phenomenon also appears to be found in the old Javanese inscriptions. The research problems of this study include motivation for naming and correlation between the personal names, social status, and official position of the users. This research uses archaeological method involving data collection, analysis, and interpretation. The results show that the naming phenomenon was generally motivated by the appreciation towards certain animals that had a place and roles in the culture of society so that they were perceived as being important and special. Broadly speaking, there was a different development trend in the ancient Mataram period (9th-11th Century AD) and Kadiri-Majapahit period (12th-16th Century AD). The ancient Mataram period was dominated by a single personal name that was not related to any particular position. During the Kadiri-Majapahit period, there was a correlation between the personal names and the official position of the army (makasirkasir) and kshatriya caste which was very likely to be marked by the use of the name of the animal at the beginning of the personal name.
Keywords: epigraphy, anthroponomastics, personal name, animal, makasirkasir
"