Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Azkia Rostiani Rahman
"Nama sebagai bagian dari bahasa merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, sebab nama merupakan identitas penanda seseorang baik sebagai identitas personal, sosial, maupun identitas budaya. Berdasarkan penelitian Kuipers (2017) nama diri orang Jawa mengalami perubahan dari nama Jawa menjadi nama Arab. Perubahan yang sama juga terjadi di suku Betawi di mana nama orang Betawi cenderung berubah menjadi nama Arab (Pahlevi: 2018). Fenomena perubahan nama diri tersebut pada nama yang mengandung unsur lokal tidak hanya terjadi di suku Jawa dan Betawi, tetapi hal itu diduga dapat terjadi juga di suku Sasak. Hal inilah yang menjadi landasan utama penelitian ini yaitu untuk menunjukkan apakah ada perubahan nama diri orang Sasak dan bagaimana ia mengalami perubahan.

 Metode penelitian yang digunakan yaitu metode kualitatif (Creswell, 2012) dengan menggunakan teori antroponimi, etimologi, dan teori presuppositional meanings (makna praanggapan) dari Nyström sebagai pisau analisis. Penelitian ini bertempat di pulau Lombok di 5 kabupaten/kota dengan 24 titik penelitian yang berbasis kecamatan. Sumber data berupa data tertulis sebagai data utama dan data lisan sebagai data pendukung. Data tertulis berupa KK (Kartu Keluarga) dan data lisan berupa wawancara ke masyarakat, belian (dukun beranak), budayawan, dan sejarawan Lombok. Penelitian ini menunjukkan bahwa nama diri orang Sasak mengalami perubahan. Berdasarkan jumlah katanya, nama diri orang Sasak mengalami perubahan dari nama yang pendek menjadi nama yang cenderung panjang. Berdasarkan asal bahasanya, nama diri yang paling banyak ditemukan adalah nama diri yang berasal dari Bahasa Arab kemudian diikuti dengan bahasa Jawa. Hal ini menunjukkan adanya warisan ekspansi dari wali songo dan kerajaan Majapahit. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa terjadinya perubahan nama disebabkan asosiasi masyarakat bahwa nama-nama dahulu cenderung kurang modern, sementara nama sekarang dianggap lebih modern. Nama asli Sasak pada umumnya ditemukan pada generasi Kakek/Nenek. Pada generasi Ayah/Ibu hanya ditemukan 1 nama diri yang berasal dari bahasa Sasak, sementara pada generasi Anak tidak ada nama diri yang berasal dari bahasa Sasak. Untuk mempertahankan identitas lokal yang tercermin dalam nama diri kiranya perlu ada revitalisasi penggunaan nama Sasak sebagai penanda jati diri bangsa.


Name as a part of language is very important in human life, because name can reveal the identity of a person both personal identity, social, and cultural identity. Names that use elements of native languages can reflect the socio-cultural identity of a society. Based on Kuiper's research (2017) the Javanese personal name changes from a Javanese name to an Arabic name. The same changes also occur in Betawi tribe where the name of Betawi people tends to turn into Arabic names (Pahlevi: 2018). The phenomenon of personal name change in names containing local elements does not only occur in Javanese and Betawi tribes, but also allegedly occurred in Sasak tribe. This is the main reason for this research, to show whether there is a change in the name of Sasak people and how they have changed. The research method used is a qualitative method (Creswell, 2012) by using anthroponomy theory, etymology, and the presuppositional meaning theory of Nyström as an analysis. This research took place on the island of Lombok in 5 districts/cities with 24 sub-district-based research points. The source of data is in the form of written data as main data and oral data as supporting data. Written data in the form of KK (Family Card) and oral data in the form of interviews with the community, cultural observers and Lombok historians. This research shows that there is a change in Sasak people's personal name. Based on the number of words, the Sasak people's personal names experienced a change from short names to long-term names. Based on the origin of the language, the personal names that is most commonly found is the name that derived from Arabic language. then followed by Javanese. This shows the inheritance of expansion of the Wali Songo and Majapahit kingdom. In addition, this study also shows that the occurrence of name changes was caused by community associations that the previous names tended to be less modern, while the present name was considered to be more modern. The Sasak name is generally found in the generation of Grandparents. In the generation of Father/Mother only found 1 personal name derived from Sasak language, while in the generation of Children or present generation there is no self-name that comes from the Sasak language. To maintain a local identity reflected in its own name, it is necessary to revitalize the use of the Sasak name as a sign of national identity."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T53435
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Billy Sandi
"Skripsi ini membahas konsep pemberian nama diri pada budaya Jawa dan termasuk ke dalam penelitian semantik-kebudayaan. Ada sebuah hubungan antara nama diri, makna dari nama diri, dan ciri-ciri referensialnya. Dalam budaya Jawa, ada sebuah harapan yang ingin disampaikan oleh orang tua agar kelak anak tersebut bisa mencontoh makna nama dirinya. Pola pemberian nama diri ini ternyata juga berlaku pada pemberian nama diri pada tokoh dalam cerita fiktif, salah satu contoh adalah tokoh wayang yang terkenal yaitu Bima. Akan tetapi, ada sedikit perbedaan bahwa dalam nama diri tokoh cerita fiktif bukan harapan yang muncul dari makna nama diri tersebut tetapi konsistensi penggambaran di dalam cerita antara nama diri, makna nama diri, dan ciri referensialnya. Hasil dari penelitian ini membuktikan konsistensi orang Jawa dalam pemberian nama, tidak hanya dalam kehidupan nyata tetapi juga dalam cerita fiktif.

This thesis discusses the concept of self-naming Javanese culture belongs to a semantic-cultural research. There is a relationship between a proper name, a meaning of the proper name itself, and characteristics of its reference. In Javanese culture, parents sometimes expect that later their children can imitate or apply the meaning of the name itself in real life. This pattern also applies to naming fictional characters in the story, e.g. Bima, one of the most famous puppet fictional characters. But, there is a slight difference in the naming of the fictional characters. It is not about parents? hope that relates into their children?s names but the consistency of the depiction in the story between the proper name, the meaning of the proper name itself, and characteristics of its reference. The results of this study prove that the consistency of the Javanese parents in giving names does not apply only in a real life, but also in a world of literature for fictional characters."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S54
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Chacuk Tri Sasongko
"Sumber karya sastra Jawa kuno, khususnya cerita-cerita Panji, memuat nama-nama karakter yang berasal dari nama binatang seperti Kuda Narawangsa, Kebo Kanigara, and Kidang Walangka. Fenomena penamaan semacam ini rupanya juga ditemui dalam sumber epigrafi masa Jawa kuno. Permasalahan penelitian meliputi motivasi penamaan dan hubungan antara nama diri dengan jabatan dan status sosial penyandangnya. Seluruh permasalahan tersebut dijawab melalui studi pustaka yang melibatkan metode pengumpulan data, analisis, dan intepretasi. Hasilnya menunjukkan bahwa fenomena penamaan tersebut secara umum dilatarbelakangi oleh apresiasi terhadap binatang-binatang tertentu yang memiliki tempat dan peran penting dalam kebudayaan masyarakat sehingga dianggap penting dan istimewa. Secara garis besar terdapat kecenderungan perkembangan fenomena pada masa Mataram kuno (Abad ke-9-11 M) dan Kadiri-Majapahit (Abad ke-12-16 M). Periode Mataram kuno didominasi oleh nama diri tunggal yang tidak terkait dengan jabatan tertentu kecuali status sosial kelas bawah, sedangkan periode Kadiri-Majapahit terdapat hubungan nama diri dengan jabatan ketentaraan (makasirkasir) dan status kasta ksatria yang sangat mungkin ditandai oleh pemakaian nama binatang di awal nama diri.

Kata kunci: epigrafi, antroponomastika, nama diri, binatang, makasirkasir


Old Javanese literary works, especially panji tales, contain many character names derived from animal names such as Kuda Narawangsa, Kebo Kanigara, and Kidang Walangka. This naming phenomenon also appears to be found in the old Javanese inscriptions. The research problems of this study include motivation for naming and correlation between the personal names, social status, and official position of the users. This research uses archaeological method involving data collection, analysis, and interpretation. The results show that the naming phenomenon was generally motivated by the appreciation towards certain animals that had a place and roles in the culture of society so that they were perceived as being important and special. Broadly speaking, there was a different development trend in the ancient Mataram period (9th-11th Century AD) and Kadiri-Majapahit period (12th-16th Century AD). The ancient Mataram period was dominated by a single personal name that was not related to any particular position. During the Kadiri-Majapahit period, there was a correlation between the personal names and the official position of the army (makasirkasir) and kshatriya caste which was very likely to be marked by the use of the name of the animal at the beginning of the personal name.

Keywords: epigraphy, anthroponomastics, personal name, animal, makasirkasir

 

"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Untoro
"Nama diri adalah kata yang digunakan sebagai penanda identitas diri seseorang. Pemilihan nama diri merupakan sebuah proses identifikasi yang dipengaruhi oleh faktor budaya serta konteks zaman. Perbedaan referensi nama diri orang Jawa dalam konteks tradisional dan global merupakan keniscayaan. Referensi nama-nama dalam konteks tradisional mengakar pada budaya lokal, sedangkan pada konteks global menunjukkan keberagaman referensi. Keberagaman ini mengindikasikan adanya perubahan referensi dalam proses semiosis pemilihan nama. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan perbedaan referensi yang digunakan orang Jawa dalam menentukan nama diri dalam konteks tradisional dan global. Penelitian ini merupakan penelitian onomastik. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori makna Ogden Richards 1952 dan proses semiosis Pierce 1940 . Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif. Data diperoleh dari: 1 sumber tertulis yang berupa data kelahiran warga Desa Sukorejo, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri, 2 wawancara, dan 3 kuesioner. Hasil analisis menunjukkan bahwa referensi nama dalam konteks tradisional merupakan penanda identitas budaya, sedangkan dalam konteks global cenderung tidak merepresentasikan kebudayaan miliknya.

The personal name is an important marker of identity. Choosing a personal name is a process that is influenced by both culture and the ever changing context of the times. The reference of Javanese names, rooted in local culture are familiar, but in the new global culture they take on new and diverse forms. This diversity reflects a change in the process of name semiosis. The purpose of this onamatic study is to explain the different references that the Javanese use in determining personal names in both the traditional and new global context. The study is based on the theory of meaning originating in Ogden Richards 1958 and the process of semiosis in Peirce 1940 . A descriptive qualitative method is used. Data is obtained from 1 written sources in the form of birth data of Javanese individuals from Sukorejo, Ngasem, and Kediri, 2 interviews, and 3 a questionnaire. The study shows that reference of personal names in traditonal and global contexts does indeed differ. In particular, names in a global context do not represent traditional Javanese culture.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2017
S69970
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kendenan, Esriaty Sega
"Terjemahan beranotasi adalah penerjemahan dengan pemberian komentar atas pilihan padanan tertentu dalam menerjemahkan sebuah teks. Dalam menerjemahkan disertasi yang telah diterbitkan mengenai sejarah sosial orang Toraja ini, saya menggunakan metode penerjemahan komunikatif. Sebagian besar masalah yang muncul dalam penerjemahan teks itu terkait dengan kata budaya yang banyak digunakan oleh penulis TSu selain penggunaan nama diri dan nama jenis, idiom, dan metafora. Untuk menyelesaikan masalah penerjemahan itu saya menggunakan prosedur penerjemahan: transferensi, pemberian catatan kaki, penerjemahan resmi, penghilangan, dan kuplet. Dalam terjemahan beranotasi ini, anotasi diberikan untuk menjelaskan pilihan padanan yang saya gunakan dalam menerjemahkan istilah dan ungkapan untuk menyelesaikan masalah dalam penerjemahan. Dengan demikian, penerjemahan buku sejarah selain membutuhkan penguasaan BSu dan BSa yang baik juga memerlukan penelitian dokumen sejarah terkait untuk lebih memahami konsep dan konteks agar dapat mengalihkan pesan penulis TSu dengan benar.

An annotated translation is a translation with commentary on certain equivalences chosen while translating of a text. In translating this published dissertation the social history of the Toraja people, I applied the communicative method of translation. Most translation problems arising were related to the translation of cultural words used by the author of the book, in addition to proper and common names, idiomatic expressions, and metaphors. To solve the problems, I used following translation procedures: transference, notes, recognized translation, omission, paraphrasing, and couplet. In this annotated translation, annotations were given to explain the choice of terms and expressions equivalences used to overcome the problems in translation. Thus, the translation of history books does not only need mastery of the source as well as target language but also requires thorough historical document research to have a better understanding of the context and concepts, in order to be able to transfer the message well."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
T31299
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library