Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
S26398
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nyiayu Kurnia Afrianti
"Aktivitas perdagangan dari masa ke masa mengalami pergerakan yang sangat cepat. Perdagangan tidak hanya dilakukan oleh para pelaku dagang yang berada pada satu negara, melainkan juga melibatkan pelaku dagang dari negara lain. Seiring dengan perkembangan zaman, perdagangan antar negara atau perdagangan intemasional ini semakin kompleks. Oleh karenanya dibutuhkan suatu instrumen hukum guna memperlancar arus perdagangan dari satu negara ke negara lain dan menghilangkan segala yang dapat menghambat akses masuk ke pasar negara lain. Hal inilah yang mendorong suatu negara untuk membuat perjanjian perdagangan bebas dengan negara lain. Petjanjian perdagangan bebas dapat dibuat oleh dua negara (bilateral) maupun oleh beberapa negara (multilateral). Baik bilateral maupun multilateral, tujuan peijanjian perdagangan bebas adalan sama, yaitu mengurangi atau menghapuskan harnbatan­ hambatan dalam perdagangan yang dilakukan oleh warga negara yang satu dengan warga negara lainnya. Namun demikian terdapat perbedaan diantara keduanya. Dari segi tujuan dan Jatar belakang, pada perjanjian perdagangan bebas multilateral khususnya yang bersi fat regional memiliki tujuan untuk memperkuat kekompakan dan sating memaksimalkan potensi ekonomi dari masing-masing negara. Sedangkan perjanjian perdagangan bebas bilateral dirnaksudkan untu k mengintensifkan atau mempercepat proses liberalisasi perdagangan d iantara ked ua negara. Dari segi substansi, perjanjian perdagangan bebas bilateral lebih spesiflk dari substansi perjanjian perdagangan bebas multilateraL Hal pokok apa saja yang tercantum dalam perjanjian perdagangan bebas pada umumnya dan bagaimana perbedaan substansi antara perjanjian perdagangan bebas multilateral dengan peijanjian perdagangan bebas bilateral, merupakan beberapa pokok pennasalahan pada penulisan ini.

From time to time, trading activities has rapidly developed. Trading not only executed by traders in one country, but also involves traders from another country. The international trading has become more and more complex. Therefore, legal instrument to enhance trading movement and to overcome any trade barriers in order to expand market access to another country, is needed. This issue has urged a country to make a free trade agreement to another country. Free trade agreement can be arrange either by two countries (bilateral) or more than two countries (multilateral). Both arrangements have the same purpose, is to reduce or eliminate barriers in lrade. Nevertheless, there are differences in both arrangements. From the perspective of purpose and background, multilateral free trade agreement, especially regional, aimed to strengthen their economic ties and to enhahce economic opportunities from each country. In the other hand, bilateral free trade agreement aimed to accelerate the process of liberalization in trade between both countries. From the perspective of substance, bilateral free trade agreement has more specific detail rather than the multilateral free trade agreement. What are the major aspects concluded in "a free trade agreement in general and what are the differences between bilateral free trade agreement and multilateral free trade agreement, are the subjects of this academic writing."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T28505
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Tio Serepina
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993
S25896
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The multilateral trading system as it now applies is o rule-
bated system comprising a complex set of rules as articulated
in various WTO agreements. The .system is the ultimate choice
for nations if they were to establish trade relations among
nations in a good order and to more enhance the stability and
predictability and to better suit the interests of least developed
and developing countries. Nevertheless, the substantive rules
that have been "mutually agreed" have deficiencies and
imbalances especially looking from the interest of developing
countries. The implementations of those rules have been more
advantageous to developed countries. while the developing
countries do not have the capability to implement those rules.
The concessions that have been given away do not meet with
the expected benefit out of their participation in this
multilateral regime. Such situation greatly effects developing
countries in the implementation and the effectiveness of WTO
rules. The current round of trade negotiations needs to make
correction to this legitimacy gap to ensure affair a fair gain from the
multilateral trading system.
"
Jurnal Hukum Internasional: Indonesian Journal of International Law, Vol. 1 No. 2 Januari 2004 : 229-244, 2004
JHII-1-2-Jan2004-229
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Cambridge: Cambridge University Press, 2016
382.9 REG
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Johannesburg, South Africa: South African Institute of International Affairs , 2001
327.17 MUL
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Santoso
"Hubungan Australia - Indonesia berjalan sejak masa awal kemerdekaan Indonesia. Hubungan antara Indonesia dengan Australia semakin meningkat bersamaan dengan kepentingan ekonominya di berbagai bidang. Hubungan Indonesia - Australia pada masa pasca perang dingin mengalami perubahan bersamaan dengan berubahnya tata dunia internasional dari bipolar ke multipolar. Perubahan-perubahan ini mendorong Australia berperan secara aktif di IGGI, APEC, ARF, IMF dan organisasi-organisasi multilateral lainnya.
Perkembangan hubungan Australia dari waktu ke waktu perlu dianalisis akibat dari perubahan eksternal dan internal di Indonesia dan Australia serta lingkungan dunia secara global. Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui perkembangan hubungan di bidang ekonomi antara Australia dan Indonesia berdasarkan tinjauan kebijakan ekonomi Indonesia di sektor perdagangan dan industri, yang dijalankan kedua negara tersebut.
Teori yang dipergunakan adalah mengenai konsep kebijakan publik dan hubungan ekonomi antar negara. Metode penelitian adalah desain penelitian deskriptif dan analisis data menggunakan pendekatan kualitatif/historis. Dalam hal ini subjek atau pokok penelitian adalah kebijakan-kebijakan ekonomi Indonesia di sektor perdagangan dan industri yang dilakukan akibat hubungan antara Australia - Indonesia dan metode pengumpulan data melalui analisis data sekunder. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa Australia memiliki kepentingan yang cukup besar di bidang ekonomi di Indonesia. Hubungan Australia dari waktu ke waktu tetap berkisar pada masalah ekonomi dan tidak jauh pula dari masalah politik. Oleh karena itu, peranan Australia yang semakin aktif di dunia internasional dapat digunakan untuk mengambil inisiatif dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan mempertimbangkan hubungan antara Indonesia - Australia, dimana dapat digunakan untuk meningkatkan perekonomian dan peranannya di badan-badan organisasi multilateral."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7491
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Nafan Aji Gusta Utama
"Dalam mewujudkan suatu sistem perdagangan yang bebas dan adil dalam kerangka kerjasama multilateral yang lebih konkrit diwujudkan melalui pembentukan organisasi perdagangan dunia atau yang lebih dikenal dengan WTO. Persetujuan Bidang Pertanian dalam WTO bertujuan untuk melakukan reformasi perdagangan dalam sektor pertanian dan membuat kebijakan-kebijakan yang lebih berorientasi pasar, adil dan lebih dapat diprediksi. Liberalisasi di bidang pertanian yang merupakan mandated agenda dan dilakukan melalui serangkaian perundingan multilateral serta tertuang dalam Persetujuan Bidang Pertanian menuntut Indonesia sebagai negara anggota WTO untuk mematuhinya. Idealnya diharapkan dengan adanya aturan tersebut berbagai hambatan di sektor pertanian seperti hambatan tarif dan non-tarif, serta penerapan berbagai bentuk subsidi yang menyebabkan distorsi perdagangan dapat dikurangi atau dihapus. Namun pada kenyataannya hal ini masih sulit dilakukan sebab masih banyaknya anggota WTO khususnya negara-negara maju yang masih memberlakukan kebijakan proteksi tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut kesepakatan yang tertuang dalam perundingan Doha Development Agenda - WTO di bidang pertanian awalnya diharapkan mampu menjembatani kesenjangan yang terjadi antara negara maju dan negara berkembang karena dalam agenda Doha termaktub komitmen negara maju untuk mengurangi berbagai subsidi dan menghapus restriksi impor yang diberlakukan terhadap produk-produk pertanian negara berkembang namun hal tersebut tetap tidak efektif dalam realisasi pelaksanaannya. Oleh sebab itu, perjuangan dalam perundingan sektor pertanian di WTO cenderung penuh dengan gejolak dan diwarnai dengan pengelompokkan-pengelompokkan, khususnya negara-negara berkembang.
Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan perspektif nasionalis/realis (merkantilis) dari Robert Gilpin. Adapun teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori kepentingan nasional dari Charles O. Lerche yang menyebutkan bahwa tindakan suatu negara yang diwujudkan dalam politik luar negerinya selalu bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu yang berasal dari penerapan kepentingan nasional di mana politik luar negeri tersebut dibuat. Lebih lanjut Norman J. Padelford menegaskan bahwa kepentingan nasional suatu negara harus menjadi vital terhadap national independence, way of life, territorial security, and economic welfare. Sementara itu, untuk menganalisa bagaimana perundingan berlangsung dan mekanisme diplomasi dalam perundingan WTO penulis menggunakan teori negosiasi dari Fred Charles Iklé dan Bernard M. Hoekman. Adapun penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif analitis. Sedangkan teknik pengumpulan data adalah data-data primer dan sekunder.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah pembentukan Kelompok G-33 yang dikoordinasi Indonesia dimaksudkan guna memperkuat bargaining position dalam memperjuangkan konsep SP (Special Product) dan SSM (Special Safeguard Mechanism). Hal ini amat penting bagi negara berkembang khususnya Indonesia karena sektor pertanian terkait dengan ketahanan pangan (food security), jaminan penghidupan (livelihood security) dan pembangunan pedesaan (rural development). Namun dalam perundingan Putaran Doha khususnya sektor pertanian cenderung penuh gejolak sebab isu-isu yang dibahas tergolong cukup sensitif dimana negara maju dan negara berkembang masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda.
Untuk perundingan Putaran Doha lebih lanjut, Indonesia melalui G-33 beserta kelompok-kelompok negara berkembang lainnya harus semakin bersatu menghadapi dominasi negara-negara maju dalam perundingan WTO, sebab hal ini dapat mempengaruhi hasil-hasil perundingan Putaran Doha berikutnya. Selain itu, diharapkan agar delegasi Indonesia tidak kehilangan arah dalam memperjuangkan kepentingannya agar tidak menjadi negara korban agenda neoliberal negaranegara maju dalam WTO.

To promote a free and fair trade system within the framework of multilateral cooperation, the establishment of World Trade Organization (WTO) must be realized. The WTO Agreement on Agriculture Approval aims to reform trade in the agricultural sector and to create more market-oriented, equitable and predictable policies. The liberalization in agriculture which is a mandated agenda and carried through a series of multilateral negotiations as well as stipulated in the Agreement on Agriculture requires Indonesia as a WTO member to comply. Ideally, such a rule is expected by various types of barriers in the agricultural sector such as tariff and non-tariff barriers, as well as the application of various forms of trade distorting subsidies must be eliminated. But in reality, it is still difficult to apply because there were so many WTO members, particularly developed countries that still impose the policy of protection.
In connection with this agreement as stipulated in the Doha Development Agenda - WTO in the agricultural sector was originally expected to bridge the gap between the developed and developing countries because of the commitment embodied in the Doha agenda which emphasizes that the developed countries must reduce subsidies and remove import restrictions applicable to the agricultural products of developing countries but it is still not effective in the realization of its implementation. Therefore, the negotiations in the agricultural sector in the WTO is likely filled with so many problems and there are also the possibilities for coalition or group formation which are taken into account, especially the developing countries.
A framework used in this research is utilizing a nationalist/realist (mercantilist) perspective from Robert Gilpin. The theory used in this research is the theory of national interest from Charles O. Lerche who mentioned that "an objective flows from the application of national interest to the generalized situation in which policy is being made". Furthermore, Norman J. Padelford asserted that "the national interest of a country is what its governmental leaders and in large degree also what its people consider at any time to be vital to their national independence, way of life, territorial security, and economic welfare". Meanwhile, to analyze how the negotiations progress and the mechanism of diplomacy in the WTO negotiations, the author uses the theory of negotiation from Fred Charles Iklé and Bernard M. Hoekman.This research is based on qualitative research with analytical descriptive research. The data were collected from primary and secondary data.
The result obtained from this research is the formation of G-33 coordinated by Indonesia, which is intended to strengthen the bargaining position in defending the position for the concept of SP (Special Products) and SSM (Special Safeguard Mechanism). It is very important for developing countries especially Indonesia because the agricultural sector is related to food security, livelihood security and rural development. But in the Doha Round negotiations, particularly the agricultural sector tends to cause turbulent issues during the discussions which is quite sensitive because every country especially the developed and developing countries have different interests.
In the next negotiations of the Doha Round, Indonesia through G-33 and other developing nations must unite against the dominance of developed and major countries in WTO negotiations, because this can affect the results of the Doha Round negotiations next. In addition, the Indonesian delegation is expected to defend for their interests, not to become the victims of the neoliberal agenda in the WTO."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
T28008
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Singapore: Konrad-Adenauer-Stiftung, 2011
337.1 GRO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>