Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nur Hayati
"Latar Belakang: Air susu ibu merupakan nutrisi ideal untuk bayi yang direkomendasikan untuk diberikan secara eksklusif hingga usia 4-6 bulan. Air susu ibu mengandung zat bioaktif yang dapat mempercepat proses maturasi dan menjaga integritas mukosa usus. Pemeriksaan yang bersifat mudah, cepat, non-invasif dan terpercaya untuk menilai integritas mukosa usus yaitu alfa-1 antitripsin (AAT), calprotectin, dan IgA sekretorik (sIgA) feses.
Tujuan: Mengetahui perbedaan integritas mukosa usus dengan mengukur kadar AAT, calprotectin dan sIgA feses pada subjek bayi ASI dan susu formula eksklusif (SF) dan mengetahui hubungan antara jenis asupan nutrisi dengan integritas mukosa usus bayi pada usia 4-6 bulan.
Metode: Penelitian dilakukan pada bulan Juni-Oktober 2013. Subjek penelitian adalah bayi sehat berusia 4-6 bulan yang datang ke poliklinik anak RS St Carolus Jakarta dan yang bertempat tinggal di Kecamatan Pasar Minggu dan Cempaka Putih Jakarta. Kadar AAT, calprotectin, dan sIgA feses diukur menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Analisis statistik dilakukan untuk mencari hubungan pemberian ASI eksklusif dengan integritas mukosa usus dengan uji Kai kuadrat atau Fisher (analisis bivariat).
Hasil: Penelitian dilakukan pada 80 subjek (ASI n=40, SF n=40). Tidak didapatkan perbedaan karakteristik yang bermakna pada kedua kelompok. Kelompok ASI memiliki nilai rerata kadar AAT feses yang lebih tinggi secara bermakna (p=0,02). Kelompok SF memiliki kadar calprotectin yang lebih tinggi namun tidak berbeda bermakna (p=0,443) dibanding dengan bayi ASI. Kelompok ASI memiliki median kadar sIgA yang lebih tinggi secara tidak signifikan (p=0,104) dibandingkan dengan bayi SF. Pada penelitian ini didapatkan hubungan yang bermakna antara pemberian nutrisi dengan peningkatan kadar AAT feses bayi ASI. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara jenis asupan nutrisi dengan penurunan kadar calprotectin (p=0,65) dan peningkatan kadar sIgA feses (p=0,26).
Simpulan: Bayi ASI eksklusif menunjukkan integritas mukosa usus yang lebih baik dari bayi SF eksklusif. Kadar AAT lebih tinggi secara signifikan pada bayi ASI eksklusif diduga berkaitan dengan AAT yang diperoleh dari ASI.

Background: Breastmilk is recognised for its ideal nutritional benefits for babies and has been recommended to be given exclusively for 6 months of life. Breastmilk also known to have bioactive substances that could modulates the gastrointestinal maturation and maintain its mucosal integrity. Markers that are easy, non-invasive and reliable like fecal alpha-1 antitrypsin (AAT), calprotectin, and secretoric imunoglobulin A (sIgA) have been known as marker to asses gut wall integrity.
Objective: To determine the difference of gut wall integrity based on fecal AAT, calprotectin, and sIg A level of exclusive breastmilk (BF) and formula feeding (FF) infant at 4-6 month of age. To determine the correlation between feeding type with gut wall integrity.
Methods: The study was conducted from June to Oktober 2013. Subjects were babies of 4-6 months old who came to pediatric policlinic at St Carolus hospital, and live in Kecamatan Pasar Minggu and Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta. The fecal markers analized with enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) methode. Chi square and Fischer test were used to analyze the correlation between feeding type and gut wall integrity (bivariate analysis).
Results: There were 80 babies recruited (BF=40, FF=40). There were no statisticaly difference between the characteristics of two groups. The BF group showed higher fecal AAT level compared to FF group (p=0,02). The FF group showed a higher fecal calprotectin and the BF group had a higher level of fecal sIgA compared to BF group but not statisticaly different (p=0,443, p=0,104). There was significant correlation between fecal AAT level of babies with breastmilk feeding (p=0,02). There were no significant correlation between fecal calprotectin (p=0,65) and sIgA level with the feeding type (p=0,26).
Conclusion: The BF babies had better mucosal integrity compared to FF babies. The fecal AAT level were significantly higher in breastmilk feeding babies and related with AAT from breastmilk.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Boy M. Bachtiar
"Pendahuluan
Salah satu bentuk kandidiasis mulut adalah kandidiasis atropik kronik atau denture stomatitis yang terutama disebabkan oleh jamur Candida albicans dan dipicu oleh pemakaian protesea lepasan di dalam mulut. Secara teoritis, mekanisme sistem pertahanan tubuh primer berperan dalam mencegah kolonisasi C. albicans pada permukaan mukosa mulut. Mekanisme ini meliputi deskuamasi epitel mukosa mulut, sIgA yang mengagregasi sel jamur dari pembersihannya dari dalam mulut, serta berbagai protein saliva yang bersifat kandidasidal, seperti lisozim, histatin, dan laktoferin2. Selain itu, granulosit dan makrofak merupakan sel-sel imunokompeten yang berperan dalam mekanisme respon inflamasi dan sebagai sel efektor pada tahap respon imun adoptif.
Masih terdapat ketidaksesuaian pendapat tentang potensi serotipe C. albicans, yaitu serotipe A dan serotipe B, dalam patogenesis denture stomatitis_ Sebagain peneliti mengatakan bahwa sifat invasif C. albicans pada mukosa mulut berbeda menurut serotipe tersebut. Peneliti yang lain menyatakan bahwa induksi antibodi yang protektif terhadap C. albicans lebih ditentukan oleh distribusi epitop tertentu yang merupakan bagian dari lipomanan, molekul yang terdapat pada permukaan sel blastarporta. Namun demikian para ahli sepakat, bahwa sifat patoigen oportunis jamur ini berkorelasi dengan defek imun yang terjadi pada inang, baik defek imun secara umum, maupun defek imun yang terjadi secara lokal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Daldiyono Hardjodisastro
"Kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas dapat terjadi sebagai akibat langsung (efek samping) obat antiinflamasi non steroid (obat antireumatik) dan dapat timbul sebagai akibat tidak langsung berbagai keadaan patologik yang berlaku sebagai stresor, seperti luka bakar, operasi otak, tumor otak, trauma kepala, dan strok (1-3).
Kelainan mukosa akut yang terjadi akibat berbagai stresor tersebut lazim disebut sebagai tukak stres (stress ulcer) (1,2). Pada pemeriksaan endoskopi kelainan mukosa akut tersebut terlihat sebagai bercak kecoklatan, at au tukak dangkal, kadang-kadang disertai perdarahan mukosasehingga cairan lambung berwarna coklat kehitaman (4,5). Meskipun kelainan mukosa akibat stresor tersebut tidak berupa tukak, umumnya disepakati bahwa semua kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas akibat stresor yang tidak langsung tersebut tetap disebut sebagai tukak stres (6).
Penelitian tentang kelainan mukosa akut pada penyakit peredaran darah otak, dalam hal ini strok, umumnya didapat dari autopsi. Doig dan Shafar (7) pada tahun 1955 melaporkan tujuh kasus perdarahan saluran cerna pada pasien strok hemoragik. Perdarahan terjadi beberapa saat setelah pasien mulai memperlihatkan gejala sampai dua puluh jam setelah timbul strok. Dalgaard (3) pada tahun 1959 melaporkan 67 kasus kelainan mukosa akut saluran cerna pada pasien strok. Jura (8) pada tahun 1987 melakukan autopsi pada 498 kasus strok. Kelainan akut saluran cerna bagian atas didapatkan pada 120 kasus (24,09%), sebanyak 82 kasus di antaranya bersamaan dengan terjadinya strok hemoragik. Dari 120 kasus kelainan mukosa akut, 75 kasus (63,5%) mengalami perdarahan berat (masif); lima puluh persen di antaranya perdarahan terjadi pada tujuh hari dari awal strok.
Sejauh ini, dalam kepustakaan hanya didapatkan dua buah laporan prospektif tentang kelainan tukak stres pada penderita strok (4, 5). Kitamura (4) pada lahun 1976 melaporkan penellitian endoskopi pada 177 kasus strok. Tukak styes didapatkan sebanyak 52%. Pada strok iskemik 43% kasus, sedangkan pada strok hetnoragik 56% bila perdarahan pada satu tempat, dan 87% bila perdarahan pada beberapa tempal. Kitamura juga melaporkan bahwa ada atau tidaknya hematemesis dan melena berkaitan dengan prognosis. Terdapal perbedaan bermakna dalam mortalitas pasien strok yang mengalami hematemesis melena dan yang tidak. Segawa (5) pada tahun 1980 melaporkan basil endoskopi pada 63 pasien strok dan didapatkan kelainan mukosa akut pada 92%, dan 45% di antaranya terdapat perdarahan.
Sampai saat ini belum pernah ditemukan laporan tentang prevalensi kelainan mukosa akut pada penderita strok di Indonesia. Oleh karena ilu, perlu dilakukan penelitian mengenai hal ini. Patofisiologi atau faktor-faktor apa yang menyebabkan timbulnya tukak sires pada penderita strok kurang mendapat perhatian para ahli, seperti halnya tukak stres pada penderita tumor otak (9-11), luka bakar (12,13), renjatan kardiogenik (14,15), dan renjatan endotoksin (16,17).
Berbagai faktor timbulnya tukak stres telah diidentifikasi yaitu sebagai berikut:
1. Hiperasiditas cairan lambung sudah terbukti terdapat pada tukak stres pada tumor otak dan trauma kepala (18-20), sedangkan pada luka bakar, asiditas cairan lambung dapat normal atau meninggi (21). Pada luka bakar bila didapatkan hiperasiditas disertai dengan adanya kelainan pada mukosa duodenum (22,23). Hipergastrinemia Hipergastrinemia terdapat pada trauma kepala (24), sedangkan pada Iuka bakar, kadar gastrin dalam serum ternyata normal (25).
2. Hiperfungsi kelenjar korleks adrenal ditandai oleh hiperkortisolemia. Hiperkorlisolemia-terdapat pada luka bakar terutama yang beral (13) dan trauma kepala yang berat (26). Pada strok,. memang sudah terbukti adanya hiperkortisolemia (27), namun kaitannya dengan timbulnya tukak stres belum jelas.
3. Iskemia mukosa latnbung merupakan predisposisi terpenting untuk timbulnya tukak stres (28-30). Namun iskemia sendiri, tanpa pencetus lain misalnya HCI, asam empedu, atau salisilat, tidak terbukti menimbulkan kelainan mukosa akut (31). Kamada (32) pada tahun 1982 mengukur aliran darah (mikrosirkulasi) mukosa lambung pada pasien luka bakar dan trauma kepala. Pada pasien yang disertai kelainan mukosa akut ternyata mikrosirkulasi pada mukosa lambung jauh lebih rendah dibandingkan dengan pasien tanpa kelainan mukosa akut.
4. Adanya iskemia mukosa lambung dapat diketahui dengan mengukur mikrosirkulasi dengan berbagai cara, yaitu metoda klirens aminopirin, metoda inert gas elimination, spektrofotometri (33), atau secara tidak langsung dengan biopsi mukosa lambung (34-37).
Berbagai faktor di atas, dalam kaitannya dengan terjadinya tukak stres pada penderita strok, belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian iebih lanjut?"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
D196
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maharani Laillyza Apriasari
Jakarta: Salemba Empat, 2019
617.601 MAH p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Franciscus Ari
"ABSTRAK
Efek samping gastroduodenal sering terjadi pada pengunaan aspirin jangka panjang, bahkan pada dosis yang sangat rendah (10 mg/hari). Saat ini angka kejadian kerusakan mukosa gastroduodenal akibat penggunaan aspirin dosis rendah jangka panjang di Indonesia belum diketahui. Tujuan: Mengetahui prevalensi dan gambaran endoskopi kerusakan mukosa gastroduodenal pada pengguna aspirin dosis rendah jangka panjang pada pasien yang berobat di RSCM, serta faktor-faktor yang mempengaruhi. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada pasien poliklinik dan ruang perawatan RSCM usia ≥ 18 tahun yang mengkonsumsi aspirin dosis rendah (75-325 mg) lebih dari 28 hari. Didapatkan 95 subjek penelitian melalui metode konsekutif dalam periode Desember 2015 ? April 2016. Temuan endoskopi berupa erosi mukosa dan ulkus peptikum dimasukkan ke dalam kelompok kerusakan mukosa. Hasil: Kerusakan mukosa gastroduodenal ditemukan pada pada 49 subjek (51,6% (95% IK 41,6-61,7%)), dengan gambaran erosi mukosa pada 38 subjek (40% (95% IK 30,2-49,9%)) dan ulkus peptikum pada 11 subjek (11,6% (95% IK 5,2-18,0%)). Hanya 44,9% pasien dengan kerusakan mukosa gastroduodenal memiliki keluhan dispepsia. Kombinasi antitrombotik meningkatkan risiko terjadinya kerusakan mukosa (OR 3,3 (95% IK 1,3 ? 8,5)). Sedangkan penggunaan obat golongan proton pump inhibitors (PPI) menurunkan risiko (OR 0,2 (95% IK 0,04 ? 0,60)). Kesimpulan: Kerusakan mukosa gastroduodenal terjadi pada lebih dari separuh pasien yang menggunakan aspirin dosis rendah jangka panjang. Kombinasi aintitrombotik meningkatkan risiko kerusakan mukosa. Sedangkan penggunaan PPI efektif dalam menurunkan risiko tersebut.

ABSTRACT
Background: Long-term aspirin therapy can induces gastroduodenal mucosal injury, even in a very low dose (10 mg daily). The frequency of gastroduodenal injuries among long-term low-dose aspirin users in Indonesia is currently unknown.Aim: To determine the gastroduodenal mucosal injury prevalence, endoscopic findings, and influencing factors among long-term low-dose aspirin users in RSCM. Methods: This study was a cross-sectional study conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Subjects were ≥ 18 years old patients that have been using low-dose aspirin (75-325 mg) for at least the preceding 28 days. Ninety five subjects were recruited consecutively in the period of December 2015 ? April 2016. Endoscopic findings such as erosions and ulcers were assessed as mucosal injuries. Results: Mucosal injury was found in 49 subjects [51.6% (95% CI 41.6?61.7%)]; mucosal erosion in 38 subjects [40% (95% CI 30.2?49.9%)] and ulcers in 11 subjects [11.6% (95% CI 5.2?18.0%)]. Only 44.9% patients with mucosal injury had dyspepsia symptoms. Double antiplatelet therapy increases the risk of mucosal injury [OR 3.3 (95% CI 1.3?8.5)]. However, proton pump inhibitor (PPI) decreases the risk [OR 0,2 (95% IK 0,04 ? 0,60)]. Conclusions: Gastroduodenal mucosal injury was found in more than half of long-term low-dose aspirin users. Double antiplatelet therapy increases the risk of mucosal injury, while PPI effectively reduced the risk.;"
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ferry Chandra
"Latar Belakang: Penelitian mengenai petanda inflamasi akut terkait pajanan uap las pada pekerja las sudah banyak dilakukan. Akan tetapi, tidak semua penelitian tersebut sepakat terjadi perbedaan jumlah petanda inflamasi akut sesudah terpajan uap las. Penelitian ini ingin mengetahui apakah terjadi perbedaan jumlah petanda inflamasi akut akibat pajanan uap las dengan sel netrofil mukosa hidung sebagai petanda inflamasinya.
Metode:Pada penelitian longitudinal ini, 110 pekerja di sebuah perusahaan pembuat knalpot diperiksa jumlah sel netrofil mukosa hidungnya sebelum dan sesudah terpajan uap las serta diukur kadar logam Kromium, Besi, Mangan, dan Aluminium dalam darah pada 40 pekerja diantaranya. Dilakukan pengukuran kadar logam Cr, Fe, Mn, dan Al di lingkungan kerja untuk menilai kadar pajanan.
Hasil:Pengukuran lingkungan menunjukkan kadar Kromium, Besi, Mangan, dan Aluminium udara berada di bawah Nilai Ambang Batas. Sel netrofil sediaan apus sebelum dan sesudah terpajan uap las 8 jam sama – sama berjumlah 2 sel/10 lpk (p = 0,233). Pada penelitian ini juga ditemukan kadar dalam darah logam Cr sebesar 1,03 µg/l; logam Fe sebesar 283.787,73 µg/l; logam Mn sebesar 14,96 µg/l; dan logam Al sebesar 25,68 µg/l.
Kesimpulan:Tidak ditemukan perbedaan jumlah sel netrofil mukosa hidung yang bermakna secara statistik akibat pajanan uap las.

Background and Objective: Many studies about acute inflammation marker regarding metal fume exposure have been conducted but not all agree that metal fume exposure will raise acute inflammation response. One of the acute inflammation markers is nasal mucous neutrophil and this study was conducted to investigate the difference of neutrophil count after being exposed to metal fume as acute inflammation response.
Methods: This study used a longitudinal design with 110 welders as subjects. Nasal mucous neutrophil data was collected before and after 8 hours metal fume exposure. Metal fume (i.e. Chromium, Iron, Manganese, and Aluminum) exposure in the work place was measured with AAS while blood metal level in 40 subjects among them was with ICP-MS.
Results: Chromium, Iron, Manganese, and Aluminum fume level in the work place was under Threshold Limit Value while Chromium, Iron, Manganese, and Aluminum blood level was 1,03 µg/l; 283.787,73 µg/l; 14,96 µg/l; and 25,68 µg/l respectively.Neutrophil count before and after 8 hours metal fume exposure didn’t show any difference with statistically significance (p = 0,233)
Conclusions: There was no statistical significant increase of nasal mucous neutrophil regarding metal fume exposure
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Boedi Oetomo Roeslan
"Karies gigi dan kelainan periodontal merupakan penyakit yang paling utama di dalam rongga mulut. Di Indonesia, prevalensi kedua penyakit ini sangat tinggi (DEPKES RI, 1999). Walaupun frekuensi kelainan periodontal di Indonesia lebih tinggi daripada karies gigi, namun perhatian lebih dikhususkan pada karies gigi mengingat sifatnya yang tidak memungkinkan terjadi pembentulcan struktur gigi kembali bila sudah terbentuk kavitas.
Proses terjadinya karies gigi merupakan fenomena multifaktor yang bisa disederhanakan menjadi keseimbangan antara daya tahan gigi dan faktor kariogenik. Kedua faktor ini saling berinteraksi selama kehidupan seseorang. Walaupun penyebabnya rnultifaktor, namun dapat dikatakan bahwa pemicu terjadinya Ieries gigi adalah bakteri kariogenik Streptococcus mutans, terutama S. mutans serolipe c (Schachtele, 1990).
S. mutans mempunyai sistem enzim yang dapat mensintesis gluten dari sukrosa. Enzim yang berperan adalah glukosiltransferase (GTF) yang terdapat di dalam dinding selnya (Lehner, 1992). Glukan ikatan glikosidik a(1-3) yang disintesis oleh GTF, merupakan prekursor pembentuk plak gigi (Schachtele, 1990). Tidak semua plak gigi dapat menyebabkan karies gigi, namun plak gigi yang dibentuk oleh S. mutans merupakan pemicu terjadinya karies gigi. Oleh karena itu, kemampuan memproduksi plak gigi merupakan virulensi S. mutans serotipe c dalam kaitannya sebagai penyebab karies gigi (Bowen, 1996).
Di dalam plak gigi, koloni S. mutans serotipe c akan memetabolisme sakar sederhana menjadi asam (Schachtele, 1990). Akibatnya pH plak gigi akan turun dan menyebabkan sebagian mineral di dalam email larut (Sundoro, 1991; Wolinsky, 1994). Awal proses terjadinya karies gigi melalui mekanisme yang terakhir ini. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa penyebab awal terjadinya 1caries gigi adalah S. mutans serotipe c. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa karies gigi merupakan penyakit infeksi.
Berbagai cara untuk mencegah karies gigi telah dilakukan, di antaranya dengan memperbaiki nutrisi, mengurangi konsumsi diet kariogenik, meningkatkan kebersihan mulut, atau pemberian fluor sistemik atau topikal. Penggunaan fluor dalam kandungan pasta gigi, tampaknya menunjukkan keberhasilan dalam menurunkan insidensi karies gigi di negara industri (Bartthall dkk, 1996). Pencegahan secara perorangan juga sudah dilakukan, misalnya memakai pelapis fisura dengan bahan adhesif (Frencken & HoImgren, 1999; Zimmer: 2000). Namun semua itu belum memberikan hasil yang cukup berarti, terutama pada anak-anak di beberapa negara Asia termasuk Indonesia, bila dilihat bahwa prevalensi karies giginya masih cukup tinggi (Machida & Sekiguchi, 1997)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2001
D288
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naomi Esthernita Fauzia Dewanto
"Pertumbuhan mukosa usus manusia belum sempurna saat dilahirkan, karena itu usus bayi sering dikatakan sebagai leaky gut. Probiotik diketahui dapat membantu maturasi saluran cerna. Apakah dalam ASI memang terdapat probiotik ataukah suatu kontaminasi, masih diperdebatkan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah probotik ada dalam ASI bila diberikan suplementasi probiotik pada ibu hamil sejak trimester III dan menyusui, efek terhadap probiotik lain dan IL-8 dalam ASI, IFABP urin dan alfa-1-antitripsin (AAT) serta kalprotektin tinja, saat bayi lahir dan usia tiga bulan, dalam rangka menilai integritas mukosa usus.
Dilakukan penelitian uji klinis, paralel dua kelompok dengan randomisasi, samar ganda yang dilakukan di RS Budi Kemuliaan dan klinik-klinik satelitnya sejak Desember 2014 sampai dengan Desember 2015. Jumlah subjek 35 per kelompok. Digunakan probiotik
Bifidobacterium animalis lactis HNO19 karena bukan merupakan resident bacteria.
Lima subjek positif DR10 dalam kolostrum (V0) dan 7 subjek positif saat bayi usia 3 bulan (V3) pada kelompok probiotik. Hasil negatif didapati pada kelompok plasebo. Apusan kulit sekitar payudara negatif pada kedua kelompok. Nilai median IL-8 kelompok probiotik dibanding kelompok plasebo pada V0 dan V3 berturut-turut 2810,1 pg/mL vs. 1516,4 pg/mL (p = 0,327) dan 173,2 pg/mL vs. 132,7 pg/mL (p = 0,211). IFABP V0 dan V3 211,7 ng/mL vs. 842,5 ng/mL (p = 0,243) dan 25,3 ng/mL vs. 25,1 ng/mL (p = 0,466). AAT 136,2 mg/dL vs. 148,1 mg/dL (p = 0,466) dan 24 mg/mL vs. 29,72 mg/mL (p = 0,545). Kalprotektin 746,8 ng/mL vs. 4645,2 ng/mL (p = 0,233) dan 378,6 ng/mL vs. 391,3 ng/mL (p = 0,888).
Probiotik DR10 yang diberikan pada ibu hamil sejak trimester III dapat ditemukan dalam kolostrum dan usia 3 bulan pada kelompok probiotik, dan bukan suatu kontaminasi .Tidak terdapat perbedaan bermakna terhadap probiotik lain, kadar IL-8 dalam ASI, IFABP urin, AAT dan kalprotektin tinja pada kelompok probiotik dibanding dengan kelompok plasebo.

Newborn infants have intestinal hyperpermeability because their gut mucosa is not fully mature yet. It is known that probiotics helps gut maturity. It remains unclear whether probiotics pass through breast milk or whether the positive cultures are the result of contamination. This study aimed to evaluate the effect of probiotic supplementation in pregnant and lactating mothers, with regards to probiotic presence and IL-8
concentration in breast milk, infant urine intestinal fatty acid binding protein (IFABP), as well as fecal ?-1 anti-trypsin (AAT) and calprotectin at birth (V0) and at infant 3
months of age (V3) .
This randomized, controlled trial was double-blind, two parallel groups, probiotic and placebo with 35 subjects in each group. The sudy was done at Budi Kemuliaan Hospital and it’s satellite clinics from December 2014 until December 2015. We used Bifidobacterium
animalis lactis HNO19 (commonly known as DR10) as the supplemental probiotic, as it is not a member of the normal flora.
Probiotik DR10 were found in colostrum at 5 subjects and 7 subjects in V3 breastmilk probiotics group, but none in placebo group. Skin swab of DR10 were negative in both group. Median breast milk IL-8 in probiotic group compare to placebo group at V0 and V3 respectively were 2810.1 pg/mL vs. 1516.4 pg/mL (p = 0.327) and 173.2 pg/mL vs. 132.7 pg/mL (p = 0.211). Infant urine IFABP 211.7 ng/mL vs. 842.5 ng/mL (p = 0.243) and 25.3 ng/mL vs. 25.1 ng/mL (p = 0.466). Infant stool AAT 136.2 mg/dL vs. 148.1 mg/dL (p = 0.466) and 24 mg/mL vs. 29.72 mg/mL (p = 0.545). Stool calprotectin 746.8 ng/mL vs. 4645.2 ng/mL (p = 0.233) and 378.6 ng/mL vs. 391.3 ng/mL (p = 0.888).
Probiotic DR10 were found in colostrum and 3 month-breast milk of women in the probiotic group, but no DR10 in placebo group. However, breast milk IL-8, the presence of other probiotics, and infant gut mucosal integrity were not significantly different between the two groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pratiwi Dwi Hartanti
"Pendahuluan: Ulser merupakan salah satu penyakit mulut yang sering terjadi di kehidupan sehari – hari yang dapat mengganggu kualitas hidup manusia karena rasa sakit yang ditimbulkannya. Sampai saat ini belum ada obat ulser yang efektif untuk meredakan rasa sakit dan mempercepat penyembuhan ulser maka dari itu masih dibutuhkan penelitian pengembangan obat menggunakan model ulser pada hewan coba. Tujuan: Menciptakan model ulser kimiawi pada mukosa bukal Mus musculus yang terstandarisasi. Metode: Penelitian in vivo pada 6 ekor Mus musculus.. Paparan kimiawi berupa asam asetat 70% selama 60 detik menggunakan microbrush. Mus musculus di korbankan pada hari kedua, ketiga dan hari sembuhnya ulser. Pengamatan berupa waktu pembentukan serta penyembuhan ulser dengan mengobservasi secara klinis yaitu adanya kemerahan, pembengkakan, diameter ulser dan berat badan Mus musculus dan dilakukan pemeriksaan histologis untuk melihat tanda – tanda ulser berupa disintegrasi epitel, vasodilatasi pembuluh darah dan sebukan sel radang. Hasil: Asam asetat 70% menimbulkan ulser yang terbentuk pada hari ketiga dan sembuh pada hari keempat belas setelah pemaparan. Kesimpulan: Trauma kimiawi berupa asam asetat 70% selama 60 detik dapat dijadikan metode standar pembuatan ulser mukosa bukal.

Background: Oral ulcers are very common and can compromise the quality of life of patients with pain. But, until now there isn’t an effective drug to reduce the pain and accelerate ulcer healing. Therefore drug development research using oral ulcer model in animal is still needed. Objetive: To establish a standarized chemical injury ulcer model in bucal mucous of Mus musculus Methode: In vivo study on 6 Mus musculus. Research group devided into control and test group. Acetic acid 70% was placed on Mus musculus’s oral mucous for 60 seconds using microbrush. On the 2nd, 3rd, and 14th day, Mus musculus were sacrificed. The animals were observed clinically for 14 days, during which they were weighed and the diameter, redness and swollen of ulcers were measured. The histological characteristic such as epitel disintegration, capiler vasodilatasion and inflammatory cell were analyzed. Result: The ulcer was formed on the 2nd day and was healed on the 14th day  Conclusion: Acetic acid 70% is effective to be a standard method of chemical injury ulcer model in oral mucous.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>