Ditemukan 29 dokumen yang sesuai dengan query
Heyden, Hilde
Cambridge, UK: MIT Press, 2001
724.6 HEY a
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Ibnu Wahyudi
"Pada abad ke-19 telah terbit karya-karya sastra dalam bahasa Melayu di Hindia Belanda dalam bentuk puisi, prosa, dan drama. Populasi semua genre sastra itu sekitar 70 karya yang terbit mulai pertengahan abad ke-19. Sebagian besar karya belum pernah dibahas, baik secara populer maupun ilmiah padahal banyak gambaran sosiologis dan kultural di dalamnya. Berdasar kenyataan ini maka disertasi ini dikerjakan dengan berfokus pada lima antologi puisi karya Bangsjawan (Boek Saier oetawa Terseboet Pantoen, 1857), H.G.L., (Pantoon Melajoe sama Tjerita Aneh-aneh, 1858), Maradjalan (Saër Nasehat Orang Berboeat Djahat dan Saër Negri Batawi, 1866), Pattinama (Sair Kadatangan Sri Maharaja Siam di Betawi, 1871/2000), dan Tan Teng Kie (Sya’ir Jalanan Kreta Api,1890/2000). Karya lima pengarang ini dipilih dari 44 antologi puisi berdasarkan kenyataan bahwa dalam karya mereka telah tergambar adanya modernitas. Mengingat pula bahwa karya-karya ini terbit dalam bahasa Melayu sebagai ekses dari ideologi kolonial yang tidak mengajarkan bahasa Belanda kepada penduduk terjajah, maka konsep ideologi kolonial ini dipakai sebagai pemicu analisis. Untuk memahami makna primer dan makna sekunder dari antologi-antologi puisi ini, dimanfaatkan teori signifikasi Barthes dan pendekatan sosiologi sastra. Melalui analisis kemudian dapat dinyatakan bahwa karya-karya syair mereka menunjukkan adanya modernitas kolonial, jelas sebagai sastra modern, serta bagian integral dari sastra Indonesia modern.
In the 19th century, literary works in Malay in the Dutch East Indies were published in the form of poetry, prose, and drama. The population of all literary genres is about 70 works published in the mid-19th century. Most of the works have never been discussed, either popularly or scientifically, even though there are many sociological and cultural images in them. Based on this fact, this dissertation has been carried out by focusing on five anthologies of poetry by Bangsjawan (Syair boek or called pantun, 1857), HGL, (Malay pantun and strange stories, 1858), Maradjalan (Advice poetry so that people do not do evil and Syair about Batawi, 1866), Pattinama (Syair about arrival of Sri Maharaja Siam in Betawi, 1871/2000), and Tan Teng Kie (Syair about railroad construction, 1890/2000). The works of these five authors were selected from 44 poetry anthologies based on the fact that their works have depicted the existence of modernity. Also considering that these works were published in Malay as an excess of colonial ideology which did not teach Dutch to the colonized people, the concept of colonial ideology was used as a trigger for analysis. To understand the primary and secondary meanings of these anthologies of poetry, Barthes' theory of signification and the sociological approach of literature are used. Through analysis, it can be stated that their poetry shows the existence of colonial modernity, is clearly seen as modern literature, and is an integral part of modern Indonesian literature."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership Universitas Indonesia Library
London: I.B. Tauris, 1998
297.6 ISL
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Wagner, Peter
Cambridge, UK: Polity Press, 2008
303.4 WAG m
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Al-Farsy, Fouad
Guernsey: Knight Communications, 2002
953.8 ALF m
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Ismail F. Alatas
"This article critically observes the modern regime of time that led to the temporalizing of history. The employment of the master category of singular modernity encompasses its capacity for unifying all singularities, hence, betraying capitalism's and nation states' desire to transform plural histories into a single one. Anthropology too has been responsible for the production and maintenance of the temporal order of modernity. While capitalist and national expansions would use violent means to spatially establish themselves by destroying alternative modes of production and body politics, anthropology manipulates time with various devices of sequencing and distancing thereby assigning the conquered into the past. This article suggests that anthropology should no longer align itself with modernity and its notion of human progress. Rather, it should play out disqualified forms of interpretations, rescuing the multiple temporalities at work in the world, to blast the continuum of history."
2009
PDF
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Rachel Kamilia Faradiba Nibal
"Perdebatan mengenai citra pesantren yang dianggap jauh dari Modernitas telah menjadi ruang intelektual baru yang dapat dimulai melalui pemahaman umum mengenai Modernitas Global. Pemikiran yang menganggap bahwa modernitas itu bersifat tunggal tersebut mengalami bias pemaknaan karena adanya institusi pendidikan keagamaan tradisional di Indonesia, yakni Pesantren Gontor yang telah membuktikan bahwa sejumlah kadernya dapat menempatkan posisinya secara optimal dengan modernitas dan teknologi sehingga kemampuannya diakui secara global. Oleh karena itu, artikel ini mengupas bagaimana pesantren Gontor mengoptimalkan pengembangan pemikiran mengenai modernitas yang dianggap tunggal oleh Modernitas Global melalui Alternative Modernity yang mereka implementasikan. Penulisan artikel ini menggunakan metode kualitatif dengan studi pustaka yang memungkinkan diperlukan penelitian lebih lanjut. Artikel ini menyimpulkan bahwa Pesantren Gontor telah berhasil menawarkan perpaduan yang kuat antara karakter Indonesia dan Islam serta pemaknaan mereka sendiri mengenai modernitas sebagai Alternative Modernity terhadap sistem pendidikan Islam di Indonesia.
The debate about the image of pesantren which is considered far from modernity has become a new intellectual space that can be initiated through a general understanding of global modernity. The notion that considers modernity is singular has a biased meaning because of the existence of traditional religious education institutions in Indonesia, namely the Gontor Islamic Boarding School which has proven that a number of its cadres can position themselves optimally with modernity and technology so that their capabilities are recognized globally. Therefore, this article explores how the Gontor Islamic Boarding School optimizes developmental thinking regarding modernity which is considered singular by Global Modernity through the Alternative Modernity that they implement. The writing of this article uses a qualitative method with a literature study which allows for further research. This article concludes that the Gontor Islamic Boarding School has succeeded in offering a strong blend of Indonesian and Islamic characters and their meaning of modernity as an Alternative to Modernity to the Islamic education system in Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Tilaar, H.A.R.
"How should education respond to globalization? Globalization is the process of change. Global culture means modernity stressing on rationality, The process of globalization is a network system integrating global livelihood in time-space compression. It is comprised of economic, politic and cultural globalization. The relationship between globalization and education can be seen with the establishment of the knowledge-based society.
The element of modernity in the process of globalization needs to be adapted through education integrating local values. Therefore education should be adapted the global values especially in creating innovative and intelligent individuals in the knowledge-based society Indonesian society will be as competitive as other global society if they are veil trained and intelligently equipped with English and computer languages as required in the process of globalization.
"
2005
JSAM-X-2-JulDes2005-4
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Novia Putri Anisti
"Manusia merupakan makhluk yang terus menerus berkembang, terutama dari segi pengetahuannya. Dari masa ke masa manusia selalu berusaha untuk menciptakan hal baru yang memudahkan kehidupan mereka. Sama halnya dengan manusia, arsitektur sebagai wadah bagi mannusia pun turut berkembang mengikuti segala macam perubahan, baik dari segi sosial maupun estetika. Modernity muncul ditandai oleh perkembangan sosial masyarakat, teknologi, dan industri. Pada masanya, dwelling, sebagai kebutuhan paling dasar mengalami perubahan. Skripsi ini mencoba mengkaji mengenai kontroversi makna dwelling dan kebutuhan manusia di era modern serta bagaimana arsitektur mewadahi dwelling sebagai home di era modern. Pada akhirnya, setting yang appropriate akan menjadi hal yang paling utama.
Human is a being that keeps developing from time to time, especially their knowledge. From time to time human always try to create something new which will help them doing their everyday life and make it easier. Same thing with human, architecture as a ‘container’ for human activity also develops following all kinds of changes, in terms of social and aesthetic. Modernity was marked by the changing of society, technologies, and industries. At the time, dwelling, as a fundamental needs also changed. This thesis is studying the controversy of the real meaning of dwelling and the human needs in this modern era, also how architecture mediates dwelling as home in modern era. In the end, appropriate settings will be the most important thing."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S46088
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Lany Probojo
"
'Islam Lokal' orang Tidore, atau kebudayaan, hanya dapat dipahami dalam kaitan dengan roh personal, jin. Kepercayaan ini dianggap sebagai bukan Islam, terbelakang dan bukan orang Indonesia; bahkan sebagai penyembah berhala, alfuru, oleh beberapa pegawai pemerintah sipil Tidore yang berpengaruh, dan terlibat di dalam program pembangunan pemerintah. Program pembangunan tersebut mencakup aspek-aspek seperti perubahan industri perikanan regional yang bersifat tradisional menjadi industri perikanan yang bersifat modern dan melibatkan masyarakat ke dalam gotong royong desa. Perusahaan-perusahaan baru di bidang industri perikanan dan pertanian menghasilkan sebuah sistem moneter baru yang berpengaruh besar pada struktur sosial dan kebudayan lokal. Ideologi negara, Pancasila, menjadi sangat relevan dalam konteks ini. Masyarakat mulai memperdebatkan istilah Islam Pancasila, yang hanya menyembah Allah, dan Muslim yang hanya pergi ke mesjid. Menjadi modern tidak hanya berarti menjadi kaya. Ini adalah satu contoh kasus berimbasnya globalitas terhadap lokalitas. Di sisi lain, globalitas dapat memperkuat kesadaran lokalitas. Terdapat pula serangan-serangan terbuka terhadap kebudayaan sendiri yang diorganisasikan oleh para mubaliq di sekitar Ternate, yang mendukung gerakan keagamaan dalam melenyapkan rumah-rumah dan artefak-artefak roh,yang sangat menyinggung harga diri orang Tidore. Tetapi, keadiluhungan Orang Tidore lainnya yang bersifat tradisional menggarisbawahi 'bhinneka tunggal ika', serta 'menggali dan melestarikan kebudayaan setempat'. OrangTidore mendeklarasikan secara resmi bahwa 'Islam' di Tidore tidak akan pernah dapat dipisahkan dari Jin mereka. Tulisan ini mengulas perdebatan tersebut. Menyikapi hal ini, penulis berargumentasi bahwa ideologi pembangunan nasional dan negara bangsa telah mendorong masyarakat Tidore ke dalam kancah konflik dengan kebudayaannya sendiri. Gagasan 'kesatuan dalamkeragaman' hanya dapat direalisasikan, jika perbedaan dihormati dan diterima sebagai sebuah representasi sosial yang sahih dari setiap lokalitas."
2000
PDF
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library