Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Damasius Sasi
"ABSTRAK
The goal of the study is to review changes in dryland farming culture of atoni pah meto in North Center Timor District caused by global climate changes. The research method used was qualitative descriptive: the data collecting method used was interviews, observations, and the document study. Research results prove that the atoni pah meto which consists of eighteen farming rituals, five work patterns, work division between genders, and work ethos, has shifted. It is caused by the interaction of atoni pah meto with other nations, tribes, and ethnic groups, further affected by global climate changes.
Climate changes have made a great impact on farmer?s existence and culture. Because of that, the atoni pah meto of NCT District must open up more by accepting changes in the form of program intervention from the governmental and private institutions. It is time to leave shifting cultivation and slash and burn culture, and move to nature friendly farming technologies. Sickle culture will be offered here to replace slash and burn culture, supported by technologies, a more efficient work pattern and work division, and high work ethos, and it is expected that dryland farming of atoni pah meto will persevere."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
306 UI-PJKB 6:2 (2016) ; PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Damasius Sasi
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
907 PJKB 6: 2 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hendrik Ataupah
"Suku bangsa Meto merupakan satu komponen ekosistem sabana semi-ringkai Timor Barat yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung. Suku bangsa itu menyesuaikan diri secara sosial budaya baik pada karakteristik ekosistem sabana itu maupun pada keadaan perkembangan sejarahnya. Melalui suatu sistem pemukiman terpencar-pencar dalam kelompok-kelompok kecil, sampai meliputi hampir sebagian besar wilayah Timor Barat. Persebaran penduduk itu dilakukan untuk dapat memanfaatkan pelbagai jenis sumber daya alam yang kesediaannya terpencar-pencar dalam ruang dan waktu, maupun untuk menghindarkan diri dari pengaruh kekuasaan asing yang mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia di Timor Barat. Jadi proses persebaran orang Meto itu tidak selalu didasarkan pada pemikiran tindakan sendiri untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan hidup mereka, melainkan juga terpaksa dilakukan untuk mempertahankan kebebasan dan kepentingan kehidupan sendiri.
Suku bangsa itu pun berinteraksi dengan suku bangsa tetangganya, pedagang dan pelaut Nusantara maupun asing, dari benua Asia. Proses interaksi dengan pelbagai pihak selama satu jangka waktu panjang itu pada hakekatnya merupakan suatu proses pembudayaan berjangka panjang bagi suku bangsa Meto.
Proses pembudayaan itu berlangsung tersendat-sendat. Pelbagai wujud dan unsur budaya serta benda kebudayaan diambil-alih suku bangsa Meto dari suku bangsa-suku bangsa tetangga maupun dari bangsa asing yang pernah berkuasa atas pah Meto dan suku bangsa Meto. Dalam proses pembudayaan itu warga suku bangsa tetangga maupun keturunan orang asing yang terintegrasi ke dalam suku bangsa Meto melalui proses perkawinan. Dalam suasana hidup pencar-pencar dan relatif terpencil secara geografik dan sosiologik itu banyak kali orang Meto menerima bendabenda budaya asing untuk digunakan atau dikonsumsi tanpa mengembangkan pemikiran dan kemampuan teknis untuk memproduksi atau memperbaiki keberadaan benda-benda itu. Pelbagai jenis tanaman dan ternak diterima dari luar Timor untuk dibudayakan tanpa memperhatikan proses produksi yang seharusnya disertai upaya rehabilitasi, restorasi dan atau konservasi lingkungan dan pelbagai jenis sumber daya alam yang rusak oleh proses produksi itu, sampai sekarang pada umumnya suku bangsa Meto belum sadar akan dampak negatif kegiatan produksi pertanian pangan dan peternakan atas pelbagai komponen dan unsur ekosistem sabana yang rapuh kombinasinya dan rentan terhadap proses kerusakan dan pengrusakan.
Di pihak lain lambat-laun tercipta suatu kemampuan budaya tradisional untuk melangsungkan kehidupan sebagai peladang dan peternak tradisional ekstensif di lingkungan sabana semi-ringkai Timor Barat itu. Bukit, gunung, sumber air perenial, hutan lestari yang berpohon besar yang rindang dan tinggi menjulang, tumbuhan pemanjat, padang rumput kering, pelbagai jenis satwa dan burung, tidak hanya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan biofisik. Pelbagai jenis komponen dan unsur ekosistern itu dijadikan pula alat peraga budaya, sumber pemikiran inspiratif, dan keyakinan religius untuk mengatur kehidupan perorangan, kehidupan kekeluargaan dan kekerabatan yang menjadi soko guru kehidupan bermasyarakat dan berpemerintahan tradisional. Terdapat suatu keyakinan religius bahwa suatu kekuatan adikodrati yang dinamakan nono yang dijunjungkan di atas kepala setiap bayi ataupun anak isteri akan melindungi keselamatan dan keberuntungan.
Nono pun digunakan sebagai satu nama keluarga dan dijadikan alasan religius untuk berpantang makan jenis satwa dan tumbuhan totem tertentu. Keyakinan religius itu diterapkan sejak saat upacara turun tanah setiap bayi, atau sejak saat penyelesaian perkawinan yang diikuti dengan upacara penggantian kekuatan adikodrati dan dipenggantian nama keluarga. Setiap warga suatu kesatuan kerabat dapat meninggalkan kampung-halaman dan keluarganya untuk mencari nafakah kehidupan dan bermukim di wilayah lain tanpa perlu khawatir bahwa is dan atau keturunan akan kehilangan komunikasi dengan warga kesatuan kerabat yang ditinggalkan di kampung halaman. Konsep nano dan penetrapannya dalam kehidupan sosial sehari-hari merupakan salah satu faktor penting bagi persatuan dan kesatuan kekerabatan dan sekaligus merupakan dasar kebudayaan tradisional suku bangsa Meto.
Warga yang berpindah maupun yang menetap beserta keturunan mereka dapat saling menelusuri dengan memperhatikan nama yang digunakan sehari-hari, nama sapaan kehormatan yang digunakan bahasa upacara, atau nama puisi yang digunakan ketika sedang bernaka-naka. Kesatuan kekerabatan diperkokoh melalui sistem perkawinan kemenakan silang, saling membantu pada masa suka dan duka, serta saling menyapa dan menyebut dengan istilah kerabatan dan atau teknonimi tertentu.
Pendatang baru yang tidak mempunyai hubungan kerabatan dengan para pemukim lebih dini dapat diterima untuk bermukim, berladang, dan atau beternak melalui upacaraupacara tertentu lalu dijadikan anak oleh pihak pemukim lebih dini. Melalui perkawinan dengan pihak pemukim yang lebih dini, keturunan pendatang/pemukim baru itu dapat diterima sebagai warga kesatuan kerabat fiktif setelah terjadi penyesuaian sosial budaya timbal-balik dengan sempurna. Keturunan orang asing pun diintergrasikan ke dalam suatu golongan orang Meto melalui proses penyesuaian sosial budaya dan rangkaian proses perkawinan yang lama dan fasih. Kefasihan berbahasa Meto, berlafal tertentu merupakan suatu syarat yang penting untuk ,diterima dalam lingkungan kehidupan sosial budaya suatu golongan orang Meto, yang memukimi suatu wilayah tertentu di Timor Barat. Orang-orang keturunan Portugis dan desertir Belanda, termasuk para pemimpin mereka yang pernah secara de facto menguasai pedalaman Timor Barat lebih dari dua abad, terintegrasi penuh ke dalam suku bangsa Meto karena proses penguasaan itu berlangsung bersamaan dengan proses adaptasi sosial budaya secara timbal-balik di antara suku bangsa Meto dengan para penguasa itu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992
D20
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tia Atnawanty
"Perilaku seksual berisiko merupakan aktivitas yang memiliki dampak negatif pada kehidupan seseorang yang melakukannya, dapat terjadi karena kurangnya pengetahuan tentang HIV/AIDS, kesalahpahaman penularan HIV, dan stigma pada ODHA di masyarakat. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi hubungan pengetahuan
HIV/AIDS dan stigma HIV/AIDS terhadap perilaku seksual berisiko pada Suku Atoin Meto. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan teknik consecutive
sampling pada 142 responden Atoin Meto. Hasil penelitian menunjukkan terdapat
hubungan yang signifikan antara pengetahuan HIV/AIDS terhadap perilaku seksual
berisiko (p value = 0,035, ɑ = 0,05; OR = 2,360), sedangkan pada variabel stigma
HIV/AIDS, tidak terdapat hubungan yang bermakna. Pada analisis multivariat akhir
dengan regresi logistik berganda, variabel yang berpengaruh adalah pengetahuan
HIV/AIDS, jenis kelamin dan pendapatan, yang paling mempengaruhi adalah jenis
kelamin (p value = 0,006, ɑ = 0,05; OR = 6,349). Diperlukan intervensi khusus seperti
edukasi pendidikan rutin sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan HIV/AIDS dan
menurunkan perilaku seksual berisiko pada masyarakat etnis khususnya Atoin Meto.

Risky sexual behavior is an activity that has a negative impact on the life of a person who
does it, can be occur due to lack of knowledge about HIV / AIDS, misunderstanding of
HIV transmission, and stigma on ODHA in society. The purpose of this study was to
identify the relationship of HIV/AIDS knowledge and the stigma of HIV/AIDS to risky
sexual behaviors in the Meto Atoin Tribe. This study used cross sectional design with
consecutive sampling techniques on 142 Respondents atoin Meto. The results showed a
significant link between HIV/AIDS knowledge of risky sexual behaviors (p value = 0.035,
0.05; OR = 2,360), while in the hiv/AIDS stigma variable, there is no meaningful
relationship. In the final multivariate analysis with multiple logistic regressions, the
influential variables are HIV/AIDS knowledge, gender and income, the most affecting
being gender (p value = 0.006, 1 = 0.05; OR = 6,349). Special interventions such as
routine education are needed in an effort to increase hiv/AIDS knowledge and reduce risky sexual behavior in ethnic communities, especially Atoin Meto.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library