Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 42 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Candy
"Latar Belakang: Dalam penanganan hernia ventralis, penggunaan mesh menjadi standar untuk menutup defek dinding abdomen anterior. Mesh komposit yang sesuai untuk penutupan defek dinding abdomen anterior saat ini harganya mahal dan sulit didapatkan di daerah-daerah terpencil di Indonesia. Penelitian ini mengembangkan mesh komposit triple layer dari amniotic membrane coated polypropylene mesh with adhesion barrier sebagai alternatif penutup defek dinding abdomen anterior pada hernia ventralis.
Metode: Penelitian eksperimental ini dilakukan terhadap tikus Sprague-Dawley pasca dilakukan pembentukan hernia ventralis mekanik buatan, lalu dibagi menjadi empat kelompok yang masing-masing mendapatkan sham surgery¸mesh polypropylene, mesh komposit amniotic membrane coated polypropilene mesh (AMPM), dan mesh komposit Amniotic membrane coated polypropylene mesh with adhesion barrier (mesh komposit triple layer). Pada hari ke-7 dan hari ke-30 pasca perlakuan, dilakukan penilaian rekurensi defek dinding abdomen anterior baru; gambaran histologis derajat jumlah sel polimorfonuklear (PMN), foreign body giant cells (FBGC), fibroblas dan neovaskularisasi, dan adhesi mesh dengan jaringan sekitar pada masing-masing kelompok.
Hasil: Terdapat 20 tikus Sprague-Dawley dengan usia 4-5 minggu yang diikutsertakan dalam studi. Seluruh tikus tidak mengalami rekurensi defek dinding abdomen anterior baru pada hari ke-7 maupun 30 pasca perlakuan. Tidak ditemukan perbedaan derajat histologis jumlah sel PMN, FBGC, dan fibroblast antar kelompok perlakuan, namun terdapat perbedaan signifikan antara kelompok mesh polypropylene dengan mesh AMPM dan dengan mesh komposit triple layer untuk derajat histologis neovaskularisasi (p=0.025) dan adhesi (p=0.025 dan p=0.034 secara berurutan). Perbandingan gambaran histologis setiap kelompok perlakuan pada hari ke-7 dan 30 tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan.
Kesimpulan: Mesh komposit triple layer dapat digunakan sebagai alternatif penutup defek dinding abdomen anterior.Tidak ada perbedaan dalam rekurensi pada dinding abdomen di semua kelompok perlakuan. Kelompok mesh komposit triple layer dan AMPM menunjukkan derajat neovaskularisasi yang signifikan lebih tinggi serta derajat adhesiyang siginifikan lebih rendah dibandingkan kelompok polypropylene mesh.

ntroduction: In the management of ventral hernia, the use of mesh for anterior abdominal wall defect closure has become a standard. Currently, a suitable composite mesh for anterior abdominal wall defect closure is expensive and not always available in every hospital. This study aimed to develop triple-layer composite mesh made from amniotic membrane coated polypropylene mesh with adhesion barrier as an alternative for anterior abdominal wall defect closure.
Method: This experimental study was conducted using Sprague-Dawley mice, inflicted with mechanical ventral hernia, and then divided into four groups given different treatments after: sham surgery, mesh polypropylene, amniotic membrane coated polypropylene mesh (AMPM) composite, and amniotic membrane coated polypropylene mesh with adhesion barrier (triple-layer composite mesh). After 7 and 30 days of procedure, we estimated the recurrence of new anterior abdominal wall defect, histological profile of polymorphonuclear (PMN) cells, foreign body giant cells (FBGC), fibroblast cells, neovascularization, and adhesion of mesh with surrounding tissue in each group.
Result: Twenty Sprague-Dawley mice aged 4-5 weeks were included in our study. We recorded no recurrence of anterior abdominal wall defect in all groups, both in 7- and 30-days post-procedure. This study found no significant difference in histological profiles of PMN, FBGC, and fibroblast cells from each group, but we found statistically significant difference in the histological profile of neovascularization (p=0.025) and adhesion rate (p-0.025 and p=0.034 respectively) of polypropylene mesh group with AMPM mesh group and triple-layer composite group. Histological profile comparison of each group in 7- and 30-days post-procedure showed no significant difference.
Conclusion: Triple layer composite mesh can be used as an alternative to cover anterior abdominal wall defects. There was no difference in abdominal wall recurrence in all treatment groups. Triple-layer composite mesh group and AMPM mesh group significantly showed higher rate of neovascularization and lower rate of adhesion compared to polypropylene mesh group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anindya Hiswara
"Dikarenakan input yang rumit dalam menghasilkan mesh dan dokumentasi terkait pengaruh dari ukuran mesh dalam analisa stabilitas lereng, Metode Elemen Hingga untuk analisa stabilitas lereng jarang untuk digunakan untuk keperluan praktis. Oleh karena itu, tujuan dari riset ini adalah untuk mendapat ukuran dan kepadatan mesh yang direkomendasikan dalam software geoteknik dengan input yang rumit. Riset analisa stabilitas lereng dilakukan dengan MIDAS GTS, yang memiliki input yang rumit untuk menghasilkan mesh dalam bentuk element size dan refinement factor, dibandingkan dengan PLAXIS 2D, yang memiliki input yang simpel yaitu dari kekasaran Very Coarse ke Very Fine.
Analisa sensitivitas dilakukan dengan mencari dalam tingkat kekasaran apa MIDAS GTS dan PLAXIS 2D memiliki kemiripan nilai FK dan garis lengseran, dan menentukan ukuran dan kerapatan mesh yang dianjurkan untuk semua tingkat kekasaran di MIDAS GTS. Studi berlanjut dalam kasus nyata dari kegagalan lereng untuk menentukan tingkat kekasaran dalam MIDAS GTS yang menghasilkan hasil yang paling akurat. Ditemukan bahwa MIDAS GTS dan PLAXIS 2D memiliki hasil yang paling sama dalam kekasaran Medium, namun GTS menghasilkan hasil paling akurat untuk keperluan praktis pada kekasaran Very Fine.

Due to complex input in generating mesh and the documentation of mesh sizes effect in slope stability analysis, Finite Element Method (FEM) for slope stability analysis is rarely conducted in practical uses. This reason inspired the objective of this research, which is to find the recommended generated mesh size and density in complex inputted geotechnical related software. This research of slope stability analysis is conducted using MIDAS GTS, which has a complex input of mesh generation in form of element size input and refinement factor, and compared to PLAXIS 2D, which has a simpler optional input which are Very Coarse to Very Fine coarseness, for the mesh generation.
Sensitivity analysis firstly conducted to decide in what coarseness MIDAS GTS and PLAXIS 2D has a similar SF and slip critical line result, and to decide the recommended mesh size and density for all coarseness level in MIDAS GTS. The study continues to the real case of slope failure to decide in which coarseness in MIDAS GTS that resulting the most accurate result for practical use. It is found in Medium coarseness that MIDAS GTS and PLAXIS 2D produce the most similar result, but GTS produces the most accurate result for practical use in Very Fine coarseness.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haolia Rahman
"Dalam beberapa penelitian terhadap heat pipe, unjuk kerja salah satunya dipengaruhi oleh kinerja wick. Penelitian ini membandingkan hambatan panas wick antara wick dengan struktur screen mesh 1,2,3,4,5,6 lapisan dan struktur sintered powder. Wick screen mesh terbuat dari kawat stainless steel 200 mesh dan sintered metal powder yang terbentuk dari tembaga serbuk 10 µm dengan temperatur sintering pada 900oC. Pengujian dilakukan pada heat pipe tembaga berdiameter 8 mm dan panjang 200 mm dengan fluida kerja air. Hambatan panas yang diukur melaui wick dengan variasi input daya melalui pemanas elektrik, dengan 9 titik pengukuran temperatur sepanjang heat pipe menggunakan thermocouple.
Perbandingan tekanan kapilaritas maksimum wick screen mesh dengan sintered powder adalah 1:0,085 namun hambatan panas yang diperoleh antara sintered powder wick dengan screen mesh bervariasi tidak berbanding lurus dengan tekanan kapilaritas maksimumnya. HTC pada heat pipe dengan wick sintered powder menunjukan nilai lebih tinggi dari screen mesh, dan semakin banyak lapisan screen mesh menunjukan nilai HTC yang lebih besar.

In several studied of heat pipes, one of the performance is influenced by the wick structure. This Experiment is comparing thermal resistant and capillarity pressure of heat pipe between screen mesh wick with 1,2,3,4,5,6 layer and sintered powder wick. Screen mesh wick built of stainless steel wire of 200 mesh and sintered metal powder formed from copper powder 10 μm with sintering temperature at 900oC. Heat pipe are built of 8 mm outer diameter copper pipe and length of 200 mm with working fluid water. The thermal resistant as measured through the wick with a variety of input power by an electric heater, with 9 points along the heat pipe temperature measurement using a thermocouple.
Comparison of maximum pressure capillarity wick mesh screen with a sintered powder is 1:11,7, but the heat resistance is obtained between the sintered powder wick with varying mesh screen is not directly proportional to the maximum capillarity pressure. HTC on the heat pipe with sintered powder wick showed values higher than the screen mesh, and the more layers of screen mesh shows a larger value of HTC.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
T28332
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
A. Endang Sriningsih
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1996
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Anindya Hiswara
"Dikarenakan input yang rumit dalam menghasilkan mesh dan dokumentasi terkait pengaruh dari ukuran mesh dalam analisa stabilitas lereng, Metode Elemen Hingga untuk analisa stabilitas lereng jarang untuk digunakan untuk keperluan praktis. Oleh karena itu, tujuan dari riset ini adalah untuk mendapat ukuran dan kepadatan mesh yang direkomendasikan dalam software geoteknik dengan input yang rumit. Riset analisa stabilitas lereng dilakukan dengan MIDAS GTS, yang memiliki input yang rumit untuk menghasilkan mesh dalam bentuk element size dan refinement factor, dibandingkan dengan PLAXIS 2D, yang memiliki input yang simpel yaitu dari kekasaran Very Coarse ke Very Fine. Analisa sensitivitas dilakukan dengan mencari dalam tingkat kekasaran apa MIDAS GTS dan PLAXIS 2D memiliki kemiripan nilai FK dan garis lengseran, dan menentukan ukuran dan kerapatan mesh yang dianjurkan untuk semua tingkat kekasaran di MIDAS GTS. Studi berlanjut dalam kasus nyata dari kegagalan lereng untuk menentukan tingkat kekasaran dalam MIDAS GTS yang menghasilkan hasil yang paling akurat. Ditemukan bahwa MIDAS GTS dan PLAXIS 2D memiliki hasil yang paling sama dalam kekasaran Medium, namun GTS menghasilkan hasil paling akurat untuk keperluan praktis pada kekasaran Very Fine.

Due to complex input in generating mesh and the documentation of mesh sizes effect in slope stability analysis, Finite Element Method (FEM) for slope stability analysis is rarely conducted in practical uses. This reason inspired the objective of this research, which is to find the recommended generated mesh size and density in complex inputted geotechnical related software. This research of slope stability analysis is conducted using MIDAS GTS, which has a complex input of mesh generation in form of element size input and refinement factor, and compared to PLAXIS 2D, which has a simpler optional input which are Very Coarse to Very Fine coarseness, for the mesh generation. Sensitivity analysis firstly conducted to decide in what coarseness MIDAS GTS and PLAXIS 2D has a similar SF and slip critical line result, and to decide the recommended mesh size and density for all coarseness level in MIDAS GTS. The study continues to the real case of slope failure to decide in which coarseness in MIDAS GTS that resulting the most accurate result for practical use. It is found in Medium coarseness that MIDAS GTS and PLAXIS 2D produce the most similar result, but GTS produces the most accurate result for practical use in Very Fine coarseness."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Salman
"Salah satu jenis topologi yang banyak digunakan dalam jaringan komunikasi data adalah topologi Mesh. Topologi jenis ini mempunyai keunggulan antara lain sifatnya yang fleksibel dan dinamis sesuai dengan kondisi dan keadaan jaringan tersebut. Ada banyak kombinasi bentuk jaringan dalam topologi Mesh sesuai dengan aplikasi dan syarat serta tuntutan jaringan tersebut. Untuk membantu dalam merancang bentuk jaringan pada topologi Mesh maka pada penelitian ini dirancang suatu algoritma yang dapat memilih dan menentukan bentuk jaringan yang paling optimal pada topologi Mesh. Algoritma Mesh yang dirancang pada penelitian ini menggunakan pendekatan prosedur Minimum Spanning Tree yang merupakan penyempumaan dari algoritma Prim's."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Vebby Aprilyan Alhadi
"Wireless Mesh Network merupakan teknologi jaringan wireless yang dipercaya dapat meningkatkan peranan penting dalam wireless mobile network dimasa yang akan datang. Teknologi ini memiliki kemampuan mengkonfigurasi dan mengorganisasi dirinya sendiri, sehingga mampu membuat dan menjaga konektivitasnya serta memiliki jangkauan luas karena menggunakan system multihop. Dalam penulisan skripsi ini akan dibangun testsbed wireless mesh network tipe hybrid menggunakan perangkat mesh client dan mesh router dengan routing protocol AODV-UU dan UoBWinAODV. Mesh router dimodifikasi dengan menggunakan firmware opensource OpenWrt. Testbed tersebut digunakan untuk menguji performansi self configure, self healing serta parameter-parameter seperti throughput, latency dan jitter melalui beberapa skenario pengujian tertentu.

Wireless Mesh Network is a wireless network technology that trusted can increase important role in the future of wireless mobile network. Its has an ability in self configured and self organized, so that can make and maintain the connectivity and also has a large range because its used a multihop system. In this final project will be built a hybrid wireless mesh network testbed using a mesh client and mesh router device with AODV-UU and UoBWinAODV routing protocol. The mesh router device is modified using opensource firmware OpenWrt. The testbed will be used to test a self configure, self healing and also a network parameters such as throughput, latency and jitter performance through some of testing skenario."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
R.03.08.147 Alh i
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jonathan Nicholas
"Kebutuhan untuk menyediakan layanan kepada pengguna di seluruh dunia menyebabkan layanan aplikasi web untuk beradaptasi menggunakan teknologi baru dan memadai. Untuk mencapai hal tersebut, layanan cloud servis digunakan untuk memperluas jangkauan geografis dari layanan web di seluruh dunia. Peningkatan kualitas pengembangan deployment aplikasi web terlihat pada Kubernetes, alat yang diadopsi secara luas yang didukung di sebagian besar platform cloud, yang memungkinkan penerapan geo-distributed clusters untuk aplikasi yang memiliki pengguna multinasional. Dikarenakan kelangkaan studi mengenai geo-distributed clusters dan kinerjanya, penelitian ini bermaksud untuk menjembatani kesenjangan pengetahuan tersebut dengan mengimplementasikan solusi menggunakan Istio (Anthos Service Mesh), mesh layanan yang paling banyak digunakan untuk aplikasi Kubernetes, serta solusi cloud native di Google Cloud Platform menggunakan MultiClusterService. Studi ini menemukan bahwa kedua pendekatan tersebut dapat diandalkan, namun, Istio/ASM memiliki latensi yang sedikit lebih rendah untuk sebagian besar request. Kedua pendekatan tersebut merupakan pilihan baik untuk aplikasi global, karena keduanya menggunakan geo-aware load balancing, yang merutekan permintaan pengguna ke klaster terdekat yang tersedia. Basis kode studi dan hasil pengujian ini tersedia secara open-sourced untuk studi lebih lanjut tentang aplikasi berbasis geo-distributed Kubernetes clusters.

With the need of providing services to ever-growing worldwide users, web application services must adapt new technologies in order to fulfill these needs. As setting up physical servers across the globe is a daunting task, cloud service providers are an essential tool to reach geographical coverage for worldwide web services. Further advancements on the developer experience of deploying web applications can be seen in tools such as Kubernetes, a widely adopted tool that’s supported in most cloud platforms that enables the implementation of geo-distributed clusters for applications with a multi-national user base. However, there is a scarcity of studies regarding geo-distributed clusters methods and its performance. Therefore, this study intends to bridge that knowledge gap by implementing a solution using Istio (Anthos Service Mesh), the most used service mesh for kubernetes applications as well as a cloud native solution on Google Cloud Platform using MultiClusterService. This study found that both approaches are reliable, however, Istio / ASM has a slightly lower latency for the vast majority of requests. In addition, both approaches are a viable choice for worldwide applications, as they both use geo- aware load balancing, which routes user requests to the nearest available cluster. This study’s scripts and test results are open-sourced for further studies about geo-distributed Kubernetes- based applications. "
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vebby Aprilyan Alhadi
"Wireless Mesh Network merupakan teknologi jaringan wireless yang dipercaya dapat meningkatkan peranan penting dalam wireless mobile network dimasa yang akan datang. Teknologi ini memiliki kemampuan mengkonfigurasi dan mengorganisasi dirinya sendiri, sehingga mampu membuat dan menjaga konektivitasnya serta memiliki jangkauan luas karena menggunakan system multihop. Dalam penulisan skripsi ini akan dibangun testsbed wireless mesh network tipe hybrid menggunakan perangkat mesh client dan mesh router dengan routing protocol AODV-UU dan UoBWinAODV. Mesh router dimodifikasi dengan menggunakan firmware opensource OpenWrt. Testbed tersebut digunakan untuk menguji performansi self configure, self healing serta parameter-parameter seperti throughput, latency dan jitter melalui beberapa skenario pengujian tertentu.

Wireless Mesh Network is a wireless network technology that trusted can increase important role in the future of wireless mobile network. Its has an ability in self configured and self organized, so that can make and maintain the connectivity and also has a large range because its used a multihop system. In this final project will be built a hybrid wireless mesh network testbed using a mesh client and mesh router device with AODV-UU and UoBWinAODV routing protocol. The mesh router device is modified using opensource firmware OpenWrt. The testbed will be used to test a self configure, self healing and also a network parameters such as throughput, latency and jitter performance through some of testing skenario."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S51030
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Azmi Muntaqo
"Potensi energi biomassa cukup besar di Indonesia karena sebagian besar wilayahnya terdiri dari hutan dan pesisir pantai. Salah satu pemanfaatan energi biomassa saat ini yang cukup popular yaitu Fluidized Bed Combustor, Alat pengkonversi energi biomassa menjadi energi panas yang dapat dimanfaatkan lagi. Biomassa yang digunakan berupa tempurung kelapa dengan ukuran 1x1 cm dan 1.5 x1.5 cm. Fluidized Bed Combustor bekerja memanfaatkan hamparan pasir yang difluidisasikan menggunakan udara bertekanan. Temperatur kerja rata- rata. Fluidized Bed Combustor berada pada 600-900°C. Hamparan pasir yang digunakan ialah pasir silika dengan ukuran mesh 20-40 􀟤m. Pasir memiliki peranan penting dalam pengoperasian Fluidized Bed Combustor. Maka dilakukan pengujian terhadap hamparan pasir mesh 20-40 􀟤m. Dengan pembanding menggunakan hamparan pasir mesh 20-30 􀟤m, hasilnya hamparan pasir mesh 20-40 􀟤m lebih baik dari mesh 20-30 􀟤m karena, hasil fluidaisasinya lebih stabil dengan rata-rata temperatur T2 738 ℃ - 863 ℃ . dan temperature pada free board area T4 mencapai 823.3709℃"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S43621
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>