Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agneta Yavelin
"Merek fesyen mewah memiliki prestise yang signifikan dalam sektor industri premium, menarik konsumen dengan kombinasi eksklusif antara kualitas, keahlian, dan ekspresi artistik. Merek-merek ini tidak hanya menyediakan produk kelas atas yang dibuat dari bahan terbaik, tetapi juga mengabadikan warisan mereka melalui desain sempurna dan daya tarik yang bertahan lama. Sebagai simbol status dan perwujudan dari gaya hidup tertentu, merek fesyen mewah secara konsisten memikat konsumen dengan kreasi visual yang menakjubkan, narasi pemasaran yang memikat, dan identitas merek yang kuat. Selain itu, investasi signifikan dalam praktik berkelanjutan dan inisiatif tanggung jawab sosial perusahaan membentuk kembali masa depan fesyen mewah, membuktikan bahwa merek-merek yang dihargai ini dapat beradaptasi dan berkembang di dunia yang terus berubah sambil tetap mempertahankan esensi kesenangan dan eksklusivitas mereka. Namun demikian, meskipun inflasi tinggi, ketidakpastian lapangan kerja, dan resesi yang membayangi, konsumen kaya masih membeli merek-merek mewah yang mahal ini. Studi ini mengeksplorasi dampak antara kebutuhan psikologis dan konsumsi barang mewah. Menggunakan Teori Kelas Kenyamanan Veblen (1899)-- menggunakan istilah "konsumsi yang mencolok" untuk menggambarkan barang dan jasa yang mahal, di mana Veblen menjelaskan tujuan konsumsi yang mencolok adalah untuk menunjukkan kekayaan dan posisi sosial, juga terintegrasi dengan kertas oleh Han, Nunes and Dreze (2010)--berisi penjelasan tentang The Luxury 4Ps, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kebutuhan psikologis induktif dan deduktif dari konsumsi barang mewah dan membuktikan bahwa tujuan dari konsumsi barang mewah adalah untuk menampilkan kekayaan dan status sosial.
Luxury fashion brands hold significant prestige within the premium sector of the industry, appealing to consumers with an exclusive combination of quality, craftsmanship, and artistic expression. These brands not only provide high-end products crafted from the finest materials but also perpetuate their legacy through impeccable design and enduring desirability. As status symbols and embodiments of a particular lifestyle, luxury fashion brands consistently captivate consumers with visually stunning creations, captivating marketing narratives, and powerful brand identities. Moreover, significant investments in sustainable practices and corporate social responsibility initiatives are reshaping the future of luxury fashion, proving that these cherished brands can adapt and thrive in a changing world while retaining their essence of indulgence and exclusivity. Nevertheless, despite high inflation, employment uncertainty, and looming recession, fake affluent consumers are still buying these pricey luxury brands. This study explores the impact between psychological needs and luxury consumption. Using Veblen's Theory of Convenience Classes (1899)-- using the term "conspicuous consumption" to describe expensive goods and services, in which Veblen explained the purpose of conspicuous consumption was to demonstrate wealth and social position, also integrated with the paper by Han, Nunes and Dreze (2010)--contains an explanation of The Luxury 4Ps, this study aims to explain the inductive and deductive psychological needs of luxury consumption and proves that the purpose of luxury consumption was to display wealth and social status."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Tazkia Azzahra
"

Dalam beberapa tahun terakhir, pasar barang mewah secara konsisten menunjukkan pertumbuhan yang signifikan di seluruh dunia. Makalah ini mengusulkan sebuah analisis tentang bagaimana budaya mempengaruhi konsumsi barang mewah, khususnya antara dua budaya yang berbeda: Indonesia dan Belanda. Penelitian ini berfokus pada pengaruh self-construal (interdependent vs independent) terhadap konsumsi barang mewah saat pembelian dilakukan secara online vs offline. Pertama, efek utama menunjukkan perbedaan antara konstruksi diri yang saling bergantung vs. konstruksi diri yang independen, khususnya tentang perbedaan konsumsi barang mewah untuk kedua budaya. Kedua, efek moderasi dari pembelian online vs. offline juga dimasukkan untuk menganalisis apakah ini membuktikan lebih jauh perbedaan antara konsep diri yang saling tergantung dan mandiri saat membeli barang mewah. Berdasarkan penelitian sebelumnya, diharapkan bahwa self-construal yang saling bergantung memiliki konsumsi barang mewah yang lebih tinggi, terutama ketika pembelian dilakukan secara offline, sedangkan yang diharapkan untuk independent self-construal adalah kebalikannya. Penelitian ini mengadopsi desain antar subjek 2x2 dengan mengumpulkan sampel sebanyak 170 partisipan dari Indonesia dan Belanda. ANCOVA satu arah, ANCOVA dua arah, serta ANOVA dua arah dilakukan untuk menganalisis data. Penelitian ini tidak dapat mengkonfirmasi hipotesis, namun tetap memberikan implikasi teoritis dan manajerial untuk pasar barang mewah. Terakhir, keterbatasan dan rekomendasi untuk penelitian masa depan juga disediakan.


In the past years, the luxury goods market has consistently shown significant growth all over the world. This paper proposes an analysis of how culture affects luxury consumption, more specifically between two different cultures: Indonesia and the Netherlands. This study focuses on the effect of self-construal (interdependent vs. independent) on luxury consumption when purchase is done online vs. offline. Firstly, the main effect showed distinction between interdependent self-construal vs. independent self-construal, specifically on how luxury consumption differs for both cultures. Secondly, the moderating effect of online vs. offline purchase was also incorporated to analyze whether this further proves the distinction between interdependent and independent self-construal when purchasing luxury goods. Based on prior research, it was expected that interdependent self-construal has higher luxury consumption, especially when purchase is done offline, while the opposite was expected for independent self-construal. This research adopts a 2x2 between-subjects design by collecting samples of 170 participants from Indonesia and the Netherlands. A one-way ANCOVA, two-way ANCOVA, as well as two-way ANOVA were performed to analyze the data. This research was not able to confirm the hypotheses, however it still provides theoretical and managerial implications for the luxury market. Lastly, limitations and recommendations for future research are also provided.

"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harris Rizki Ananda
"Nilai pasar barang mewah baik di level global maupun nasional terus meningkat dari tahun ke tahun. Pertumbuhan penjualan pasar barang mewah Indonesia saat ini menyentuh angka 6,6% per tahun. Sektor penjualan terbesar dalam pasar tersebut merupakan sektor fashion, dengan nilai sebesar lebih dari USD 700 juta per tahun. Beberapa kota besar di Asia, salah satunya Jakarta, mengalami pergeseran kelompok usia pembeli barang mewah ke yang lebih muda dimana kalangan Generasi Z menjadi kalangan yang sangat memedulikan fashion saat ini. Mengingat Indonesia merupakan negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, keadaan pasar barang mewah tersebut bertolak belakang dengan nilai Islam yang mengajarkan hidup sederhana dan tidak materialistis. Dengan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor yang memengaruhi intensi konsumen Generasi Z muslim untuk membeli produk fashion mewah. Metode purposive sampling pada penelitian ini melibatkan 240 responden yang pernah membeli produk fashion mewah pada kategori masstige dua tahun terakhir. Dengan mengadopsi model Theory of Reasoned Action dan pendekatan kuantitatif melalui metode Structural Equation Modelling, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa attitude towards behavior, subjective norms, self-esteem, dan materialism memiliki pengaruh positif signifikan terhadap intensi konsumsi fashion mewah, sementara pengaruh religiosity ditemukan tidak signifikan. Religiosity memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap attitude towards behavior dan subjective norms.

The market value of luxury goods both at the global and national levels continues to increase from year to year. Sales growth of the Indonesian luxury goods market is currently at 6.6% per year. The largest sales sector in the market is the fashion sector, with a value of more than USD 700 million per year. Several big cities in Asia, one of which is Jakarta, is experiencing a shift in the age group of luxury goods buyers to a younger one, where Generation Z is the one who really cares about fashion today. Considering that Indonesia is a country with the largest Muslim population in the world, the state of the luxury goods market is contrary to Islamic values ​​which teach a simple and not materialistic life. With this background, this study aims to analyze the factors that influence the intention of Muslim Generation Z consumers to buy luxury fashion products. The purposive sampling method in this study involved 240 respondents who had bought luxury fashion products in the masstige category in the last two years. By adopting the Theory of Reasoned Action model and a quantitative approach through the Structural Equation Modeling method, the results of this study indicate that attitude towards behavior, subjective norms, self-esteem, and materialism have a significant positive effect on the intention to consume luxury fashion, while the effect of religiosity is found to be insignificant. Religiosity has a significant negative effect on attitude towards behavior and subjective norms. "
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library