Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zainuddin Ali
"Sepanjang abad ke-19 M, dianut pendapat bahwa di Indonesia berlaku hukum Islam . Namun pada awal abad ke-20, Cristian Snouck Hurgronje menyerang pendapat yang sudah mapan itu, dan dikemukakannya dalil bahwa yang berlaku untuk ummat Islam di Indonesia, bukanlah hukum Islam, melainkan hukum adat. Di dalam hukum adat itu telah masuk pengaruh dan unsur-unsur hukum Islam, namun pengaruh dan unsur-unsur itu bukanlah hukum Islam lagi, melainkan hal itu telah menjadi hukum adat. Pendapat ini disambut oleh kalangan penguasa Belanda yang menjalankan.politik devide et impera, politik adu domba untuk mengukuhkan kekuasaanya. Yang diadu adalah hukum Islam dan hukum adat, dengan perumpamaan seperti membelah bambu, satu diinjak dan satu lagi diangkat.
Pendapat Cristian Snouck Hurgronye itu, kemudian dikukuhkan dalam Pasal 134 ayat (1) Indische Staatsregeling 1929, dikembangkanlah secara sistematis berbagai teori tentang hukum adat yang dihadapkan kepada hukum Islam oleh tokoh-tokoh hukum adat seperti van Vollenhoven, Betrand ter Haar, dan pengikut-pengikutnya. Mulailah, pada bagian pertama abad ke-20 ini, hukum Islam disingkirkan secara teratur dari kehidupan hukum positif di nusantara ini. Upaya ini mencapai puncaknya pada tahun 1937, dengan dicabutnya wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura serta Kalimantan Selatan dan Timur untuk mengadili sengketa kewarisan menurut hukum Islam.
Politik hukum kolonial Belanda di atas, selain menimbulkan keresahan para penghulu, pemimpin-pemimpin Islam, is juga mengakibatkan penulis-penulis Barat/Belanda menampakkan pertentangan antara hukum Islam dengan hukum adat di Indonesia, terutama soal waris di Minangkabau, yang digambarkan sebagai dua unsur yang bertentangan. Menurut mereka konflik hukum kewarisan adat dengan hukum kewarisan Islam tidak mungkin disesuaikan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
D29
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Brunei: Syabas, 1994
R 959.55 GOL
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Stone, Christopher D.
New York: Harper & Row , 1975
346.730 66 STO w
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
JAC 19:1 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
London: Sage, 2013
306.335 REP
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dyer, Justin Buckley
"For the past forty years, prominent pro-life activists, judges and politicians have invoked the history and legacy of American slavery to elucidate aspects of contemporary abortion politics. As is often the case, many of these popular analogies have been imprecise, underdeveloped and historically simplistic. In Slavery, Abortion, and the Politics of Constitutional Meaning, Justin Buckley Dyer provides the first book-length scholarly treatment of the parallels between slavery and abortion in American constitutional development. In this fascinating and wide-ranging study, Dyer demonstrates that slavery and abortion really are historically, philosophically and legally intertwined in America. The nexus, however, is subtler and more nuanced than is often suggested, and the parallels involve deep principles of constitutionalism."
United States: Cambridge University Press, 2013
e20528306
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Yenny Widjaja
"Hukum Pewarisan menurut Kitab Undang-undang Perdata menentukan bahwa yang berhak menjadi ahli waris adalah keluarga sedarah, baik yang sah menurut Undang-undang maupun yang di luar perkawinan serta suami atau istri yang hidup terlama. Jika suami meninggal, istri mendapat bagian sebesar setengah harta campur ditambah bagian warisannya menurut Undang-undang. Namun kedudukan istri dalam perkawinan kedua tidak sama dengan kedudukan istri dalam perkawinan pertama, dalam hal ada anak dari perkawinan pewaris yang pertama. Bagian istri dalam perkawinan kedua dibatasi oleh Undang-undang dengan tujuan untuk melindungi kepentingan anak-anak dari perkawinan pertama. Manfaat istri dalam perkawinan kedua dibatasi sebesar bagian terkecil seorang anak perkawinan pertama dengan maksimum seperempat harta peninggalan baik berasal dari harta campur, warisan menurut Undang-undang maupun dari wasiat.
Ada dua pendapat mengenai cara perhitungan manfaat yang didapat istri dalam perkawinan kedua. Pendapat pertama menyatakan bahwa harta campur tidak dibagi dua melainkan semuanya menjadi harta peninggalan pewaris. Istri dalam perkawinan kedua mendapat satu kali saja harta campur atau warisan atau wasiat. Pendapat kedua menyatakan bahwa istri dalam perkawinan kedua mendapat setengah harta campur ditambah warisan menurut Undang-undang seperti halnya istri dalam perkawinan pertama, yang kemudian dikurangi kelebihan manfaatnya.
Penulis lebih setuju dengan pendapat kedua karena lebih mendukung rasa keadilan bagi istri dalam perkawinan kedua dan pendapat ini juga tidak merugikan anak-anak dari perkawinan pertama. Istri dalam perkawinan kedua juga dibatasi manfaatnya dari wasiat. Suatu ketetapan wasiat untuk istri dalam perkawinan kedua tidak mempengaruhi besarnya bagian warisannya karena selalu dibatasi dengan maksimum sebesar bagian ab intestatonya. Penulisan ini menggunakan penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14511
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Endang Sulistyorini
"Pada praktiknya, peralihan hak atas tanah yang dilakukan dihadapan PPAT dituangkan ke dalam blanko akta yang siap diisi oleh PPAT, di mana akta tersebut formatnya sudah baku. Pada kenyataan di lapangan didapati adanya sengketa Tanah Hibah yang ditimbulkan karena ketiadaan perlindungan bagi para pihak terutama Pihak Pemberi Hibah oleh karena itu diperlukan suatu akta yang menyertai Akta Hibah Tanah guna mencegah atau meminimalisir timbulnya sengketa antara pihak pemberi hibah dengan pihak penerima hibah yaitu Akta Kesepakatan Bersama yang dibuat di hadapan Notaris. Pokok permasalahan yang diangkat pada penelitian ini yaitu berkaitan dengan pemenuhan syarat otentisitas dari Akta Hibah Pejabat Pembuat Akta Tanah yang disertai Akta Kesepakatan Bersama sebagai kekuatan pembuktian yang sempurna dan permasalahan yang berkaitan dengan kedudukan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang merangkap jabatan sebagai Notaris selaku pejabat umum sebagaimana diatur pada peraturan perundang-undangan dalam pembuatan Akta Kesepakatan Bersama yang menyertai Akta Hibah Tanah. Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian kepustakaan yang bersifat normative dengan Tipe penelitian evaluatif dari segi tujuannya. Penelitian ini mempergunakan Data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Otentisitas dari akta yang dipergunakan dalam penghibahan atas tanah dalam hal ini dengan menggunakan blanko Akta Hibah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang disertai dengan akta kesepakatan bersama yang dibuat secara notariil sebagai wadah untuk menampung kesepakatan-kesepakatan tertentu antara pemberi hibah dengan penerima hibah dengan dikaitkan pada Pasal 1868 KUHPerdata tentang syarat suatu akta dianggap sebagai akta otentik (bentuknya ditentukan oleh undang-undang dan dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berwenang) hanya dapat dipenuhi oleh Akta Kesepakatan Bersama yang menyertai Akta Hibah Atas Tanah itu sendiri ( bentuknya dibuat berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2005 tentang Jabatan Notaris) sedangkan Akta Hibah Tanah/PPAT belum memenuhi keotentikan akta berdasarkan Pasal yang dimaksud karena Akta Hibah Tanah/PPAT bentuknya hanya ditentukan berdasarkan PMNA/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1997 atau bukan berupa Undang-Undang walaupun dalam pembuatan Akta Hibah Tanah/PPAT ini dibuat dihadapan PPAT sebagai pegawai umum. Namun apabila ditinjau dari fungsi akta sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum dan sebagai alat pembuktian, keduanya dapat memenuhi ketentuan tersebut. Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan adalah bahwa kedudukan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang merangkap jabatan sebagai Notaris selaku pejabat umum sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) PP Nomor 37 tahun 1998 jo. Pasal 17 butir g Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dalam pembuatan Akta Kesepakatan Bersama yang menyertai Akta Hibah Tanah adalah harus sebagai Notaris yang wilayah kerjanya sama dengan wilayah kerja Notaris tersebut sebagai PPAT di mana hal in! dapat ditentukan berdasarkan letak objek tanah yang dihibahkan tersebut. Pada kasus ini, letak objek tanah yang dihibahkan ada di wilayah Jakarta Barat sehingga yang menangani adalah PPAT yang merangkap sebagai Notaris dengan wilayah kerja Jakarta Barat. Sementara itu Perumusan pasal-pasal yang dikehendaki antara pihak pemberi hibah dan penerima hibah atas tanah dalam Akta Kesepakatan Bersama yang menyertai Akta Hibah Tanah/PPAT haruslah tidak saling bertentangan prinsip-prinsip hukumnya dengan mengacu pada Pasal 16 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 yang menyebutkan bahwa dalam menjalankan jabatannya seorang notaris wajib untuk bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum dalam hal ini yaitu mencegah serta meminimalisir kemungkinan terjadinya sengketa di kemudian hari antara pihak pemberi hibah dengan pihak penerima hibah atas tanah."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16342
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>