Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 25 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adisam Z. N.
"ABSTRAK
Dalam rangka mengukur kandungan vitamin B1, B2 dan B9 secara simultan dalam tepung terigu yang difortifikasi telah dikembangkan metoda yang cepat, selektif, akurat menggunakan kromatografi cair tandem triple quadrupole spektrometri massa (LC-MS/MS). Analisis dilakukan menggunakan tehnik ionisasi elektrospray (ESI) positive mode dan detektor MS-MS menggunakan multi reaction monitoring (MRM) mode. Ion prekursor dan ion produk pada m/z 265 → 144 untuk vitamin B1, 377 → 243 untuk vitamin B2, dan 442 → 295 untuk vitamin B9 digunakan untuk identifikasi dan karakterisasi.
Kinerja metoda yang dievaluasi adalah selektifitas, linearitas, rentang, akurasi, limit deteksi, limit kuantitasi. Hasil analisis statistik menunjukkan selektifitas yang baik, koefisien korelasi (r2) untuk vitamin B1, B2, B9 adalah 0.9986, 0.9999, 0.9988 dengan rentang konsentrasi 0,1 ? 200 ppb, limit deteksi (LOD) 3,10 (B1), 4,60 (B2), 7,0 (B9), μg/L, limit kuantitasi (LOQ) 10,0 (B1), 15,0 (B2), 23,0 (B9), μg/L dan akurasi 90,89 % (B1), 78,11 % (B2), 64,01 % (B9).

Abstract
In order to monitor the fortification level of vitamins B1, B2 dan B9 in wheat flours simoultansly, developed a selective, fast and accurate methods using the liquid Chromatography with tandem triple quadrupole mass spectrometry (LC-MS/MS) technique. The analysis was performed using electrospray ionization (ESI) tehnique with positive mode and the instrument was set in MRM (Multiple Reaction Monitoring) . Ion precursor and product was identified and characterized at m/z 265 → 144 for vitamin B1, 377 → 243 for vitamin B2, dan 442 → 295 for vitamin B9.
The methods performance was evaluated in regard to selectivity, linearity, range, accuracy, limit of detection, limit of quantitation. The statistical analysis of the result showed good selectivity, correlation coefficient (r2) 0.9986, 0.9999, 0.9988 vitamins B1, B2, B9 respectively, with the concentration range 0,1 ? 200 μg/L, limit of detection (LOD) 3,10 (B1), 4,60 (B2), 7,0 (B9), μg/L, limit of quantitaion (LOQ) 10,0 (B1), 15,0 (B2), 23,0 (B9), μg/L and accuracy 90,89 % (B1), 78,11 % (B2), 64,01 % (B9).
"
2012
T31773
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Regina Puspa Utami Satyana
"

Pendahuluan. Kurkumin merupakan senyawa alami yang ditemukan pada akar tumbuhan Curcuma longa. Kurkumin memiliki sifat penyembuhan yang sangat baik, diantaranya termasuk anti-inflamasi, anti-bakteri, dan antioksidan. Telah dijelaskan pula pada beberapa studi bahwa kurkumin memiliki sifat renoprotective yang dapat membantu memperbaiki penyakit gagal ginjal kronik (CKD). Meskipun kurkumin memiliki banyak manfaat kesehatan untuk ginjal, jumlah kurkumin yang dapat mencapai jaringan ginjal sangatlah sedikit. Hal ini dikarenakan bioavailabilitas oral kurkumin hanya mencapai 1% yang disebabkan oleh buruknya absorpsi kurkumin pada saluran pencernaan. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan konsentrasi kurkumin pada organ/jaringan ginjal dengan cara memperkecil ukuran partikel kurkumin menjadi nanocurcumin.

Metode. Penelitian ini menggunakan sediaan nanokurkumin yang dibuat dengan teknik ball milling. Dosis tunggal kurkumin atau nanokurkumin sebanyak 500 mg/kg diberikan secara oral kepada tikus Sprague-Dawley betina. Tikus didekapitasi pada menit ke-180 dan -240 setelah pemberian kurkumin atau nanokurkumin untuk pengambilan organ ginjal yang nantinya setiap 100 mg jaringan ginjal akan dihomogenisasi dengan larutan Normal Saline 0.9% sebanyak 1 ml. Homogenat jaringan ginjal akan dianalisa menggunakan UPLC-MS/MS dengan sumber ionisasi electrospray (ESI) positif.

Hasil. Konsentrasi kurkumin cenderung lebih tinggi dibandingkan konsentrasi nanokurkumin pada jaringan ginjal tikus setelah pemberian dosis tunggal kurkumin/nanokurkumin sebanyak 500 mg/kg pada jam ke-3 dan ke-4.

Kesimpulan. Kurkumin cenderung untuk memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan konsentrasi sediaan nanokurkumin pada jaringan ginjal tikus.


Introduction. Curcumin is a naturally occurring compound found in Curcuma longa roots. It possesses great healing properties which mainly include anti-inflammatory, anti-bacterial, and anti-oxidative. It has also been described that curcumin has renoprotective effects and is proven to be able to ameliorate chronic kidney diseases (CKD). Despite having numerous health benefits for the kidney, the number of curcumin that can reach the kidney is very little, in respect to its low oral bioavailability which is only 1% due to poor absorption from the gastrointestinal tract. This study aims to enhance curcumin concentration in the kidney by decreasing curcumin particle size into nanocurcumin. 

Methods. This study uses nanoparticle curcumin that is produced by using ball milling technique. A single dosage of 500 mg/kg curcumin or nanocurcumin was given orally to female Sprague-Dawley rats. Rats were decapitated at minute-180 and 240 after curcumin or nanocurcumin administration for kidney collection, which then homogenized with a ratio of 100 mg kidney tissue per 1 mL normal saline 0.9%. Kidney tissue homogenates were analyzed using UPLC-MS/MS with positive electrospray ionization (ESI).

Results. Curcumin concentration in rats kidney tissue tended to be slightly higher than nanoparticle curcumin after a single dose of 500 mg/kg curcumin or nanocurcumin at both 3 and 4 hours.

Conclusion. Curcumin has the propensity to have a higher concentration than nanocurcumin in rats kidney tissue.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Waworuntu, Bernardino Matthew
"Latar Belakang: Kurkumin ((1E,6E)-1,7-bis(4-hydroxy-3-methoxyphenyl)hepta- 1,6-diene-3,5-dione) adalah sebuah zat dengan efek renoprotektif. Ketika digunakan dengan cisplatin, kedua zat ini bekerja secara sinergis dengan mengurangi efek nefrotoksik dari cisplatin. Namun, kurkumin memiliki kelarutan yang rendah, metabolism yang cepat, dan farmakokinetik yang buruk. Penggunaan nanopartikel kurkumin (nanokurkumin) dapat meningkatkan ambilan obat sehingga dapat meningkatkan kedayagunaanya dalam situasi klinik. Tujuan peneliatian ini adalah untuk mengevaluasi kadar kurkumin dan nanokurkumin di jaringan ginjal tikus.
Metode: Penelitian ini adalah studi eksperimental pada tikus yang diberikan cisplatin dan kurkumin 100 mg/kgbb (Cur100) atau cisplatin dan nanokurkumin 100 mg/kgbb (Nanocur100) atau cisplatin dan nanokurkumin 50mg/kgbb (Nanocur50). Masing-masing kelompok terdiri dari 4 ekor tikus. Kurkumin dan nanokurkumin diberikan selama 7 hari. Sampling dilakukan 24 jam setelah pemberian dosis kurkumin atau nanokurkumin terakhir. Konsentrasi kurkumin dan nanokurkumin dianalisa menggunakan UPLC/MS-MS.
Hasil: Data terkumpul disajikan dalam mean ± SEM. Rata-rata konsentrasi dari kurkumin pada grup Cur100 adalah 14.773 (CI: 8.904 – 20.642) pg/mg. Rata-rata konsentrasi dari nanokurkumin pada grup Nanocur100 adalah 11.631 (CI: 0.000 – 25.009) pg/mg. Rata-rata konsentrasi dari nanokurkumin pada grup Nanocur50 adalah 12.548 (CI: 0.563 – 24.534) pg/mg. Hasil dari tes one-way ANOVA adalah 0.805 (p>0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ditemukan signifikansi pada ketiga kelompok.
Kesimpulan: Kurkumin dalam bentuk nanopartikel (nanokurkumin) yang diberikan bersama cisplatin tidak menghasilkan kadar dalam jaringan yang berbeda dibandingkan kurkumin konvensional.

Background: Curcumin ((1E,6E)-1,7-bis(4-hydroxy-3-methoxyphenyl)hepta-1,6- diene-3,5-dione) is a substance with renoprotective effect. When used together with cisplatin, it works synergistically by reducing the nephrotoxic effects of cisplatin. However, it has low solubility, rapid metabolism, and poor pharmacokinetics. Usage of curcumin nanoparticle (nanocurcumin) should increase the uptake of the drug thus improving its viability for clinical use. The aim of our study is to evaluate the concentration of curcumin and nanocurcumin in rat kidney tissue.
Methods: This research is an experimental study on rats that were given cisplatin and curcumin 100 mg/kgbw (Cur100) or cisplatin and nanocurcumin 100 mg/kgbw (Nanocur100) or cisplatin and nanocurcumin 50 mg/kgbw (Nanocur50). Each group consists of 4 rats. Curcumin and nanocurcumin were given for 7 days. Sampling were done 24 hours after the last dose of curcumin or nanocurcumin. Concentration of curcumin and nanocurcumin were analyzed using UPLC/MS-MS detection.
Result: Collected data was expressed in mean ± SEM. Mean concentration of curcumin in the first group (Cur100) was 14.773 (CI: 8.904 – 20.642) pg/mg. Mean concentration of nanocurcumin in the second group (Nanocur100) was 11.631 (CI: 0.000 – 25.009) pg/mg. Mean concentration of nanocurcumin in the third group (Nanocur50) was 12.548 (CI: 0.563 – 24.534) pg/mg. The result of one-way ANOVA test was 0.805 (p>0.05) thus concluded that there is no significance difference between the three groups.
Conclusion: Concentration of curcumin in nanoparticle form (nanocurcumin) that were given with cisplatin did not show distinguishable difference in kidney tissue in comparison to conventional curcumin.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Fathoni
"ABSTRAK
Cengkeh merupakan tanaman asli Indonesia yang digunakan secara luas karena flavor yang dimilikinya. Flavor merupakan rasa khas dari suatu material yang merupakan gabungan dari aroma, rasa taste dan trigeminal. Aroma berasal dari senyawa volatile yang dapat diperoleh dalam minyak atsiri hasil distilasi. Sisa distilasi residu mengandung senyawa non volatil yang juga memiliki peran dalam munculnya flavor, namun selama ini kurang mendapat perhatian. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi senyawa non volatil hasil metabolisme sekunder dalam cengkeh asal Manado. Ekstraksi dan fraksinasi senyawa menggunakan metode distilasi uap, maserasi, dan kolom kromatografi gravitasi KKG . Identifikasi senyawa dilakukan dengan instrumen LC-MS/MS, Spektrofotometri UV ndash;Vis, dan Spektroskopi FTIR. Sebanyak 17 senyawa non volatil yang dapat teridentifikasi adalah asam kuinat kelompok senyawa asam fenolik ; kelompok senyawa chromone isobiflorin dan biflorin ; kelompok senyawa tanin monogaloilglukosa, asam galat, digaloilglukosa, eugeniin, dan asam elagat ; dan kelompok senyawa flavonoid luteolin, kuersetin, naringenin, kaempferol, isorhamnetin, dimetoksiluteolin, rhamnetin, dan chrysoeriol ; serta dua senyawa yang teridentifikasi sebagai asam hidroksigalat dan turunan asam galat. Berdasarkan literatur, senyawa golongan asam fenolik dan flavonoid akan menyumbangkan rasa pahit; senyawa golongan tanin akan menyumbangkan rasa pahit dan sensasi astringen; dan senyawa chromone akan menyumbangkan rasa pahit serta aroma manis saat dipanaskan.

ABSTRACT
Clove is a plant native to Indonesia which is widely used because of its flavor. Flavor is attribute of material being perceived, a combination of aroma, taste, and trigeminal. Aroma come from volatile compounds in the essential oil which is produced by distillation. The residue of distillation contain nonvolatile compounds that have contribution to flavor, but not well explored. The research objective was identifying nonvolatile compounds in clove from Manado. Compounds extraction and fractionation was conducted by steam distillation, maceration, and gravity column chromatography. Compounds identification was by using LC MS MS, spectrophotometry UV Vis, and spectroscopy FTIR. There was 17 nonvolatile compounds had been identified, i.e. quinic acid phenolic acid compound chromone compounds isobiflorin, biflorin tannin compounds monogalloylglucose, gallic acid, digalloylglucose, eugeniin, and ellagic acid flavonoid compounds luteolin, quercetin, naringenin, kaempferol, isorhamnetin, dimetoxyluteolin, rhamnetin, dan chrysoeriol and two compounds were identified as hydroxygallic acid and gallic acid derivatives. Based on references, phenolic acid and flavonoid compounds contribute to bitter taste, tannin compounds contribute to bitter taste and astringent, and chromone compounds contribute to bitter taste and sweet odor when heated."
2017
T46901
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dona Fitria
"Sildenafil dan analognya terdeteksi sebagai adulterants dalam obat tradisional palsu dan suplemen kesehatan yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Keterbatasan baku pembanding menjadi kendala untuk mengidentifikasi analog sildenafil. Dalam penelitian ini, tiga analog sildenafil yaitu asetildenafil, hidroksi asetildenafil dan dimetilasetildenafil disintesis dari imidazosagatriazinone. Sildenafil analog disintesis melalui reaksi asilasi Friedel Craft dengan 1,2-dikloroetana sebagai pelarut dan AlCl3 sebagai katalis dengan rasio terhadap substrat 4:1 , diikuti dengan menambahkan kelebihan amina yang sesuai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asetildenafil, hidroksiasetildenafil dan dimetilasetildenafil berhasil disintesis dan memberikan hasil 40-70 dan kemurnian 80-90 . Aplikasi dalam uji sampel LC/MS-MS dilakukan dengan menggunakan kondisi optimum yaitu kolom Cortecs C18 4,6x50 mm, ukuran partikel 2,7 ?m , fase gerak 0,1 asam format dalam air dan 0,1 asam format dalam asetonitril dengan sistem gradien, laju alir 0,6 mL/menit dan waktu analisis 10 menit menggunakan 9 data MRM. Ketiga analog sildenafil yang disintesis dapat digunakan sebagai baku pembanding untuk mengidentifikasi analog sildenafil dalam produk obat tradisional dan suplemen kesehatan dengan menggunakan metode LC-MS/MS.

Sildenafil and it rsquo s analogs are detected as adulterants in counterfeit traditional medicine and health supplement that can endanger human health. Lack of the reference standards is an obstacle to identify sildenafil analogs. In this study, three sildenafil analog i.e. acetildenafil, hydroxyacetildenafil and dimethylacetildenafil were synthesized from imidazosagatriazinone. Sildenafil analogs were synthesized by Friedel Craft acylation reaction with 1,2 dichloroethane as solvent and AlCl3 as catalyst with its ratio to the substrate 4 1 , followed by adding an excess of the appropriate amine. The results showed that acetildenafil, hydroxyacetildenafil and dimethylacetildenafil were successfully synthesized and gave 40 70 in yield and 80 90 in purity. The application in LC MS MS sample test was performed using optimum condition, Cortecs C18 column 4.6 x 50 mm, 2.7 m particle size , with 0.1 formic acid in water and 0.1 formic acid in acetonitrile as mobile phase with gradient program, flow rate of 0.6 mL min with analysis time 10 minute using 9 MRM data. In conclusion, the three synthesized sildenafil analogs can be used as reference standard for identification the sildenafil analogs in traditional medicine and health supplement rsquo s product using LC MS MS method."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T48707
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrea Devina
"Obat antiinflamasi didefinisikan sebagai golongan obat yang memiliki aktivitas menekan atau mengurangi peradangan, terutama obat antiinflamasi non steorid. Salah satu efek samping dari obat antiinflamasi non steroid adalah menyebabkan penyakit tukak lambung. Penyakit tukak lambung yang disebabkan oleh obat antiinflamasi dapat diobati dengan propolis. Di samping memiliki sifat anti tukak lambung, beberapa penelitian luar negeri mengatakan bahwa propolis memiliki efek antiinflamasi. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi sifat antiinflamasi propolis lokal, beserta molekul penandanya. Propolis yang digunakan dalam penelitian ini adalah propolis lebah tak bersengat dari daerah Sulawesi Selatan yaitu Tetragronula sp, dengan spesifikasi propolis padatan dan karang. Penelitian mengenai efek antiinflamasi dari propolis menggunakan metode in vivo dengan hewan uji tikus jantan sprague dawley. Metode ini menggunakan karagenan sebagai zat penginduksi inflamasi dan natrium diklofenak 135 mg/kg sebagai kontrol positif.
Dosis yang akan diberikan adalah 50 mg/kg, 100 mg/kg, dan 200 mg/kg untuk propolis padatan, serta 25 mg/kg, 50 mg/kg, dan 100 mg/kg untuk propolis karang. Data diolah dengan statistik ANOVA satu arah dan Kruskall Wallis, dengan program SPSS 23.0. Hasil dari pengukuran sampel dengan metode LC-MS didapatkan grafik kromatogram dan spektra massa yang datanya diolah menggunakan program MassLynx 4.1. Hasil penelitian menunjukkan propolis padatan dengan dosis 50 mg/kg memiliki daya antiinflamasi yang paling baik sebesar 61,81 , yang disusul dengan propolis karang dosis 25 mg/kg dengan daya antiinflamasi 58,12 . Dengan metode LC-MS/MS, berhasil diidentifikasi 7 senyawa yang memiliki potensi sebagai molekul penanda antiinflamasi pada propolis padatan dan karang. Senyawa [6]-dehidrogingerdion, alfa-tokoferol suksinat, adiperforin, 6-epiangustifolin ditemukan pada kedua propolis. Senyawa deoksipodofilotoksin dan kurarinon ditemukan pada propolis padatan, serta xantoxiletin ditemukan pada propolis karang.

Antiinflammatory drug are types of drug that have abilities to inhibit or reduced an inflammation, especially Non Steroidal Antiinflammatory Drugs NSAID . One of side effect of using the non steroid type is causing ulcerogenic disease. Ulcerogenic disease that caused by the antiinflammatory drug can be cured by propolis. Beside having an ability to cure ulcerogenic disease, propolis have the ability to cure an inflammation according to some international studies. The research main purpose are to identify antiinflammatory properties of Indonesian propolis and also the biomarkers. The propolis that used in this research were the one from stingless bee that can be found in South Sulawesi, Indonesia, which was Tetragronula sp and 2 types of propolis that used were smooth and rough propolis. The method that used to identify propolis anti inflammatory properties was in vivo method with sprague dawley white rat as the tested animal. In this method, inflammation was induced by carrageenan and 135 mg kg diclofenac sodium was used as positive control.
Dose of propolis that used in this research were 50 mg kg, 100 mg kg, 200 mg kg for smooth propolis and 25 mg kg, 50 mg kg, 100 mg kg for rough propolis. The measurement data was analyzed with One Way ANOVA and Kruskall Wallis statistical test in SPSS 23.0. After that, to identified antiinflammatory molecule marker in Propolis, LC MS MS method was used. From LC MS MS, chromatogram graph and mass spectra of the compounds would be gotten. The result of this method was analyzed by MassLynx 4.1. program. The result from this research indicated smooth propolis with dose 50 mg kg had the the best inflammatory inhibition and the value was 61,81 . In addition, rough propolis with dose 25 mg kg was the best dose after soft propolis with dose 50 mg kg and the value was 58,12 . Therefore, based on those result, both propolis had antiinflammatory effect. Moreover, if soft and rough propolis were compared in the same dose, soft propolis had more significant inflammatory inhibition than rough propolis. From LC MS MS result, 7 antiinflammatory compounds were identified as the potential antiinflammatory biomarker in propolis. 6 dehydrogingerdione, alpha tocopherol succinate, adhyperforin, and 6 epiangustifolin were identified in smooth and rough propolis. Deoxypodophyllotoxin and kurarinone were identified in smooth propolis. Meanwile xanthoxyletin was identified in rough propolis.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shania Rizki Ivany
"Amlodipin besilat, penghambat kanal kalsium golongan dihidropiridin, dan valsartan, penghambat reseptor angiotensin II merupakan obat antihipertensi. Kombinasi dosis tetap amlodipin dan valsartan dapat menurunkan tekanan darah lebih efektif dibandingkan dengan monoterapi. Amlodipin besilat dan valsartan memiliki konsentrasi yang kecil dalam darah sehingga perlu dikembangkan metode analisis yang selektif dan sensitif. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh metode yang optimum dan tervalidasi untuk menganalisis amlodipin besilat dan valsartan dalam plasma menggunakan kromatografi cair kinerja ultra tinggi-tandem spektrometri massa (KCKUT-SM/SM). Deteksi massa dilakukan dengan Waters Xevo TQD tipe Electriospray Ionization (ESI) positif pada mode Multiple Reaction Monitoring. Pemisahan sampel menggunakan ekstraksi cair-cair dengan amonium asetat dan etil asetat pengocokan dengan vorteks selama 2 menit pemutaran dengan sentrifugasi 4000 rpm selama 10 menit evaporasi dengan gas nitrogen suhu 50oC selama 10 menit serta direkonstitusi dengan 100 μL fase gerak. Amlodipin besilat, valsartan dan irbesartan dideteksi pada nilai m/z berturut-turut: 409,16 > 238,06; 436,22 > 291,15; dan 429,22 > 207,1. Kondisi analisis optimal diperoleh menggunakan kolom Waters AcquityTM UPLC C18 1,7 μm (2,1 x 100 mm); suhu kolom 45oC; fase gerak gradien berupa campuran asam format 0,1% dan asetonitril dengan laju alir 0,2 mL/menit; waktu analisis 6 menit dan menggunakan irbesartan sebagai baku dalam. Metode ini memenuhi persyaratan validasi berdasarkan Bioanalytical Method Validation GuidanceFDA 2018. Metode ini linier dengan rentang konsentrasi 0,20-10,00 ng/mL dengan nilai r ≥ 0,997357 untuk amlodipin dan 5,00-6000,00 ng/mL dengan nilai r ≥ 0,998476 untuk valsartan.

Amlodipinebesylate, a dihydropyridine calcium channel blocker, and valsartan, an angiotensin II receptor blocker, are antihypertensive agents. Fixed dose combination of amlodipine and valsartan can reduce blood pressure (BP) effectively than amlodipine or valsartan monotherapy. Amlodipine and valsartan have a small concentration in blood, so a highly selective and sensitive method is required. This research is aimed to obtain the optimum and validated method to analize amlodipine besylate and valsartan in plasma using ultra performance liquid chromatography tandem mass spectrometry (UPLC-MS/MS). Mass detection was performed by Waters Xevo TQD with Electrospray Ionization source at positive ion mode in the Multiple Reaction Monitoring mode. Sample preparation was carried out by liquid-liquid extraction with ammonium acetate and ethyl acetate mixed with vortex for 2 minutes centrifugated at 4000 rpm for 10 minutes evaporated with nitrogen gas at 50oC for 10 minutes and reconstituted with 100 μL of mobile phase. Amlodipine besylate, valsartan, and irbesartan were detected at m/z409,16 > 238,06; 436,22 > 291,15; and 429,22 > 207,1; respectively. The optimal analysis condition was obtained using Waters AcquityTMUPLC C181,7 μm (2,1 x 100 mm) the column temperature 45oC eluted under under a gradient of mobile phase of 0,1% formic acid in water and acetonitrile at a flow rate 0,2 mL/min within 6 minutes and irbesartan as an internal standard. This method fulfill the acceptance criteria of validation based on Bioanalytical Method Validation Guidance by Food and Drug Administration in 2018. This method was linear at 0,20-10,00 ng/mL with r ≥ 0,997357 for amlodipine and 5,00-6000,00 ng/mL r ≥ 0,998476 for valsartan."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amiral Hafidz
"Akrilamida merupakan senyawa karsinogen yang dapat ditemukan pada makanan, kopi, dan asap rokok. Ketika masuk ke dalam tubuh manusia, akrilamida akan dimetabolisme oleh CYP2E1 menjadi glisidamida yang kemudian dapat bereaksi dengan DNA membentuk DNA adduct. Analisis akrilamida dan glisidamida secara simultan dalam darah, teknik biosampling yang biasa digunakan adalah venipuncture yang bersifat invasif dan membutuhkan keahlian khusus. Pada penelitian ini, teknik biosampling yang digunakan adalah dried blood spot (DBS) yang mudah dan tidak invasif. Metode untuk menganalisis akrilamida dan glisidamida secara simultan menggunakan DBS belum pernah dilakukan pada penelitian sebelumnya. Maka, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode analisis akrilamida dan glisidamida secara simultan yang optimal dan tervalidasi dengan menggunakan propanamida sebagai standar internal. Sampel dipreparasi dengan pengendapan protein menggunakan metanol dan air (1:1). Pemisahan senyawa menggunakan kromatografi fase terbalik dengan kolom Acquity® UPLC BEH C18 (1,7 μm; 2,1 mm x 100 mm), dielusi dengan laju alir 0,20 mL/min dengan kondisi gradien dengan fase gerak 0,2% asam formiat dalam air dan asetonitril selama 5 menit. Deteksi analit dilakukan menggunakan spektrometri massa triple quadrupole dengan mode electrospray ionization positif dan multiple reaction monitoring (MRM) diatur pada m/z 72,0 > 55,02 untuk akrilamida, 88,1 > 44,0 untuk glisidamida, dan 74,01 > 57,1 untuk propanamida. Batas kuantitasi terendah yang diperoleh adalah 1 µg/ml untuk akrilamida dan glisidamida. Rentang konsentrasi linier antara 1 - 40 µg/ml. Metode analisis tervalidasi sesuai pedoman FDA 2018.

Acrylamide is a carcinogenic compound that can be found in food, coffee, and cigarette smoke. When it enters the human body, acrylamide will be metabolized by CYP2E1 to glycidamide which can then react with DNA to form DNA adducts. To analyze acrylamide and glycidamide simultaneously in the blood, the biosampling technique commonly used is venipuncture which is invasive and requires special expertise. In this study, the biosampling technique used is dried blood spot (DBS) which is easy and non-invasive. Methods for analyzing acrylamide and glycidamide simultaneously using DBS have not been carried out in previous studies. Therefore, this study aims to obtain an optimal and validated method of acrylamide and glycidamide simultaneous analysis using propanamide as an internal standard. Samples were prepared by protein precipitation using methanol and water (1: 1). Separation of compounds used reverse phase chromatography with the Acquity® UPLC BEH C18 column (1.7 μm, 2.1 mm x 100 mm), eluted at a flow rate of 0.20 mL/min under gradient conditions with a mobile phase of 0.2% formic acid in water and acetonitrile for 5 minutes. Quantification was performed using triple quadrupole mass spectrometry with positive electrospray ionization and multiple reaction monitoring (MRM) mode set at m / z 72.0> 55.02 for acrylamide, 88.1> 44.0 for glycidamide, and 74.01> 57.1 for propanamide. The lowest limit of quantification is obtained at 1 μg / ml for both acrylamide and glycidamide. The range of linear concentration is between 1 - 40 µg / ml. The analysis method is validated according to FDA 2018 guidelines."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Khaista Khairunnisa
"Resin adalah metabolit sekunder dari mekanisme metabolisme tanaman. Malassezia globosa adalah jamur yang umum muncul di kulit tetapi dapat menjadi infeksi oportunistik jika terbentuk dalam jumlah yang tidak wajar. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji aktivitas antijamur resin Belitung. Resin yang digunakan adalah resin Mampat yang didapatkan dari pohon Jangkar Asam dan resin Betor Padi yang didapatkan dari pohon Tanjung Pandan. Ekstraksi resin dilakukan dengan metode maserasi menggunakan 70% etanol selama 8 jam. Ekstrak resin kemudian dikaji dengan cara LC-MS/MS dan di uji antijamur terhadap Malassezia globosa menggunakan metode mikrodilusi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terdapat 9 senyawa terindentifikasi untuk kedua resin, dengan Hederagenin dan DAPG sebagai senyawa pada resin Mampat yang mempunyai fungsi antijamur dan Tryptophyllin, DL-Malic Acid, Benzoic acid, Limonin, ?-mangostin sebagai senyawa pada resin Betor Padi yang mempunyai fungsi antijamur. Uji antijamur menunjukkan bahwa resin Mampat tidak mempunyai aktivitas antijamur yang cukup kuat dibandingkan ketokonazol sebagai kontrol positif, sedangkan absorbansi pada resin Betor Padi lebih kecil daripada ketokonazol, menunjukkan bahwa resin Betor Padi mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan jamur Malassezia globosa.

Resin is a secondary metabolite produced by plants from its metabolism mechanism. Malassezia globosa is a fungal that usually formed in skin but can be opportunistic pathogen in extensive amount. This research was conducted to explore the antifungal activity of resin obtained from Belitung. The resin used are Mampat resin from Jangkar Asam tree and Betor Padi resin from Tanjung Pandan tree. Resin is extracted by maceration using 70% ethanol for 8 hours. The resin extract then identified by LC-MS/MS and tested for its antifungal activity against Malassezia globosa using the broth-microdilution method. The result has found that there are 9 compounds identified for both Mampat and Betor Padi resin with Hederagenin and DAPG is the antifungal property in Mampat resin and Tryptophyllin, DL-Malic Acid, Benzoic acid, Limonin, ?-mangostin are the antifungal property in Betor Padi resin. The antifungal test shown that Mampat resin does not have an ideal antifungal activity compared to ketoconazole as the positive control, contrary to Betor Padi resin that appeared to have lower absorbance than the ketoconazole, meaning that Betor Padi resin has the potential to interfere the growth of Malassezia globosa."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Felia Budijarto
"Keterbatasan glomerulus filtration rate (eGFR) dan urine albumin creatinine ratio (uACR) sebagai acuan menyebabkan keterlambatan diagnosis dan prognosis penyakit ginjal diabetes. Perkembangan diabetes mengarah pada kerusakan ginjal dicerminkan oleh penanda (biomarker) yang ditemukan dalam spesimen biologis. Penelitian ini bertujuan mencari metabolit potensial sebagai biomarker pada populasi Indonesia dengan membandingkan metabolit dalam urin pasien diabetes dengan risiko ginjal rendah (n=16) dan tinggi (n=16) menurut klasifikasi KDIGO2022. Analisis metabolomik dilakukan menggunakan liquid chromatography/mass spectrometry quadrupole time-of-flight (LC/MS-QTOF) dengan analisis statistik data menggunakan software Metaboanalyst5,0. Metabolit diidentifikasi menggunakan database Human Metabolome Database (HMDB), Metlin, dan Pubchem. Diskriminasi antar 2 kelompok divisualisasikan dengan Principal Component Analysis (PCA) dan Partial Least Squares-Discriminant Analysis (PLS-DA). Signifikansi metabolit antar 2 kelompok ditentukan dengan T-test (p<0,05), variable importance for projection (VIP>1), dan fold change (log2(FC)>1,2). Metabolit yang dipilih hanya metabolit endogen yang diketahui jalur metabolismenya. Dari berbagai parameter tersebut, metabolit yang potensial sebagai biomarker harus memenuhi nilai area under curve (AUC)>0,65. Berdasarkan karakteristik dasar dan klinis, tidak terdapat perbedaan bermakna karakteristik dasar (usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh, durasi menderita DMT2, frekuensi olahraga, kebiasaan merokok, penyakit lain, kepatuhan minum obat, regimen terapi metformin-glimepirid) dan pemeriksaan klinis (HbA1c, tekanan darah sistol, dan diastol) antara kedua kelompok (p>0,05). Ditemukan 23 metabolit yang memenuhi parameter VIP, p-value, dan fold change. Disimpulkan, tiga metabolit teratas dengan AUC>0,65 merupakan biomarker potensial yang membedakan kedua kelompok, yaitu indoksil glukuronida, N-asetilserotonin glukuronida, dan gliserofosfokolin. Indoksil glukuronida dan N-asetilserotonin glukuronida terlibat dalam metabolisme triptofan dan glukuronat, sedangkan gliserofosfokolin terlibat dalam jalur metabolisme gliserofosfolipid dan eter lipid.

The limited utility of glomerulus filtration rate (eGFR) dan urine albumin creatinine ratio (uACR) as the gold standard lead to late diagnosing and prognosing of diabetic kidney disease. Diabetes progression contributes to kidney damage and is reflected by biomarkers in patients' biological samples. This study aims to identify potential endogenous metabolite biomarkers for improved diagnosis and prognosis by comparing metabolites in the urine of diabetic patients with low (n=16) and high (n=16) kidney disease risk in the Indonesian population according to the KDIGO2022 classification. Metabolomic analysis was conducted using liquid chromatography/mass spectrometry quadrupole time-of-flight (LC/MS-QTOF) with Metaboanalyst5.0 software. Metabolites were identified using the Human Metabolome Database, Metlin, and PubChem. Discrimination between the two groups was visualized using principal component analysis (PCA) and Partial Least squares discriminant analysis (PLS-DA). Based on patients' characteristics, no significant differences were observed in baseline characteristics (age, gender, body mass index, duration of type 2 diabetes mellitus, exercise frequency, smoking habits, comorbidities, medication adherence, metformin-glimepiride therapy regimen) and clinical characteristics (HbA1c, systolic and diastolic blood pressure) between two groups (p>0.05). According to the findings of the T-test (p<0.05), fold change (log2(FC)>1.2), and variables important for the projection (VIP>1), there were 23 metabolites substantially different between the two groups. In conclusion, the top 3 metabolites with the area under curve (AUC) value>0.65 demonstrated potential biomarker differentiating among two groups; these are indoxyl glucuronide, N-acetylserotonin glucuronide, and glycerophosphocholine. Indoxyl glucuronide and N-acetylserotonin glucuronide involved in tryptophan metabolism and glucuronate interconversion. Glycerophsophocholine involved in glycerophospholipid and ether lipid metabolism."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>