Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adhy Prasetyo Widodo
"Kualitas udara yang buruk dalam ruang dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Pemantauan kualitas udara dalam ruang saat ini dilakukan oleh petugas kesehatan lingkungan dengan membawa alat ukur dan melakukan pengukuran langsung di lokasi. Kesulitan dalam pemantauan kualitas udara dalam ruang, keterbatasan jumlah petugas kesehatan lingkungan, dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengukur kualitas udara dalam ruang menjadi permasalahan utama dalam sistem pemantauan, pencatatan, dan pelaporan kualitas udara dalam ruang. Sistem pemantauan, pencatatan, dan pelaporan dengan metode yang lama perlu digantikan dengan sistem pemantauan kualitas udara dalam ruang berbasis lokasi dan jaringan nirkabel dengan data yang didapat secara real time.
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan sistem pengumpul data, menyediakan database management system, dan membangun dasbor (dashboard) penyedia informasi pemantauan kualitas udara dalam ruang. Daur hidup pengembangan sistem (systems development life cycle/SDLC) adalah proses pengembangan sistem informasi yang dapat mendukung kebutuhan bisnis, merancang sistem, membangun, dan mengirimkannya kepada pengguna. Pengembangan Agile adalah salah satu metode pengembangan sistem yang dilakukan dengan cara sederhana yaitu pemilik gagasan merencanakan pengembangan dari sistem yang sudah ada.
Kerja sama dengan pengembang dilakukan untuk menganalisis sistem yang ada, pembuatan desain, dan implementasi sistem. Sistem pemantauan kualitas udara dalam ruang berbasis lokasi dan jaringan nirkabel dapat mengukur enam parameter kualitas udara dalam ruang yang meliputi partikel debu, suhu udara, kelembaban relatif, karbonmonoksida, dan senyawa mudah menguap. Pemantauan parameter tersebut dilakukan secara real time dan dapat menjadi solusi agar sistem pemantauan, pencatatan, dan pelaporan bisa dijalankan lebih cepat dengan sumber daya minimal.

Poor air indoor quality can cause health problems. Monitoring of indoor air quality is currently carried out by environmental health officer by carrying a measuring instrument and making measurements directly at the location. Difficulties in monitoring indoor air quality, the limited number of environmental health officer, and the length of time needed to measure the indoor air quality are the main problems in the monitoring, recording and reporting system of indoor air quality. The old method of monitoring, recording and reporting systems needs to be replaced with wireless and location-based indoor air quality monitoring system with data obtained in real time.
This study aims to develop a data collection system, provide a database management system, and build dashboards that provide information on monitoring indoor air quality. Systems development life cycle (SDLC) is an information system development process that can support business needs, design systems, build and send them to users. Agile development is one method of system development that is done in a simple way, the author of the idea plans the development of an existing system.
Collaboration with the developer is carried out to analyze existing systems, design system, and implement systems. Wireless and location-based indoor air quality monitoring system can measure six air quality parameters which include dust particles, air temperature, relative humidity, carbon monoxide, and volatile organic compounds. Monitoring these parameters is done in real time and it can be a solution so that the monitoring, recording and reporting systems can be done swiftly with minimal resources.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachma Aditria Suci
"ABSTRAK
Sick Building Syndrome (SBS) merupakan salah satu masalah yang sering dialami oleh penghuni di gedung perkantoran. SBS dapat disebabkan karena kualitas udara dalam ruang dan karakteristik individu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara jumlah total koloni bakteri di udara dalam ruang dengan kejadian SBS di Arsip Nasional Republik Indonesia. Digunakan desain studi cross sectional, variabel independen yaitu jumlah total koloni, variabel confounding yaitu suhu, kelembaban relatif, pencahayaan, usia, jenis kelamin, masa kerja, riwayat alergi dan kebiasaan merokok. Analisis statistik memberikan hasil proporsi kejadian SBS pada pegawai di Arsip Nasional Republik Indonesia Tahun 2019 sebesar 60%. Dari 9 variabel yang diuji, hanya variabel usia (OR= 0,43; 95%CI= 0,189-0,969) yang berhubungan signifikan secara statistik.

ABSTRACT
Sick Building Syndrome (SBS) is one of the problems that are often experienced by residents in office buildings. SBS can be caused due to indoor air quality and individual characteristics. This study aims to determine the relationship between the total amount of bacterial colonies in the air in indoor office with SBS at Arsip Nasional Republik Indonesia. Cross sectional study design was used, the independent variables was the total number of colonies. The confounding variables were temperature, relative humidity, lighting, age, gender, working period, history of allergies and smoking habits. Statistical analysis gives the results of the proportion of SBS events to employees at Arsip Nasional Republik Indonesia in 2019 is 60%. Of the 9 variables tested, only the age variable (OR=0.43; 95%CI=0.189-0.969) was statistically significant."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asduki D. Athari
"Pemukiman karyawan Perusahaan X yang sejak awal digunakan pada tahun 2009 telahmemunculkan banyak keluhan dari penghuni tentang buruknya kualitas udara di dalamruangan Keluhan tersebut berupa udara kamar yang lembab bau apek dan munculnyakapang pada mebel dan barang barang pribadi penghuni Tujuan utama penelitian iniadalah untuk menganalisa masalah utama buruknya kualitas udara dalam pemukimankaryawan Perusahaan X yang berhubungan dengan kontaminasi kapang danmengevaluasi metoda pengendalian yang digunakan Tujuan khususnya adalahmenganalisis hubungan antara kontaminasi kapang dengan parameter IAQ lainnyaseperti kelembaban relatif suhu pencahayaan laju ventilasi kadar debu kadar gaskarbon dioksida dan termasuk karakteristik ruangan atau lokasi pengambilan sampel Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juni 2014 Desain studi yang digunakan adalahcross sectional dengan total sample 48 sample kamar dengan 10 parameter IAQterukur dan analisis menggunakan model bivariat hingga multivariat.
Hasil penelitianmenunjukan bahwa rata rata jumlah koloni kapang pada kamar di pemukiman karyawandalam kategori kontaminasi tinggi 731 CFU m3 Kelembaban relative terukur cukup tinggi rata rata 84 4 RH dimana variabel ini memeiliki hubungan yang signifikandengan jumlah koloni kapang dengan nilai p 0 0001 Variabel lain yang memilikihubungan bermakna dengan jumlah koloni kapang adalah suhu basah wet bulbtemperature dengan nilai p 0 041 dan kadar gas karbon dioksida dengan nilai p 0 002 Permasalahan IAQ diatasi dengan kombinasi beberapa tindakan sepertimembatasi kontaminasi kapang dari udara luar kamar mengendalikan tingkatkelembaban relatif hingga level yang direkomendasikan Penggunaan outdoordehumidifier penggunaan filter memperbaiki sistem ventilasi merupakan beberapadiantara solusi enjinering bisa diterapkan untuk menurunkan tingkat kelembaban relatifdan membatasi kontaminasi kapang.

Dormitory building was built to accommodate Company rsquo s employees during theironduty schedule Since the first time building was occupied numbers of complaintswere raised by the occupants The complaints related to poor indoor air quality such ashumid air musty odor visible mold on furnitures and other personal properties Theobjective of this research was to analyse main problem of poor indoor air quality in thedormitory in particular mold contamination and to evaluate control methods that wereused by Company to overcome the issue The specific objectives were to analysecorrelation between mold contamination number of mold colony and other IAQparameters such as relative humidity temperature illumination air velocity dustconcentration carbon dioxide level and room charactristics The research wasperformed in May to June 2014 Cross sectional is the study design that was used for theresearch with 48 room samples and 10 parameters of IAQ were measured and bivariateand multivariate model were used to analyse the data gathered.
Result shown that theaverage mold colony in the dormitory rooms was within high concentration range 731CFU m3 Relative humidity was very high 84 4 RH average and it was confirmedhas significant direct relation with amount of mold colony with p value 0 0001 Othervariables that have significant direct relation were wet bulb temperature with p value0 041 dan carbon monoxide with p value 0 002 IAQ problems can be fixed bycombining methods of limiting mold contamination from outside and controllingrelative humidity level into the recommended range The uses of outdoor dehumidifier air filter ventilation system improvement are several engineering solutions that can beapplied to reduce relative humidity level and limit mold contamination.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2014
T41485
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novia Aulia Nugraha
"Umumnya seseorang menghabiskan banyak waktu di dalam ruang, seperti tempat kerja. Buruknya kualitas udara dalam ruang dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti, Sick Building Syndrome (SBS). Perpustakaan berisiko untuk mengalami pencemaran udara yang disebabkan oleh mikrobiologi karena banyaknya bahan organik seperti buku yang dapat menjadi tempat pertumbuhan kapang. Penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan jumlah kapang di udara dalam ruang dengan keluhan SBS pada staff di Perpustakaan UI. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan variabel independennya adalah jumlah kapang, variabel dependennya adalah keluhan SBS, serta variabel confounding yang meliputi suhu, kelembaban, pencahayaan, usia, jenis kelamin, lama kerja, riwayat alergi, riwayat asma, dan kebiasaan merokok. Pengumpulan data SBS dilakukan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner kepada 63 staff Perpustakaan, sedangkan pengukuran kapang di udara dilakukan dengan teknik passive sampling metode settle plate. Secara keseluruhan kualitas udara di Perpustakaan UI tergolong buruk. Hasil statistik menunjukan proporsi keluhan SBS pada staff sebesar 55,6% dan secara statistik tidak ada variabel yang berhubungan secara signifikan dengan SBS.

Generally a person spends a lot of time in indoor, such as a workplace. Poor air quality in the room can cause health problems such as Sick Building Syndrome (SBS). Libraries are at risk of experiencing air pollution caused by microbiology because of the Many organic materials such as books that can become a place for mold growth. The study was conducted to determine the relationship of the number of molds in the air in the room with SBS complaints on staff at the UI Library. This study uses a cross sectional design with the independent variable is the number of molds, the dependent variable is SBS complaints, and the confounding variables include temperature, humidity, lighting, age, gender, length of work, history of allergies, history of asthma, and smoking habits. SBS data collection was done by interviewing questionnaires to 63 Library staff, while mold measurements in the air were carried out using the settle plate method passive sampling. Overall the air quality in the UI Library is classified as bad. The statistical results show the proportion of SBS complaints to staff is 55.6% and statistically there are no variables that are significantly related to SBS."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amreta Nandini
"Meningkatnya pertumbuhan penduduk di Jakarta menyebabkan kebutuhan akan tempat tinggal dan sarana rekreasi ikut meningkat. Akibatnya pemukiman dan sarana prasarana baru di luar konsep awal muncul dan menyebabkan berkurangnya lahan terbuka hijau sebagai tempat penampungan air tanah. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan beberapa lokasi menjadi rawan banjir. Bencana banjir dapat mengakibatkan berbagai macam pencemaran terhadap lingkungan sekitar termasuk pencemaran udara. Banjir yang masuk ke dalam rumah menyebabkan kondisi menjadi lembab dan memberikan tempat yang baik bagi pertumbuhan bakteri dan jamur. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas udara dalam rumah yang terkena banjir berdasarkan konsentrasi bakteri dan jamur, dan untuk mengetahui apakah jenis material bangunan memiliki keterkaitan dengan konsentrasi bakteri dan jamur di dalam rumah serta mengetahui pengaruh konsentrasi bakteri dan jamur pada udara dalam rumah terhadap kesehatan penghuni rumah. Pengukuran konsentrasi bakteri dan jamur dilakukan pada 3 rumah kayu, 3 rumah beton, dan di halaman masjid yang dijadikan sebagai pembanding. Alat yang digunakan dalam pengukuran adalah EMS (Environmental Microbial Sampler). Hasil pengukuran konsentrasi mikrobiologis (bakteri dan jamur) pada rumah yang sering terkena banjir berkisar antara 141,34-5.671,38 CFU/m3 untuk rumah kayu dan 194,35-3.551,24 CFU/m3 untuk rumah beton. Hasil tersebut secara umum berada di atas standar baku mutu yang tertera pada PERGUB DKI No 52 tahun 2006. Uji statistik dengan t-test menyatakan tidak terdapat keterkaitan yang signifikan antara konsentrasi mikroba dengan jenis material bangunan, namun konsentrasi bakteri dan jamur memiliki kecenderungan lebih tinggi pada material kayu dibandingkan dengan material beton. Uji statistik dengan metode fisher menyatakan bahwa tidak terdapat keterkaitan antara konsentrasi bakteri dan jamur dalam rumah dengan kesehatan penghuni rumah.

The increase of population growth in Jakarta led to the need for housing and recreational facilities. As a result, the settlements and the new infrastructure beyond the initial concept emerged and took the Green open area such as the reduction of water deposits in the soil. This condition finally led to several locations to be prone to flooding. Floods can result in various types of pollution to the environment, including air. Floods in houses cause damp condition and provides a good place for bacteria and fungi to grow. The purpose of this study was to determine the indoor air quality affected by floods based on the concentration of bacteria and fungi, and to determine whether the type of building material is related to the concentration of bacteria and fungi at houses and also the influence of bacteria and fungi concentration inside of the houses to the health of residents. The measurement of the concentration of bacteria and fungi takes in three houses of wooden, three houses of reinforce concrete, and in the courtyard of the mosque that used as a comparison. The tools used in the measurement are EMS (Environmental Microbial Sampler). The result of measure ment of bacteria and fungi concentration are 141,34 ?5.671,38 CFU/m3 for wooden house and 194,35 ? 3.551,24 CFU/m3 for reinforce
concrete house. The result shows that the microbe and fungi concentration is above the threshold based on PERGUB DKI No.52/2006. Statistical test, using ttest, indicated that there is no significant relationship between the concentration of microbes with the material of construction, but the concentration of bacteria and fungi have a greater tendency in the wood material compared to concrete. Statistical test using fisher method stated that there is no relationship between the concentration of bacteria and fungi in houses with the health of residents.
"
2011
S109
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alexandra Widyanareswari
"Jumlah mikroba di udara dalam ruangan merupakan salah satu indikator kualitas udara dalam ruangan. Kualitas udara dalam ruangan sering kali terabaikan, padahal manusia menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam ruangan. Pentingnya menjaga kualitas udara dalam ruangan terkait dengan kenyamanan lingkungan kerja dan kesehatan pemakai ruangan. Gangguan kesehatan yang dapat terjadi terutama pada daerah tubuh atau organ tubuh yang kontak langsung dengan udara, seperti mata, kulit, hidung, saluran pernapasan. Adanya gangguan kesehatan dan kenyamanan lingkungan akan berpengaruh terhadap kinerja dari tiap orang. Ada empat faktor yang perlu diperhatikan untuk menjaga kualitas udara dalam ruangan yaitu faktor bangunan, pemilihan perabot yang digunakan dalam ruangan tersebut, peran manusia dan kondisi udara di sekitar bangunan. Penelitian dilakukan di gedung perkuliahan A dan K, FTUI. Pemilihan kedua gedung ini berdasarkan adanya perbedaan waktu pembangunan dan pengoperasian. Analisis dilakukan dengan melihat apakah ada perbedaan jumlah mikroba di udara dalam ruangan yang signifikan antara gedung perkuliahan A dan K, FTUI. Selain itu juga dilihat jumlah mikroba maksimum dan minimum di gedung tersebut serta perbandingan jumlah mikroba di udara dengan standard dan hasil penelitian lain. Dari hasil pengukuran jumlah mikroba di dalam ruang kelas, selanjutnya akan dilihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi udara di ruang tersebut. Faktor-faktor tersebut antara lain suhu dan kelembaban, material dan furniture yang digunakan, ventilasi bangunan, perawatan dan pemeliharaan yang dilakukan serta adanya pengaruh udara luar terhadap kualitas udara dalam ruangan. Perbaikan kualitas udara dalam ruangan dapat dilakukan dengan pengaturan jadwal pemeliharaan dan perawatan, pengecekan kebocoran pada sistem perpipaan dan air conditioner, serta pengaturan posisi kelas terhadap orientasi bangunan.

The number of microbes in the indoor air is one of indoor air quality indicators. Indoor air quality is often neglected, whereas human spend most of their time indoor. Importance of maintaining indoor air quality influenced the convenience of the user work environment and health of the room. Health problems can occur especially in the body or organs having direct contact with air, such as eyes, skin, nose, respiratory tract. The disruption of health and comfort of the environment will affect the performance of each person. There were four factors that need to be considered for maintaining indoor air quality such as building factor, the selection of furniture in the room, human influence and condition of the air around buildings. This research conducted in the campus building A and K, Engineering Faculty, University of Indonesia. The two building was selected because of the time difference in construction and operation. The analysis is done by observing whether there are significant differences in the number of microbes in indoor air between campus building A and K, University of Indonesia. In addition, maximum and minimum number of microbes found in the building and compared the number of microbes in the air with the standard and the results of other studies. From the number of microbes in the classroom, the factors that influence the air in that classroom will be analyzed. These factors are temperature and humidity, materials and furniture in the building, building ventilation, service and maintenance performed as well as the influence of outside air to indoor air quality. Indoor air quality improvements can be done by arranging maintenance schedules, checking leaks on piping systems and air conditioner, and redesigning the class position in the building."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
S50480
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Afrina
"ABSTRAK
Latar Belakang
Sindrom mata kering adalah suatu gangguan pada permukaan mata yang ditandai dengan ketidakstabilan produksi dan fungsi dari lapisan air mata yang menghasilkan gejala tidak nyaman, gangguan penglihatan, dan ketidakstabilan lapisan air mata yang berpotensi mengalami kerusakan pada permukaan mata. Salah satu faktor yang mempengaruhi timbulnya adalah kualitas udara dalam ruang. Perlu diketahui faktor ? faktor selain kualitas udara yang menimbulkan sindrom mata kering untuk dapat mencegah terjadinya pada pekerja di ruang parkir bawah tanah dalam rangka menjaga produktifitas pekerja dan mencegah sindrom mata kering.
Tujuan
Selain mengidentifikasi kualitas udara dalam ruang parkir bawah tanah, penelitian ini juga mengidentifikasi prevalensi dan tingkat keparahan sindrom mata kering serta mengetahui faktor ? faktor yang mempengaruhi timbulnya sindrom mata kering pada pekerja.
Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Data dikumpulkan pada April sampai Juni 2015. Pekerja ruang parkir bawah tanah di salah satu Megablok Jakarta Selatan diwawancara dengan kuesioner OSDI dan diperiksa matanya dengan tes schirmer. Pengambilan data satu kali pada setiap responden saat pekerja selesai absensi pulang.
Kualitas udara dalam ruang parkir bawah tanah Megablok ?X? Jakarta Selatan tidak baik, walaupun kelembaban udara dan pertikel debu masih dalam batas normal, namun tingginya suhu udara dan pencahayaan menunjukkan di bawah standar untuk tempat kerja. Responden penelitian ini berjumlah 85 orang dengan 90,6% laki ? laki, yang berusia rata ? rata 23,05 tahun dengan rentang 20 ? 40 tahun. Tempat bekerja terdiri dari pekerja di kantor (4,7%), di pos (28,2%) dan sisanya bekerja di lapangan parkir. Terdapat 61,2% pekerja yang perokok. Pekerja dengan lama visual atensi > 4 jam sehari ada 54,1%. Hanya 14,1% pekerja yang telah bekerja diruang parkir bawah tanah lebih dari dua tahun. Sebagian besar pekerja (87,1%) berada di bawah tanah 8 jam/hari. Ditemukan 23 orang (37,1%) didiagnosis sindrom mata kering berdasarkan kuesioner OSDI dan 33 orang (38,8%) melalui tes schirmer. Sindrom mata kering parah tidak ditemukan pada hasil pemeriksaan tes schirmer, namun dari hasil kuesioner OSDI terdapat 42,8%. Analisis multivariat menunjukkan hanya jenis kelamin mempengaruhi timbulnya sindrom mata kering secara independen. Perempuan mempunyai risiko 12,042 kali lebih besar dibanding laki ? laki untuk mengalami sindrom mata kering. Kualitas udara dalam ruang parkir bawah tanah di Megablok ?X? Jakarta Selatan tidak baik. Prevalensi sindrom mata kering pada pekerja ruang parkir bawah tanah 38,8%. Jenis kelamin menjadi faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya sindrom mata kering pada pekerja ruang parkir bawah tanah (OR = 12,042). Tingkat keparahan sindrom mata kering yang parah dari hasil kuesioner OSDI terdapat 42,8%

ABSTRACT
Background
Dry eye syndrome is a disorder of ocular surface which is indicated with destabilized production and disfunction of tear film. It causes uncomfortable symptoms and visual disorder. One of influence factors that cause dry eye syndrome is indoor air quality. It?s important to know other factors beside the air quality that can also contribute to dry eye syndrome to anticipate the incident happened to workers in the basement parking area and to keep the workers productivity going well.
Purpose
This research will identify the factors those influence the dry eye syndrome prevalence and its severity of workers who work at basement parking area.
Method
This study used cross-sectional method. Datas were collected from April to June 2015. The workers in a Megablock in South Jakarta were interviewed with OSDI questionnaire and attended eyes examination with schirmer test. Datas were taken once in each responded while they already finished their job.
Result
Indoor air quality had been examined and showed bad result, with high temperature and the light was under standard for a working area. Although the humidity and particulate matter are normal. This research involved 85 persons, 90,6% were men, with average age was 23,05 in the range 20 to 40 years old. Based on the working area, 4,7% were in office, 28,2% were in post, and the rest were in the parking area. 61,2% of them were smokers. Workers with visual attention more than 4 hours perday were 54,1%. Only 14,1% workers have been working in the parking area more than 2 years. Most of them (87,1%) were placed basement for 8 hours perday. Workers were diagnosed dry eye syndrome by OSDI were 23 persons (37,1%) and 33 persons (38,8%) through schirmer test. Multivariate analysis showed that only sex factors that influenced dry eye syndrome, in which women have bigger chance 12,042 times to suffer from this syndrome if compared with men. Indoor air quality at ?X? Megablock basement parking area is bad. Dry eye syndrome prevalene on women workers is 87,5% and on men is 33,8%. severe dry eye syndrome is not found through schirmer test, but found 42,8% with OSDI questionnaire.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library