Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Willi Yaohandy
"Jumlah penderita katarak di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. Cara pengobatan katarak yang tersedia di Indonesia adalah operasi. Namun, operasi katarak membutuhkan biaya yang mahal dan memiliki resiko terjadinya komplikasi pasca operasi. Bunga telang (Clitoria ternatea) dapat dimanfaatkan sebagai sumber anti-katarak alami karena mengandung senyawa fenolik berupa antosianin. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh ekstrak antosianin dari bunga telang dan mengetahui kemampuannya sebagai anti-katarak. Kondisi optimal ekstraksi maserasi untuk antosianin dari bunga telang adalah pada temperatur 80℃, waktu ekstraksi 15 menit, dan massa bunga telang 1,25 gram per 50 ml air (rasio volum air terhadap massa bunga = rasio a/t (ml air/ g bunga telang) = 40).
Dalam penelitian ini, juga dilakukan rekonstruksi model katarak kortikal yang tersusun atas natrium oksalat, natrium karbonat, kalsium oksalat, kalsium karbonat, albumin, protein, dan lemak dengan berbagai variasi komposisi. Jumlah ion natrium yang meluruh pada model A, B, C, dan D berturut-turut adalah 0,0188; 0,03701; 0,17543; dan 0,24362%, jumlah ion kalsium yang meluruh pada model A, B, C, dan D berturut-turut adalah 0,00098; 0,00159; 0,00674; dan 0,00963%, sedangkan jumlah peluruhan protein pada model A, B, C, dan D berturut-turut adalah 12,755; 14,433; 12,695; dan 13,513%. Peluruhan ion natrium, ion kalsium, dan protein oleh ekstrak bunga telang ini lebih besar dibandingkan oleh air. Oleh karena ekstrak kembang telang memiliki jangkauan peluruhan ion natrium, kalsium, dan protein yang lebar sehingga cocok digunakan.

The number of cataract patients in Indonesia is increasing every year. In Indonesia, the alternative for cataract treatment is only cataract surgery. However, cataract surgery is very expensive and has a risk of surgical complications. On the other hand, butterfly pea flower (Clitoria ternatea) can be expected to be utilized as a source of natural souce of anti-cataract because it contains phenolic compounds such as anthocyanin. The purpose of this study is to obtain anthocyanin and phenolic extracts from butterfly pea flower and to evaluate its anti-cataract activity. The optimal condition of maceration extraction for anthocyanin of butterfly pea flower is in temperature 80℃, extraction time 15 minute, and 1,25 gram flower per 50 ml water (ratio between water?s volumeto flower?s mass = ratio a/t = 40).
In this research, also conducted reconstruction of cortical cataract models which contain sodium oxalate, sodium carbonate, natrium oxalate, natrium carbonate, albumine, protein, and lipid with various composition. The decay for sodium ion for model A, B, C, and D respectively are 0,0188; 0,03701; 0,17543; and 0,24362%, the decay for calcium ion for model A, B, C, and D respectively are 0,00098; 0,00159; 0,00674; and 0,00963%, while for protein respectively are 12,755; 14,433; 12,695; and 13,513%. The ability of sodium and calcium ions, and also protein decay by butterfly pea flower extract is higher than by water. Butterfly pea flower extract has a wide range of decay sodium ion, calcium ion and protein, making it suitable for more than one type of cataract composition.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
S58200
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suci Xaviera Wardhani
"Latar Belakang: Perubahan kualitas dan kuantitas tulang akan terjadi pada wanita yang memasuki masa lanjut usia yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu metode pengukuran kuantitas tulang adalah dengan mengukur lebar tulang kortikal sudut mandibula melalui radiograf panoramik menggunakan indeks morfometrik Gonial Index (GI). Pengukuran lebar tulang rahang dapat digunakan sebagai deteksi terhadap perubahan kualitas dan kuantitas struktur tulang. Tujuan: Mengetahui nilai rata-rata GI pada kelompok wanita usia 45-59 tahun dengan kelompok usia 60-70 tahun di RSKGM FKG UI dan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan nilai GI yang bermakna antara kedua kelompok usia. Metode: Studi dilakukan pada 184 gambar radiografik panoramik digital dari pasien wanita berusia 45-70 tahun yang dikelompokkan menjadi dua kelompok usia (1 = usia 45 – 59; 2 = usia 60 – 70). Pengukuran GI dilakukan pada kedua sisi untuk mengukur lebar tulang kortikal pada sudut mandibula. Analisis statistik dilakukan dengan uji Mann-Whitney (p > 0.05). Hasil: Nilai rata-rata GI pada kelompok usia prelansia (45-59 tahun) adalah 1.08 mm dan untuk kelompok usia lansia (60-70 tahun) adalah 0.62 mm. Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna antara nilai GI pada subjek prelansia dan lansia, di mana terjadi penurunan nilai rerata lebar kortikal sudut mandibula pada kelompok usia lansia.

Background: The changes in quality and quantity of bone structure level occur in elderly women and are caused by some of risk factors. One of the methods to measure bone thickness is by measuring the width of mandible cortical bone using Gonial Index (GI) in radiograph panoramic. The average value of GI can be used as detection to quality and quantity changes of bone structures. Objectives: to obtain average value of GI between 45-59 years old and 60-70 years old women in RSKGM FKG UI and to identify if there is a significant difference of GI average value between two age groups. Method: The study included 184 digital panoramic radiographic images of 45 – 70 years old female patients that were grouped into two age groups (1 = age 45 – 59; 2 = age 60 – 70). The measurement of Gonial Index (GI) were done bilaterally to measure the cortical width of mandibular angle. Statistical analysis was performed with Mann-Whitney test (p > 0.05). Results: The average value of GI of 45-59 years old age group is 1.08 mm and the GI average value of 60-70 years old age group is 0.62 mm. Conclusion: There’s a significant difference of GI value between women at age 45 – 59 years old and 60 – 70 years old, the average value of cortical width of mandible angle decreases in women at age 60 – 70 years old.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Gideon Hot Partogi
"Pendahuluan: Gangguan pendengaran sensorineural (GPSN) merupakan penyakit kronis yang insidennya meningkat seiring dengan pertambahan usia. Implantasi koklea menjadi tatalaksana utama dengan kalibrasi menggunakan prosedur baku emas yaitu audiometer nada murni (PTA) yang bersifat subjektif. Akan tetapi, PTA tidak dapat dilakukan pada pasien yang kurang kooperatif dan kebingungan akibat demensia, seperti pada pasien geriatrik sebagai mayoritas pasien GPSN. Pengukuran objektif lainnya dapat dilakukan dengan mendeteksi auditory evoked potential (AEP) yang direkam pada batang otak menggunakan stimulus listrik (E-ABR) dan kortikal melalui perekaman local field potential (LFP). Namun, belum terdapat penelitian yang merekam AEP menggunakan elektrode intrakortikal serta membandingkan dan mengkorelasikan ambangnya dengan respons batang otak. Penelitian ini bertujuan sebagai pemodelan awal kasus tuli didapat dengan implan koklea untuk mengevaluasi ambang respons auditorik pada batang otak, korteks auditorik primer (A1), dan posterior auditory field (PAF) menggunakan hewan coba kucing. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mencari perbedaan bermakna antara ambang respons auditorik kortikal menggunakan metode perbandingan amplitudo pre-stimulus-post-stimulus (Z-score) dan inter-trial phase coherence (ITPC).
Metode: Perekaman dilakukan pada 5 ekor kucing dengan implan koklea yang ditulikan terlebih dahulu dengan injeksi neomisin interskalar. Respons auditorik batang otak direkam menggunakan elektrode permukaan, sedangkan respons auditorik kortikal direkam menggunakan elektrode intrakortikal dalam kondisi teranestesi isoflurane. Ambang respons auditorik ditetapkan menggunakan metode Z-score dan ITPC, sedangkan ambang respons auditorik batang otak ditetapkan dengan metode ITPC karena kurangnya data pre-stimulus.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna pada ambang respons auditorik kortikal menggunakan metode Z-score dan ITPC (p = 0,455). Terdapat perbedaan bermakna antara ambang respons auditorik batang otak dan kortikal (p<0,001), dengan median paling kecil pada batang otak dan terbesar pada PAF. Korelasi positif yang bermakna juga ditemukan antar keseluruhan titik perekaman, dengan korelasi terbesar secara kortikokortikal A1 dan PAF (r=0.835, p<0.001).
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa pengukuran ambang respons auditorik batang otak dan kortikal secara objektif memiliki potensi dalam aplikasi klinis untuk menilai kesuksesan implantasi koklea pasien tuli didapat. Peningkatan ambang respons auditorik sepanjang jaras pendengaran menunjukkan kompleksitas jaras pendengaran.

Introduction: Sensorineural hearing loss (SNHL) is a chronic disease whose incidence increases with age. The primary treatment of SNHL is cochlear implantation with the subjective pure-tone audiometer (PTA) as the gold standard calibration procedure. However, PTA cannot be performed on patients who are less cooperative and confused due to dementia, such as geriatric patients, who make up the majority of SNHL patients. Another objective test is to detect auditory evoked potentials (AEP) recorded in the brainstem (E-ABR) and auditory cortex via the brain local field potential (LFP) using electric stimulus. However, no studies have used intracortical electrodes to record AEP as well as compare and correlate its threshold with auditory brainstem response. This study aims as an early model of acquired deafness with cochlear implant to evaluate auditory responses in the brainstem, primary auditory cortex (A1), and posterior auditory field (PAF) using cats as an animal model. In addition, this study also aims to compare the cortical auditory response threshold determined using the pre-stimulus-post-stimulus amplitude comparison (Z-score) and inter-trial phase coherence (ITPC) methods.
Method: Recording was performed on 5 cochlear implanted cats, previously deafened using interscalar neomycin injection. Brainstem auditory responses were recorded using surface electrodes, while cortical auditory responses were recorded using intracortical electrodes under isoflurane anaesthetic. The auditory response threshold was determined using the Z-score and ITPC methods, while the brainstem auditory response threshold was determined using the ITPC method due to the lack of pre-stimulus data.
Result: There was no significant difference in the cortical auditory response threshold using the Z-score and ITPC methods (p = 0.455). There was a significant difference between the brainstem and cortical auditory response thresholds (p<0.001), with the smallest median in the brainstem and the largest in PAF. A significant positive correlation was also found at all recording points, with the largest positive correlation found between A1 and PAF (r=0.835, p<0.001).
Conclusion: This study demonstrates that objective measurements of brainstem and cortical auditory response thresholds have the potential to be used to evaluate the success of cochlear implantation in patients with acquired hearing loss. An increase in the auditory response threshold along the auditory pathway indicates
complexity in the auditory pathway.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library