Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 49 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nabilah
"ABSTRAK
Bentuk perkawinan memberikan kontribusi yang unik dan penting
terhadap well-being kebanyakan perempuan dan laki-laki (Campbell dalam
Duvall & Miller, 1985). Kehidupan kaum perempuan yang mengalami poligami
lebih banyak mengalami kekerasan daripada kebahagiaan. Penelitian Rifka
Annisa, sebuah LSM perempuan di Yogyakarta mencatat bahwa sepanjang tahun
2001 telah teijadi 234 kasus kekerasan terhadap istri. Dari angka sebesar itu status
korban diantaranya 2,5% dipoligami resmi, 5,1% poligami sirri, 36,3% korban
selingkuh, 2,5% ditinggal, 4,2 % dicerai, 0,4% istri kedua, dan 0,4% dijadikan
WIL (Farida, 2002:70)
Dewasa madya menunjukkan well-being yang lebih baik daripada dewasa
akhir dan dewasa muda pada beberapa area (Papalia, 2001). Kesejahteraan
psikologis merupakan penilaian terhadap pencapaian potensi-potensi diri pada
saat ini, yang dipengaruhi oleh pengalaman hidup dan harapan individu (Ryff,
1989). Ryff (1989) mengemukakan bahwa untuk dapat dikatakan mempunyai
kesejahteraan psikologis (psychological well-being) yang baik adalah tidak
sekedar bebas dan terlepas dari segala hal yang merupakan indikator kesehatan
mental negatif (seperti bebas dari rasa cemas, selalu bahagia, dsb), tetapi hal yang
lebih penting untuk diperhatikan adalah adanya kepemilikan akan penerimaan
terhadap diri sendiri, penguasaan lingkungan, otonomi, hubungan positif dengan
orang lain, mempunyai tujuan, dan makna hidup serta mempunyai perasaan akan
pertumbuhan dan perkembangan yang berkelanjutan
Peneliti ingin melihat seberapa baik kesejahteraan psikologis perempuan
dewasa madya yang dipoligini, berdasarkan 6 dimensi kesejahteraan psikologis
dari Ryff, sehingga mereka dapat bertahan dengan kehidupan dipoligini oleh
suaminya.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan tipe penelitian studi kasus, menggunakan teknik wawancara dan observasi
sebagai pendukung pada enam subjek perempuan dewasa madya yang dipoligini
yang terdiri dari 3 istri tua dan 3 istri muda untuk melihat perbedaan kesejahteraan
psikologis antara istri tua dan istri muda.
Kesimpulan umum yang didapatkan dari hasil penelitian ini adalah bahwa
subjek perempuan dewasa madya dengan suami berpoligini pada penelitian ini tampaknya tidak menunjukkan masalah dalam kesejahteraan psikologisnya. Hal
ini lebih menonjol lagi pada istri muda. Secara umum terlihat kecenderungan
bahwa situasi dipoligini pada awalnya memberikan tekanan-tekanan psikologis
terutama pada istri tua sehingga mereka perlu berproses untuk mendapatkan
kesejahteraan psikologis yang baik yang saat ini dirasakannya.
Kesejahteraan psikologis yang dirasakan subjek lebih merupakan hasil dari
latar belakang serta kerangka berpikirnya tentang perkawinan tradisional pada
umumnya, dan perkawinan poligini pada khususnya. Mereka berupaya keras
untuk menerima dan menyesuaikan diri dengan situasinya serta mencari
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pribadinya melalui berbagai sumber lain agar
mempunyai kesejahteraan psikologis yang baik.
Berkenaan dengan dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis secara
khusus, maka dapat dijabarkan secara ringkas sebagai berikut: 5 subjek
mempunyai penerimaan diri yang baik, 5 subjek mempunyai hubungan positif
yang baik dengan orang lain, 6 subjek mempunyai otonomi yang baik, 6 subjek
mempunyai penguasaan lingkungan yang baik, 6 subjek mempunyai tujuan hidup
yang baik, serta 4 subjek mempunyai pertumbuhan pribadi yang baik. Antara istri
tua dan istri muda terdapat perbedaan dalam dimensi penerimaan diri, hubungan
positif dengan orang lain dan dimensi otonomi. Antara istri tua dan istri muda
juga terdapat perbedaan dalam proses untuk mencapai kesejahteraan psikologis
yang dirasakan pada saat ini yang dipengaruhi oleh pengalaman hidup dan
harapan individu."
2002
S3077
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rika Yuri Yamada
"Meskipun Facebook telah menjadi salah satu social networking sites (SNSs) yang paling populer dan bermanfaat di Internet, penggunaannya telah dikaitkan dengan kesejahteraan psikologis. Dengan demikian, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji hubungan antara penggunaan Facebook dan kecemasan sosial, depresi, dan social belonging. 852 orang (545 perempuan, 289 laki-laki, 18 tidak mengidentifkasikan jenis kelamin; Mage = 28.94, SD = 13.98) direkrut secara acak melalui survei online. Penggunaan Facebook, kecemasan sosial, depresi, dan social belonging diukur dengan menggunakan item yang dipilih dari berbagai kuesioner. Analisis korelasi Pearson mengungkapkan korelasi negatif yang signifikan antara penggunaan Facebook dan kecemasan sosial (r = -.07, p = .033) serta depresi (r = -.11, p = .001) sementara korelasi positif yang signifikan ditemukan antara penggunaan Facebook dan social belonging (r = .13, p < .001). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan Facebook yang lebih besar dikaitkan dengan tingkat kecemasan dan depresi sosial yang lebih rendah serta social belonging yang lebih tinggi, menunjukkan bahwa platform ini dapat digunakan sebagai media untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis.

Although Facebook has become one of the most popular and beneficial social networking sites (SNS) on the Internet, its prevalent use has been linked to problems associated with one’s psychological well-being. As such, the aim of this research was to examine the individual relationships between Facebook use and social anxiety, depression, and social belonging. A community sample of 852 people (545 female, 289 male, 15 non-binary, 3 other-identifying; Mage = 28.94, SD = 13.98) were randomly recruited through an online survey. Facebook use, social anxiety, depression, and social belonging were measured using selected items from various questionnaires. Pearson’s correlation analysis revealed significant negative correlations between Facebook use and social anxiety (r = -.07, p = .033) as well as depression (r = -.11, p = .001) while a significant positive correlation was found for social belonging (r = .13, p < .001). These findings demonstrated that greater Facebook use was associated with lower levels of social anxiety and depression as well as a higher sense of social belonging, suggesting that this platform may be utilised as a medium to improve one’s psychological wellbeing."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wuri Ayu Puspita Sari
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah perceived social support memoderasi hubungan antara distres psikologis dan kesejahteraan psikologis. Partisipan dalam penelitian ini adalah emerging adults Indonesia berusia 18-25 tahun berjumlah 828 partisipan. Hasil pengolahan data menggunakan teknik analisis regresi menunjukkan bahwa perceived social support tidak memoderasi hubungan antara distres psikologis dan kesejahteraan psikologis, β = 0.0016, t(828) = 0,66, p>0,5, yang berarti perceived social support tidak memperkuat atau memperlemah hubungan antara distres psikologis dan kesejahteraan psikologis. Namun, jika dilihat secara terpisah, ditemukan bahwa distres psikologis secara signifikan dapat memprediksi kesejahteraan psikologis, β = - 0.27, t(828) = -15.05, p<0.05. Selain itu, perceived social support secara signifikan dapat memprediksi kesejahteraan psikologis, β = 0.51, t(828) = 11.65, p<0.05.

This study aims to determine whether perceived social support moderates the relationship between psychological distress and psychological well-being. Participants in this study were Indonesian emerging adults aged 18-25 years totaling 828 participant. The results of data processing using regression analysis techniques show that perceived social support does not moderate the relationship between psychological distress and psychological well-being, β = 0.0016, t (828) = 0.66, p> 0.5, which means perceived social support does not strengthen or weaken the relationship between psychological distress and psychological well-being. However, when viewed separately, it was found that psychological distress could significantly predict psychological well-being, β = - 0.27, t (828) = -15.05, p <0.05. In addition, perceived social support can significantly predict psychological well-being, β = 0.51, t (828) = 11.65, p <0.05."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nugrohoningtyas
"ABSTRAK
Makna kerja pada perempuan berkeluarga yang bekerja, terutama pada mereka yang berada pada tingkatan manajerial lebih didasari oleh motif atau keinginannya
untuk mengaktualisasikan dirinya. Di Indonesia, kesempatan kerja bagi perempuan
dengan jenjang kedudukan yang tinggi telah mengalami peningkatan. Namun demikian, fenomena yang terjadi di masyarakat barat menunjukkan adanya kecenderungan yang cukup tinggi dari perempuan berkeluarga yang berhenti bekerja pada tingkatan manajerial. Keinginan membesarkan dan mengasuh anak merupakan alasan yang paling banyak mereka kemukakan.
Dilema antara kerja dan rumah tangga tersebut menimbulkan keputusan sebagian perempuan berkeluarga yang bekerja untuk berhenti bekerja. Anggapan bahwa
tugas-tugas dometik dianggap tidak penting menimbulkan rasa kehilangan nilai bagi
individu perempuan ketika mereka berhenti bekerja, yang menyebabkan mereka kehilangan rasa percaya pada diri sendiri, merasa ‘tidak layak’ untuk bergaul karena statusnya yang ‘hanya’ sebagai ibu rumah tangga. Kondisi ini tampak sedikit banyak telah pula mempengaruhi pandangan sebagian masyarakat, terrnasuk perempuan sendiri
tentang peran mereka sebagai ibu mmah tangga. Terdapat anggapan bahwa peran ibu rumah tangga itu ketinggalan Jaman, udak prestisius, dan tidak membutuhkan keterampilan intelektual yang tinggi.
Di sisi lain banyak ibu rumah tangga yang menyukai pekerjaan merawat dan
mengasuh anak. Mereka melihat peran ibu tergolong spesial, dapat memberikan sesuatu yang bermakna yang dapat memperkaya perkembangan anak (Hock dalam
Smolak, 1993) dan keleluasaanya dalam mengatur jadual kerja sendiri (Oakley,
dalam Smolak, 1993). Paling tidak secara sementara, mereka ingin mengorbankan
penghasilan dan keuntungan lain dari kerja luar rumah dengan jalan memberikan
pengaruh mereka terhadap anak.
Kesejahteraan psikologis adalah sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia. Ryff (1989) memaparkan mengenai karakteristik kesejahteraan psikologis yang
meliputi pemahaman dan penerimaan berbagai aspek dari diri seseorang, hubungan
yang positif dengan orang lain, kemandirian, memilih lingkungan yang sesuai, memi-
liki tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.
Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh gambaran secara spesiiik tentang
perempuan khususnya perempuan brkeluarga yang telah berhenti bekerja di suatu
organisasi formal dengan kedudukan terakhir pada posisi setingkat manajer. Adanya
keputusan berhenti bekerja menirnbulkan pertanyaan mengenai bagaimana kondisi
kesejahteraan psikologis perempuan tersebut setelah berhenti bekerja.
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan
wawancara mendalam dan Skala Kesejahteraan Psikologis (SPWB) yang diadaptasi
dan Ryff (1989) yang bertujuan mendapatkan gambaran yang mendalam dan bermakna. Subjek penelitian benjumlah 3 (tiga) orang dengan karakteristik usia dewasa madya dengan posisi terakhir setingkat level manajer di suatu organisasi formal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kekhasan penghayatan kesejahteraan psikologis pada ketiga subjek penelitian. Subjek yang mengalami dominasi
dari suami mempunyai kondisi kesejahteraan psikologis yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang memiliki kebebasan dalam menentukan pi1ihan-pilihannya sendiri. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan kesejahteraan psikologis
merupakan proses untuk ‘menjadi'. Rogers (1995) menggambarkan bahwa aktualisasi
diri merupakan suatn proses, suatu arah bukan suatu tujuan, dimana aktualisasi diri
berlangsung secara terus-menerus, tidak pernah merupakan suatu kondisi yang selesai
atau statis. Oleh karena itu, tidak ada titik puncak dari kesejahteraan psikologis. Yang
mungkin dicapai oleh individu adalah berubah dari kondisi kesejahteraan psikologis
rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Hasil penelitian menunjukkan kondisi kesejahteraan psikologis buka.n dipengaruhi oleh faktor bekrja atau tidak bekerja, namun terdapat faktor-faktor lain yang diduga lebih memberikan pengaruh terhadap kondisi ke-
sejahteraan psikologis mereka.
Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian tentang
faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kondisi kesejahteraan psikologis mantan
manajer yang berkeluarga."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38301
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chiquita Pramesta
"ABSTRACT
Ada berbagai faktor yang dipengaruhi oleh kesejahteraan psikologis, seperti usia, jenis kelamin, dan pengalaman hidup. Relawan dengan tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi memiliki risiko rendah mengalami stres traumatis sekunder setelah kembali dari lokasi bencana. Skala Ryff's Well-Being Psychological dan Secondary Traumatic Stress Scale digunakan untuk mengidentifikasi kesejahteraan psikologis dan stres traumatis sekunder pada relawan yang ditugaskan setelah Tsunami di Pandeglang, Banten. Desain penelitian cross sectional digunakan, teknik sampel menggunakan total sampling yang melibatkan 32 relawan, dan analisis data menggunakan chi square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara kesejahteraan psikologis dan stres traumatis sekunder (α = 0,001). Tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi dapat mengurangi stres traumatis sekunder (p = 18.701). Hal ini diperlukan untuk melakukan penyaringan kesejahteraan psikologis untuk mengurangi stres traumatis sekunder.

ABSTRACT
There are various factors that are influenced by psychological well-being, such as age, gender, and life experience. Volunteers with a high level of psychological well-being have a low risk of experiencing secondary traumatic stress after returning from the disaster site. The Ryff's Well-Being Psychological Scale and Secondary Traumatic Stress Scale are used to identify psychological well-being and secondary traumatic stress in volunteers assigned after the Tsunami in Pandeglang, Banten. The cross sectional research design was used, the sample technique used total sampling involving 32 volunteers, and the data analysis used chi square. The results showed that there was a significant correlation between psychological well-being and secondary traumatic stress (α = 0.001). A high level of psychological well-being can reduce secondary traumatic stress (p = 18,701). It is necessary to screen psychological well-being to reduce secondary traumatic stress."
2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Devi Kartika Sari
"ABSTRAK
Kemiskinan merupakan suatu masalah yang perlu dicermati di setiap
negara. Di Indonesia, jumlah penduduk miskin yang telah tunm beberapa tahun
ini kembali mengalami peningkatan akibat berbagai macam krisis yang melanda
Indonesia. Kehidupan golongan miskin yang buruk dapat dilihat dari lingkungan
fisiknya, tempat tinggal, atau macam pekerjaannya. Umumnya mereka
berpendidikan rendah dan hanya memiliki keterampilan yang terbatas sehingga
menyulitkan mereka bekerja di sektor formal. Di perkotaan, penduduk miskin ini
merupakan kelompok yang heterogen yang seringkali dipandang sebagai
kelompok marjinal.
Berbagai pengalaman yang dirasakan selama hidup dalam kemiskinan
diasumsikan sedikit banyak turut mempengaruhi/)5yc/7o/ogjca/ well-being (PWB)
atau kesejahteraan psikologis mereka. Ross & Mirowsky (1989) dalam
penelitiannya mengemukakan bahwa status sosial ekonomi yang dimiliki individu
berpengaruh terhadap psychological distress dan psychological well-being
individu. Semakin rendah tingkat sosial ekonomi seseorang, maka kecenderungan
tingkat distress-nya semakin tinggi, dan semakin rendah PWB individu tersebut.
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa status sosial ekonomi yang rendah
tidak hanya dapat meningkatkan akibat yang negatif, tapi juga menurunkan
positive well-being individu (Ryff, 1996). Konsep PWB terbaru yang
dikemukakan oleh RyfT dapat memperlihatkan bagaimana penilaian individu
terhadap pencapaian potensi-potensi dlrinya pada saat ini, yang dipengaruhi oleh
pengalaman hidup dan harapan-harapan individu. Sebagai suatu konsep, PWB
terdiri dari enam dimensi, yakni dimensi penerimaan diri, otonomi, penguasaan
lingkungan, pertumbuhan pribadi, tujuan hidup, dan dimensi hubungan positif
dengan orang lain.
Menurut Lewis (1976), orang yang mengalami penderitaan ekonomi
selama bertahun-tahun lamanya memiliki potensi mengalami apa yang disebutnya sebagai budaya kemiskinan, yang ditandai dengan sikap yang fatalistik dan
aspirasi yang rendah. Beberapa teori mengenai kemiskinan mengemukakan sisi
negatif dari sifat-sifat orang miskin, seperti yang dikemukakan Argyle (1991),dan
pada teori yang menekankan nilai-nilai. Dalam teori-teori tersebut dijelaskan
bahwa orang miskin cenderung malas, tidak tekun, bergantung pada orang lain,
menutup diri, tidak mempunyai konsep mengenai hari esok, bersikap menerima
nasib, memiliki kontrol internal yang rendah dan berbagai pola perilaku yang
tidak sesuai atau dianggap buruk oleh golongan yang tidak miskin. Semua teoriteori
di atas memperlihatkan sifat-sifat buruk dari golongan miskin yang dapat
mempengaruhi dimensi-dimensi PWB.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dibuat untuk memperoleh
gambaran yang lebih utuh dan mendalam mengenai gambaran PWB pada salah
satu kelompok miskin di perkotaan. Subyek penelitian ini adalah para pengemudi
becak berusia dewasa muda yang telah menarik becak minimal satu tahun
lamanya. Dipilihnya para pengemudi becak sebagai subyek penelitian karena
umumnya mereka memiliki karakteristik seperti orang miskin lainnya. Selain itu,
sejak awal keberadaannya hingga sekarang ini, pekeijaan menarik becak
seringkali menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dengan
pertimbangan bahwa pendekatan kualitatif dapat menggali secara lebih mendalam
penghayatan PWB dari setiap individu. Subyek penelitian ini beijumlah lima
orang. Pemilihan subyek dila^kan secara purposif melalui metode pengambilan
subyek bola salju (snowball/ chain sampling). Pengambilan data dilakukan
dengan metode wawancara mendalam (depth interview) ditambah dengan
observasi terhadap subyek dan tempat dilakukannya wawancara.
Dari hasil wawancara terhadap kelima subyek, dapat disimpulkan bahwa
kelima subyek memiliki gambaran PWB yang relatif baik. Secara berurutan, dapat
dilihat dari gambaran dimensi hubungan positif dengan orang lain, penguasaan
lingkungan, penerimaan diri, dan otonomi yang tampil cukup baik. Sedangkan
dua dimensi lainnya, yakni dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi tampil
dengan kualitas yang kurang memuaskan. Secara umum dapat dikatakan bahwa
status pekeijaan yang rendah (sebagai tukang becak) atau tingkat sosial ekonomi
rendah temyata berperan cukup besar pada pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup.
Sedangkan dimensi hubungan interpersonal tampaknya tidak terlalu berkaitan
dengan status pekeijaan yang rendah atau dengan tingkat sosial ekonomi subyek
yang rendah.
Berdasarkan hasil wawancara dengan kelimanya, diduga ada beberapa
faktor yang berkaitan dengan PWB mereka. Diantaranya adalah dukungan sosial,
beberapa variabel demografis, mekanisme perbandingan sosial dan pemusatan
psikologis, sistem nilai budaya Jawa/ sikap mental sebagian besar masyarakat
Indonesia, serta faktor kepribadian yang semuanya tampak cukup berperan
mempengaruhi pembentukan dimensi-dimensi PWB kelima subyek."
1999
S2772
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dessie Dwi Rahayu
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3099
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>