Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwi Putro Widodo
"Pendahuluan
Keringat dihasilkan oleh kelenjar keringat dengan komposisi 99 % air dan sisanya merupakan larutan yang mirip dengan larutan yang terdapat di dalam plasma. Natrium (Na+) dan klorida (Cl-) merupakan komponen terbanyak pada keringat.
Uji keringat adalah pengukuran secara kualitatif dan kuantitatif kadar Na+ dan Cl- yang terkandung di dalam keringat.
Mengetahui batasan nilai normal kadar elektrolit keringat sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis penyakit fibrosis kistik (FK). Seperti diketahui bahwa uji keringat merupakan uji diagnostik utama untuk menegakkan penyakit FK, karena lebih dari 99 % kasus FK kadar elektrolit (Na+ dan Cl-) keringatnya lebih tinggi dari normal dan menetap (uji keringat positif). Keadaan ini ternyata tidak dijumpai pada penyakit lain ( Peterson dkk., 1959; Shwachman, 1983 ). Dan untuk mengetahui batasan nilai normal, diperlukan adanya suatu baku nilai elektrolit keringat yang dianggap normal ( Wood dkk., 1976; Shwachman, 1962).
Banyak kasus FK tidak dapat didiagnosis karena kematian pada waktu bayi yang disebabkan adanya mekonium ileus, penyakit paru yang progresif, atau tidak adanya sarana diagnostik sehingga laporan insidens sangat berbeda di berbagai negara (Di Sant Agnese dkk., 1967).
Selain itu, diketahui juga bahwa penyakit FK tetap merupakan penyakit "life-limiting", walaupun kelangsungan hidup selama 25 tahun terakhir ini meningkat secara dramatis (Doershuk dan Boat, 1983). Namun demikian masih diperlukan diagnosis dini sehingga dapat diberikan pengobatan/tindakan secara dini pula, untuk memperoleh harapan kelangsungan hidup yang lebih panjang (Di Sant Agnese dkk., 1967; Wood dkk., .1976).
Di Sant Agnese dkk.(1967) berpendapat dengan migrasi dan perpindahan orang-orang Kaukasia ke Asia (terjadi kawin "campuran") akan merubah frekuensi penyakit FK di Asia. "WHO/ICF meeting " (1985) melaporkan 65 kasus FK pada orang Jepang, sedang di Indonesia Handoyo dkk. (1980) melaporkan satu kasus FK pada seorang gadis Indonesia keturunan Cina berumur 18 tahun. Karjoo dkk. (1984) menemukan 3 kasus FK pada bayi dan anak Iran, hal ini menunjukkan bahwa gen FK telah ada di masyarakat Iran tetapi masih jarang.
Manfaat klinis dari hasil uji keringat terlihat dari adanya laporan Shwachman dkk.(1970) yang menemukan 130 kasus FK, 63 kasus di antaranya didiagnosis sebelum timbul gejala, 13 kasus dengan gejala ringan dan 54 kasus didiagnosis selama perawatan.
"
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andhika Raspati
"Latar Belakang. Masalah kesehatan yang kerap muncul pada olahraga berlari banyak disebabkan oleh dehidrasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju keringat pelari rekreasional terlatih agar masalah kesehatatan terkait dehidrasi dapat dicegah. Metode. Penelitian eksperimental ini melibatkan 23 pelari rekreasional terlatih yang diminta untuk berlari selama satu jam pada pagi hari di ruang terbuka kota Jakarta. Berat badan subjek ditimbang sebelum dan setelah berlari. Selisih berat badan kemudian dikalkulasikan dengan volume asupan cairan selama latihan untuk memperoleh laju keringat. Hasil. Berdasarkan persentase kehilangan berat badan, 18 dari 23 subjek mengalami dehidrasi setelah berlari selama satu jam, dengan rata-rata mencapai 1.4 (1.4 ± 0,4) %. Selama latihan, rata-rata subjek minum sebanyak 311 mL. Rata-rata laju keringat yang dikeluarkan subjek mencapai 1.2 (1.2 ± 0,3) L/jam. Laju keringat memiliki korelasi positif dengan luas permukaan tubuh (r = 0,71, p < 0,01) dan juga indeks massa tubuh (r= 0,77, p < 0,01) subjek. Tidak ditemukan adanya korelasi signifikan antara laju keringat dengan intensitas dan riwayat latihan subjek. (p > 0,05) Kesimpulan. Tingginya laju keringat subjek masih belum diimbangi oleh asupan minum subjek, sehingga menyebabkan terjadinya dehidrasi. Untuk itu diperlukan edukasi mengenai strategi rehidrasi yang sesuai dengan kebutuhan individual untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan akibat dehidrasi

Background. Health problems that often appear in running are mostly caused by dehydration. This research aims to know the sweat rate of trained recreational runners so that health problems related to dehydration can be prevented. Method. This experimental study involved 23 trained recreational runners who were asked to run for one hour on the morning day in the open space of the city of Jakarta. Subject was weighed (with precision up to 0,1 kg) before and after running. Body weight that were loss during running is then calculated with the volume of fluid intake to get the sweat rate. Results. Based on the percentage of body weight loss, 18 out of 23 subjects were dehydrated after running for one hour, with the average reaches 1.4 (1.4 ± 0,4)%. During practice, the average subject drinks as much as 311 mL. The average sweat rate of the subject was 1.2 (1.2 ± 0,3) L / hour. Sweat rate has a positive correlation with body surface area (r = 0,71, p <0,01) and also body mass index (r = 0,77, p <0,01). There was no significant correlation found between the sweat rate and the exercise intensity nor training history of the subject. (p> 0,05) Conclusion. The high sweat rate of the subject was still not matched by their fluid intake, causing dehydration. Therefore education is needed regarding the rehydration strategy that suits the individual needs to prevent health problems related to dehydration."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59134
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farrel Mahardhika Fajar
"Manusia selalu dipaparkan dengan rangsangan eksternal, baik fisik (langsung) maupun emosional (tidak langsung). Sekresi keringat yang terjadi pada sistem syaraf manusia dapat terjadi sebagai sistem respon. Keberadaan keringat mengubah konduktivitas kulit. Pada skripsi ini sebuah alat dibuat untuk aktivitas konduktivitas kulit ketika rangsangan fisik dan emosional diberikan. Rangsangan fisik merupakan pukulan sedang ke dada, dan ransangan emosional berupa penontonan video kejutan. Pengukuran diberikan waktu diam selama 10 detik agar tubuh beristirahat sebelum menerima rangsangan fisik, dan setelah sepuluh detik selanjutnya, rangsangan emosional diberikan. Jangka waktu percobaan selama 45 detik. Analisis dilakukan untuk membandingkan perubahan konduktivitas pada kulit kering dan kulit basah. Hasil pengukuran memberikan perubahan pada konduktivitas kulit kering lebih terlihat dibandingkan perubahan pada kulit yang berkeringat. Percobaan ini juga menunjukkan adanya jeda waktu 3,05 sampai 5 detik antara rangsangan fisik dan responnya, tetapi pada rangsangan emosional jeda waktu ini tidak ada.

Humans are continually exposed to external impulses, both physical (direct) and emotional (indirect). Sweat can be secreted by the nervous system as a response system. The presence of sweat changes skin conductivity. For this study a device was developed to measure skin conductivity and its activity when physical and emotional impulses were introduced. The physical impulse was a mild punch to the arm, and the emotional impulse was prompted by watching a video that contained an element of surprise. Measurement was delayed by 10 seconds to let the body rest before receiving the physical impulse, and after another 10 seconds, the emotional impulse was introduced. Total time taken for the measurement was 45 seconds. An analysis was conducted to compare the change in dry skin conductivity with the change in conductivity in skin that was already sweating. Measurement results revealed that changes in dry skin conductivity are more pronounced than changes in sweating skin conductivity. The study also demonstrated that a delay of 3.05 to 5 seconds exists between physical impulse and response, but no delay is present between emotional impulse and response."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library