Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Erdianal
"Kecamatan Kampar Kiri Tengah merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Kampar yang mempunyai angka penderita malaria klinis yang tertinggi (AMI = 79,19) dari 18 (delapan belas) kecamatan yang berada di Kabupaten Kampar. Penyakit malaria disebabkan oleh Plasmodium dan ditularkan oleh nyamuk anopheles, sp sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan dan salah satu dari sepuluh besar penyakit penyebab kematian di Indonesia, dan dapat menimbulkan kerugian di bidang sosial ekonomi.
Penelitian ini menggunakan desain kasus kontrol yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian malaria di Kecamatan Kampar Kiri Tengah Kabupaten Kampar. Sebagai kasus adalah pasien yang berkunjung ke puskesmas dengan gejala klinis dan basil pemeriksaan darah malaria positif, sedangkan kontrol adalah pasien yang berkunjung tanpa gejala malaria klinis, dan basil pemeriksaan darah negatif. Jumlah kasus dan kontrol masing-masing sebanyak 69 kasus.
Faktor-faktor yang diteliti adalah tempat perkembangbiakan nyamuk, pemeltharaan temak besar, pemakaian kelambu, pemakaian obat anti nyamuk, pemakaian kawat kasa, dan pemakaian bahan penolak nyamuk (repelen).
Dari basil penelitian ini diketahui ada lima variabel yang berhubungan dengan kejadiaan malaria, yaitu tempat perkembangbiakan nyamuk dengan nilai p = 0,006 (OR 2,8 ; 95 CI 1,381 - 5,512), perneliharaan temak besar nilai p = 0,001 (OR 3,2 ; 95 CI 1,650 - 6,693), pemakaian kelambu nilai p = 0,017 (OR 2,4 ; 95 CI 1,226 - 4,845), penggunaan obat anti nyamuk nilai p = 0,026 (OR 2,3; 95% CI 1,158 - 4,564), dan penggunaan kawat kasa nyamuk nilai p = 0,027 (OR 2,3 ; 95% CI 1,153 -- 4,513).
Dan hasil analisis multivariat didapatkan faktor yang paling dominan adalah pemeliharaan temak besar, dan diikuti oleh tempat perkembangbiakan nyamuk, dan pemakaian obat anti nyamuk.
Hasil penelitian ini agar pemerintah daerah Kabupaten Kampar merencanakan program pemberantasan malaria, dengan melakukan penyuluhan kepada masyarakat melalui kegiatan-kegiatan yang telah ada di masyarakat, meniadakan tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk dan atau memeliharan ikan pemakan jentik nyamuk, memelihara temak, membudayakan pemakaian kelambu, memasang kawat kasa nyamuk di ventilasi rumah, dan pemakaian obat anti nyamuk yang ramah lingkungnan.

Kampar Kiri Tengah Sub-District has the highest number of malaria patients (AMI:79,19) out of 18 sub-district in Kampar district. Malaria is caused by Plasmodium and transmitted out by anopheles sp mosquitoes. Until now, malaria is a major health problem in Indonesia and is one of the top ten high fatality diseases in Indonesia, and is detrimental to socio-economic field.
This study utilizes a case control research design and the objective is to find out the factors related to the occurrence of malaria disease in Kampar Kiri Tengah Sub-District, Kampar District. The case group consists of patients who visit health centre and show clinical symptoms of malaria and whose blood examination result is positive. The control group consists of patients who do not have clinical symptoms of malaria and the blood examination is negative. The number of case group and control group is 69 patients, respectively.
Factors studied are mosquito breeding sites, living next to large cattle barns, the use of bed net, anti-mosquito chemical, wire netting, and repellent.
The result of the study suggested that there are five variables related to occurrence of malaria, namely mosquito breeding sites with p value = 0,006 (OR 2,8 ; 95% CI 1,381-5,512), living next to large cattle with p value = 0,001 (OR 3,2 ; 95% CI 1,650-6,693), the use of bed net with p value = 0,017 (OR 2,4 ; 95% CI 1,226 - 4,845), the use of anti-mosquito chemicals with p value = 0,026 (OR 2,3; 95% CI 1,158 - 4,564) and the use of wire netting with p value = 0,027 (OR 2,3 ; 95% CI 1,153 -4,513).
Multivariate analysis showed that most dominant factors is living next to large cattle, followed by mosquito breeding sites and the use of anti-mosquito chemical.
The results of study suggest that the authorities in Kampar district should plan and implement programs in eradicating malaria, by providing health education to the community through activities already undertaken within the community, eliminating possible site for mosquito breeding or encourage people to keep fish that predate on mosquito larvae, keep cattle, socializing the use of bed net, installing wire net on house ventilatioii and windows, and suggesting the use of environmentally anti-mosquito chemical.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T20006
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saidat Dahlan
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983
499.2 SAI h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhamlin
"ABSTRAK
Pembangunan pertanian sub-sektor perkebunan di Indonesia telah dikembangkan dalam berbagai pola, di antaranya adalah pola Unit Pelaksana Proyek (UPP) dan pola Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-Bun). Pengembangan perkebunan dengan pola PIR bertujuan untuk membangun masyarakat pekebun yang berwiraswasta dan sejahtera dengan melibatkan pengusaha perkebunan dan petani, dalam suatu sistem hubungan kerjasama yang saling menguntungkan, utuh dan berkesinambungan. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengusaha perkebunan bersama-sama dengan instansi terkait membantu dan membimbing perkebunan rakyat di sekitarnya melalui pembinaan petani.
Di daerah Riau, pengembangan perkebunan dengan pola PIR telah dilaksanakan sejak tahun 1981. Salah satu di antaranya adalah PIR Khusus (PIR-Sus) Sei Tapung di Kecamatan Tandun, Kabupaten Daerah Tingkat II Kampar, Riau. Proyek PIR-Sus ini mengusahakan budidaya kelapa sawit seluas 7.670 ha, meliputi 5.000 ha kebun plasma dan 2.670 ha kebun inti. Bersamaan dengan itu telah dimukimkan pula 2.500 kepala keluarga (KR) petani peserta yang terdiri dari 2.000 KK petani asal transmigrasi dan 500 KK petani lokal.
Kegiatan proyek PIR-Sus sejak periode persiapan hingga periode pembayaran kembali, diduga telah menimbulkan dampak pada lingkungan hidup, khususnya terhadap Cara hidup petani lokal, terutama tentang persepsinya mengenai alokasi waktu. Kajian tentang alokasi waktu ini perlu dilakukan, karena di satu sisi perubahan jenis usaha tani dari tanaman pangan dan/ atau kebun karet ke usaha tani kebun kelapa sawit menuntut perubahan alokasi waktu. Sebab waktu yang diperlukan untuk usaha tani tanaman pangan hanya 144 hari kerja per ha per musim, sedangkan untuk mengelola dua ha kebun kelapa sawit yang telah menghasilkan diperlukan waktu 342 hari kerja per tahun. Di sisi lain ada kebiasaan yang berlaku bagi masyarakat local, bahwa dalam seminggu biasanya mereka bekerja lima hari. Hal ini berarti dalam setahun hanya ada 260 hari kerja. Atas dasar ini diduga bahwa perubahan jenis usahatani akan mempengaruhi pola alokasi waktu petani lokal memperoieh penyuluhan yang relatif intensif, terpadu dan berkesinambungan dari pihak PTP sebagai pengelola PIR-Sus Sei Tapung. Sebagai hasil penyuluhan itu diduga telah terjadi perubahan persepsi petani lokal yang menjadi peserta PIR terhadap arti pentingnya waktu. Perubahan persepsi terhadap waktu tersebut dapat diketahui dari tanggapan petani tentang jumlah alokasi waktu untuk berbagai kegiatan. Bagi pihak pembina petani (penyuluh), pola alokasi waktu petani merupakan informasi penting terutama dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan yang tepat sasaran, tepat waktu, sangkil dan mangkus. Untuk itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengevaluasi dampak penyuluhan yang dilakukan terhadap persepsi petani mengenai alokasi waktu.
Mengetahui apakah ada perbedaan persepsi petani PIR dan non-PIR mengenai alokasi waktu ; dan untuk melihat apakah ada hubungan jenis usahatani dengan persepsi petani mengenai alokasi waktu.
Sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian, diajukan hipotesis penelitian, yaitu persepsi petani mengenai jumlah alokasi waktu berhubungan dengan keikutsertaan petani dalam PIR, frekuensi kehadiran mengikuti penyuluhan dan jenis usahatani. Persepsi mengenai alokasi waktu diukur dengan tanggapan responden terhadap jumlah alokasi waktu, yang dibedakan atas tiga kategori tangga (RT) dan jumlah waktu yang dinikmati (K). Sedangkan keikutsertaan petani dalam PIR dibedakan atas dua kategori yaitu petani PIR dan petani non--PIR. Frekuensi mengikuti penyuluhan dibedakan atas tiga kategori yaitu kurang, sedang dan sering. Sedangkan jenis usahatani dibedakan atas usahatani tanaman pangan, tanaman kebun karet dan tanaman kebun kelapa sawit.
Perselitian terhadap petani PIR dilakukan di Desa Tapung Jaya, sedangkan terhadap petani non-PIR dilakukan di Ke1urahan Ujungbatu, dengan jumlah sampel 20 persen dari masing-masing sub-populasi . Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dan pengamatan, sedangkan analisis data dilakukan dengan uji statistik kai kuadrat 2(X ).
Berdasarkan asumsi semula bahwa faktor produktifitas petani dianggap sama (diabaikan) maka dari hasil analisis yang dilakukan, penelitian ini menyimpulkan bahwa:
1) Rata-rata alokasi waktu petani PIR untuk B adalah 8,0 jam per hari, untuk RT 1,0 jam per hari dan untuk K 10,4 jam per hari. Sedangkan rata-rata alokasi waktu petani non-PIR untuk B adalah 6,5 jam per hari, untuk RT 1,2 jam per hari dan untuk K 11,7 jam per hari. Berdasarkan alokasi waktu tersebut, maka waktu luang petani PIR dan non-PIR masing--masing adalah 4,6 jam per hari.
2) Ada perbedaan alokasi waktu petani PIR dengan petani non-PIR, di mana alokasi waktu B petani PIR lebih banyak dari petani non-PIR. Apabila dibandingkan dengan jam kerja baku (8,0 jam per hari) maka petani PIR lebih giat bekerja dari petani non-PIR. Sedangkan alokasi waktu untuk RT dan K petani PIR lebih sedikit dari petani non-PIR. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dengan masuknya petani lokal menjadi peserta PIR cenderung bertambah besar jumlah jam bekerjanya, sebaliknya berkurang jumlah waktu untuk kegiatan rurnah tangga dan jumlah waktu yang dinikmati.
3) Berdasarkan asumsi semula bahwa faktor produktifitas petani dianggap sama, ternyata ada perbedaan rata-rata alokasi waktu untuk berbagai kegiatan antara petani tanaman pangan, petani kebun karet dan petani kebun kelapa sawit. Dilihat dari rata-rata alokasi waktu bekerja, petani kebun kelapa sawit lebih giat dari petani kebun karat maupun petani tanaman pangan.
4) Dengan mengasumsikan bahwa faktor umur, tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan merupakan faktor yang diabaikan, maka ternyata ada hubungan antara frekuensi kehadiran petani mengikuti penyuluhan dengan rata-rata alokasi waktu B, RT dan K. Frekuensi penyuluhan yang dihadiri petani berkorelasi positif dengan rata-rata alokasi waktu B, sebaliknya berkorelasi negatif dengan rata-rata alokasi waktu RT.
5) Dilihat dari rata-rata alokasi waktu luang (L) petani PIR dan non-PIR, (4,6 jam per hari) maka bagi petani PIR akan lebih sangkil bila dialokasikan untuk kegiatan rumah tangga dan waktu yang dinikmati khususnya untuk kebutuhan sosial dan kebutuhan rekreasi. Sedangkan bagi petani non-PIR, jumlah waktu luang tersebut akan lebih sangkil bila dialokasikan untuk bekerja dan kegiatan rumah tangga.
Berdasarkan kesimpulan di atas, diajukan beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1) Mengikutsertakan petani lokal yang menjadi peserta PIR, ternyata mampu merubah perilaku mereka dalam mengalokasikan waktu untuk kegiatan produktif. Oleh karena itu, diusulkan agar petani lokal yang akan menjadi peserta PIR ditingkatkan jumlahnya.
2) Dari rata-rata alokasi waktu B, petani PIR lebih giat dari petani non-PIR. Besarnya jumlah jam kerja petani PIR disebabkan oleh perubahan Jenis usahatani (sistem kerja) ke arah diversifikasi usaha. Oleh karena itu untuk membina petani non-PIR agar waktu bekerjanya meningkat maka perlu ada upaya ke arah diversifikasi usaha dari pemanfaatan waktu luang.
3) Keikutsertaan petani dalam kegiatan penyuluhan ternyata mempunyai dampak positif dalam merubah persepsi petani tentang arti pentingnya waktu, hal ini tereermin dari pernyataan petani dalam mengalokasikan waktunya. Untuk menirigkatkan jumlah jam kerja petani lokal, salah satu alternatif yang diusulkan adalah menyelenggarakan penyuluhan yang intensif, terpadu, dan berkesinambungan.
4) Karena pola alokasi waktu petani berhubungan dengan jenis usahatani tertentu, maka agar penyuluhan yang diberikan kepada petani tepat waktu dan tepat sasaran, maka pihak penyuluh perlu mempertimbangkan pola alokasi waktu yang berlaku bagi masing-masing petani menurut jenis usahataninya_ Dalam hal ini waktu luang merupakan waktu yang tepat untuk memberikan penyuluhan kepada petani.

The sub-sector farming of agricultural development in Indonesia is extended in some patterns, two of them are Project Implementation Unit (Unit Pelaksana Proyek (UPP)) and Nucleus Estate Plantation (Perusahaan Intl Rakyat Perkebunan (PIR-Bun)) patterns. The purpose of farming extension with PIR patterns is the development of farmers society entrepreneurship and wealth, involving the entrepreneurs and farmers, in mutuality symbiosis system, integration and continuation. To achieve this objective, farming entrepreneurs and related institutions should assist and guide the surrounding smallholders by developing the farmers.
In Riau Province, farming development of PIR patterns has been executed since 1981. One of these patterns is Special PIR (PI} Khusus or PIR-Sus) Sei Tapung in Tandun Sub-district, Kampar, Riau Province. This PIR-Sus project developed palm farming in 7.870 ha, included 5.000 ha plasma farm and 2.670 ha nucleus farm. At the same time, this area has been habitated by 2.500 families of PIR farmers, i . e 2.000 transmigrant families and 500 local inhabitant families.
It is expected that the activities of PIR-Sus project, since preliminary period up to the repayment period, have proceeded the environmental impact, especially to the local farmers perception on time allocation. A study on this time allocation of farmers is necessary, because of the changing type of agribusiness from food, plantation and r or rubber farming to palm farming, needs changing of time allocation. Agribusiness of food plantation requires 144 working days' per ha per year, as well as 342 working days per year to manage two ha of productive palm farming. Beside that, the local society traditionally works for five days per week and 260 days per year. It is expected that the changing type of agribusiness will influence the pattern of local farmers allocation of time.
PIR local farmers' get information intensively, integrated and continuously from PTP official, manager of PIR-Sus Sei Tapung. It is expected for the changing PIR member of local farmers' perception on the meaningful of time. Change of perception on time is indicated by the farmers? response on time allocation for a variety of activities. Patterns of farmers time allocation give an important information to the PIR informants, especially for the purpose of efficiency, effectiveness and on time of information activities. Getting data on this subject, it is necessary to perform research:
To evaluate the impact of information which is performed on farmers perception about time allocation; To know whether there is a different perception among PIR farmers' and non-PIR farmers' on time allocation; o note down whether there is relationship between types f agribusiness with farmers perception on time allocation.
As a temporary answer, it is necessary to develop research hypothesis, that there is a relationship between the farmers perception on the amount of time allocation with their participating in FIR, frequency of attending the information sessions and types of agribusiness. The perception on time allocation is indicated by the farmers response on time allocation for amount of time allocation is three categories of the amount of time allocation, i.e. the amount of time for working activities (bekeria (BY), the amount of time for housekeeping activities (rumah tng (RT)), and the amount of time for consumption (konsumsi (IC)). Two categories of farmers? position are PIR and non-PIR farmers'.
Frequencies of attending farming information are seldom, often, and very often. And types of agribusiness are agribusiness of food plantation, of rubber farming, and of palm farming.
Research on PIR farmers' was carried out in Tapung Jaya village and on non-PIR farmers' in Ujungbatu village, with 20 percent samples for each sub-population. Data collecting techniques are interview and observation. Analysis of data is 2 chi-square (X ) statistical test.
Conclusions of this analysis of data are:
The average time allocation of PIR farmers' for B is 8,0 hours per day, for RT is 1,0 hour per day, and for K is 10,4 hours per day. The average time allocation of non-FIR farmers' for B is 6,5 hours per day. The leisure time of FIR farmers' and non-PIR farmers' is only 4,6 hours per day.
Time allocation difference of PIR and non-PIR farmers' is that time allocation of PIR farmers' for B has more time than non-FIR farmers'. According to standard working time (8,0 hours per day), FIR farmers' are more active than non-FIR farmers'. Because time allocation of PIR farmers' for RT and K is less compared to that of non-PIR farmers', there is an inclination that farmers who become FIR members spend more time on FIR activities than on household activities and consumption of time.
Based on earlier assumption that each farmers has an equal productivity, it appears that there is a different of the average time allocation for a variety if' activities among food plantation farmers, rubber farming farmers, and palm farming farmers. For the average time allocation of B, palm-farming farmers are more active than food plantation farmers and rubber farming farmers.
Without including age, education and earning factors in this assumption, it seems there is a relationship between the frequency of farmers attending the information sessions with the average time allocation given to B, RT and K. Frequency of information activities of attended farmers has positive correlation with the average time allocation for B, but the negative correlation with the average time allocation for VT.
Regarding to the average amount of leisure time of .PIR and non-PIR farmers' which is 4,6 hours per day; it is more efficient if it is used for household activities and consumption of time, specifically for recreation and social activities. On the other hand it will be more efficient for to use that time for work and household activities.
Based on the above conclusion, there are some recommendations:
change their behavior of time allocation of productive activities. Therefore the members of PIR local farmers' should be pushed up.
According to the average time allocation for B, PIR farmers' are more active than non-PIR farmers'. The number of agribusiness diversification that positively influence the income level. To increase the working hour capacity of non-PIR farmers', we should enhance the diversification of business and the spending of leisure time.
Participation of farmers in the information activity has positive impact in changing farmers perception on the meaningful (important) of time; it is reflected from farmers behavior in allocating their time.
According to the correlation of farmers time allocation patterns and type of certain agribusiness, the information activities given to the farmers on time and on the right target, the informants should consider to the patterns of time allocation of farmers type of agribusiness. Leisure time is the right time to give information to farmers.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Wijono
"Terhitung sejak tanggal 1 Januari 2001 Indonesia telah memasuki era otonomi Daerah. Sebagian pengamat mencemaskan otonomi sebab dianggap memiliki potensi yang kuat dalam memperkuat egoisme daerah, sehingga tidak tertutup kemungkinan dapat menimbulkan disintegrasi nasional. Ditinjau dari aspek manajemen pemerintahan, terlihat pula bahwa kebanyakan Daerah belum siap dan mampu dalam menyelenggarakan otonomi. Ketidaksiapan Daerah tersebut terjadi akibat sempitnya waktu dalam mempersiapkan penyelenggaraan otonomi.
Wacana mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat (Pusat) dan Pemerintah Daerah (Daerah) merupakan salah satu topik penting dalam rangka otonomi. Pengalaman sampai sejauh memperlihatkan bahwa belum dapat dirumuskan hubungan keuangan Pusat-Daerah yang serasi, selaras dan harmonis. Hal ini tidak terlepas dari belum jelasnya pembagian tugas antara Pusat-Daerah. Tugas yang semestinya diurus Daerah (dalam rangka desentralisasi) ternyata masih diurus Pusat yang tertuang dalam Daftar Isian Proyek (DIP). Sebaliknya masih terdapat tugas dekonsentrasi (penugasan Pusat kepada Daerah) yang semestinya dibiayai Pusat, justru dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kondisi seperti ini akan memperlemah kinerja pembangunan di Daerah.
Sebagaimana umumnya di negara-negara dunia ketiga, hubungan Pusat-Daerah cenderung sentralistik. Sebaliknya, di negara-negara maju kecenderungannya adalah desentralistik. Hubungan Pusat-Daerah yang sentralistik erat kaitannya dengan penguasaan sumberdaya dalam hal ini keuangan.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perubahan hubungan keuangan Pusat-Daerah sebelum dan setelah diberlakukannya otonomi. Secara rinci, tujuan penelitian ini adalah :
1. Mendeskripsikan efektivitas dana bantuan-pusat di Kampar dan Klaten sebelum diberlakukannya otonomi.
2. Mendeskripsikan akurasi pemanfaatan dana bantuan-pusat di Kampar dan Klaten sebelum diberlakukannya otonomi.
3. Mendeskripsikan implementasi hubungan keuangan Pusat-Daerah di Kampar dan Klaten pada era otonomi.
4. Menganalisis implikasi hubungan keuangan Pusat-Daerah terhadap ketahanan nasional di Kampar dan Klaten."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Indra Warga Dalem
"Tidak ada abstrak"
Depok: Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firlly Diah Respatie
"Kasus Bupati Kampar berawal dari pengusiran yang dilakukan Bupati Kampar, Jefri Noer terhadap salah seorang guru teladan Tingkat Nasional yang juga seorang Kepala Sekolah SMU Negeri 2 Air Tiris, Abdul Latif. Seperti yang telah diberitakan oleh harian Kompas (11102), peristiwa itu terjadi di tengah-tengah dialog antara Bupati dengan para guru se-Kabupaten Kampar pada Kamis, 5 Februari 2004 lalu. Tindakan pengusiran yang dilakukan oleh Bupati, menyebabkan munculnya berbagai persoalan atau isu sehubungan dengan peristiwa tersebut.
Sesuai gejala yang ditemui, maka penelitian ini dilakukan dengan menggunakan sebagian dari Metode Audit Program Monitoring Lingkungan atau Environmental Monitoring Audit Programs, yaitu pada Tahap Peringatan Dini (Early Warning Phase). Sebagai penelitian yang bertujuan untukmengetahui kecenderungan pendapat umum yang dimuat dalam media massa dalam hal ini harian Kompas, maka penelitian ini dilakukan dengan mengadopsi analisis isi, dengan tetap mengacu pada gejala-gejala pendapat umum, yaitu adanya isu (tahap munculnya isu), adanya pro dan kontra (tahap diskusi) dan adanya sejumlah orang panting (tahap upaya kesepakatan). Analisis dilakukan terhadap 32 isi seluruh berita mengenai kasus Bupati Kampar yang dimuat di harian Kompas sebanyak pada kurun waktu 11 Februari - 26 Maret 2004.
Secara umum, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persoalan unjuk rasa merupakan isu yang paling sering muncul dalam berita kasus Bupati Kampar. Sementara kecenderungan arah isu pemberiitaan tersebut sebagian besar menunjukkan sebagian besar arahnya adalah negatif. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah merupakan pihak yang paling sering muncul sebagai sumber berita dalam kasus ini.
Berkaitan dengan fungsi pers dan kinerja para editor media massa, hasil penelitian ini memperlihatkan adanya proses penetapan agenda (Agenda Selling) dan Teori Struktural Fungsional yang dilakukan harian Kompas dalam memberitakan kasus ini. Jadi, terjadi sinergi antara agenda media masa, agenda publik, dan agenda kebijakan, saat agenda kebijakan yang dimuat oleh elit didasarkan Well agenda publik yang tercermin dan disalurkan oleh media massa sesuai agenda pemberitaan media massa tersebut.
Hasil penelitian ini pun menunjukkan kesesuaian dengan kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan kasus ini. lsu unjuk rasa sebagai isu yang paling sering muncul telah menjadi pertimbangan utama Mendagri dalam memenuhi tuntutan untuk menonaktifkan Bupati dan Wakil Bupati Kampar.
Atas dasar temuan ini, disarankan untuk menerapkan Audit Program Monitoring Lingkungan khususnya tahap Peringatan Dini (Early Warning Phase) untuk mengetahui gejala awal khususnya mengenai pendapat umum atau peristiwa-peristiwa sosial lainya yang mungkin memiliki pengaruh penting bagi sebuah organisasi atau institusi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14273
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marzuki
"Kota Kampar memiliki kearifan hukum lokal hukum adat tertentu dalam penanganan kasus sistem peradilan anak yang cukup berbeda dengan pendekatan hukum nasional. Hukum atau peradilan adat sendiri merupakan bagian dari proses kehidupan masyarakat, dalam rangka menyelesaikan perkara-perkara yang muncul di dalamnya. Selain itu, peradilan adat sesungguhnya merupakan hasil peradaban dari masyarakat itu sendiri, suatu peradilan yang didesain sesuai dengan karakteristik masyarakatnya. Dengan demikian, peradilan adat pada dasarnya merupakan jati diri masyarakat itu sendiri, tidak terkecuali di Kota Kampar.
Berdasarkan temuan data penelitian dan sumber berita online, di Kota Kampar masih terdapat banyak kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Sayangnya, berbagai kasus penyelesaian anak yang berhadapan dengan hukum tersebut tidak dilakukan dengan asas perlindungan anak sehingga banyak dari mereka berstatus sebagai tahanan atau bahkan narapidana dan berakibat akan hilangnya hak-hak mereka sebagai anak. Oleh karena itu, salah satu upaya yang dilakukan saat ini adalah dengan meminta kepada pemerintahan untuk menerapkan konsep restorative justice dan diversi.
Berdasarkan permasalahan tersebut, tujuan penelitian ini adalah melihat bagaimana prospek penerapan restorative justice Braithwaite dalam menanggani delinkuensi anak dilihat dari nilai-nilai budaya lokal Kampar Riau. Selain itu, penelitian ini berupaya menggali potensi yang masih ada dalam merevitalisasi peradilan adat sebagai bentuk penyelesaian restoratif. Dengan pendekatan kualitatif, penulis mencoba melihat berbagai permasalahan tersebut dengan menggunakan konsep teori Ikatan Sosial, Reintegrative Shaming dan Restorative justice, serta menggunakan teori Kriminologi Budaya.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa adanya indikasi untuk di terapkan restorative justice Braithwaite terhadap kenakalan yang dilakukan oleh anak salah satunya adalah ditemukan penyelesaian kenakalan anak pemukulan dan pencurian secara nilai dan norma adat desa Gunung Sahilan Kampar. Kata Kunci : Delinkuensi Anak, Hukum Adat Kampar, Restorative Justice Braithwaite , Ikatan Sosial, Reintegrative Shaming, Kriminologi Budaya.

Kampar city has a unique local law adat law in handling juvenile case and the system is much different with national law. Adat law is a part of society 39 s daily life, in order to solve the case within the city. Also, adat law is the outcome from the society itself, which is the law that suit the characteristics of the society. So, adat law basically is the identity of society, including Kampar city.
Based on research and online news, there are still many juvenile case and resolve the case with conventional law. And by the end of that process, there are many child being detention or moreover, the custody, and it means they lost the rights being childs. Hence, one of many efforts to do right now is doing restorative justice and diversion for the juvenile by the government.
Based on that case, the purpose of this research is to observe the prospect of applying restorative justice Braithwaite for solving child delinquency based on local value of Kampar Riau . Furthermore, this research is find the potential of adat law rsquo s revitalization as a form of restorative justice. With qualitative research, the author want to see the problem with Social bond theory, Reintegrative Shaming, and Restorative Justice, and with Cultural Criminology theory.
The result of this research is there is an indication to apply restorative justice Braithwaite based for solving juvenile delinquency, one of the indicator is there is a solving method based on value and moral of Gunung Sahilan Kampar rsquo s adat law."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
T47302
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zafira Rahmatul Ummah
"Dalam upaya untuk mengidentifikasi bangunan arsitektur vernakular, dalam hal: Ini adalah rumah adat, pendekatan yang sering dilakukan adalah melalui deskripsi dan klasifikasi. Arsitektur vernakular diklasifikasikan berdasarkan bentuk atap, bentuk seluruh bangunan, dan sebagainya. Meskipun tidak sepenuhnya salah, pendekatan seperti ini seolah-olah lupa bahwa rumah adalah bentuk fisik manifestasi dari pikiran manusia dan pengetahuan tentang lingkungan. Faktor social dan budaya sangat erat kaitannya dalam pembentukan rumah. Rumah bisa dikatakan sebagai refleksi tentang bagaimana manusia hidup dan merespon lingkungannya. Salah satu contohnya adalah Rumah Lontiok yang merupakan rumah adat Suku Melayu-Kampar terletak di Kabupaten Kampar, Riau. Perdebatan tentang Bentuk atap yang memiliki kemiripan dengan arsitektur tradisional Minangkabau adalah diskusi menarik tentang arsitektur rumah Lontiok dan identitas Melayu-Melayu Kampar. Makalah ini melihat ekspresi apa yang tercermin di rumah Lontiok melalui orientasi, bentuk, tata letak, dan tata letak rumah Lontiok. Refleksi dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial budaya yang dianut oleh masyarakat Melayu- Kampar seperti; sistem kepercayaan, sistem keluarga, dan tata krama yang mengatur hubungan antara manusia dan hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Pendekatan Hal ini diharapkan dapat memberikan sudut pandang lain untuk memahami bagaimana perilaku manusia dan keterlibatan mereka dengan lingkungan mereka melalui pembelajaran bentuk arsitektur.

In an effort to identify vernacular architectural buildings, in terms of: This is a traditional house, the approach that is often taken is through description and classification. Vernacular architecture is classified based on the shape of the roof, the shape of the entire building, and so on. Although not completely wrong, this approach seems to forget that the house is a physical manifestation of the human mind and knowledge of the environment. Social factors and culture are closely related in the formation of the house. The house can be said as a reflection of how humans live and respond to their environment. One example is the Lontiok House which is a traditional house of the Malay-Kampar tribe located in Kampar Regency, Riau. The debate about the shape of the roof which has similarities with traditional Minangkabau architecture is: interesting discussion about the architecture of the Lontiok house and the Malay-Malay identity of Kampar. This paper looks at what expressions are reflected in Lontiok's house through the orientation, shape, layout, and layout of Lontiok's house. Reflection is influenced by socio-cultural values adopted by the Malay-Kampar community such as; belief systems, family systems, and manners that regulate the relationship between humans and the relationship between humans and their environment. This approach is expected to provide another point of view to understand how human behavior and their engagement with their environment through learning architectural forms.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arniwita
"Desentralisasi merupakan upaya pemerintah pusat untuk memberikan kewenangan kepada daerah dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan di daerah sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Untuk itu diperlukan peningkatan profesionalisme sumber Jaya manusia di daerah sehingga mampu melaksanakan kewenangannya dengan baik. Pejabat struktural Dinas Kesehatan Kabupaten mempunyai peranan yang sangat penting dalam keberhasilan pelaksanaan program-program kesehatan di kabupaten. Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2002 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 100 tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural mengatakan bahwa syarat untuk menduduki jabatan struktural adalah kepangkatan, pendidikan yang sesuai dan kompetensi jabatan yang diperlukan. Pengangkatan pejabat struktural di Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar Propinsi Riau hanya berdasarkan pangkat minimum, sedangkan kompetensi yang juga disyaratkan belum menjadi perhatian dan belum diketahui bagaimana kompetensi pejabat struktural tersebut.
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi gambaran keadaan Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar (struktur organisasi, tugas pokok dan fungsi. proyeksi kebutuhan sumber daya manusia, ketersediaan sumber daya manusia, pendidikan dan pelatihan), mekanisme penempatan, kompetensi yang dibutuhkan, kompetensi yang belum terpenuhi dan upaya organisasi dalam memenuhi kompetensi pejabat struktural tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam dengan informan Kepala Dinas dan Kepala Sub Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar, Sekda, Bappeda dan Kepala Puskesmas, diskusi kelompok terarah dengan Kepala Sub Bagian dan Kepala Seksi Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar, serta melakukan telaah dokumen. Pengolahan data dibuat dalam bentuk matriks yang diperoleh dari transkrip wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah. Teknik analisis yang dilakukan adalah teknik analisis isi, yaitu dianalisis sesuai dengan topik dan melakukan identifikasi menjadi beberapa topik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur organisasi cukup ramping dan tugas pokok dan fungsinya telah mencakup seluruh program kesehatan di kabupaten, proyeksi kebutuhan sumber daya untuk lima tahun mendatang sudah dibuat berupa dokumen ketenagaan, tetapi ketersediaan sumber daya manusia saat ini masih kurang. Sebagian pejabat struktural belum mempunyai latar belakang pendidikan yang sesuai dengan jabatannya, sebagian belum mengikuti pelatihan kepemimpinan dan pelatihan teknis untuk pelaksanaan tugas pokoknya masih kurang. Kompetensi yang diburuhkan untuk melaksanakan tugas pokok pejabat struktural Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar adalah pemahaman terhadap tugas pokok dan fungsinya, menetapkan dan melaksanakan program, membangun jaringan kerja lama, merencanakan dan menetapkan program peningkatan sumber daya manusia, serta melaksanakan pengawasan, pengendalian dan evaluasi kinerja unit organisasinya. Belum semua kompetensi tersebut memadai untuk melaksanakan tugasnya, dimana kompetensi yang belum memadai adalah kemampuan pengorganisasian dalam pelaksanaan program, merencanakan dan menetapkan program peningkatan sumber daya manusia dalam unit organisasinya. Upaya organisasi dalam memenuhi kompetensi saat ini adalah dengan mengirim untuk mengikuti pelatihan-pelatihan teknis.
Disarankan agar pemerintah daerah meninjau kebijakan tentang persyaratan dan mekanisme penempatan jabatan struktural bagi pegawai negeri sipil, serta mendukung pembentukan program peningkatan sumber daya manusia kesehatan di daerahnya. Peningkatan sumber daya manusia disarankan dalam hal jumlah dan jenis ketenagaan yang masih dibutuhkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar. Dinas Kesehatan disarankan secara proaktif mengadvokasikan program-program peningkatan sumber daya nianusia kepada pemerintah daerah. Kepada pejabat struktural disarankan secara proaktif meningkatkan kompetensinya baik melalui peningkatan pendidikan maupun melalui pelatihan-pelatihan teinis yang sesuai dengan jabatannya.

Decentralization is the attempt of center government to give authority to the district in planning and conducting the development appropriate with their need. Hence, it is considered necessary to maintain the professionalism of human resources in the district in order to be able to conduct its authority well. Structural Job of the District of Kampar Health Office plays an important role on accomplishing the implementation of health programs in the district. Government regulation Number 13 Year 2002 in term of the Amendment of Government Regulation Number 100 Year 2000 in term of the Deployment of Civil Government Officer in structural Job says that the requirements to get structural position are grade or position in the organization, appropriate educational background, and job competencies. The deployment of structural officer in the District of Kampar Health Office, the Province of Riau was based on minimum grade, meanwhile the required competencies had not been noticed yet.
This research was conducted to obtain the information about the description of Health Office in the District of Kampar (organization structure, main task and function, need projection of human resources, availability of human resources, education and training), placement mechanism, required competencies other uncovered competencies, and organization's efforts to meet the competency of structural officer.
This research used qualitative approach through conducting in-depth interview to the informants (the Head of Health Office and Sub-head of Health Office. Local Government Secretary, District Planning Board, and Head of Health Center), and conducting focus group discussion to the Head of Unit and Head of Section of Health Office. Besides, this research also reviewed the documents. Data processing was conducted by making matrix table that obtained from the transcript (interview result) of both in-depth interview and focus group discussion. Analysis technique used an essay analysis technique, which analyzed the interview result according to topics and identified them into some topics.
The result showed that organization structure was flat enough and the main task and function had included all of district health programs. The need projection or planning of human resources had been made as human resources documents. However, the lack of human resources still remained. Some of structural officers had not had appropriate educational background with their position. Some of them had not got the leadership training yet and also technical training to conduct their main task. Required competencies to do the main task of structural officer of the District of Kampar Health Office were the understanding of main task and function, setting up and implementing the programs, developing the network, planning and setting up the human resources development, and monitoring and evaluating the work performance in each unit. Nevertheless, not all the competencies above were implemented yet. Insufficient competencies that found were the ability to organize the programs, planning and setting up the human resources improvement program in the unit. Organization's attempt to meet the competencies was sending its human resources to get technical training.
It is recommended to the district government in order to review the placement mechanism of structural officer for the civil government officer, and to support the making of human resources improvement program in their district. Besides, the amount and sort of human resources that needed by the District of Kampar Health Office were also recommended to be reviewed. The Health Office is suggested to proactively advocate the district government to maintain the human resources improvement programs. It is also recommended to the structural officer to enhance his competence through continuing education and taking technical training that in line with his job.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T11260
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library