Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 34 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rachmat Budi Santoso
"Torsio testis merupakan kedaruratan dalam urologi yang dapat terjadi pada 1 dari 4000 laki-Laki berusia dibawah 25 tahun, dan apabila keadaan ini tidak segera ditangani dengan benar dalam 4 sampai 6 jam dapat terjadi nekrosis testis. Dari penelitian sebelumnya didapatkan torsio testis dengan puntiran sebesar 720° dan lama puntiran lebih dari 4 jam dapat menyebabkan kerusakkan testis secara menetap. Oleh karena itu tindakan bedah sedini mungkin harus dilakukan untuk menyelamatkan testis dari kerusakan menetap. Saat ini tindakan bedah yang dianjurkan adalah melakukan detorsi testis, pendinginan testis dan orkidopeksi bilateral. Tindakan ini dilaporkan dapat menyelamatkan testis sampai dengan 90%, namun dalam pengamatan yang lebih lanjut menunjukkan lebih dari 67% testis tersebut akan mengalami atropi dan menjadi subfertil. Menurut Hagan dkk dari 55 pasien yang diamati hanya 7 pasien yang menunjukkan spermiogramnya normal. Oleh karena itu dibutuhkan suatu terobosan lain dalam penatalaksanaan torsio testis guna menekan angka terjadinya kerusakan testis permanen secara signifikan.
Pendapat terkini mengenai adanya seguelae dari torsio testis yang telah dilakukan detorsi dapat diterangkan dengan dasar ischaemia/reperfusion (I/R) injury, kerusakan jaringan testis akibat torsio testis disehakan adanya ischemia yang diperberat dengan terjadinya reprefusion injury setelah dilakukan detorsi.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21260
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Pamujumadi
"Tumor necrosis factor alpha (TNF-alpha) adalah salah satu sitokin proinflamasi yang berperan pada timbulnya cedera iskemia-reperfusi pasien infark miokard akut yang menjalani tindakan intervensi koroner perkutan primer (IKPP). Kolkisin merupakan salah satu obat antiinflamasi yang diduga memiliki pengaruh terhadap TNF-alpha. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran kolkisin terhadap kadar TNF-alpha serum pasien infark miokard akut dengan tindakan intervensi koroner perkutan primer. Desain penelitian uji klinis acak tersamar ganda menggunakan sampel sisa serum penelitian dari subjek pasien infark miokard akut Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok studi diberikan loading dose kolkisin 2 mg, kemudian dilanjutkan 2 x 0,5 mg per hari secara oral selama 48 jam, sementara kelompok kontrol diberikan plasebo. Analisis kadar TNF-alpha menggunakan metode ELISA yang diperiksa sebelum dan 48 jam pasca-IKPP untuk mendapatkan delta perubahan kadar TNF-alpha. Terdapat 64 subjek yang dianalisis terdiri dari 30 kelompok kontrol dan 34 kelompok studi. Delta kadar TNF-alpha pasca-IKPP kelompok kontrol (2,2) terhadap delta kadar TNF-alpha kelompok studi (0,7). Penelitian ini merupakan penelitian pertama tentang pengaruh kolkisin terhadap kadar TNF-alpha pada pasien infark miokard akut dengan tindakan intervensi koroner perkutan primer di Indonesia. Pengukuran TNF-alpha perlu dilakukan lebih dari dua kali untuk melihat dinamika kadar TNF-alpha pada pasien infark miokard akut yang menjalani tindakan intervensi koroner perkutan primer dan penelitian lanjutan diperlukan untuk menilai peran kolkisin sebagai obat antiinflamasi dengan pemeriksaan menggunakan metoda ELISA dengan reagen high-sensitive.

Tumor necrosis factor alpha (TNF-alpha) is a proinflammatory cytokine that plays a role in the emergence of ischemia-reperfusion injury in patients with acute myocardial infarction undergoing primary percutaneous coronary intervention (PCI). Colchicine is an anti-inflammatory drug believed to affect TNF-alpha. This study aimed to determine the role of colchicine on serum TNF-alpha levels in acute myocardial infarct patients undergoing primary percutaneous coronary intervention. The research design was a double-blind, randomized clinical trial using residual research serum samples from patients with acute myocardial infarction at Dr. Hospital. Cipto Mangunkusumo. The research subjects were divided into two groups. The study group was given a loading dose of 2 mg colchicine and then continued at 2 x 0.5 mg per day orally for 48 hours, whereas the control group was given a placebo. Analysis of TNF-alpha levels using the ELISA method was performed before and 48 hours after primary percutaneous coronary intervention to obtain the delta of changes in TNF-alpha levels. There were 64 subjects analyzed, comprising 30 control groups and 34 study groups. The delta of TNF-alpha levels post-PCI in the control group (2.2) compared with the delta of TNF-alpha levels in the study group (0.7). This is the first study on the effect of colchicine on TNF-alpha levels in acute myocardial infarction patients with primary percutaneous coronary intervention in Indonesia. TNF-alpha measurements need to be carried out more than twice to determine the dynamics of TNF-alpha levels in patients with acute myocardial infarction undergoing primary percutaneous coronary intervention, and further research is needed to assess the role of colchicine as an anti-inflammatory drug by ELISA with high-sensitive reagents."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Sinta Chaira Maulanisa
"Pendahuluan: Cedera iskemia reperfusi CI/R merupakan masalah serius yang dihadapi pascahipoksia menyebabkan kerusakan sel yang letaknya berjauhan remote organ injury. Strategi yang digunakan untuk mengurangi kerusakan hepar pascaiskemia adalah melalui penerapan ischemic pre conditioning PI/R dan hiportemia. PI/R telah terbukti mengurangi kerusakan jaringan melalui mekanisme resistensi terhadap iskemia dan kebutuhan energi lebih rendah. Sedangkan hipotermia menghambat laju kematian sel sehingga dapat diterapkan sebagai terapi awal pada tatalaksana trauma dengan tujuan mencegah kerusakan bertambah berat. Penelitian ini bertujuan untuk diketahuinya efek protektif PI/R dan hipotermia terhadap perubahan morfologi jaringan hepar dan peningkatan kadar malondialdehyde MDA sebagai respon stress oksidatif.
Metode: Studi eksperimental pada 24 ekor Oryctolagus cuniculus. Kelompok iskemia dilakukan ligasi arteri femoralis komunis dalam pembiusan selama empat jam untuk menginduksi iskemia, kemudian ligasi dibuka dan kelinci dibiarkan beraktivitas selama delapan jam. Pada kelompok PI/R dilakukan ligasi berulang arteri femoralis komunis kanan selama dua menit, dilepaskan tiga menit sebanyak dua siklus, kemudian diligasi selama empat jam. Kelompok hipotermia, dilakukan iskemia disertai membungkus ekstremitas bawah kanan dengan es, suhu antara 31-33oC Kemudian dilakukan laparotomi, dan diambil organ hepar. Pemeriksaan histopatologi hepar dilihat dari 3 zona, sentral, midzonal, perifer. Untuk menilai stress oksidatif jaringan dilakukan pemeriksaan biokimia dengan malondialdehyde MDA. Dilakukan uji statistik terhadap variabel tersebut dengan kemaknaan.
Hasil: Pada pemeriksaan histomorfologi terdapat perbedaan perubahan histomorfologi pada sampel kontrol PI/R, dan Hipotermia terhadap iskemia (p<0,05). Derajat kerusakan histomorfologi pada kelompok PI/R lebih rendah dibandingkan kelompok iskemia reperfusi pada semua zona (p sentral = 0,015, p medial = 0,019, p perifer = 0,026). Analisis kadar MDA memperlihatkan terjadi peningkatan pada kelompok iskemia reperfusi menujukkan adanya stress oksidatif. Kadar MDA pada kelompok PI/R dan hipotermia lebih rendah dibandingkan kelompok iskemia.(p = 0,002).
Konklusi: Keadaan iskemia reperfusi menyebabkan perubahan histomorfologi dan stres oksidatif sel–sel hepar. PI/R dan hipotermia mempunyai efek protektif pada cedera iskemia reperfusi. Efek protektif PI/R lebih baik dari hipotermia.

Introduction: Ischemia-reperfusion injury IRI is a serious problem occuring after hypoxia it causes injuries to cells located remotely from one another remote organ injury. Strategies used to decrease hepatic injuries post ischemic condition are composed as ischemic pre-conditioning IPC and hypothermia management procedures. IPC has been proven to decrease tissue injuries through resistance mechanisms towards ischemia and lower energy requirements. Meanwhile, hypothermia detained the rate of cell deaths, therefore, it can be used as initial therapy on trauma management in order to prevent worsening of the injuries. This research aims to evaluate the protective effects of IPC and hypothermia towards morphological changes of hepatic tissues and the increase of malondialdehyde MDA level as a response to oxidative stress.Methods.
Methods: This research is an experimental, descriptive-analytical study on 24 Oryctolagus cuniculus. The specimens were divided into four groups, with one group as control. The ischemia group underwent femoral artery ligations under anesthesia for four hours to induce ischemia. Afterwards, the ligations were released and the rabbits were free to roam for eight hours. The IPC group underwent repeated ligations of right communal femoral artery for two minutes and three minutes of release in two cycles. Afterwards, the arteries were ligated for four hours. The hypothermia group underwent ischemia and wrapping of right lower extremities using ice, with temperature around 31-33oC. Afterwards, laparotomies were conducted on all groups to obtain and evaluate the liver. Hepatic histopathology assessment were conducted from 3 zones, the central, midzone, and peripheral zone. To evaluate the effects of oxidative stress on the tissue, a biochemical assessment with malondialdehyde MDA was conducted. Statistical tests were then conducted to assess the relationship between the variables with significance level p < 0.05.
Results: On histomorphological assessment, there were histomorphologic changes on control samples for IPC and hypothermia compared to ischemia p < 0.05. On MDA level analysis, there were increases in all four groups p < 0.05. However, there were no significant differences for the histomorphological changes when compared between central, medial, and peripheral zones.
Conclusion: Ischemic reperfusion condition causes histomorphological changes and oxidative stress on hepatic cells. IPC and hypothermia have protective effects from ischemia-reperfusion injuries. The protective effects of IPC was better than hypothermia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nunung Priyatni Waluyatiningsih
"ABSTRAK
Ruang lingkup dan cara penelitian: Cedera reperfusi adalah kerusakan yang bertambah parah pada jaringan yang iskemik karena dilakukan reperfusi. Mekanisme cedera reperfusi yang telah banyak diketahui adalah akumulasi kalsium sitosol dan pembentukan radikal bebas yang berlebihan. Sejauhini belum banyak diketahui peranan sistem renin-angiotensin pada cedera reperfusi, walaupun beberapa penelitian telah membuktikan bahwa angiotensin II memperberat kerusakan jaringan yang iskemik serta menimbulkan apoptosis pada penderita infark jantung akut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan penghambat EKA dengan atau tanpa gugus SH (kaptopril dan benazepril) dan penyekat reseptor angiotcnsin II (valsartan) pada cedera reperfusi. Untuk melihat peranan gugus SH efeknya dibandingkan dengan N-asetil sistein (NAC), suatu antioksidan gugus SH.
Tiga puluh ekor tikus putih jantan galur Wistar dibagi secara acak menjadi 5 kelompok (tiap kelompok 6 ekor tikus). Kelompok tersebut adalah: K-IR , kelompok kontrol yang mengalami iskemi 30 menit dilanjutkan reperfusi 30 menit. Kelompok perlakuan diberikan obat (kaptopril, benazepril., valsartan, dan NAC) 3 hari bertunrt-turut sebelum tindakan iskemi-reperfusi adalah: KAP, BEN, VAL, dan NAC. Sebelum iskcmi dan scsudah reperfusi diambil l ml darah untuk penentuan kadar SGPT dan SCOT. Sctelah reperfusi sebagian hati diambil untuk penetapan peroksidasi lipid (malonaldehid=MDA) clan maim supemksid dismutase (SOD).
Hasil dan Kesimpulan: Radar SGPT dan SCOT path kelompok knntrol (iskemi reperfusi mengalami kenaikan 13 kali untuk SGPT dan 7 kali untuk SGOT dibandingkan kondisi basal (p<0,01). Pada studi pendahuluan dengan perlakuan iskemi 30 menit, didapatkan kenaikan SGPT dan SGOT 3 kali. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan yang lebih berat terjadi pada fase reperfusi. Kadar SGPT dan SGOT pads kelompok KAP, BEN, VAL, dan NAC tidak mengalami perubahan yang berarti setelah iskemi-reperfusi dibandingkan dengan keadaan basal (p>0,05).
Kadar MDA hati pada kelompok kontrol lebih besar dibanding KAP, BEN, VAL, dan NAC. Secara statistik menunjukkan perbedaan yang bermakna (p,0,05), kecuali dengan NAC. Kadar SOD hati pada kelompok kontrol lebth besar dibanding KAP, BEN. VAL, dan NAC. Secara statistik menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05), kecuali dengan VAL.
Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penghambat EKA dengan atau tanpa gugus SH, penyekat reseptor angiotensin II Berta antioksidan dengan gugus SH dapat mencegah cedera reperfusi. Lick proteksi cedera reperfusi oleh penghambat EKA dengan atau tanpa gugus SH serta penyekat reseptor angiotensin II diduga dilangsungkan melalui hambatan Angiotensin Il dan/atau efek antioksidan."
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Istika Setyani
"The prevalence of coronary heart disease in the adult population with diabetes mellitus (DM) is far greater (55%) than in the general public (2-4%). There is an acknowledged correlation between type I hidden ischemia and the incidence of myocardiac infarct. There needs to be a way to determine the presence or absence of ischemia. An alternative examination method is the Dobutamine Stress Echocardiography (DSE).
This study was conducted at the Metabolic-Endocrine and the Cardiology Out-Patient Clinics of the Department of Internal Medicine ofCipto Mangunkusumo Central Public General Hospital, Jakarta, from February to August 2001.
The aim of the study is to detect undetected myocardiac ischemia using the electrocardiography among patients with type 2 diabetes mellitus and podiatric abnormality and testing the correlation between certain factors (sex, age, body mass index, lipid profile, fasting blood glucose, post prandial blood glucose, HbAlc, peripheral vascular disease, smoking, retinopathy, and neuropathy) with myocardiac ischemia.
Methodology: The study was designed as a comparative study of the incidence of myocardiac ischemia between type 2 diabetes mellitus patients with and without podiatric abnormalities. The sample consisted of 28 patients. Samples underwent the dobutamine stress echocardiography
Results: dobutamine stress echocardiography examination using Apogee on 14 patients with type 2 diabetes mellitus with podiatric abnormality demonstrated a positive ischemic response in 4 people (28.6%). No positive findings were found in type 2 diabetes mellitus patients without podiatric abnormality.
Conclusion: 1. DSE could detect myocardiac ischemia in 28.6% of type 2 diabetes mellitus undetected with electrocardiography. 2. Other factors that influenced a positive dobutamine stress echocardiography were autonomic neuropathy, diabetic retinopathy, the duration of diabetes mellitus, fasting blood glucose, and podiatric abnormality."
2003
AMIN-XXXV-3-JulSep2003-119
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dyan Novitalia
"Studi ini mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian amputasi mayor pada pasien Acute Limb Ischemia (ALI) klasifikasi Rutherford IIb dan seberapa besar pengaruhnya. Penelitian ini berdesain kuantitatif dengan desain kohort retrospektif terhadap semua pasien RSCM pada tahun 2014-2019 dengan diagnosis ALI Rutherford IIb. Data demografi dan faktor risiko, dianalisa untuk mendapatkan korelasinya dengan tindakan amputasi mayor. Pada penelitian ini,  insiden amputasi mayor pada total subjek adalah 39,2%. Rata-rata subjek berusia 60 tahun, dengan insiden komorbiditas diabetes mellitus 32,4%, gangguan ginjal kronik 19,6%, hipertensi 41,2%, dan penyakit jantung koroner 39,2%. Hasil analisis menunjukkan hipertensi meningkatkan risiko amputasi mayor 27,4 kali, riwayat penyakit jantung koroner meningkatkan risiko 10,7 kali, dan diabetes mellitus meningkatkan risiko 9,8 kali, semua secara signifikan. Merokok ditemukan sebagai faktor risiko tidak langsung terhadap kejadian amputasi mayor.
Kata kunci: Acute limb ischemia, Amputasi mayor, Rutherford IIb

This study identifies the factors associated with major amputation in patients with Acute Limb Ischemia (ALI) Rutherford Stage IIb and how much they affect it. This is a quantitative study with retrospective cohort design for all patients with ALI in Rutherford IIb stage in 2014-2019. Demographics and risk factors were all analyzed in order to find the correlation with the incidence of major amputation. In this study, the incident of major amputation on the overall subject was 39.2%. The mean age for the subjects was 60 years old, and the comorbidity incidence of diabetes is 32.4%, chronic kidney disease is 19.6%, hypertension is 41.2%, and coronary heart disease is 39.2%. The result of the analysis shows that hypertension increases the risk of major amputation in patients with ALI in Rutherford IIb stage by 27.4 times, while coronary heart disease does by 10.7 times and diabetes does by 9.8 times, all statistically significant. Smoking is also found as an indirect risk factor to the incident of major amputation.
Key words: Acute limb ischemia, Major amputation, Rutherford IIb"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eliza Nindita
"ABSTRAK
Latar Belakang: Studi ini bertujuan untuk mengamati dampak aplikasi Tumescent ONEPERMIL dan segi keamanannya pada skin flap yang telah mampu pulih hidup dari cedera iskhemia sebelumnya.
Metode: Studi eksperimental dengan kontrol dan randomisasi dilakukan pada 40 groin flap dari 20 ekor Rattus novergicus strain Wistar yang sehat berbobot 220-270 gram. Infiltrasi Tumescent ONEPERMIL, infiltrasi salin normal dan grup kontrol dilakukan pada flap yang berhasil pulih vital 100% dari cedera iskhemia yang dikondisikan melalui pemasangan klem selama 15 menit pada pedikelnya. Perfusi flap dimonitor melalui pengukuran tekanan oksigen transkutaneous (TcPO2), sebelum dan sesudah infiltrasi dilakukan. Vitalitas flap dinilai secara klinis maupun menggunakan Analyzing Digital Images® di hari ke 7 paska prosedur infiltrasi dan resetting flap pada tempatnya. Analisa statistik dilakukan dengan test Chi-square (p<0,05).
Hasil: Penilaian akhir menunjukkan kepulihan hidup seluruh groin flap tanpa ditemukan tanda nekrosis. Pengukuran TcPO2 pada flap sebelum dan sesudah prosedur infiltrasi menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0,0001) namun masih berada dalam batasan prediksi flap akan pulih hidup.
Kesimpulan: Aplikasi Tumescent ONEPERMIL pada groin flap yang telah pulih hidup dari cedera iskhemia sebelumnya, tidak menimbulkan dampak nekrosis pada flap.

ABSTRACT
Background: To observe the effect of One-per-mil tumescent injection on viable skin flaps that previously had suffered from an ischemic insult, so as to ascertain One-per-mil tumescent safety application in the related theme.
Methods: 40 groin flaps from 20 healthy Wistar strained-Rattus novergicus weighing 220-270 grams were conditioned to acute ischemia by clamping the pedicle for 15 minutes. Merely totally survived and viable flaps on the seventh postoperative day were randomly divided into: One-per-mil tumescent infiltration group(A), normal saline infiltration group(B), and control group(C). Before and after the infiltration, transcutaneous oxygen tension (TcPO2) measurement was performed, and the changes values were calculated by statistical analysis using ANOVA and Paired T-Test. Viability of flaps was assessed clinically and by using AnalyzingDigitalImages® 7 days later.
Results: TcPO2 readings yielded a decreasing value significantly (p<0.001) following both One-per-mil tumescent and normal saline infiltration. However, all groin flaps survived with no signs of tissue necrosis.
Conclusion: One-per-mil tumescent injection into viable skin flaps is safe even though the flaps had previously suffered from an ischemic condition.
"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Wisnu Pamungkas
"Pendahuluan: Iskemia tungkai kritis (ITK) merupakan penyakit vaskular yang memiliki risiko mortalitas dan amputasi yang tinggi. Insidens dari penyakit arteri perifer (PAP) khususnya ITK di Amerika mencapai 500-1000 kasus per 1 juta orang setiap tahunnya. Intervensi endovaskular (EVI) merupakan salah satu metode terapi ITK yang menjadi pilihan utama karena secara signifikan menurunkan risiko amputasi dan meningkatkan limb salvage. Penatalaksanaan menggunakan EVI terbagi menjadi balloon angioplasty dan stent angioplasty. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas dari metode EVI dalam pemyembuhan luka akibat ITK.
Metode: Dilakukan studi cross sectional dengan 90 subjek ITK yang menjalani intervensi endovaskular berupa balloon angioplasty dan stent angioplasty di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo dari Januari 2013 hingga Juli 2017. Lama penyembuhan luka diantara kedua metode dianalisis menggunakan uji T tidak berpasangan dengan nilai p<0,05 dianggap bermakna secara statistik. Data yang diambil berupa metode EVI, lama penyembuhan luka, dan data karakteristik subjek (usia, riwayat amputasi, IMT, riwayat merokok, DM, lokasi pembuluh darah, dan profil darah).
Hasil: Persebaran data lama perawatan pada kelompok balloon angioplasty dan stent angioplasty menunjukan hasil yang normal dengan rerata 84,8 ± 2,423 hari dan 59,93 ± 2,423 hari dengan perbedaan rerata 25 hari. Perbedaan rerata antara kedua faktor bermakna secara statistik (p<0,05). Kejadian amputasi pada kelompok balloon angioplasty dan stent angioplasty adalah 22 dan 16 kejadian dengan perbedaan yang tidak bermakna secara statistik (p<0,05).
Kesimpulan: Metode stent angioplasty lebih baik dibandingkan metode balloon angioplasty dalam hal lama penyembuhan luka pada pasien ITK.

Introduction: Critical limb ischemia (CLI) is a vascular disease that has a significant amputation and mortality risk with diabetes mellitus, the most significant risk factor in CLI, is very common among Indonesian. Endovascular intervention (EVI) is preferred in treating CLI because it is non invasive and effective. Balloon angioplasty and stent angioplasty are the most common method of EVI in Indonesia. This study aims to compare the effectiveness of balloon angioplasty and stent angioplasty on wound healing in CLI.
Method: A cross sectional study enrolled 90 subjects of CLI who underwent endovascular intervention using balloon angioplasty and stent angioplasty from January 2013 to July 2017 in dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta. The wound healing period between balloon angioplasty and stent angioplasty were analyzed using unpaired T-test with p<0,05 considered as statistically significant. Data of intervention method, wound healing period, and subjects characteristic data (age, amputation, BMI, smoking habit, DM, occlusion site, and blood profile) were obtained.
Result: The wound healing period in balloon angioplasty and stent angioplasty distributed normally. Mean value of wound healing period in balloon angioplasty and stent angioplasty is 84,8 ± 2,423 and 59,93 ± 2,423 days with mean difference of 25 days. The difference of wound healing period in both group is statically significant (p<0,05). The amputation event in balloon angioplasty and stent angioplasty is 22 and 16 event with no difference statistically.
Conclusion: Stent angioplasty is better method than balloon angioplasty for wound healing in patients with CLI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58836
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghany Hendra Wijaya
"Latar belakang. Pada CLTI didapatkan iskemik yang progresif sehingga menyebabkan timbulnya nyeri tungkai saat istirahat dan terbentuknya ulkus atau gangren. Intervensi revaskularisasi tungkai bawah merupakan lini pertama tata laksana CLTI, dengan pilihan prosedur berupa pembedahan secara terbuka maupun tindakan endovaskular. Pasien CLTI di RSCM datang dengan kondisi lanjut dan angka reamputasi yang tinggi, sehingga diperlukan penelitian untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan keluaran angioplasti endovaskular yaitu penyembuhan ulkus.
Metode. Studi potong lintang dilakukan di RSCM dengan melibatkan pasien CLTI Rutherford 5-6 yang menjalani tindakan angioplasti. Usia, jenis kelamin, riwayat merokok, hipertensi, fibrilasi atrium, gagal jantung, CKD, DM merupakan variabel yang diteliti terhadap penyembuhan ulkus yang merupakan penilaian klinis pascatindakan angioplasty yang dinilai adalah epitelisasi sempurna ulkus dalam kurun waktu 4 bulan pascatindakan.
Hasil. Pada 133 subjek penelitian, didapatkan 60,9% pasien mengalami epitelisasi sempurna. Faktor-faktor yang memengaruhi penyembuhan ulkus pada pasien CLTI antara lain, jenis kelamin, riwayat merokok, hipertensi, fibrilasi atrium, gagal jantung, CKD, dan diabetes. Faktor yang paling berhubungan dengan penyembuhan ulkus pascaangioplasti endovaskular berdasarkan uji regresi logistik adalah diabetes.
Kesimpulan. Faktor-faktor yang memiliki hubungan bermakna dengan penyembuhan ulkus pada pasien chronic limb threatening ischemia (CLTI) antara lain adalah jenis kelamin, riwayat merokok, hipertensi, fibrilasi atrium, gagal jantung, CKD, dan diabetes. Faktor yang dinilai paling berhubungan adalah diabetes melitus.

Background. Chronic limb threatening ischemia (CLTI) can cause rest pain in lower extremities and the formation of ulcers or gangrene. Revascularization which can be done using open surgery or endovascular procedures, is the first line treatment in CLTI management. CLTI patients at RSCM usually came with advanced conditions and high re-amputation rates even after revascularization. This study aimed to determine factors associated with the outcome of endovascular angioplasty, especially ulcer healing.
Method. A cross-sectional study was conducted at RSCM involving CLTI patients with Rutherford grade 5 and 6 that underwent angioplasty. Age, gender, history of smoking, hypertension, atrial fibrillation, heart failure, chronic kidney disease (CKD), and diabetes mellitus were the independent variables studied in this study. The dependent variable was ulcer healing which is a clinical assessment after angioplasty that was assessed as complete ulcer epithelialization within four months after the procedure.
Results. In 133 study subjects, it was found that 60.9% of patients underwent complete epithelialization. Factors that affect ulcer healing in CLTI patients include gender, history of depression, hypertension, atrial fibrillation, heart failure, chronic kidney disease, and diabetes mellitus. The factor with the highest association to ulcer healing after endovascular angioplasty based on logistic regression test is diabetes mellitus.
Conclusion. Factors that have a significant relationship with ulcer healing in patients with CLTI include gender, smoking, hypertension, atrial fibrillation, heart failure, CKD, and diabetes. The factor that was considered to have the highest association was diabetes mellitus.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>