Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Angga Pratama
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh inokulasi kombinasi dua strain Nostoc terhadap pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman padi varietas Ciherang. Strain Nostoc yang digunakan yaitu CPG24 dan GIA13a yang dibuat dengan perbandingan 1:1; 1:2; dan 2;1. Pemeliharaan padi dilakukan dengan sistem SRI modifikasi sampai 112 hari setelah tanam. Parameter pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang diukur mencakup fase vegetatif dan generatif tanaman padi. Dilakukan juga pengukuran kandungan unsur hara tanah dan parameter lingkungan.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan kombinasi Nostoc, secara umum memberi pengaruh yang bervariasi terhadap parameter vegetatif dan generatif tanaman padi varietas Ciherang. Pemupukan strain Nostoc tunggal CPG24 berpengaruh cukup signifikan dalam meningkatkan berat kering tanaman padi sampai 138%. Pemupukan strain Nostoc tunggal GIA13a berpengaruh cukup signifikan dalam meningkatkan pertumbuhan akar 147%, berat kering buah isi sampai 186%, dan rasio jumlah buah isi terhadap total jumlah buah sebesar 69,40%.

The purpose of this experiment is to study the combination effect of inoculation of two Nostoc strains to the vegetative and generative growth of Ciherang paddy. Two Nostoc strains, CPG24 and GIA13a were used. Fertilizing treatments were designed with comparison 1:1, 1:2, and 2:1. Paddy plant were prepared using SRI modification method until 112 days old after planted. Biological parameters are including vegetative and generative growth of paddy. Also soil nutrients content and environment parameter have been analized.
The results show that combination fertilizing of two Nostoc strain CPG24 and GIA13a give variative effect to vegetative and generative growth parameter of Ciherang paddy. Single Nostoc CPG24 fertilizing give significat effect to increase dry weight of Ciherang paddy until 183%. Single Nostoc GIA13a fertilizing give significant effect to increase root growth until 147%, dry weight of grain until 186%, and filled/total grain ratio until 69,40%.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S53142
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Andrijono
"Besi tuang nodular (ductile iron) adalah besi tuang yang mempunyai partikel grafit berbentuk bulat (nodul) yang diperoleh dengan cara penambahan unsur magnesium (Mg) sebagai unsur pembulat grafit ke dalam leburan besi tuang pada proses perlakuan ladel (ladle treatment).
Penelitian yang dilakukan membandingkan sifat mekanis antara besi tuang nodular dengan penambahan unsur paduan 0,25 % Mo (tabel V) dan 0,25 %, 1 % Ni (tabel VI) dan tanpa unsur paduan (tabel VII) dimana proses pecampuran unsur paduan dengan logam cair, dilaksanakan sebelum logam cair dari dapur induksi ditunf ke ladel besar (ladle carrier). Perbedaan peningkatan sifat mekanis pada besi tuang nodular, dapat diperoleh dengan cara memberikan unsur paduan atau dapat juga dilakukan dengan proses perlakuan panas austemper, sehingga menghasilkan besi tuang nodular austemper atau dikenal dengan Austempered Ductile Iron (ADI).
Proses perlakuan panas austemper pertama kali diawali dengan proses austenisasi pada temperatur 850 ° C, 950 ° C dengan waktu tahan masing-masing selama 90 menit untuk (0,25 % Mo dan 0,25 % Mo, 1 % Ni), 60 menit untuk tanpa unsur paduan serta dilanjutkan proses austemper pada temperatur 350 ° C, 375 ° C dan 400 ° C dengan waktu tahan masing -masing 60 menit untuk (0,25 % Mo), 120 menit (0,25 % Mo, 1 % Ni) dan 30 menit untuk tanpa unsur paduan.
Proses pembuatan sampel uji menggunakan cetakan pasir, jenis pasir silika, sehingga diperoleh hasil cor yang belum mengalami proses perlakukan panas austemper dan selanjutnya dilakukan proses pemesinan. Proses pengujian yang dilakukan, terdiri dari : uji kekuatan tarik, uji kekerasan dan pengamatan struktur mikro dengan pembesaran 100 X dan 500 X.
Berdasarkan hasil penelitian, maka besi tuang nodular austemper tanpa unsur paduan (label VII) menghasilkan sifat mekanis lebih baik dibandingkan dengan penambahan unsur paduan 0,25 % Mo (label V) dan unsur paduan 0,25 % Mo, 1 % Ni (label VI). Besi tuang nodular austemper dengan unsur paduan 0,25 % Mo , 1 % Ni (tabel VI) menghasilkan regangan tertinggi dibandingkan besi tuang nodular austemper dengan unsur paduan 0,25 % Mo (label V) dan tanpa unsur paduan (label VII)."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zainulsjah
"Austemperer Ductile Iron yang dikenal ADI adalah besi tuang nodular yang telah mendapatkan perlakuan panas austemper. Tujuannya untuk meningkntkan sifatsifat mekanis dari besi tuang nodular. Dalam penelitian ini dilakukan penambahan unsur paduan 0,25% Mo dan 1% Ni terhadap besi tuang nodular, kemudian dilakukan perlakuan panas austemper pada komposisi G (tanpa paduan), dengan temperatur austenisasi 850°C dan 900°C waktu tahannya 60 menit dan temperatur austemper 350°C, 375°C dan 400°C waktu tahan 30 menit, Untuk komposisi C (paduan) dengan temperatur austenisasi 850°C dan 900°C waktu tahan 90 menit dan temperatur austemper 350°C, 375°C dan 400°C waktu tahan 120 menit. Kemudian dibandingkan antara kondisi saat as-Cilsi dengan setelah mengalami perlakuan panas austemper.
Dari hasil penelitian didapatkan adanya peningkatan sifat mekanis kekuatan tank untuk komposisi tanpa paduan antara (67-76)% dan kekerasan (40-54)%, sedangkan regangan mengalami penurunan (43-57)%. Pada komposisi paduan kekuatan tank meningkat (88-92)%, kekerasan (37-44)%, sedangkan regangan mengalami penurunan (I40-175)%. Dengan meningkatnya temperatur austenisasi, ketahanan impak akan meningkat (17)% pada komposisi paduan dull menurun (6)% pada komposisi tanpa paduan.

Austempered Ductile Iron know as ADI is ductile iron which has been austempered heat treated. The porpuse of the heat treated is to increase mechanical characteristics of ductile iron. In this research, additional alloyed factor of 0.25% Mo and 1% Ni towards the ductile iron, then austempered heat treated at G composition (non alloyed), at the austenitising temperature of 850°C and 900°C retained 60 minutes .ind austempering temperature of 350°C3375°C and 400°C retained 30 minutes. For C composition (alloyed) on the austenitising temperature 850°C and 900°C retained 90 minutes and austemepring temperature 350°C, 375°C and 400°C retained 120 minutes. The next step, comparing the as-cast to the after-austempering heat treated condition.
The result of research found that the increasing mechanical characteristics of tensile strength for non alloyed composition between (67-76)% and the hardness (40-54)%, while the elongation has decreased (43-57)%. At the alloyed composition, the strength of tensile increased (88-92)%, the hardness (37-44)%, lute the elongation has decreased (140-175)%. When the austenitising temperature in cases, the impact strength will increase (17)% at the alloyed composition, decrease (6)% at the non-alloyed composition.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1999
T16732
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhana Isworo
"
ABSTRAK
Pemanfaatan besi tuang sebagai material teknik saat ini telah berkembang dengan pesat. Penelitian tentang besi tuang terus dilakukan untuk mendapatkan sifat-sifat mekanis yang lebih baik. Salah satu jenis besi tuang yang banyak digunakan, termasuk sebagai material otomotif, adalah besi tuang nodular.
Material ini banyak dipilih karena mempunyai sifat mekanis dan sifat fisik (Mechanical and Physical Properties) yang sangat baik, serta dapat menggantikan komponen baja. Salah satu pemanfaatan besi tuang nodular dalam bidang otomotif adalah sebagai material Crank Shaft.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan sifat ketahanan fisik yang dimiliki material besi tuang nodular tanpa penambahan unsur Cu yang dilakukan proses nomlalisasi dan material besi tuang nodular dengan penambahan unsus Cu sekitar 1% tanpa dilakukan proses nonnalisasi sebagai material Crank Shalt.
Dalam penelitian ini, dilakukan pengujian fatik untuk (1) material besi tuang nodular tanpa penambahan unsur Cu yang dinormalisasi ; (2) material besi tuang nodular dengan penambahan sekltar 1% unsur Cu tanpa dilakukan proses normalisasi- Pengujian dilakukan dengan mesin uji Rotating Bending Fatigue Compiitely Reversed Stress (R = -1) pada kodisi STP. Metode pengujian dilakukan sesuai standar JIS 2273 dan ukuran sampel uji sesuai standar JIS 2274.
Hasil yang didapat dari pengujian kedua material tersebut temyata menunjukkan sifat ketahanan lelah yang berbeda, dimana batas kekuatan fatik (Fatigue Limit) lebih tinggi sekitar 59% dari pada material tanpa penambahan unsur Cu yang dinormalisasi Sedangkan dari gralik S - log N terlihat bahwa umur fatik (Fatigue Liife) material dengan penambahan unsur Cu tanpa dilakukan proses nomlalisasi lebih lama dari pada material tanpa penambahan unsur Cu yang dlnormalisasi serta material besi tuang nodular dengan penambahan Cu sekitar 1% layak sebagai material Crank Shaft.
"
1997
S36205
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Eka Satria
"Penyakit Gugur Daun Pestalotiopsis (PGDP) adalah penyakit yang menyerang perkebunan karet Indonesia sejak akhir 2017. PGDP disebabkan oleh infeksi kelompok fungi Pestalotiopsis. PGDP mampu menyebabkan gugur daun hingga mencakup 75-90% kanopi dan penurunan produksi lateks hingga 45%. PGDP mampu menyerang semua jenis klon Hevea brasiliensis. Klon-klon tersebut antara lain adalah klon dengan resitensi moderat seperti IRR 112 dan klon rentan seperti PB 260. Analisis morfologi gejala penyakit belum pernah dilakukan sejak PGDP pertama kali terdeteksi dan diidentifikasi. Analisis morfologi gejala penyakit dilakukan guna mengetahui respons daun terhadap infeksi fungi Pestalotiopsis dan mengetahu pola persebaran miselia fungi Pestalotiopsis pada permukaan daun Hevea brasiliensis. Sebanyak 3 helai anak daun dari 3 individu Hevea brasiliensis klon IRR 112 dan PB 260 dipotong dan diinokulasi isolat fungi Pestalotiopsis secara ex planta. Inokulasi dilakukan di 3 titik pada permukaan anak daun daun dan diamati hingga 7 hari setelah inokulasi (hsi). Sediaan morfologi yang mewakili perkembangan gejala pada 3, 5, dan 7 hari setelah inokulasi juga dibuat dan diamati di bawah mikroskop cahaya. Respons yang ditunjukkan anak daun Hevea brasiliensis klon IRR 112 dan PB 260 adalah nekrosis dan klorosis. Selain itu terdapat 2 tipe lesi, yakni lesi tipe I yang diduga berasal dari kontaminasi fungi Colletotrichum sp. dan lesi tipe II yang merupakan ciri khas lesi hasil infeksi fungi Pestalotiopsis. Kedua lesi muncul berdampingan dalam kompleks lesi Pestalotiopsis-Colletotrichum. Hasil pengamatan mikromorfologi menunjukkan bawha kompleks miselia Pestalotiopsis-Colletotrichum cenderung tersebar pada dan/atau di sekitar pertulangan daun.

Pestalotiopsis Leaf Fall Disease (PLFD) is a disease affecting Indonesia’s rubber plantation since 2017. PLFD is caused by Pestalotiopsis fungi. PLFD is capable in defoliating up to 75-90% of tree canopy and decreasing latex production up to 45%. PLFD is capable in affecting every clone of Hevea brasiliensis. Some clones of which affected by the disease are moderately resistant clone such as  IRR 112 and susceptible clone such as PB 260. Disease morphology is yet to be analyzed since the first reported case and identification. Disease morphology analysis is conducted to determine various responses of Pestalotiopsis infected leaf and reveal Pestalotiopsis  mycellial distribution pattern on the surface of Hevea brasiliensis leaf. Three leaflets from 3 individuals of Hevea brasiliensis IRR 112 and PB 260 clones were cut and inoculated with Pestalotiopsis isolate following ex planta procedure. Inoculation was performed at 3 points on the leaflets surface and was observed until 7 days post inoculation (dpi). Samples for micromorphological observation were also made, each one representing disease development on 3, 5, and 7 dpi and were observed under the microscope. The responses shown by the leaflets of Hevea brasiliensis IRR 112 and PB 260 clones were necrosis and chlorosis. Accordingly, 2 types of lession were observed: type I of which suspected as Colletotrichum sp. contamination and type II of which similar to distinctive lession of  Pestalotiospis fungi. Both types occured simultaneously in the Pestalotiopsis-Colletotrichum lession complex. Micromorphological observation has shown that Pestalotiopsis-Colletotrichum mycellial complex was distributed at the vicinity of leaf veins."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramdani Boy
"Sistem Pemasyarakatan erat kaitannya dengan pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan yang dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan penjatuhan pidana. Pelaksanaan sistem hilang kemerdekaan yang berlangsung selama kurun waktu tertentu merupakan refleksi-refleksi historis dalam perkembangan falsafah Peno Koreksional dari masa ke masa. Secara singkat dapat dikatakan sejarah Pemasyarakatan memuat value oriented atau value centered, karena sistem nilai yang berlaku di masyarakat.(Sujatno, 2004).
Konsepsi pemasyarakatan ini bukan semata-mata merumuskan tujuan dari pidana penjara, melainkan suatu sistem pembinaan, suatu methodologi dalam bidang "Treatment of Offenders" Sistem Pemasyarakatan bersifat multilateral oriented, dengan pendekatan yang berpusat pada potensi-potensi yang ada, baik pada individu yang bersangkutan maupun yang ada di tengah-tengah masyarakat. Secara singkat sistem pemasyarakatan adalah konsekuensi adanya pidana penjara yang merupakan bagian dari pidana pokok dalam sistem pidana hilang kemerdekaan.(Sujatno, 2004).
Sistem pidana penjara mulai dikenal di Indonesia dalam Wet Roek Van Slmfrecht Poor Nederland Indie atau lebih dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tepatnya pasal 10 yang berbunyi: Pidana terdiri atas :
(a) Pidana Pokok terdiri dari Pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, pidana tutupan.
(b) Pidana tambahan terdiri dari : Pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim (Soesilo, 1986).
Tujuan pidana ini timbul karena adanya pandangan-pandangan yang beranggapan bahwa orang yang melakukan kejahatan adalah merugikan masyarakat, oleh karena itu dianggap sebagai musuh dan sudah sepantasnya kepada mereka dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Dalam usaha melindungi masyarakat dari gangguan yang ditimbulkan oleh pelanggar hukum, maka diambiI tindakan yang dianggap paling baik dan yang berlaku hingga sekarang, yaitu dengan menghilangkan kemerdekaan bergerak sipelanggar hukum berdasarkan putusan hakim berupa pidana penjara dan pidana kurungan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
Lapas sebagai organisasi yang mempunyai tugas dan fungsi lama pentingnya dengan beberapa institusi-institusi lainnya dalam sistem peradilan pidana seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Tugas dan fungsi dari Lapas adalah melaksanakan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan (UU No. 12 tahun 1995). Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Lapas menerapkan sistem pemasyarakatan yang menjadikan metode pembinaan bagi narapidana dan anak didik.
Narapidana dan anak didik pemasyarakatan mendapatkan pembinaan selama menjalani pidana di dalam Lapas. Pada pembinaan narapidana dilakukan secara bertahap (Gunakaya, 1988), yaitu :
1. Tahap Pertama adalah dilakukan penelitian tentang diri narapidana baik mengenai sebab-sebab melakukan kejahatan, sikap, dan keadaan diri keluarga narapidana dan korban dari tindakannya, serta instansi yang menangani perkaranya seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
2. Tahap kedua, narapidana diberi tanggung jawab lebih besar karena telah memperlihatkan keinsyafan dengan memupuk rasa harga dirinya dan tata krama. Pada tahap ini, sangat ideal dimasaukan rancangan program pelatihan inokulasi stres terhadap narapidana.
3. Tahap ketiga, narapidana telah menjalani setengah dari masa pidananya dan dilakukan asimilasi dengan masyarakat luar Lapas. Terlihat adanya kemajuan baik secara fisik, mental dan juga segi keterampilan.
4. Tahap keempat atau pembinaan terakhir adalah masa pemberian pelepasan bersyarat, apabila narapidana telah menjalani dua per tiga dari masa pidananya serta telah memenuhi persyaratan administrasi dan subtantif."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T18784
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library