Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sukarno Ali
"Lembaga Pemasyarakatan merupakan suatu tempat dimana narapidana melaksanaan pembinaan, termasuk pelaksanaan pembinaan bagi narapidana warga negara asing dengan orientasi program pembinaan yang bertujuan memulihkan hubungan individu narapidana dengan keluarga dan masyarakat.
Salah satu program pembinaan di lembaga pemasyarakatan adalah pelaksanaan program pembebasan bersyarat. Dimana program pembebasan bersyarat tersebut merupakan hak bagi setiap narapidana tanpa terkecuali. Akan tetapi pelaksanaan program pembebasan bersyarat bagi narapidana harus memenuhi persyaratan secara substantif dan administratif dimana untuk narapidana warga negara asing ada persyaratan tambahan yang harus dipenuhi.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemenuhan persyaratan administrative tambahan bagi pelaksanaan pembebasan bersyarat bagi narapidana warga negara asing adalah jaminan hukum dari kantor kedutaan dan rekomendasi dari kantor imigrasi setempat. Dimana dalam pelaksanaannya menghadapi kendala-kendala tidak terpenuhinya jaminan hukum dari kantor kedutaan dan tidak terpenuhinya rekomendasi dari kantor imigrasi, sedangkan faktor penyebabnya adalah minimnya pemahaman program pembebasan bersyarat oleh para narapidana dan oleh para petugas baik petugas Lapas, petugas kedutaan maupun petugas imigrasi. Selain itu kurangnya koordinasi dari ketiga lembaga tersebut yang mengakibatkan program ini tidak dapat berjalan dengan optimal. Disamping itu dalam program pembinaan untuk pembebasan bersyarat dikarenakan anggaran pembinaan yang kurang sehingga biaya tersebut dibebankan kepada narapidana atau pihak keluarga. Sedangkan tidak semua narapidana mampu untuk rnengeluarkan biaya yang dibutuhkan dalam mengurus pembebasan bersyarat tersebut. Hambatan-hambatan inilah yang dapat menyebabkan pembebasan bersyarat bagi narapidana warga negara asing tidak dapat berjalan optimal.

Correctional institution is a place for educating the convicts, including foreign inmates with the orientation of treatment for foreign inmates to recover individual connection with family and society.
One of the treatment programs in correction is parole. Parole is the rights for all inmates not to mention foreign inmates. But, there are some administrative and substantive conditions to be fulfilled before they get parole. The exception of parole for foreign inmates is that they must complete the additional administration.
The study concluded that additional administration fulfillment of parole for foreign inmates are law guarantee and recommendation from embassy and local immigration office.
The obstacle on the program that make the embassy is uneager to give law guarantee and no recommendation from the local immigration office, is lacks of understanding on parole of the inmates and or the correction, immigration and embassy's officers. Besides that, there is weak coordination on those three institutions. Budgets and people's stigma to the foreign inmates are also making it harder to get additional administrative condition in getting parole for foreign inmates.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20810
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vera Bararah Barid
"ABSTRAK
Pembinaan narapidana merupakan bagian dari tujuan pemidanaan berdasarkan sistem pemasyarakatan yang telah diatur dalam Undang-undang pemasyarakatan dimana seseorang yang telah melakukan kesalahan dibina dengan baik, agar mereka dapat menyadari kesalahan dan perbuatannya dan melakukan pertaubatan, serta ketika mereka selesai menjalani hukuman dapat berintegrasi sosial atau kembali ke masyarakat. Kerja sama pihak swasta dengan Lembaga Pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana tidak bertentangan dengan tujuan pembinaan narapidana seperti dalam sistem pemasyarakatan tersebut, karena komponen-komponen pembinaan narapidana yang masih terbatas dari pihak lapas maupun pemerintah (seperti: sumber daya manusia, anggaran pembinaan, peralatan yang menunjang dsb.) dapat dibantu dan dipenuhi oleh pihak swasta. Lapas wanita Klas II A Palembang merupakan salah satu contoh lapas yang berhasil menerapkan konsep ini, meskipun keberhasilan tersebut bukan berarti tanpa adanya kendala-kendala dalam pelaksanaannya. Dengan adanya konsep ini diharapkan narapidana mendapatkan skill sebagai bekalnya nanti ketika mereka telah bebas atau selesai menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan.

ABSTRACT
Rehabilitation of inmates is a part of the purpose of criminal prosecution based on the penal system which has been regulated in Law penitentiary whereas a person who has made a mistake nurtured properly, so that they can realize their mistakes, and could change it and when they finished the sentencing, they can integrate social or return to the public. Rehabilitation inmates program in Palembang woman?s correction based on collaboration between correction and private sector which is not contrary to the purpose of fostering such prisoners in the correctional system, because the components are still limited coaching inmates of the prison and the government (such as human resources, budget, support equipment and so on) can be helped and be met by the private sector. Woman?s correction of Class II A Palembang is an example of the correction were successfully implemented this concept, despite this success does not mean the absence of constraints in implementation. With the concept of inmates is expected to gain skills as her talent later when they have free or finished their sentencing in a correctional institution.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T45136
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inna Imaniati
"Sexual needs are among the primary needs of humans to be fulfilled. The rise of lesbian behavior in Correctional Institution "X" is an interesting phenomenon, as lesbianism is regarded as a deviant behavior, especially with regard to religious values and norms. Correctional Institution "X" also prohibits any form of relations among inmates of different sexes, much less between those of the same sex.
The research is qualitative and descriptive, with informants including lesbian inmates, non-lesbian inmates and institutional staff members. In the collection of data, the researcher acted as participant, gathering data with direct observation and in-depth interviews.
The theory used in the study is the subculture theory of John Irwin and Donald R. Cressey. A subculture is a group of norms, values and beliefs differing from norms, values and beliefs of the dominant culture. A prison subculture is a group of patterns arising in the prison environment, different from the dominant culture. A subculture is a choice in facing prison life, having opposing norms and values. According to Albert K. Cohen, a subculture appears from a feeling of solidarity in a group having norms suitable to group members' requirements. Cohen explains further that deviant behavior includes actions considered in violation of norms and expectations of the society.
The research shows that prison affects sexual behavior of inmates. Lesbian behavior can be regarded as a subculture, noting the rise of values, symbols, and norms. Within correctional institutions, lesbian behavior rises due to lack of legal means to obtain fulfillment of sexual needs. If inmates are provided with a legal means to fulfill their sexual needs, it is possible that lesbian behavior would not arise within correctional institutions.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21513
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darmalingganawa
"Lembaga Pemasyarakatan sebagai bagian dari proses peradilan pidana terpadu (an Intregated criminal justice system) di sampling mengemban fungsi sebagai penegakan hukum juga melaksanakan tugas dibidang pembinaan bagi narapidana. Dalam kerangka pembinaan bagi narapidana salah satu kegiatan yang dilaksanakan adalah kegiatan kerja bagi narapidana.
Guna mendukung terselenggaranya tugas pembinaan kegiatan kerja bagi narapidana, salah satunya dapat ditempuh melalui kerjasama antara lembaga pemasyarakatan dengan pihak ketiga. Tujuan pelaksanaan kerjasama lembaga pemasyarakatan dengan pihak ketiga adalah untuk mendukung pembinaan kepribadian dan kemandirian.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif, dengan informan dari para petugas pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Disamping itu guna mendukung basil penelitian juga dipilih sejumlah narapidana untuk menjadi informan penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan wawancara secara mendalam dengan informan penelitian. Setelah data terkumpul selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisis data.
Berdasarkan pembahasan terhadap hasil penelitian ini, ditemukan model eksisting pelaksanaan kerjasama lembaga pemasyarakatan dengan pihak ketiga yang didasarkan tahap tahap pelaksanaan kerjasama, faktor faktor penghambat dan ditemukannya model ideal pelaksanaan kerjasama antara lembaga pemasyarakatan dengan pihak ketiga dibidang kegiatan kerja produktif bagi Narapidana.

Correction Instituion as part of the integrated criminal justice system is responsible to serve the law as well as to conduct rehabilitation for inmates. In the manner of treating inmates, one of many programs implemented is vocational activity for inmates.
To run the vocational activity to inmates, establishing association between Correction Institutions and particular third party can be put as supporting aspect. The goal of this association is to uphold the individual competence and self integrity for inmates.
This research is using qualitative research method, by inquiring information from Correction Institution officer and Directorate General of Corrections. Also, to support conclutions of this researc, several inmates are chosen as research informants. Data collecting is performedby observation and deep interview with research informants. Subsequently, all the collected data are processed and analyzed.
According to the conclution of this research, an existing models is discovered concerning the association between Correction Institutions and particular third party, along with stages of collaboration, the disrupting factors, and recommended ideal model on Correction Institutions and particular third party association regarding Productive Labor Program for inmates.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20661
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhtar
"Fokus penelitian ini adalah bagaimana implementasi kebijakan pembebasan bersyarat bagi narapidana sebagai upaya mengurangi dampak negatif kepadatan atau kelebihan penghuni di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang. Kebijakan ini merupakan kebijakan pembinaan narapidana dalam konsep re-integrasi sosial yang paling baik dalam membebaskan narapidana. Namun pada kenyataannya beberapa orang berpendapat bahwa pembebasan bersyarat dipandang sebagai pemberian maaf atau rasa simpati pemerintah, bertujuan memperpendek hukuman dengan mempercepat waktu pembebasan, bahkan pembebasan bersyarat dianggap sebagai upaya untuk menyenangkan atau memberi kenyamanan pelaku kejahatan.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam (in-dept interview). Analisis terhadap proses dan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan dilakukan dengan cara mengadopsi teori implementasi kebijakan dari George Edward III, Marilee S. Grindle dan Van Meter serta Carl Van Horn (teori yang digunakan disesuaikan dengan kondisi lapangan).
Lapas Kelas I Cipinang berusaha merubah pendapat keliru beberapa orang mengenai kebijakan pemberian pembebasan bersyarat bagi narapidana dengan cara seoptimal mungkin mengimplementasikan kebijakan tersebut, bahwa tujuan pembebasan bersyarat pada narapidana bukan untuk memperkecil hukuman, mempermudah atau memberi kenyamanan pelaku kejahatan, juga bukan merupakan toleransi atau pemaaf. Sebaliknya kebijakan pemberian pembebasan bersyarat pada narapidana sebagai program pembinaan bertujuan untuk mengembalikan narapidana agar dapat hidup kembali di masyarakat dan tidak melakukan kejahatan lagi, dan hal ini harus direkomendasikan sebagai alternatif yang paling banyak mendatangkan manfaat terutama dalam menanggulangi dampak kepadatan atau kelebihan penghuni di dalam Lapas.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa proses implementasi kebijakan Pembebasan Bersyarat bagi narapidana dalam upaya menanggulangi dampak negatif kepadatan atau kelebihan penghuni di Lapas Kelas I Cipinang secara umum dapat dikatakan berjalan cukup baik namun kurang begitu optimal. Proses implementasi kebijakan berjalan cukup baik terbukti dari telah dipahaminya perubahan strategis yang diinginkan dan implikasinya; adanya peraturan pelaksanaan atau peraturan penjelas; dan telah dilaksanakan sosialisasi kebijakan pemberian pembebasan bersyarat tersebut. Namun yang menyebabkan kurang optimalnya implementasi kebijakan tersebut atau dapat dikatakan terjadi implementation gap (kesenjangan/perbedaan antara apa yang dirumuskan dengan apa yang dilaksanakan) yaitu adanya faktor-faktor menjadi hambatan dalam pelaksanaanya. Beberapa faktor yang menjadi hambatan tersebut adalah komunikasi dan koordinasi, sumber daya, dan struktur birokrasi.

The focus of this research is how the Implementation of parole policy for inmates in effort to overcome negative impact of overcapacity at Correctional Institution of Class I Cipinang. This policy is a policy to treatment the inmates in the concept of social re-integration, and it is the best concept to release them. But in fact some people argue that parole is viewed as forgiveness or sympathy from government, aimed to shortening the sentence with speed up their release, parole even considered as an attempt to please or give comfort to criminals.
The research used qualitative research method. Data was collected through in-depth interviews. Analysis of the processes and factors that influence the policy implementation is done by adopting the theory of policy implementation from George Edward III, Marilee S. Grindle, Van Meter and Carl Van Horn (the use of theory adapted with field conditions).
Correctional Institution of Class I Cipinang try to change the wrong opinion of some people about this parole policy by optimize the implementation, that the purpose of parole for inmates is not to minimize the penalties, facilitate or give comfort to criminals, also not as a tolerant or forgiving. Instead the policy of parole for inmates as a treatment program aims to restore inmates so can live back in the community and did not commit a crime again, and it should be recommended as an alternative can bring the most benefits, especially in reducing the impact of overcapacity in the correctional institution.
The research concludes that the process of Implementation of parole policy for inmates in effort to overcome negative impact of overcapacity at Correctional Institution of Class I Cipinang, generally speaking, quite well, but less so optimal. Policy implementation process can be said quite well proven that the strategic change desired and its implications have been understood; available regulatory implementation or regulation explanatory; and socialization of this parole policies have been implemented. But the causes of less than optimal implementation of the policy or it can be said to occur the implementation gap (the difference between what are formulated with what has been done), this is due to several factor which become obstacles in its implementation. Some of these factors are communication and coordination, resources, and bureaucratic structures.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jerry Indrawan
"ABSTRACT
Program deradikalisasi sudah berjalan di Indonesia sejak tahun 2012. Program ini menggunakan paradigma pencegahan dalam implementasi kebijakan-kebijakan yang dihasilkannya. Selama tujuh tahun pelaksanaannya, deradikalisasi mengalami cukup banyak tantangan dan hambatan. Sejauh ini, banyak kritik dialamatkan terhadap program deradikalisasi. Kritik-kritik, seperti terkait kurangnya anggaran, fasilitas di lapas, materi deradikalisasi yang diberikan kepada napi terorisme, bagaimana program kelanjutan pasca deradikalisasi, sampai pada persepsi masyarakat terhadap program ini yang cenderung tetap menghadirkan penolakan bagi eks narapidana terorisme setelah kembali ke masyarakat. Masalah-masalah ini muncul dan menjadi hambatan bagi efektivitas program deradikalisasi. Teori yang digunakan dalam tulisan ini adalah teori deradikalisasi dan teori efektivitas. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan analisis yang bersifat deduktif dan konseptual, serta cara pengumpulan data adalah melalui studi pustaka. Atas dasar itulah, artikel ini ingin melihat efektivitas program deradikalisasi yang dilakukan oleh BNPT terhadap narapidana terorisme di Indonesia."
Bogor: Universitas Pertahanan Indonesia, 2019
345 JPBN 9:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Harman
"Tahanan yang ditempatkan di Rumah Tahanan Negara secara langsung akan merasakan penderitaan permulaan selama belum adanya putusan dari pengadilan pidana, yang memutuskan apakah perampasan kemerdekaan permulaan itu harus diakhiri atau harus dilanjutkan untuk kemudian diputuskan secara definitive. Perawatan /pelayanan tahanan dan Pembinaan terhadap narapidana harus berdasar pada asas pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan pendidikan, penghormatan harkat dan martabat manusia. Dengan kata lain perlindungan terhadap Hak asasi manusia. Dalam tulisan ini merujuk kepada pendapat Donald Clemmer mengenai ciri kehidupan di dalam Rumah Tahanan Negara. Seperti Special Vocabulary, stratifikasi sosial, Primary Group, Leadership yang ada di Rumah Tahanan Negara Jakarta Timur. Hasil penelitian didapat bahwa Kehidupan di dalam Rumah Tahanan Negara Jakarta Timur Hama seperti di Lembaga Pemasyarakatan, para tahanan di perlakukan sama seperti narapidana di tempatkan bersama sama dalam satu tempat. Di temukan bahasa tersendiri yang mereka sebut bahasa Bonseng dan ada istilah-istilah yang digunakan oleh penghuni baik Tahanan maupun narapidana. Tidak ada Stratifikasi sosial yang ada hanya ketidaksamaan social (social inequality) merupakan hal yang universal dalam masyarakat manusia karena tidak ada masyarakat tanpa perbedaan antar individu. Tidak ditemukan kelompok-kelompok besar yang mempengaruhi kerja petugas atau menggangu keamanan, dan meskipun memiliki kepercayaan dan agama yang berbeda, tidak di temukan juga kelompok-kelompok berdasarkan agama. Yang ada hanya kelompok-kelompok kecil yang ditandai dengan adanya istilah Kepala Kamar, Kepala blok yang menjadi pemimpin, penghubung antara penghuni dengan petugas dan membantu petugas mengatur kegiatan bagi penghuni.

To know how the real life in a Detention House is, a research enables to give the picture about the life in it is needed. Someone's placement in the Detention House is the beginning of his liberty loss. A prisoner placed in Detention House will soon feel suffer because of the depressing conditions.The principles of inmates treatment and services should be based on the protection principality, treatment equality and education service as well as the appreciation of human rights. What is meant by life in Detention House here refers to what Donald Clemmer said about the characteristics of life in Detention House such as special vocabularies, social stratification, primary group, and leadership existing in East Jakarta Detention House. The social life in Detention House has a specific characteristic, in which the inmates interact and socialize in a strict social control. which forces them to create a new culture which only they can understand well.These make Detention House inmates have a very limited space for themselves, thus resulting in their creating a special culture so that they can survive, such as a special vocabularies among themselves called Bonseng language and other terms used only by inmates. There are no social stratification found in East Jakarta Detention House. Inmates do not have any authorities and they are not given any privileges. The writer did not find any big groups which affect the officers' work or disturb the security stability.in East Jakarta Detention House , either in men as well as in women sections. Though they have different beliefs and religions, groups based on their beliefs are not found. There are only small groups marked by terms like kepala kamar, kepala blok, someone acting as the connector between inmates and officials as well as helping officials to manage the inmates activity."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15080
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Basuki Katono
"ABSTRAK
Perubahan sistem nilai dengan cepat menuntut adanya norma-norma kehidupan sosial baru untuk senantiasa mengikuti perkembangan masyarakat, termasuk ketentuan mengenai remisi. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Bagi narapidana tindak pidana narkotika¬-psikotropika, korupsi, terorisme, dan kejahatan HAM berat, remisi diberikan setelah mereka menjalani sepertiga masa pidana dan berkelakuan baik. Hal ini berbeda dengan peraturan sebelumnya yang tidak membedakan jenis tindak pidana.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana fungsi remisi dalam pembinaan narapidana tindak pidana narkotika-psikotropika, korupsi, terorisme dan kejahatan HAM berat dan mengetahui langkah-langkah yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM DKI Jakarta dan Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang dalam pemberian remisi bagi mereka.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dan dikategorikan sebagai penelitian kualitatif, dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan metode wawancara terhadap petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang, Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM DKI Jakarta, dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang berkaitan secara langsung dengan bidang remisi, registrasi dan statistik maupun narapidana tindak pidana narkotika¬p-sikotropika, korupsi, terorisme dan kejahatan HAM berat.
Analisis penelitian menunjukkan bahwa pemberian remisi bagi narapidana tindak pidana narkotika-psikotropika, korupsi, terorisme dan kejahatan HAM berat belum berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006. Fungsi remisi maupun langkah-Iangkah yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kantor Wilayah dan Lembaga Pemasyarakatan pada dasarnya sama seperti tindak pidana umum lainya dengan berdasar pada Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi.
Untuk itu perlu direkomendasikan agar Pemerintah segera melakukan pengkajian untuk memberikan kejelasan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, sehingga memberikan kepastian hukum bagi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kantor Wilayah maupun Lembaga Pemasyarakatan dalam pelaksanaan pemberian remisi bagi narapidana tindak pidana narkotika-psikotropika, korupsi, terorisme dan kejahatan HAM berat.

ABSTRACT
This study aimed to determine whether Changes in evaluation system demands new norms in social life to always in track with development within society, including regulations about remission. Government passed Regulation Number 28/2006 about alteration to Government Regulation Number 3211999 about Conditions and Requirements of Inmates' Rights. For inmates granted with cases of drugs, corruption, terrorism and human rights violation, remission is granted after they have done one third of conviction time and recorded good behavior. This is different from the previous regulation which did not differentiate the nature of criminal cases.
This study is conducted to find how remission works inmates in drugs, corruption, terrorism and human rights violation cases, and various steps that need to be taken by Director General of Correction, Jakarta Regional Office of Law and Human Rights, and Correctional Institution of Class I Cipinang in granting remission for them.
This study is a descriptive analysis and categorized as qualitative research. Sources of information were obtained from interview with officers in Correctional Institution Class I Cipinang, Regional Officer of Law and Human Rights, and Director General of Correction who have direct access to area of remission, registration and statistic, as well as inmates with cases of drugs, corruption, terrorism and human rights violation.
This research also revealed that informants feel that remission for those inmates has not in accordance with government Regulation Number 2812006. Remission and other treatments conducted by Director General of Correction for those special inmates are basically the same as with other inmates, which is based on Government Regulation Number 3211999 about Conditions and Requirements of Inmates' Rights and Presidential Decree Number 174/1999 about Remission.
Therefore it is recommended that the government should do through examination to clarify Government regulation Number 28/2006 about alteration to Government Regulation Number 3211999 about Conditions and Requirements to give assurance to Director General of Correction, Regional Officer of Law and Human Rights and Correctional Institutional in granting remission for inmates with cases of drugs, corruption, terrorism and human rights violation.
"
2007
T20838
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Dwi Sarwono
"Penelitian ini difokuskan pada masalah hubungan informal yang dilakukan secara intens antara narapidana/tahanan dengan petugas lembaga pemasyarakatan atau pihak lain. Hubungan yang bersifat informal tersebut dilakukan secara terus menerus dan berlangsung dalam waktu yang lama, sehingga membentuk jaringan sosial di dalam lembaga pemasyarakatan. Di lokasi penelitian yang menjadi sumber data penulis hubungan tersebut lebih dikenal dengan istilah "Ponakan".
Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif, dimana penelitian lebih banyak memanfaatkan dan mengumpulkan informasi dengan cara mendalami fenomena yang diteliti. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis yang bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Fenomena yang digambarkan tersebut kemudian dianalisa dengan menggunakan Grounded Research.
Analisis terhadap hasil penelitian yang dilakukan dengan pengamatan iangsung (observasi) dan wawancara, dapat disimpulkan bahwa : 1) Hubungan informal yang terjadi antara narapidanaltahanan dengan petugas pemasyarakatan dilakukan atas dasar kesepakatan bersama dan Baling menguntungkan (simbiosis mutualisme) ; 2) Terbentuknya pola hubungan "ponakan" tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan inisiatif berdasarkan stratifikasi sosial dan berdasarkan kepentingan yang diharapkan ; 3) Teori yang dianggap mempunyai relevansi dengan fenomena hubungan "ponakan" tersebut adalah teori tentang jaringan social, teori pertukaran dan teori tindakan social.
Hasil penelitian merekomendasikan bahwa hubungan yang bersifat informal tersebut yang mempunyai kecenderungan berdampak negatif dapat di akomodir melalui mekanisme wall sebagai mekanisme legal formal dan mengoptimalkan mekanisme yang diatur dalam prosedur tetap (protap).

This research is focused on the problem of informal relation performed intensely between inmates/prisoners with the officers of rehabilitation center or other parties. That informal in characteristic relation is performed continuously and running in long enough time, thus forming social network in that rehabilitation center. In the location of research as the data source of the writer, that relation is known more with the term "Ponakan" in Indonesian or nephew in English.
This research is performed through qualitative approach, whereas the research uses and gathers information more by means of in-depth study on the researched phenomena. As for the method used is analytical descriptive method aimed to make description, picture or elaboration systematically, factually and accurately on the facts, characteristics as well as relations among the phenomena being researched. The phenomena described then to be analyzed using Grounded Research.
From the analysis on research results performed by direct observation and interviews; it can be concluded that: 1) Informal relation occurring between inmates/prisoners with officers of rehabilitation center can be performed based on mutual agreement and benefits (symbiotic mutualism): 2) Formation of that "ponakan" relation pattern can be classified based on initiatives, based on social stratification and based on expected interests; 3) Theory deemed as having relevance with that phenomena of "ponakan" relation is theory on social network. Theory of exchange and theory of social acts.
The research results recommend that the said informal in characteristic relation with its negative effect tendency can be accommodated through representative mechanism as formal legal mechanism and optimizing the mechanism arranged in prosedur tetap/fixed procedures (protap)."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20664
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Santosa
"Prevalensi penyebaran HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan perkembangan yang demikian pesatnya. Apabila tidak disikapi secara serius dan juga secara multi-dimensional maka bahaya penularan HIV/AIDS akan mengancam kehidupan bangsa dan negara ini karena kondisi tersebut berpotensi untuk terjadinya kehilangan generasi (lost generation). Dan peningkatan penularan HIV/AIDS di Indonesia tidak hanya terjadi di tengah-tengah masyarakat umum saja, namun juga menjadi ancaman dalam kehidupan di lingkungan RUTAN Klas I Jakarta Pusat yang mana perlu mendapatkan prioritas dalam penanggulangannya. Untuk itu dalam rangka menanggulangi penularan HIV/AIDS di kalangan tahanan dan narapidananya, maka pihak RUTAN Klas I Jakarta Pusat telah berupaya dengan berbagai cara untuk dapat menekan peningkatan penyebaran HIV/AIDS tersebut. Dan upaya yang dilakukan oleh pihak RUTAN Klas I Jakarta Pusat tersebut mengacu pada Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba pada LAPAS dan RUTAN di Indonesia tahun 2005-2009. Tetapi yang sangat disayangkan adalah upaya tersebut belum dilakukan secara optimal oleh pihak RUTAN Klas I Jakarta Pusat, baik dari pihak petugas pemasyarakatannya sendiri maupun dari pihak tahanan dan narapidananya, sehingga prevalensi peningkatan penyebaran HIV/AIDS di dalam lingkungan RUTAN Klas I Jakarta Pusat terus saja meningkat. Perencanaan Strategis merupakan salah satu dari sekian jenis perencanaan, adalah merupakan suatu perencanaan yang perlu dibuat oleh RUTAN Klas I Jakarta Pusat dalam rangka menentukan strategi-strategi yang efektif untuk digunakan dalam penanggulangan HIV/AIDS, karena lebih bersifat komprehensif dalam arti lebih memfokuskan pada analisis lingkungan secara keseluruhan, baik lingkungan eksternal, maupun lingkungan internal. Berangkat dari persoalan tersebut, penulis melakukan penelitian ini dengan maksud untuk mencari dan menentukan strategi-strategi yang ideal yang perlu ditempuh oleh RUTAN Klas I Jakarta Pusat dengan sebelumnya melakukan analisis mengenai faktor-faktor yang menjadi pendorong, maupun penghambat atau yang disebut identifikasi isu-isu strategis dan kemudian dilanjutkan dengan analisis SWOT. Dan sesuai dengan analisis SWOT tersebut, maka dapat ditemukan isu-isu strategis yang kemudian isu-isu strategis tersebut dilakukan pengujiannya untuk mengetahui isu-isu yang sangat strategis berdasarkan dari hasil observasi dan wawancara dengan informan. Adapun isu-isu yang sangat strategis tersebut adalah : (1) Menekan tingkat prevalensi HIV/AIDS pada tahanan dan narapidana melalui berbagai pelatihan dan penyuluhan; (2) Menghilangkan stigma dan diskriminasi.

The prevalence of HIV/AIDS in Indonesia shows a rapid development. When the situation described is not seriously as well as multi-dimensionally handled the danger of the HIV/AIDS infection spreading will become a threat to the life of the nation and the condition will potentially cause the lost of the generation. The development of the disseminating of HIV/AIDS in Indonesia is not occur among the public community only, but also threatening the life inside the First Class State Detention House of Central Jakarta and the cope itself needed to be a priority. In term of the cope of the HIV/AIDS disseminating among its prisoners and inmates, the First Class State Detention House of Central Jakarta has put great efforts in such ways to press the development of the disseminating of HIV/AIDS. The efforts of the First Class State Detention House of Central Jakarta refers to the National Strategy of the Cope of HIV/AIDS and Drugs Abuse on the Institute Serve a Sentence and the State Detention House in Indonesia 2005-2009. But unfortunately, the efforts has not executed optimally by the side of the First Class State Detention House of Central Jakarta?s officers as well as the prisoners and the inmates, and this circumstance always support the velopment of the HIV/AIDS spreading. Strategic planning which is one of the kind of planning types is a plan made by the First Class State Detention House of Central Jakarta in order to define an effective strategies to be used in the cope of HIV/AIDS because it is more comprehensive that more focuses on environmental analysis, either external or internal environment. Based on the problem, the research is done by the writer with the aim to find out an ideal strategies which should be taken by the First Class State Detention House of Central Jakarta. The research is done by analyzing the supporting and the inhibiting factors previously, and called as identification of strategic issues and then by SWOT analysis. And according to the SWOT analysis than the strategic issues is found, and then are examined to find out the most strategy issues based from the result of the observation and interview with the informants. Therefore the most strategic issues are: (1) Reducing the development HIV/AIDS prevalence among the prisoners and inmates through many kind of trainings and information-tellings; (2) Dismissing the stigma and discrimination."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T12912
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>