Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Ayman
"Peer to peer lending adalah salah satu layanan fintech dengan pertumbuhan tercepat di dunia yang menawarkan kesempatan bagi orang untuk meminjamkan dan meminjam dana dari dan untuk orang yang tidak dikenal tanpa proses yang rumit. Oleh karena itu, transaksi peer to peer (P2P) lending dapat menarik praktik Money Laundering (ML) dan telah terdeteksi di beberapa negara, termasuk Indonesia dan Swiss. Pemilihan Switzerland karena perkembangan peer to peer lending yang serupa dengan Indonesia. Dalam penelitian ini, penelitian akan mengetahui tanggung jawab, persamaan, dan perbedaan peer to peer lending dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Metodologi yang digunakan adalah yuridis normatif, khususnya menggunakan micro comparison dengan 4 indikator yang akan dibandingkan antara lain landasan hukum komitmen P2P untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, identifikasi nasabah sebelumnya, pemantauan transaksi, dan pelaporan transaksi mencurigakan yang akan dibandingkan dalam 2 negara. Berdasarkan penelitian, persamaan di Indonesia dan Swiss untuk peer to peer lending antara lain kewajiban mengikuti aturan pencegahan anti TPPU, kewajiban menerapkan prinsip mengenal nasabah, uji tuntas lebih lanjut, penerapan elektronik mengenal nasabah, mendeteksi nasabah dengan profil mencurigakan, pengungkapan teknologi untuk pencatatan, pelaporan wajib transaksi mencurigakan, pelaporan praktis ke Financial Intelligence Unit, dan penggunaan GO-AML. Perbedaannya terletak pada tidak adanya peraturan khusus yang ada di Swiss, pengecualian untuk uji tuntas awal pada pelanggan tertentu di Swiss, dasar pelaporan transaksi mencurigakan di Swiss, pencatatan teknis, waktu penyimpanan data mantan pelanggan, batas waktu, dan alasan pelaporan transaksi mencurigakan.

Peer to peer lending is one of the fastest growing fintech services in the world that offers the opportunity for people to lend and borrow funds from strangers without a complicated process. Therefore, peer to peer (P2P) lending transactions can attract the practice of Money Laundering (ML) and it has been detected in several countries, including Indonesia and Switzerland. Switzerland is chosen due to similar development of peer to peer lending with Indonesia. In this study, the research would find out the responsibility, similarity, and differences of peer to peer lending in preventing and eradicating money laundering. The methodology used is juridical normative, specifically using micro comparison with 4 indicators that will be compared including the legal basis for P2P commitments to prevent and eradicate money laundering, prior identification of customers, transaction monitoring, and reporting of suspicious transactions that will be compared in the 2 countries. Based on the research, the similarities in Indonesia and Switzerland for peer to peer lending include the obligation to follow the anti-ML prevention regulations, the obligation to implement the know your customer principle, further due diligence, implementation of electronic know your customer, detecting customers with suspicious profiles, technology disclosure for record keeping, mandatory reporting of suspicious transactions, reporting the practice to the Financial Intelligence Unit, and the use of GO-AML. The difference lies in the absence of specific regulations that do not exist in Switzerland, exceptions for initial due diligence on certain customers in Switzerland, the basis for reporting suspicious transactions in Switzerland, technical record keeping, ex-customer data retention times, time limits, and reasons for reporting suspicious transactions.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alif Ariaputra
"Penelitian ini bertujuan untuk menggali dinamika hubungan bilateral Indonesia-Swiss dari tahun 1949-1965. Sejak pernyataan kemerdekaan, eksistensi republik mendapat tantangan dari Belanda. Hal ini turut berdampak kepada konsepsi perjuangan Kementrian Luar Negeri Periode (1945-1949) yang diamanatkan untuk memperoleh dukungan pengakuan internasional guna mencegah kembalinya kekuasaan kolonial. Dalam hal ini Swiss mempunyai peran yang signifikan dan esensial bagi Indonesia. Dukungan moral dan material Swiss bagi Indonesia tiada duanya sebagai salah satu negara Eropa Barat yang tidak dijamah oleh Perang Dunia Kedua. Akan tetapi seperti halnya hubungan secara umum terdapat pasang dan surut (ebb and flow) yang turut mewarnai hubungan bilateral mereka. Berdasarkan latar belakang tersebut penelitian ini mencoba untuk menjawab beberapa rumusan masalah seperti (1) Politik luar negeri Indonesia dan Swiss, (2) dinamika hubungan Indonesia-Swiss dari tahun (1949-1965) dan (3) dampak dari dinamika hubungan Indonesia-Swiss. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang di dalamnya termasuk proses menggali sumber, mengkritik, serta menafsirkan arsip-arsip kementrian baik itu dari Kementrian Luar Negeri Swiss maupun Kementrian Penerangan Indonesia untuk kemudian dapat dianalisis dan ditarik sebuah kesimpulan mengenai arsip tersebut. Penelitian ini menemukan bahwa kehadiran Swiss ditengah krisis eksistensial Indonesia telah secara langsung membantu dengan membangun kapabilitas dan kapasitas Republik muda ini dalam menjalankan fungsi pemerintahannya. Adapun hubungan kedua negara tersebut juga diwarnai dengan beberapa ‘turbulensi’ di beberapa kejadian dengan kasus yang paling banyak di penghujung masa Orde Lama dan transisi menuju Orde Baru.
This research aims to explore the dynamics of Indonesia-Switzerland bilateral relations from 1949-1965. On August 17, 1945, Indonesia's independence was proclaimed after Japan surrendered to the Allies. Since the declaration of independence, the existence of the republic has been challenged by the Dutch who demanded a military and diplomatic response from Indonesia. This had an impact on the conception of the struggle of the Ministry of Foreign Affairs (1945-1949), which was mandated to gain support for international recognition to prevent the return of colonial rule. In this regard, Switzerland played a significant and essential role for Indonesia. Switzerland's moral and material support for Indonesia was second to none as one of the Western European countries not touched by the Second World War. However, as with relationships in general, there are ebbs and flows that color their bilateral relations. Based on this background, this research tries to answer several problem formulations such as (1) Indonesia and Switzerland's foreign policy, (2) the dynamics of Indonesia-Switzerland relations from 1949-1965 and (3) the impact of the dynamics of Indonesia-Switzerland relations. This research uses the historical method which includes the process of digging up sources, critic, and interpreting ministerial archives from both the Swiss Ministry of Foreign Affairs and the Indonesian Ministry of Information to then be analyzed and interpreted. This research found that the presence of Switzerland during Indonesia's existential crisis as one of has directly helped by building the capabilities and capacity of the young Republic in carrying out its government functions. The relationship between the two countries was also characterized by some 'turbulence' on several occasions with the most cases at the end of the Old Order and the transition to the New Order."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Anindita Kusuma Listya
"Upaya perlawanan terhadap korupsi yang merupakan tindak kejahatan lintas batas (transnational organized crime), kini menjadi salah satu agenda global penting yang membutuhkan kerjasama internasional untuk menanggulanginya. UNCAC merupakan sebuah institusi internasional yang menyasar isu korupsi, disahkan pada tahun 2003 dan hingga kini dianggap sebagai kerangka kerjasama internasional paling penting yang memberikan pilar-pilar utama dalam pemberantasan korupsi – pencegahan, penegakan hukum, kerjasama internasional, serta asset recovery.
Penelitian ini secara khusus berupaya untuk melihat efektivitas UNCAC dalam proses asset recovery hasil korupsi Indonesia yang berada di Swiss, melalui kerangka Mutual Legal Assistance yang merupakan salah satu ketentuan di dalamnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa UNCAC tidak berhasil menjamin proses asset recovery melalui MLA antara Indonesia dan Swiss, karena: 1) Lemahnya proses dan mekanisme pengawasan, 2) Tertutupnya kemungkinan aksi kolektif negara-negara anggota, serta 3) Ketidakmampuan UNCAC dalam memfasilitasi proses negosiasi secara reguler dan terukur antara kedua belah pihak.

International efforts in the fight against corruption–which is considered as the transnational organized crime-has become an important global agenda that requires international cooperation. UNCAC is an international institution that focus on the corruption issues. Passed in 2003 and entered into force in 2005, UNCAC regarded as the most important international framework which provides four main pillars in the fight against corruption - prevention, law enforcement, international cooperation, and asset recovery.
This research specifically sought to measure the effectiveness of UNCAC in the asset recovery process between Indonesia and Switzerland through one of the the provisions in the convention, Mutual Legal Assistance (MLA) framework.
The results showed that UNCAC does not succeed to ensure the asset recovery process through MLA between Indonesia and Switzerland, because: 1) The lack of control mechanism process, 2) The lack of possibility of collective action among member states, and 3) the inability of UNCAC in facilitating the negotiation process on a regular basis between the two parties.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S57984
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library