Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zulfikli Malik
"Beberapa kesulitan yang berperan dalam proses pemeriksaan pada sediaan biopsi isap rektum untuk diagnosis penyakit Hirschsprung, telah ditemukan pada pemakaian pewarnaan H&E dan Asetilkolin esterase. Oleh karena itu perlu dicari suatu prosedur diagnostik lain yang mungkin dapat memecahkan masalah ini, yaitu dengan pemakaian pewarnaan imunohistokimia neuronspesifik enolase (NSE) dan protein S-100.
Tujuan penelitian ini untuk melihat kemampuan tehnik pewarnaan imunohistokimia NSE dan protein S-100 mempertajam diagnosis morfologik penyakit Hirschsprung, terhadap sediaan-sediaan yang telah diwarnai dengan H&E yang hasilnya inkonklusif atau meragukan.
Penelitian dilakukan terhadap 37 buah sediaan histopatologi biopsi isap rektum dari arsip Bagian Patologi Anatomik FKUI/RSCM, dengan diagnosis klinik penyakit Hirschsprung atau dugaan penyakit Hirschsprung. Terdiri atas 7 sediaan yang dengan H&E diagnosisnya Hirschsprung dan 30 diagnosisnya inkonklusif. Juga disertakan beberapa-sediaan reseksi yang ada diagnosisnya dari kasus yang diteliti sebagai kontrol ketepatan diagnosisnya. Pewarnaan ulang dengan tehnik imunohistokimia menurut metoda StreptAvidinbiotin, dilakukan setelah pewarnaan H&E nya dilunturkan terlebih dahulu.
Hasil penelitian menunjukkkan bahwa kemampuan pewarnaan protein S-100 pada sediaan H&E yang representatif dengan diagnosis penyakit Hirschsprung, nilainya sama untuk menampilkan serabut saraf hipertrofik dan sedangkan untuk menampilkan ganglion lebih baik bila dibandingkan dengan H&E. Terhadap sediaan H&E inkonklusif yang representatif atau tidak representatif sangat baik sekali dibandingkan H&E. Bahkan ketepatannya sama dengan diagnosis sediaan reseksinya (100%).
NSE rendah positivitasnya pada sediaan H&E konklusif dan inkonklusif dalam penampilan serabut saraf hipertrofik, walaupun penampilan sel ganglionnya sama dengan protein S-100. Juga ketepatan diagnosisnya rendah dibandingkan diagnosis reseksinya (22,22%).
Kesimpulan yaitu telah ditemukan cara pengelolaan sediaan histopatologik, yang dapat digunakan untuk mempertajam akurasi morfologik penyakit Hirschsprung, pada sediaan biopsi isap rektum yang sebelumnya telah diwarnai dengan H&E tetapi hasilnya inkonklusif; Yaitu dengan tehnik imunohistokimia NSE dan Protein S-100 pada sediaan tersebut, dengan melunturkan pewarnaan H&E nya terlebih dahulu dan dengan diharapkan preparasi sampel jaringan yang lebih baik sebelumnya."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1993
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Fetisari Kurniawan
"Latar belakang: Pemfigoid bulosa merupakan kelompok penyakit bula subepidermal autoimun terbanyak. Patogenesis yang mendasari timbulnya penyakit ini adalah adanya ikatan antibodi terhadap antigen BP180 NC16A yang merupakan komponen dari hemidesmosom. Ikatan antibodi-antigen ini selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Deposit imun yang terbentuk kemudian dapat diperiksa menggunakan direct immunofluorescence (DIF). Salah satu molekul yang juga dihasilkan pada proses aktivasi komplemen adalah C4d. Molekul ini dianggap cukup stabil dan dapat digunakan sebagai penanda adanya kerusakan jaringan yang dimediasi oleh antibodi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat ekspresi imunohistokimia (IHK) C4d menggunakan formalin-fixed paraffin-embedded (FFPE) pada kasus pemfigoid bulosa.
Bahan dan cara kerja: Sampel penelitian terdiri atas 28 kasus pemfigoid bulosa yang terbukti mengandung deposit imun pada pemeriksaan DIF. Seluruh kasus dipulas menggunakan Complement C4d Rabbit Polyclonal Antibody. Penilaian ekspresi IHK C4d dilakukan secara tersamar dan dinyatakan sebagai positif atau negatif.
Hasil: Sebanyak 25 dari total 28 kasus pemfigoid bulosa (89,3%) menunjukkan C4d terekspresi positif pada pemeriksaan IHK.
Kesimpulan: Pulasan IHK C4d menggunakan FFPE dapat digunakan untuk mendeteksi deposit imun pada kasus pemfigoid bulosa.

Background: Bullous pemphigoid is the most frequent autoimmune subepidermal blistering disease. It is caused by the production of autoantibodies against BP180 NC16A, a component of hemidesmosome. Binding of autoantibodies to their target antigen lead to complement activation. Subsequently, immune deposits formation can be identified by direct immunofluorescence (DIF). One split product that also produced during complement activation is C4d. It is known as an inactive molecule that can be used as marker of antibody mediated tissue injury. The aim of this study was to investigate the expression of C4d immunohistochemically using formalin-fixed paraffin-embedded (FFPE) in bullous pemphigoid cases.
Material and methods: Immunohistochemical (IHC) stain was performed on 28 bullous pemphigoid cases proven to have immune deposits by DIF. All of these cases were labeled immunohistochemically using Complement C4d Rabbit Polyclonal Antibody. The results were blindly reviewed and defined as positive or negative.
Results: Immunoreactivity with C4d were identified in 25 out of 28 bullous pemphigoid cases (89.3%).
Conclusion: C4d IHC stain using FFPE can be used to detect immunoreactant deposition in case of bullous pemphigoid.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rianti Maharani
"ABSTRAK
Prevalensi kolitis ulseratif semakin meningkat dari tahun ketahun. Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek Ekstrak Etanol Daun Mahkota Dewa (EEDMD) terhadap gambaran histopatologi dan  ekspresi TNF-α, COX-2, dan NF-κβ pada jaringan kolon mencit Swiss berusia 20 minggu yang diinduksi dengan Dextran Sodium Sulfat (DSS) 2% melalui air minum. EEDMD dosis 100 mg, 200 mg, 300 mg, aspirin 0,21 mg, diberikan per oral selama 2 minggu. Pemeriksaan kandungan EEDMD menunjukan kadar total fenol sebesar 4,4103% atau 44,103 mgGAE/g ekstrak, kadar flavonoid sebesar 0,3429% atau 3,429 mgQE/g ekstrak, dan memiliki aktivitas antioksidan sedang (IC50 sebesar 219,716 µg/mL). Pemeriksaan histopatologi pada jaringan kolon mencit dinilai dengan mengkuantifikasi jumlah radang dan rerata sel goblet pada jaringan kolon yang diwarnai hematoksilin-eosin. Pemberian EEDMD pada semua dosis menunjukan perbedaan bermakna pada jumlah radang (p<0,00) dan rerata sel goblet (p<0,00). Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan untuk melihat ekspresi TNF-α, COX-2. NF-κβ. Sel positif mengekspresikan TNF-α, COX-2, dan NF-κβ dihitung/1000 sel epitel. Hasil menunjukan EEDMD mampu menurunkan ekspresi TNF-α secara signifikan dibandingkan dengan kontrol negatif. Sedangkan pada COX-2 (p<0,80) dan NF-κβ (p<0,90) tidak terdapat perbedaan yang signifikan.

ABSTRACT
Ulcerative colitis prevalence increases from year to year. The purpose of this research to see the effect of Ethanol Extract of Mahkota Dewa Leaves (EEDMD) on histopathology and expression of TNF-α, COX-2, and NF-κβ on 20-week Swiss mice tissue induced with 2% Dextran Sodium Sulfate (DSS) through drinking water. EEDMD dose 100 mg, 200 mg, 300 mg, aspirin 0.21 mg, given orally for 2 weeks. Examination of EEDMD content showed total phenol levels of 4.4103% or 44.103 mgGAE / g extract, flavonoid levels of 0.3429% or 3.429 mgQE / g extract, and had moderate antioxidant activity (IC50 of 219.716 µg / mL). Histopathological examination of mice colon tissue was assessed by quantifying the amount of inflammation and the mean of goblet cells in colon tissue stained by hematoxylin-eosin. Giving EEDMD at all doses showed a significant difference in the number of inflammation (p <0.00) and mean goblet cells (p <0.00). Immunohistochemical examination was performed to see the expression of TNF-α, COX-2. NF-κβ. Positive cells express TNF-α, COX-2, and NF-κβ counts / 1000 epithelial cells. The results showed that EEDMD significantly reduced TNF-α expression compared to negative controls. Whereas in COX-2 (p <0.80) and NF-κβ (p <0.90) there were no significant differences.
"
2019
T52377
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wildawati Nurdin
"ABSTRAK
Latar belakang : Gastritis merupakan suatu peradangan pada mukosa lambung
sebagai respon terhadap infeksi atau iritasi lambung. Penyebab gastritis kronik
yang paling sering adalah infeksi Helicobacter pylori. Adanya Helicobacter pylori
berkaitan dengan terjadinya inflamasi, atropi, serta metaplasia intestinal. Bakteri
Helicobacter pylori secara morfologi dikenal dengan 2 bentuk yaitu berupa batang
dan coccoid. Bakteri yang berbentuk coccoid sulit terdeteksi dengan pewarnaan
Giemsa. Untuk itu diperlukan pewarnaan imunohistokimia Helicobacter pylori
dan mengukur sensitivitas Helicobacter pylori berbentuk coccoid.
Bahan dan metode: Studi potong lintang terhadap 90 jaringan biopsi pasien
gastritis kronik pada tahun 2015 dan 2014 yang meliputi 30 kasus Giemsa
dengan Helicobacter pylori positif, 30 kasus gastritis kronik aktif dengan
Helicobacter pylori negatif tapi ditemukan bentuk coccoid, dan 30 kasus gastritis
kronik non aktif, kemudian dilakukan pewarnaan imunohistokimia Helicobacter
pylori.
Hasil: Ekspresi Helicobacter pylori bentuk coccoid pada kronik aktif memiliki
perbedaan yang bermakna (p<0,05) pada pulasan imunohistokimia. Terdapat
perbedaan yang bermakna antara gastritis kronik aktif H.pylori positif dan
H.pylori negatif pada pulasan IHK dengan derajat inflamasi. Uji sensitivitas dan
spesifisitas antara pemeriksaan Giemsa dan pulasan imunohistokimia, hasil
sensitivitas 65% dan spesifisitasnya 100% .
Kesimpulan: Pewarnaan imunohistokimia pada gastritis kronik aktif lebih sensitif
dibandingkan dengan pewarnaan Giemsa untuk mendeteksi Helicobacter pylori
terutama jenis coccoid .
Kata kunci: gastritis kronik aktif, Giemsa, imunohistokimia Helicobacter pylori

ABSTRACT
Background: Gastritis is a mucosal inflammation response against infection or
gastric irritation. Chronic gastritis most frequently was caused by Helicobacter
pylori infection. The presence of Helicobacter pylori was associated with
inflammation, atrophy, as well as intestinal metaplasia. Helicobacter pylori
bacteria has two morphological form consist of rods and coccoid. Bacteria
coccoid shaped was hard to detect with Giemsa staining. It is necessary to
perform immunohistochemical staining to increase the diagnosis sensitivity of
Helicobacter pylori and Helicobacter pylori in coccoid.
Materials and Methods: This was a cross sectional study against 90 biopsy of
chronic gastritis years 2015 and 2014 which covers 30 cases of Giemsa staining
with Helicobacter pylori positive, 30 cases chronic gastritis active with
Helicobacter pylori negative but with coccoid form of Helicobacter pylori, and 30
cases discovered form coccoid, and 30 cases chronic gastritis non active , then
performed immunohistochemical staining for Helicobacter pylori.
Results: Expression of Helicobacter pylori in active chronic coccoid form has a
significant difference ( p < 0.05 ) on immunohistochemical staining . There is a
significant difference between active chronic gastritis H. pylori- positive and H.
pylori- negative staining Immunohistochemistry with the degree of inflammation .
The sensitivity and specificity test result between Giemsa examination and
immunohistochemical staining was sensitivity of 65% and specificity of 100 % .
Conclusions : Immunohistochemical Staining in active chronic gastritis is more
sensitive than Giemsa staining to detect Helicobacter pylori especially in coccoid
form.
Keywords: Active chronic gastritis, Giemsa, immunohistochemistry Helicobacter
pylori"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Busroch Bayu Kartiko
"Latar Belakang: Ameloblastoma merupakan tumor yang berasal dari jaringan epitel odontogenik pembentuk gigi. Umumnya ameloblastoma jinak, tapi bersifat agresif secara lokal dengan tingkat rekurensi yang tinggi. MMP-2 merupakan salah satu yang paling berkaitan dengan invasi ameloblastoma. Matrix metalloproteinase-2 (MMP-2) merupakan enzim proteolitik yang diproduksi dalam sel-sel di seluruh tubuh dan menjadi bagian dari matriks ekstraselular, yang merupakan rangkaian rumit protein dan molekul lain yang terbentuk diruang antara sel-sel. Tujuan: Mengetahui sifat invasi lokal ameloblastoma dari sisi molekular.
Metode Penelitian: 30 sampel ameloblastoma terdiri dari 8 sampel tipe pleksiform, 5 sampel tipe folikuler, dan 17 sampel tipe campuran. Sampel dipulas secara immunohistokimia dengan antibodi MMP-2.
Hasil: Terdapat perbedaan ekpresi MMP-2 dari sel epitel pada berbagai tipe ameloblastoma. Terdapat perbedaan ekspresi MMP-2 dari sel fibroblast pada berbagai macam tipe ameloblastoma. Tipe campuran memiliki tingkat invasif yang paling tinggi dari ketiga tipe ameloblastoma dan memiliki sifat yang lebih infiltratif.
Kesimpulan :Terdapat perbedaan ekspresi immunohistokimia matriks metalloproteinase (MMP-2) terhadap sel epitel dan fibroblast ameloblastoma tipe folikular, pleksiform, dan campuran.

Background : Ameloblastoma is a tumor which originate from odontogenic epithelial tissue. Mostly ameloblastoma is benign, but can be locally aggressive with high recurrence level. MMP- 2 is one that connected with ameloblastoma invasion. Matrix metalloproteinase-2 (MMP-2) is proteolitic enzim that produce in body cells and become part of extracellular matrix. Objective: Understanding ameloblastoma local invasion from molecular side. Methods: 30 samples plexiform type ameloblastoma (n = 8), 5 samples folicullar type, and 17 samples mixed type. Samples are smeared by antibody MMP-2 immunochemistry. Results: There are differences in MMP-2 expression from any kind ameloblastoma epithelial cells. There are differences in MMP- 2 expression from any kind ameloblastoma fibroblast cells. Mixed type has highest invasion level from another three types of ameloblastoma and more infiltrative. Conclusion: There are immunochemistry Matriks Metalloproteinase (MMP-2) differences at epitel cell and fibroblast of folicullar, plexiform, and mixed type of ameloblastomas."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2015
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Handayani
"Latar Belakang: Magnesium ECAP mempunyai sifat mekanis yang baik danpengaruh osteoanabolik, namun magnesium memiliki sifat korosif.Imunohistokimia mengidentifikasi respon proses korosi dengan melihat jejakjaringan sekitar.
Metode: Tulang femur dipasang miniplate dan screwdikelompokkan 1-3-5 bulan. Tulang kontrol diambil pada sisi berlawanan. Hasil Imunohistokimia dinilai dengan skoring. Data diuji nonparametrik dengan tingkatkepercayaan 99.
Hasil: Perbedaan bermakna kelompok perlakuan dengankelompok kontrol p=0,000 . Peningkatan pembentukan trabekula dan responosteogenesis. Peningkatan revaskularisasi dan reaksi kluster diferensiasi terhadapgas poket hingga bulan ke-3.
Kesimpulan: Respon jaringan sekitar tertoleransi dengan terjadinya peningkatan osteogenesis, tidak ditemukannya jaringannekrosis, dan penurunan nilai gas poket.

Background : ECAP processed magnesium has an excellent mechanicalproperties and osteoanabolic effect. However metal materials are known to havecorrosive nature, and magnesium was no exception. Immunohistochemistry is ableto identify corrosion process response in living organism by looking into its tracesin surrounding tissus.
Methods : The femur bone samples were implanted byECAP processed magnesium miniplate and screw for 1, 3, and 5 months. Theopposing femur was left alone as control samples. Afterwards,immunohistochemical staining results were scored and tested using nonparametrictests with confidence interval of 99.
Results : Significant differences werefound between treatment groups and control groups p=0.000. The increase oftrabeculae formation and osteogenesis responses also revascularisation anddifferentiation clusters to gas voids are observed well into the 3 month samples.
Conclusion : Surrounding tissue responses are tolerated as shown by the increaseof osteogenesis, untraceable necrotic tissues, and the decrease in gas voids score.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdinand Inno Luminta
"Latar Belakang: Karsinoma sel sebasea adalah keganasan yang cukup sering ditemukan pada populasi Asia dan bersifat agresif dengan tingkat rekurensi lokal dan metastasis jauh yang tinggi. Peningkatan ekspresi pulasan imunohistokimia (IHK) tumor suppressor gene p53 dan Ki-67 sebagai penanda aktifitas proliferasi pada tumor kepala dan leher menunjukkan adanya korelasi antara aktivitas proliferasi dengan buruknya prognosis.
Tujuan: Menilai ekspresi p53 dan Ki-67 pada karsinoma sel sebasea yang dihubungkan dengan faktor prognostik klinis dan histopatologi pada karsinoma sel sebasea yaitu ukuran tumor, keterlibatan kelenjar getah bening (KGB), metastasis jauh, diferensiasi, penyebaran pagetoid, dan invasi perineural.
Metode: Pulasan IHK menggunakan antibodi p53 dan Ki-67 dilakukan pada jaringan karsinoma sel sebasea di blok parafin yang berasal dari data rekam medis sejak Juni 2017 – Juni 2022 di RSCM. Penilaian ekspresi dilakukan pada nukleus dengan metode manual dan semi-kuantitatif pada 1 lapang pandang dengan minimal jumlah sel sebanyak 500 sel dari hasil foto dan diproses ke dalam peranti lunak Qupath. Hasil penilaian selanjutnya di cek silang dengan data klinis pasien yang sudah dicatat di tabel induk dan kemudian dianalisa secara statistik untuk mengetahui hubungan keduanya.
Hasil: Total 34 pasien dengan ketersediaan blok parafin dianalisa berdasarkan data klinis dan ekspresi p53 dan Ki-67. Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara kategori ekspresi p53 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi (p>0.05). Ekspresi p53 pada hasil penelitian menunjukkan proporsi faktor prognosis buruk lebih banyak ditemukan pada ekspresi tinggi yaitu adanya metastasis, invasi perineural, dan penyebaran pagetoid. Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara kategori ekspresi Ki-67 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi (p>0.05). Ekspresi Ki-67 pada penelitian ini menunjukkan proporsi faktor prognosis buruk lebih banyak ditemukan pada ekspresi tinggi yaitu ukuran tumor yang lebih besar, metastasis, diferensiasi buruk, dan invasi perineural.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara ekspresi Ki-67 dan p53 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi buruk pada karsinoma sel sebasea. Terdapat proporsi sampel dengan ekspresi Ki-67 tinggi yang lebih banyak dan nilai tengah yang lebih tinggi pada faktor prognosis ukuran tumor, metastasis, berdiferensiasi buruk, serta invasi perineural, meskipun hasil yang didapatkan tidak jauh berbeda dan secara statistik tidak bermakna. Pada pulasan p53 terdapat perbedaan yang cukup besar dalam hal proporsi pulasan dengan ekspresi tinggi serta nilai tengah yang lebih tinggi pada faktor prognosis ukuran tumor.

Sebaceous cell carcinoma is a relatively common malignancy in the Asian population, characterized by aggressive behavior with high rates of local recurrence and distant metastasis. Increased expression of immunohistochemical marker such as tumor suppressor gene p53 and Ki-67, a proliferation marker, in head and neck tumors suggests a correlation between proliferation activity and poor prognosis.
Objective: This study aims to evaluate the expression of p53 and Ki-67 in sebaceous cell carcinoma and its association with clinical and histopathological prognostic factors, including tumor size, lymph node involvement, distant metastasis, cell differentiation, pagetoid spread, and perineural invasion.
Methods: Immunohistochemical staining using p53 and Ki-67 antibodies was performed on paraffin-embedded sebaceous cell carcinoma tissues obtained from medical records between June 2017 and June 2022 at RSCM. Expression assessment was conducted on nuclei using manual and semi-quantitative methods on 500 cells per field processed with Qupath software. The results were cross-checked with patients' clinical data recorded in a master table and statistically analyzed to determine their relationship.
Results: A total of 34 patients were analyzed based on clinical data and p53 and Ki-67 expression. There was no statistically significant association between p53 expression and clinical and histopathological prognostic factors (p>0.05). However, high p53 expression was associated with a higher proportion of poor prognostic factors, such as metastasis, perineural invasion, and pagetoid spread. Similarly, there was no statistically significant association between Ki-67 expression categories and clinical and histopathological prognostic factors (p>0.05). High Ki-67 expression was more frequently observed in cases with larger tumor size, metastasis, poor differentiation, and perineural invasion.
Conclusion: This study found no significant statistical association between Ki-67 and p53 expression with poor prognostic factors in sebaceous cell carcinoma. Nonetheless, a higher proportion of samples with high Ki-67 expression and higher median values were observed in cases with bigger tumor size, metastasis, poor differentiation, and perineural invasion, although these differences were not statistically significant. For p53 expression, significant differences were found in terms of proportion and median values concerning tumor size prognostic factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkarnain
"Aplikasi metabolomik dalam analisis subtipe kanker payudara dinilai cukup menjanjikan, salah satunya melalui penilaian profil asam amino. Informasi profil asam amino pada pasien kanker payudara berperan penting dalam tatalaksana pengobatan dan prognosis kanker payudara. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan suatu pola perubahan asam amino pada pasien kanker payudara dibandingkan kontrol orang sehat, yang mengindikasikan kaitan asam amino dengan kanker payudara. Beberapa asam amino dapat menjadi biomarker yang menunjukkan adanya asosiasi dengan progresivitas kanker maupun subtipe IHK kanker payudara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan profil asam amino berdasarkan subtipe imunohistokimia kanker payudara. Penelitian menggunakan studi desain potong lintang yang melibatkan 51 pasien kanker payudara di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Sampel darah pasien yang terdiagnosis kanker payudara diukur kadar asam aminonya menggunakan metode HPLC dan nilai yang diperoleh dibandingkan dengan nilai rujukan normal untuk mengetahui adanya pola kenaikan dan penurunan. Pola asam amino akan dianalisis dan diuji asosiasinya berdasarkan pengelompokan subtipe imunohistokimia, yang dibagi menjadi Luminal A, Luminal B+HER2 dan Triple Negative Breast Cancer (TNBC) Sebanyak 51 pasien kanker payudara didominasi oleh kelompok Luminal B+HER2 diikuti oleh Luminal A dan TNBC. Sebagian besar pola asam amino berdasarkan subtype IHK menunjukkan kadar normal, kecuali asam amino arginin dan histidin yang mengalami peningkatan pada kelompok Luminal A dan Luminal B+HER, serta penurunan kadar asam amino ornitin pada kelompok TNBC. Analisis bivariat meunjukkan adanya hubungan yang signifikan (p<0.05) antara asam amino arginin dan ornitin dengan subtipe IHK. Luminal B+HER2 menjadi kelompok subtipe imunohistokimia kanker payudara yang mendominasi. Berdasarkan 19 asam amino yang diuji, asam amino dari ketiga kelompok subtipe imunohistokimia cenderung normal, dimana hanya tiga asam amino yang menunjukkan pola perubahan, yaitu histidin, ornitin dan arginin. Asam amino arginin dan ornitin menunjukkan hubungan yang signifikan dengan subtipe imunohistokimia. 

Metabolomic approach to analyze the immunohistochemistry subtype in breast cancer is a promising tool, especially measuring amino acid levels. The amino acid profile on breast cancer patients has a significant role as guidance and prognosis. Previous studies showed alteration of amino acid levels in breast cancer patients compared to healthy women, indicating an association between amino acid and breast cancer. Some amino acids can be used as a biomarker for determining a relationship between breast cancer with cancer progression or immunohistochemistry. This study aims to investigate the association of amino with immunohistochemistry in breast cancer. This is a cross-sectional study that involved 51 breast cancer patients in RSUPN Cipto Mangunkusumo. A blood sample was collected from patients and analyze using High-Performance Liquid Chromatography (HPLC) methods to calculate the level of amino acid. The measurement of amino acid was compared to standard to determine amino acid alteration whether amino acid is increased or decrease. The data are analyzed and tested statistically to investigate the association of amino acid alteration based on three categories of immunohistochemistry (Luminal A, Luminal B+HER2 dan Triple-Negative Breast Cancer (TNBC)). A total of 51 breast cancer patients showed Luminal B+HER2 group has the highest frequency of immunohistochemistry subtype, followed by Luminal A and TNBC, respectively. There were mostly no changes in amino acid levels among the three subtypes, except arginine and histidine, which showed increased amino acid levels in Luminal A and Luminal B+HER2, whereas a decrease of ornithine level showed in TNBC group. Bivariate analysis showed significantly association between amino acid arginine and ornithine with immunohistochemistry subtype in breast cancer (p<0.05).  The majority of immunohistochemistry subtypes in breast cancer were Luminal B+HER2. Out of 19 amino acids, most of the amino acid are stable in three groups, excluding arginine, histidine and ornithine. Arginine dan ornithine showed a significantly association with immunohistochemistry subtype of breast cancer."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Birril Qudsi
"belakang: Karsinoma sel skuamosa rongga mulut (KSSRM) adalah salah satu kanker yang paling umum dijumpai dengan angka survival 52.0% yang tidak meningkat secara bermakna walaupun tatalaksana kanker ini terus berkembang. Cornulin merupakan protein spesifik untuk sel skuamosa yang penting dalam diferensiasi epitel. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa rendahnya ekspresi cornulin berhubungan dengan gambaran klinikopatologi dan survival yang lebih buruk dibandingkan dengan ekspresi tinggi. Oleh karena sifatnya yang spesifik dan belum ada penelitian mengenai ekspresi cornulin sebagai faktor prognosis di Indonesia, maka penulis tertarik untuk mengetahui hubungan antara ekspresi cornulin dan survival pada pasien dengan KSSRM.
Tujuan: Mengetahui potensi cornulin sebagai penanda biologis survival pada pasien dengan KSSRM.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi kohort retrospektif yang dilakukan dari periode Juni 2021 sampai dengan Mei 2022. Populasi penelitian ini merupakan pasien dengan diagnosis KSSRM yang ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologis dan menjalani terapi di Divisi Bedah Onkologi Departemen Ilmu Bedah RSCM periode Januari 2015 – Mei 2020. Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan untuk mengetahui ekspresi cornulin dan skor imunihistokimia ditentukan menggunakan immunoreactive score (IRS). Skor IRS < 6 berarti ekspresi rendah dan ≥ 6 berarti ekspresi tinggi. Analisis statistik univariat, bivariat, dan survival dilakukan menggunakan perangkat lunak SPSS.
Hasil: Cornulin tidak memiliki hubungan yang signifikan secara statistik dengan survival pada pasien dengan KSSRM. T, N, dan stadium memiliki hubungan yang signifikan secara statistik dengan survival pada pasien dengan KSSRM dengan nilai p masing-masing adalah 0.001, 0.040, dan 0.001. T dan N memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan ekspresi cornulin pada pasien dengan KSSRM, dengan nilai p masing-masing adalah 0.034 dan 0.030.
Kesimpulan:Cornulin sebagai protein penanda biologis KSSM tidak dapat menjadi prediktor dari survival pasien dengan KSSM.

Background: Oral squamous cell carcinoma (OSCC) is one of the most common cancers with a 52.0% survival rate which does not increase significantly even though the management of this cancer continues to develop. Cornulin is a specific protein for squamous cells that is important in epithelial differentiation. Previous studies have shown that low cornulin expression is associated with worse clinicopathological features and survival compared to high cornulin expression. Due to its specific nature and no research on cornulin expression as a prognostic factor has been done in Indonesia, the author is interested in knowing the relationship between cornulin expression and survival in patients with OSCC.
Objective: To determine the potential of cornulin as a biological marker for survival in patients with OSCC.
Methods: This study used a retrospective cohort study design that was conducted from June 2021 to May 2022. The population of this study were patients with OSCC diagnosis confirmed by histopathological examination and undergoing therapy at the Division of Surgical Oncology, Department of Surgery, RSCM for the period January 2015-May 2020. Immunohistochemical examination was performed to determine the expression of cornulin and the immunohistochemical score was calculated using the immunoreactive score (IRS). IRS score < 6 means low cornulin expression and ≥ 6 means high cornulin expression. Univariate, bivariate, and survival statistical analyses were performed using SPSS software.
Results: Cornulin did not have a statistically significant relationship with survival in patients with OSCC. T, N, and stage had a statistically significant relationship with survival in patients with SCC with p values ​​of 0.001, 0.040, and 0.001, respectively. T and N had a statistically significant relationship with cornulin expression in patients with OSCC, with p-values ​​of 0.034 and 0.030, respectively.
Conclusion: Cornulin as a biological marker protein of OSCC cannot be a predictor of the survival of patients with OSCC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>