Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dewi Susanti Febri
"ABSTRAK
Latar Belakang : Kolestasis adalah penyumbatan atau terhambatnya aliran empedu dari hati ke duodenum, dibagi menjadi intra dan ekstrahepatik. Kolestatis ekstrahepatik terutama disebabkan oleh obstruksi. Pankreatikoduodenektomi merupakan terapi pembedahan pilihan, dapat menyebabkan perubahan anatomis dan fisiologis saluran cerna. Perubahan ini menimbulkan maldigesti dan malabsorpsi, menyebabkan malnutrisi, serta meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila tidak mendapat dukungan nutrisi.Presentasi kasus : Empat kasus kolestasis ekstrahepatik, dengan keluhan ikterus di seluruh badan, nyeri perut. Tiga kasus 1 orang laki-laki dan 2 orang perempuan , disebabkan keganasan dan 1 kasus karena striktura CBD jinak. Semua pasien menjalani pembedahan, dengan lama operasi berkisar antara 3 sampai 9 jam. Pemenuhan protein dan asam amino terutama asam amino rantai cabang, diupayakan maksimal, yang diperoleh dari kombinasi makanan cair polimerik dan putih telur. Lemak dibatasi maksimal 30 dari energi yang diberikan, dengan kandungan medium-chain triglycerides MCT tinggi. Pankreatikoduodenektomi menimbulkan perubahan pada organ saluran cerna, dengan gejala mual dan perut begah setelah makan, dapat diatasi dengan penyesuaian cara pemberian, jumlah dan bentuk nutrisi tiap kondisi pasien. Selama perawatan di RS, secara umum asupan makanan dan kondisi klinis pasien membaik, serta pulang dengan perbaikan kondisi klinis.Kesimpulan: Terapi medik gizi klinik pada pasien dengan kolestasis, dapat membantu terapi bedah dan medikamentosa untuk memperoleh outcome pasca bedah dan memperbaiki kualitas hidup pasien.
"
"
ABSTRACT
Background Cholestasis is a blockage or obstruction of the flow of bile from the liver to the duodenum, divided into intrahepatic and extrahepatic. Extrahepatic cholestasis mainly due to the obstruction. Pancreaticoduodenectomy surgery is the treatment of choice, can cause anatomical and physiological changes in the gastrointestinal tract. These changes maldigesti and malabsorption, causing malnutrition, as well as increased morbidity and mortality if not received nutritional support.Case Presentation Four cases of extrahepatic cholestasis, jaundice throughout the body, abdominal pain. Three cases 1 male and 2 female , due to malignancy and 1 case for the CBD benign stricture. All patients underwent surgery, with long operating range from 3 to 9 hours. Fulfillment of protein and amino acids, especially branched chain amino acids, maximum effort, which is obtained from a combination of a polymeric liquid food and egg white. Fat is limited to maximum 30 of the energy supplied, containing medium chain triglycerides MCT high. Pancreaticoduodenectomy cause changes in the organs of the gastrointestinal tract, with symptoms of nausea and abdominal discomfort after eating, can be overcome by adjusting the mode of administration, the amount and form of nutrients each patient 39 s condition. During treatment in hospital, in general, food intake and clinical condition of the patients improved, as well as return to the improvement of clinical conditions.Conclusion The clinical nutrition medical therapy in patients with cholestasis, can help surgical and medical therapy to obtain post surgical outcomes and improve the quality of life of patients."
2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
H.M. Soemarko
Malang: Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, 2006
616.36 SOE s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Istiqomah
"Ikterus neonatorum merupakan kondisi pada neonatus karena peningkatan bilirubin dalam darah. Ikterus neonatus mempunyai tanda diantaranya kulit dan sklera yang kuning akibat bilirubin tak terkonjugasi. Salah satu terapi hyperbilirubinemia adalah fototerapi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan durasi fototerapi dengan nilai bilirubin total akhir pada pasien ikterik neonatorum di RS Polri DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan total 103 data yang mengalami ikterus neonatorum sebagai responden. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kadar bilirubin awal 14, 81 mg/dL, kadar bilirubin setelah fototerapi selama 24 jam menghasilkan penurunan sebesar 2,60 mg/dL dan fototerapi selama 48 jam menghasilkan rata-rata penurunan bilirubin sebesar 3,69 mg/dL. Terdapat hubungan durasi fototerapi dengan nilai bilirubin total pada 24 jam dan 48 jam pasca fototerapi (p Value <0,005). Rekomendasi penelitian ini adalah perlu dilakukannya eksplorasi factor-faktor yang berhubungan dengan efektivitas fototerapi.

Neonatal jaundice is a condition in neonates due to increased bilirubin in the blood. Neonatal jaundice has signs including yellow skin and sclera due to unconjugated bilirubin. One of the therapies for hyperbilirubinemia is phototherapy. The purpose of the study was to determine the relationship between the duration of phototherapy and the final total bilirubin value in neonatal jaundice patients at DKI Jakarta Police Hospital. This study used a cross sectional design with a total of 103 data who experienced neonatal jaundice as respondents. The results showed an average initial bilirubin level of 14, 81 mg/dL, bilirubin levels after phototherapy for 24 hours resulted in a decrease of 2.60 mg/dL and phototherapy for 48 hours resulted in an average decrease in bilirubin of 3.69 mg/dL. There is a relationship between the duration of phototherapies with total bilirubin values at 24 hours and 48 hours after phototherapy (p value <0.005). The recommendation of this study is the need to explore the factors associated with the effectiveness of phototherapy."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adang Sabarudin
"Latar Belakang: Ikterus obstruktif merupakan salah satu komplikasi tersering keganasan sistem bilier. Keadaan ini akan memicu pelepasan sitokin proinflamasi. Terdapat kontroversi mengenai pengaruh drainase bilier terhadap perubahan kadar sitokin proinflamasi pada penderita kanker pankreatobilier.
Tujuan: Untuk mengetahui kadar Tumor Necrosis Faktor alfa (TNF-alfa) dan Interleukin 6 (IL6) sebelum dan sesudah Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP) atau Percutaneus Transhepatic Biliary Drainage (PTBD) pada penderita ikterus obstruksi etiologi kanker pankreatobilier.
Metode: Desain penelitian adalah one group before after study. Pemilihan sampel secara consecutive sampling. Sampel darah diambil sebelum dan lima hari sesudah ERCP atau PTBD. Pengukuran kadar TNF-alfa dan IL-6 dengan cara Enzyme Linked Immunosorbed Assay (ELISA).
Hasil: Terdapat 40 orang responden yang diikutsertakan dalam penelitian ini, 22 laki laki dan 18 perempuan dengan usia rata rata 55,3 tahun. Berdasarkan imaging dan endoskopi, ditegakkan diagnosis kolangiokarsinoma sebanyak 22 orang, tumor ampula Vateri 10 orang, dan tumor pankreas 8 orang. Kadar rata-rata TNF- alfa sebelum tindakan 4,81 (2,91) pg/ml dan sesudah tindakan 8,05 (6,7) pg/ml, terdapat peningkatan yang bermakna setelah tindakan drainase bilier (p:0,02). Kadar rata-rata IL-6 sebelum tindakan 7,79 (1,57) pg/ml dan sesudah tindakan 7,75 (1,76) pg/ml, tidak terdapat perbedaan yang bermakna setelah tindakan drainase bilier (p:0.52). Kadar rata-rata bilirubin sebelum tindakan 15,5 mg% dan sesudah tindakan 11,3 mg%.
Simpulan: Terjadi peningkatan kadar rata-rata TNF-alfa secara bermakna setelah drainase. Tidak ada penurunan yang bermakna kadar rata-rata IL-6.

Background: Obstructive jaundice represents the most common complication of biliary tract malignancy. Obstructive jaundice causes releases of proinflammatory cytokine. There has been controversy about effect of biliary drainage on the change in proinflammatory cytokine level in pancreatobiliary cancer patients.
Objective: The present study was designed to determine levels of Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-Alpha) and Interleukin 6 (IL-6) in preprocedure of either Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP) or Percutaneus Transhepatic Biliary Drainage (PTBD) and postprocedure of them in obstructive jaundice patient caused by pancreatobiliary cancer.
Methods : The study method is before- and- after case study design with consecutive sampling. Blood was collected five days prior to either Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP) procedure or Percutaneus Transhepatic Biliary Drainage (PTBD) procedure and five days after either of them. Enzyme Linked Immunosorbed Assay (ELISA) was used to determine TNF-Alpha and IL-6.
Results: Forty subjects were included in this study which consisted of 22 men and 18 women. The mean age was 55.3 years old. According to the results of imaging and endoscopy procedure, twenty two (22) people were diagnosed cholangi carcinoma, ten (10) people were diagnosed ampulla varteri and eigth (8) people were diagnosed pancreatic tumor. In preprocedure, the mean of TNF-Alpha concentration was 4.81 (2.91) pg/mL, the mean of IL-6 concentration was 7.79 (1.57) pg/mL and the mean of bilirubin concentration was 15.5 mg%. In postprocedure, the mean of TNF-Alpha concentration was 8.05 (6.7) pg/mL, there was significant increase in TNF-Alpha concentration (p:0.02). However, the mean of IL-6 concentration was 7.75 (1.76) pg/mL, there was not any significant chance in IL-6 concentration (p:0.52). The mean of bilirubin concentration was 11.3 mg%.
Conclusions: On one hand, there was significant increase in mean concentration value of TNF-Alpha after biliary drainage procedure. On the other hand there was not any significant decrease in mean concentration value of IL-6 after biliary drainage procedure."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Irene Yuniar
"Defisiensi enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G-6-PD) adalah kelainan metabolisme bawaan pada sel darah merah akibat defisiensi enzim yang paling sering ditemui. Defisiensi enzim ini diperkirakan mengenai kurang Iebih 400 juta orang di dunia dengan prevalensi tertinggi terdapat di daerah tropis Afrika, Timur Tengah, daerah tropis dan subtropis Asia, beberapa daerah di Mediteranea dan Papua Nugini. Insiden defisiensi G-6-PD berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan tertinggi pada bangsa Yahudi yaitu 70%, diikuti daerah Afrika 26%, China 1,9-16% dan Italia 0-7%.2.
Manifestasi klinis yang sering dijumpai pada defisiensi enzim G-6-PD berupa anemia hemolitik akut dan ikterus yang menetap pada neonatus. Terdapatnya anemia ringan, morfologi sel darah merah yang abnormal dan peningkatan kadar retikulosit sangat mungkin disebabkan oleh proses hemolitik yang dapat terjadi balk pada bayi prematur atau cukup bulan dengan defisiensi enzim G-6-PD. Antara bulan September 1975 sampai dengan bulan Oktober 1976, Suradi telah memeriksa adanya defisiensi enzim G-6-PD, menggunakan uji tapis dengan metode Bernstein pada 3200 neonatus yang lahir di RSCM. Pada penelitian ini didapatkan 85 neonatus (2,66%) menderita defisiensi enzim tersebut dan 35 neonatus diantaranya menjadi ikterus. Pada beberapa kasus, ikterus neonatorum dapat sangat berat sehingga menyebabkan kerusakan otak permanent bahkan sampai meninggal. Munculnya manifestasi klinik pada anemia hemolitik dapat dicetuskan oleh obat-obatan, infeksi atau favism.
Ikterus neonatorum yang disebabkan oleh defisiensi G-6-PD mempunyai banyak variasi pada berbagai populasi baik mengenai frekuensi maupun beratnya penyakit. Secara biokimia ditemukan kurang lebih 400 varian yang berbeda. Pada daerah Afrika Banat dan Asia Tenggara, defisiensi enzim G-6-PD ditemukan pada 30% ikterus neonatorum. Penyebab variasi ini tidak sepenuhnya diketahui, yang jelas berperan adalah faktor genetik dan lingkungan.
Faktor genetik yang mendasari variasi ini diduga karena terdapat mutasi pada gen G-6-PD. Analisis molekular untuk melihat adanya mutasi ini telah dilakukan dan didapatkan kurang lebih 122 varian. WHO membagi varian-varian ini menjadi 5 kelas dengan manifestasi klinis yang berbeda-beda.
Di Indonesia defisiensi enzim G-6-PD secara biokimia pertama kali diteliti oleh Kirkman dan Lie Injo pada tahun 1969, kemudian diikuti oleh beberapa penelitian lain. Secara analisis molekuler juga telah dilakukan penelitian pada orang dewasa normal dengan hasil mutasi terbanyak terdapat pada ekson 5,6,11 dan 12. Sumantri dkk pada tahun 1995 melakukan penelitian defisiensi enzim G-6-PD dengan subyek orang dewasa normal dan melaporkan bahwa varian G-6-PD Mahidol (ekson 5), Taipe Hakka (ekson 5), Mediteranean (ekson 6), dan Kaiping (ekson 12) terdapat pada suku Jawa. Iwai dkk pada tahun 2001 melakukan skrining pemeriksaan enzim G-6-PD pada berbagai negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia dengan subyek laki-laki dewasa yang dirawat di rumah sakit dengan diagnosis anemia hemolitik akut. Pada penelitian ini ditemukan varian Vanua Lava (ekson 5) terdapat pada suku Ambon, dan varian Coimbran (ekson 6) pada suku Jawa."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18026
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muthia Farani
"Latar Belakang/Tujuan: Pasien ikterus obstruktif maligna stadium lanjut membutuhkan
drainase bilier. Sten metal memiliki efektivitas yang lebih baik, namun klinisi perlu
mempertimbangkan patensi sten dan keterbatasan sumber daya, mengingat kesintasan
pasien yang rendah. Oleh karena itu analisis efektivitas biaya pada kasus ini penting untuk
dilakukan.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif yang dilakukan di rumah
sakit tersier terhadap pasien ikterus obstruktif maligna yang menjalani pemasangan sten
bilier paliatif pada Januari 2015 sampai Desember 2018. Perbedaan kesintasan 180-hari
dianalisis dengan uji log-rank. Perbedaan durasi patensi dianalisis dengan uji Mann-
Whitney U. Efektivitas didefinisikan sebagai patensi sten, biaya dihitung dengan
perspektif rumah sakit menggunakan model decision tree dan dinyatakan dalam
incremental cost effectiveness ratio.
Hasil: Sebanyak 81 laki-laki dan 83 perempuan dengan rentang usia 24 -88 tahun ikut
dalam penelitian ini. Kesintasan 180-hari kelompok sten plastik 35,9% (median 76, 95%
IK 50-102 hari) dan sten metal 33,3% (median 55, 95% IK 32 -78 hari). Rerata (SB)
patensi sten plastik 123 (8) hari dan sten metal 149 (13) hari (p=0,489). Pemasangan sten
bilier metal dapat menghemat biaya sebesar Rp. 1.217.750 untuk setiap penambahan
durasi patensi 26 hari.
Simpulan: Tidak didapatkan perbedaan antara kesintasan dan patensi antara kedua
kelompok. Pemasangan sten bilier metal sebagai tata laksana paliatif pada pasien ikterus
obstruktif maligna lebih cost-effective dibandingkan sten plastik.

Background/Aim: Patients with advanced stage of malignant obstructive jaundice often
require biliary drainage. Metal stent is more effective than plastic stent, but we also ought
to consider of stent patency and resources restraint due to poor patient survival. Hence,
cost effectiveness analysis in this case was necessary.
Methods: We conducted a retrospective cohort of malignant biliary obstruction patients
who underwent palliative biliary stenting between January 2015 to December 2018 at a
tertiary hospital. We evaluated the difference of 180-day survival using log-rank test and
stent patency duration using Mann-Whitney U test. Effectiveness was defined as stent
patency, cost was calculated using hospital perspective following a decision tree model
and reported as incremental cost effectiveness ratio.
Results: A total of 81 men and 83 women aged 24-88 years old were enrolled in this
study. 180-day survival was 35.9% (median 76, 95% CI 50 -102 days) and 33.3%
(median 55, 95% CI 32 -78 days) for plastic and metal stent group respectively. Mean
(SD) of stent patency 123 (8) vs 149 (13) days for plastic and metal stent group
respectively (p=0.489). Metal stent insertion could save IDR 1,217,750 to get additional
26 days of stent patency.
Conclusion: There were no differences in survival and patency between the two groups.
Metal biliary stent is cost effective than plastic stent for palliation in malignant biliary
obstruction."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Juferdy Kurniawan
"ABSTRAK
Latar belakang: Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan mortalitas pada pasien ikterus obstruktif dengan etiologi maligna merupakan hal penting untuk membantu membuat perencanaan optimal dalam melakukan pendekatan terapi yang tepat untuk masing-masing etiologi dan faktor terkait guna membantu meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien.
Tujuan: Mendapatkan kesintasan dan faktor-faktor yang berhubungan dengan mortalitas pada pasien ikterus obstruktif dengan etiologi maligna di RSCM.
Metode: Penelitian kohort retrospektif dan prospektif dilakukan dengan data sekunder pasien ikterus obstruktif yang dirawat di ruang perawatan RSCM antara Januari 2010 ? Desember 2013. Faktor-faktor yang dinilai meliputi umur, jenis kelamin, sepsis, hipoalbumin, tingkat bilirubin serum, tingkat CA 19-9 serum, drainase bilier, keganasan non ca ampula Vater, dan komorbid dengan hasil keluaran berupa mortalitas pasien. Kesintasan kumulatif terjadinya mortalitas dalam 3 bulan setelah diagnosis dinyatakan dengan kurva Kaplan Meier. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan dengan Cox Proportional Hazards Regression Model untuk mendapatkan Hazard Ratio (HR) dari setiap faktor prognosis. Skor prognosis dari setiap faktor bermakna ditentukan berdasarkan model akhir regresi.
Hasil: Sebanyak 181 dari 402 pasien ikterus obstruktif dengan etiologi maligna memenuhi kriteria penelitian dengan proporsi laki-laki sebesar 58,6 % dengan pasien berumur ≥ 50 tahun sebesar 57,5 %. Sepsis (HR 2.462 ; IK 95% 1.552 ? 3.906), drainase bilier tidak berhasil/tidak ada (HR 1.604 ; IK 95% 0.988 ? 2.603), serta skor indeks komorbid Charlson ≥ 4 (HR 2.476 ; IK 95% 1.562 ? 3.923) merupakan faktor prognosis yang bermakna terhadap mortalitas pasien. Median kesintasan pasien dengan faktor prognosis bermakna 14 hari; IK 95% 9.66 ? 18.34 sedangkan median kesintasan keseluruhan 26 hari; IK 95% 20.82 ? 31.19 (p < 0.01). Ambang skor prognostik terbaik didapatkan pada skor ≥ 2 dengan sensitifitas 68% dan spesifisitas 75%. AUC pada kurva ROC 0.769.
Kesimpulan: Kesintasan pasien dengan faktor prognosis sepsis, drainase bilier tidak berhasil/tidak ada, dan skor indeks komorbid Charlson ≥ 4 lebih pendek dibandingkan kesintasan keseluruhan pasien. Skor prognostik ≥ 2 termasuk dalam risiko tinggi kematian dan kemampuan prediksi mortalitas dari faktor prognosis bermakna sebesar 76.9%.

ABSTRACT
Background: Understanding any related factors affecting mortality in patients with malignant obstructive jaundice will better guide to an approriate and optimal planning in making theurapetic approach for each etiological and relating factors thus improving survival and patients? quality of life.
Aim: To obtain survival rate and mortality-related factors of malignant obsructive jaundice patients in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Methods: Retrospective-prospective cohort study was conducted with medical records of obstructive jaundice inpatient from January 2010 to December 2013 were reviewed. Suggested mortality-related factors include age, gender, sepsis, hypoalbumin, serum bilirubin level, serum CA 19-9 level, billiary drainage, non-ampulla Vateri carcinoma, and comorbid were analyzed. Three-month cumulative overall survival was calculated by Kaplan-Meier curve. Bivariat and multivariat analysis was done with Cox Proportional Hazards Regression Model to obtain Hazard Ration (HR) of each prognostic factor. Prognosis score from each mortality-related factor was calculated based on the last regression model.
Results: 181 from 402 patients were enrolled in this study with male proportion was 58.6% and patients aged 50 years or above was 57.5%. Sepsis (HR 2.462 ; CI 95% 1.552 ? 3.906), unsuccessful / no prior billiary drainage (HR 1.604 ; CI 95% 0.988 ? 2.603), and Charlson comorbid score ≥ 4 (HR 2.476 ; CI 95% 1.562 ? 3.923) were mortality-related factors with significant difference. Patients with significant prognostic factors had median survival 14 days; 95% CI: 9.66 ? 18.34 compared with overall median survival 26 days; 95% CI: 20.82 ? 31.19 (p < 0.01). Score ≥ 2 identified as the highest prognostic score threshold with sensitivity 68%, specificity 75%, and AUC on ROC curve 0.769.
Conclusion: Patients with significant prognostic factors which were sepsis, unsuccessful / no prior billiary drainage, and Charlson comorbid score ≥ 4 had shorter survival than overall survival. Prognostic threshold ≥ 2 quite good to classify malignant obstructive jaundice inpatient into high risk mortality population. Mortality of patients with those significant prognostic factors can be predicted in 76,9%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library