Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sigit Nugroho
"Dalam proses produksinya, PT. Pupuk Kujang mendirikan Central Control Building sebagai pusat pengawasan proses produksi Kujang 1B. Dengan menggunakan sistem peralatan canggih dengan nama Distribution Control System (DCS) maka diperlukan kondisi ruang kerja yang khusus, yaitu harus berada dalam suhu ruangan 18°C. Keadaan itu mengakibatkan pekerja terpajan suhu dingin selama jam kerjanya. Suhu tersebut merupakan suhu yang berada di bawah nilai suhu nyaman. Hal ini mengakibatkan pekerja merasa terganggu oleh dingin tersebut yang pada akhirnya dapat berpengaruh negatif bagi kesehatan pekerja.
Penelitian ini membahas tentang gambaran pajanan suhu dingin terhadap kejadian hipotermia pada pekerja operator DCS di ruang kontrol Gedung CCB Kujang 1B PT. Pupuk Kujang Cikampek tahun 2009. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan disain cross-sectional.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu control room Gedung CCB Kujang 1B berada di bawah nilai ambang batas (NAB) suhu nyaman (21?30°C) berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi Nomor SE.01/MEN/1978. Namun, nilai Indeks Suhu Bola Basah (ISBB) control room tersebut masih berada dalam batas yang diperkenankan menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja No: Kep- 51/Men/1999.
Penelitian ini juga tidak menemukan adanya kasus hipotermia pada pekerja operator DCS, karena penurunan suhu tubuh yang terjadi masih berada di batas suhu normal. Berdasarkan hasil tersebut, peneliti menyarankan agar dilakukan pengendalian engineering berupa pengaturan ulang suhu control room hingga mencapai suhu nyaman yang diperkenankan (21°C) atau pemasangan pembatas yang memisahkan antara pekerja dengan sumber pendingin (air conditioner - AC) serta memperbaiki fasilitas alat pelindung diri seperti jaket, sarung tangan dan penutup kepala. Memperbanyak aktivitas fisik saat bekerja serta lebih sering menyempatkan minum dan makan juga disarankan agar panas tubuh tidak hilang.

In the process of production, PT. Pupuk Kujang establish Central Control Building as the central control of the production process Kujang 1B. By using the system with the sophisticated equipment Distribution Control System (DCS) is required then the condition that a special work space, must be in the room temperature 18°C. Circumstances that result in workers expose to cold temperatures during work hours. That temperature is below the temperature comfortable. This resulted in the workers feel disturbed by the cold, which in turn can negatively affect the health of workers.
This study discusses illustration exposure to cold temperature incident hypothermia service workers on the DCS control room in Building CCB Kujang 1B PT. Pupuk Kujang Cikampek 2009. This research is descriptive quantitative research with cross-sectional design.
Results of research indicate that the temperature control room building CCB Kujang 1B under the threshold limit value (TLV) temperature comfortable (21-30°C) based on the Circular Letter of the Minister of Manpower and Transmigration No. SE.01/MEN/1978. However, the value of Wet Bulb Globe Temperature (WBGT) control room is still in the limit permitted by the Minister of Manpower Decree No: Kep-51/Men/1999.
This study also did not find any cases hypothermia on the DCS operator workers, because a decrease in body temperature that°Ccurred was in the normal temperature limits. Based on the results, the researchers suggested that the form of engineering control be reset control room temperature to reach a comfortable temperature allowed (21°C) or the barrier that separates between the workers, the source cooling (air conditioner) equipment and improve facilities such as selfprotective jacket, gloves and headgear. Increase physical activity at work and more often to eat and drink also suggested that body heat is not lost.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Saudale, Magdalena Kristi Daradjati
"Latar belakang: Hipotermia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada bayi, terutama pada bayi prematur dan atau dengan berat lahir kurang. Membungkus bayi menggunakan plastik terbukti mengurangi hipotermia. Saat ini terdapat Neohelp suatu plastik dengan desain baru yang diharapkan lebih efektif mencegah hipotermia. Tujuan: Mengetahui angka kejadian hipotermia bayi baru lahir dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai normotermia pada resusitasi bayi prematur menggunakan plastik polietilen lembaran dibandingkan dengan plastik Neohelp, serta mengetahui faktor risiko dan komplikasi hipotermia. Metode: Dilakukan randomized controlled trial pada 48 bayi baru lahir usia gestasi ≤ 32 minggu, pada 5 rumah sakit. Faktor lingkungan berupa suhu ruangan, kelembaban, waktu transport dari ruang bersalin ke ruang perawatan serta penggunaan 2 macam plastik untuk mencegah hipotermia, dianalisis secara bivariate menggunakan Uji Chi-square, Fisher exact, t-test dan Man-Whitney test. Hasil: Didapatkan nilai angka hampir sama antara kelompok plastik poietilen lembaran dibanding Neohelp untuk mencapai normotermi di ruang bersalin (4,5 menit vs 5 menit), serta rerata suhu tubuh ketika tiba di ruang perawatan (35,6⁰C vs 35,4⁰C). Suhu dan kelembaban ruangan, waktu tempuh dari ruang bersalin ke ruang perawatan, dan 2 jenis plastik tidak terbukti merupakan faktor risiko terjadinya hipotermia. Kesimpulan: Plastik Neohelp tidak terbukti lebih unggul dibanding polietilen lembaran dalam mencegah hipotermia. Peranan petugas kesehatan sangat besar dalam mencegah hipotermia, apapun jenis plastik yang digunakan.

Background: Hypothermia is one of the primary causes of morbidity and mortality in newborn period, particularly preterm and low birth weight babies. Prevention of hypothermia by wrapping newborns with plastic sheets has been proven helpful. Neohelp is a specially designed plastic wrap for neonates to prevent hypothermia. Aim: We aimed to determine the prevalence of hypothermia of the newborn and time to reach normothermia on preterm newborn resuscitation using polyethylene plastic sheet compared to Neohelp. We also aimed to determine the risk factors and complications of hypothermia following the resuscitation. Method: This is a randomized control trial of 48 newborn ≤ 32 weeks age of gestation in 5 hospitals. The environmental factors assessed were room temperature, humidity, time of travel from delivery room to the care unit and the use of two types of plastic wrap to prevent hypothermia. All of the variables were analyzed using Chi-square, Fischer exact, t-test, and Mann-Whitney. Result: We found only slight difference between polyethylene plastic sheet and Neohelp to reach normothermia in delivery room (4.5 minutes vs 5 minutes). Average temperature on arrival in care unit was not also not significantly different (35.6 centigrade vs 35.4 centigrade). Room temperature, humidity, time of travel from delivery room to care unit, and the type of plastic wrap used were not proven as risk factors of hypothermia. Conclusion: Neohelp was not proven to be superior to polyethylene sheet in preventing hypothermia. Skill of the healthcare personnel has been the biggest role in preventing hypothermia, regardless of the type of plastic used."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57618
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erlis Kurniasari
"Hipospadia adalah salah satu penyakit kelainan kongenital yang sering terjadi pada laki- laki khususnya pada usia anak-anak. Hipospadia dapat disembuhkan dengan penatalaksanaan medis seperti pembedahan. Kondisi suhu kamar operasi yang dingin, peralatan medis yang bersuhu dingin, terbatasnya linen dan blanket warmer dapat berkontribusi terhadap kejadian hipotermia pada anak intraoperasi. Tujuan karya ilmiah akhir ini adalah menggambarkan analisis tindakan manajemen hipotermia dengan aktif dan pasif warming touch pada anak dengan hipospadia. Berdasarkan hasil evaluasi, teknik Manajemen hipotermia dengan active dan pasif warming touch mampu mengatasi hipotermia pada anak. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan perbaikan suhu tubuh pasien kedalam rentang normal (36,5OC-37,5OC). Keberhasilan teknik ini juga didukung dengan tindakan caring perawat dalam memantau suhu tubuh pasien selama perioperative. Agar teknik manajemen hipotermia dengan active dan pasif warming touch ini lebih efektif untuk mengatasi hipotermia pada anak, pihak institusi pelayanan kesehatan perlu membuat kebijakan dalam bentuk Standar Prosedur Operasional atau instruksi kerja mengenai persiapan perioperative pada pasien anak dengan memprioritaskan waktu jadwal operasi, lama operasi, dan pemasangan blanket warmer yang mendorong adanya intervensi perioperative sesuai tumbuh kembang anak.

Hypospadias is one of the most common congenital abnormalities in boys, especially at the age of children. Hypospadias can be cured with media management such as surgery. Cold operating room temperature conditions, cold medical equipment, limited linen and warmer blankets can contribute to the incidence of hypothermia in intraoperative children. The purpose of this final scientific paper is to describe the analysis of hypothermia management actions with active and passive warming touch in children with
hypospadias. Based on the evaluation results, hypothermia management techniques with active and passive warming touch are able to overcome hypothermia in children. This statement is evidenced by the improvement of the patient's body temperature into the normal range (36.5OC-37.5OC). The success of this technique is also supported by the caring actions of nurses in monitoring the patient's body temperature during perioperative. In order for the hypothermia management technique with active and passive warming touch to be more effective in dealing with hypothermia in children, the health care institution needs to make policies in the form of Standart Operational Procedure or work instructions regarding perioperative preparation in pediatric patients by prioritizing the operating schedule, duration of surgery, and the installation of appropriate blanket warmers. Encourage perioperative intervention according to the child's growth and development.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat efek temperatur cairan irigasi terhadap perubahan temperatur inti badan selama prosedur Transurethral Resection of the Prostate (TURP). Suatu uji klinis acak terkontrol dilakukan terhadap 32 penderita pembesaran prostat jinak (Benign Prostatic Hyperplasia = BPH) yang menjalani prosedur TURP di RSUPNCM Jakarta, antara bulan September 2003 dan Januari 2004. Secara acak berselang-seling, penderita penelitian dimasukkan ke dalam kelompok standar (menggunakan cairan irigasi setara temperatur kamar + 23.60C) dan kelompok isotermik (menggunakan cairan irigasi yang dihangatkan sampai setara dengan temperatur badan + 37.20C). Jenis cairan irigasi yang digunakan oleh kedua kelompok adalah aquabidest. Kemudian dilakukan pencatatan terhadap usia penderita, lama reseksi, berat jaringan prostat yang direseksi, volume total cairan irigasi yang digunakan, temperatur kamar operasi serta temperatur inti badan sebelum dan sesudah prosedur TURP. Uji hipotesis untuk kedua kelompok menggunakan uji t, dengan nilai p < 0,05 dianggap bermakna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat penurunan temperatur inti badan selama prosedur TURP, baik pada kelompok standar maupun pada kelompok isotermik (keduanya p = 0,000), tetapi tidak satupun penderita dari kedua kelompok tersebut yang masuk dalam kriteria hipotermi. Rerata penurunan temperatur inti badan pada kelompok standar (0,990C) lebih besar dibandingkan dengan kelompok isotermik (0,750C), tetapi secara statistik tidak berbeda bermakna (p > 0,05). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan cairan irigasi selama prosedur TURP baik dengan temperatur yang setara dengan temperatur badan maupun yang setara dengan temperatur kamar, sama-sama menyebabkan penurunan temperatur inti badan pada tingkat yang kurang lebih sama. (Med J Indones 2005; 14: 152-6)

The objective of this study was to determine the effect of irrigating fluid temperature on core body temperature changes in patients undergoing transurethral resection of the prostate (TURP). A cross sectional study was conducted on 32 patients with Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) who underwent TURP at our institution between September 2003 and January 2004. Patients were randomized to one of two groups. Standard group consisted of 16 patients who received room temperature irrigating fluid (± 23.6 0C) throughout TURP. Isothermic group consisted of 16 patients whose procedure was performed using warmed irrigating fluid (± 37.2 0C). The irrigating fluid used for both groups was aquabidest. The age, resection time, weight of resected prostate, amount of irrigating fluid used, temperature in the operating theatre, core body temperature at beginning and at conclusion of TURP were recorded for each patient. The t test was used for comparison between both groups and a p value of 0.05 or less was considered significant. The result of this study showed a decrease of core body temperature during TURP, using either room temperature or warmed irrigating fluid (both p = 0.000). None of the patients in either group demonstrated any criteria of hypothermia. The average decrease of core body temperature in standard group (0.99 0C) was greater than in isothermic group (0.75 0C), but it was not significantly different (p > 0.05). In conclusion, our study revealed that using either room temperature irrigating fluid or warmed irrigating fluid during TURP could decrease core body temperature at approximately similar level, with no incidence of hypothermia. (Med J Indones 2005; 14: 152-6)"
Medical Journal of Indonesia, 14 (3) July September 2005: 152-156, 2005
MJIN-14-3-JulSep2005-152
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Taufan Tenggara
"Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat efek temperatur cairan irigasi terhadap perubahan temperatur inti badan selama prosedur Transurethral Resection of the Prostate ( TURP ).
Suatu uji klinis acak terkontrol dilakukan terhadap 32 penderita pembesaran prostat jinak (Benign Prostatic Hyperplasia = BPH) yang menjalani prosedur TURP di RSUPNCM Jakarta, antara bulan September 2003 dan Januari 2004. Secara acak berselang-seling, penderita penelitian dimasukkan ke dalam kelompok standar (menggunakan cairan irigasi setara temperatur kamar) dan kelompok isotermik (menggunakan cairan irigasi yang dihangatkan sampai setara dengan temperatur badan). Jenis cairan irigasi yang digunakan oleh kedua kelompok adalah aquabidest. Kemudian dilakukan pencatatan terhadap usia penderita, lama reseksi, berat jaringan prostat yang direseksi, total volume cairan irigasi yang digunakan, temperatur kamar operasi serta temperatur inti badan sebelum dan sesudah prosedur TURP. Uji hipotesis untuk kedua kelompok menggunakan uji t, dengan nilai p < 0,05 dianggap bermakna.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat penurunan temperatur inti badan selama prosedur TURP, baik pada kelompok standar maupun pada kelompok isotermik (keduanya p = 0,000 ), tetapi tidak satupun penderita dari kedua kelompok tersebut yang masuk dalam kriteria hipotermi. Rerata penurunan temperatur inti badan pada kelompok standar ( 0,99 °C ) lebih banyak dibandingkan dengan kelompok isotermik ( 0,75 °C ), tetapi secara statistik tidak berbeda bermakna (p > 0,05 ).
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan cairan irigasi selama prosedur TURP baik dengan temperatur yang setara dengan temperatur badan maupun yang setara dengan temperatur kamar, sama - sama menyebabkan penurunan temperatur inti badan pada tingkat yang kurang lebih sama.

The objective of the study is to determine the effect of irrigating fluid temperature on core body temperature changes in patients undergoing transurethral resection of the prostate (TURP ).
A prospective trial was conducted on 32 patients with diagnosis Benign Prostatic Hyperplasia (BPH ) who underwent TURP at our institution between September 2003 and January 2004. Patients were randomized to one of two groups. Standard group consisted of 16 patients who received room temperature irrigating fluid (± 23.6 °C) throughout TURP. Isothermic group consisted of 16 patients whose procedure was performed using warmed irrigating fluid ( ± 37.2 °C ). The irrigating fluid used for both groups was aquabidest. The age, resection time, weight of resected prostate, amount of irrigating fluid used, temperature in the operating theatre, core body temperature at beginning and conclusion of TURP were recorded for each patient. All p value was calculated with the t test and a p value of 0.05 or less was considered significant.
The result of this study showed that there was a decrease of core body temperature during TURP, using either room temperature irrigating fluid or warmed irrigating fluid ( both p = 0.000 ). None of the patients in either group demonstrated any criteria of hypothermia. The average decrease of core body temperature in standard group ( 0.99 °C ) was greater than in isothermic group ( 0.75 °C ), but it was not significantly different (p > 0.05 ).
In conclusion, our study revealed that using either room temperature irrigating fluid or warmed irrigating fluid during TURP could decrease core body temperature at approximately similar level.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T58472
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aris Ramdhani
"Introduksi: Iskemia yang terjadi di suatu lokasi di tubuh mengakibatkan kerusakan pada lokasi yang berjauhan; kondisi ini dikenal dengan sebutan cedera reperfusi. Vili intestinal merupakan satu target organ terjadinya kerusakan pada cedera reperfusi dan menjadi motor kegagalan multi organ sistemik. Hipotermia yang ditakuti pada syok justru menunjukkan keuntungan karena bersifat proteksi terjadinya kerusakan vili. Penelitian ini bertujuan membandingkan efek protektif hipotermia dan pre-conditioning pada iskemia.
Metode. Dilakukan penelitian eksperimental pada kelinci New Zealand White (n=18) dengan satu kelompok kontrol (iskemia) dan dua kelompok perlakuan (hipotermia dan pre-conditioning). Dilakukan ligasi a. iliaca communis selama 4 jam, hipotermia sedang (28°C), dan iskemia pre-conditioning pada masing-masing kelompok. Kemudian kelinci dibiarkan hidup selama 8 jam. Setelah dekapitasi, diambil sampel ileum untuk pemeriksaan histopatologi.
Hasil: Dari 18 kelinci eksperimental, 1 mengalami drop out karena infeksi. Dilakukan skoring kerusakan vili intestinal berdasarkan kriteria Pusponegoro yang dimodifikasi dengan nilai minimal 4 dan maksimum 12. Kelompok perlakuan pre-conditioning mengalami kerusakan paling minim (= 6,2 ) diikuti kelompok hipotermia (= 7,1).
Konklusi: Pre-conditioning menunjukkan kerusakan paling minim; dengan kata lain memberi efek proteksi lebih baik dibandingkan dengan kelompok lainnya.

Introduction: Ischemia occurring in a location in the body results in damage to distant locations; this condition is known as reperfusion injury. Intestinal vilia is a target organ of the occurrence of damage to reperfusion injury and a motor failure of multi-organ systemic. The dreaded hypothermia in shock actually shows an advantage because it protects the occurrence of villous damage. This study aimed to compare the protective effect of hypothermia and pre conditioning on ischemia.
Methods: Experimental studies were conducted on New Zealand White rabbit (n = 18) with one control group (ischemia) and two treatment groups (hypothermia and pre-blocking). Conducted ligation a. iliaca communist for 4 hours, moderate hypothermia (28°C), and preconditioning ischemia in each group. Then the rabbit is left alive for 8 hours. After decapitation, ileum samples were taken for histopathologic examination.
Results: Of the 18 experimental rabbits, 1 had dropped out due to infection. Scores of villus intestinal damage were performed based on modified Pusponegoro criteria with a minimum score of 4 and a maximum of 2. The pre-treatment group experienced the least damage (=6.2) followed by the hypothermia group (=7,1).
Conclusion: Pre conditioning shows the least damage; in other words gives a better protective effect compared to other groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T58770
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bram
"Latar belakang : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan pemberian cairan Ringer laktat dan cairan Ringer asetat dalam mencegah hipotermia dan menggigil yang terjadi pada wanita hamil yang menjalani operasi sesar dengan analgesia spinal.
Metode : Seratus tiga puluh empat pasien yang menjalani operasi sesar menggunakan analgesia spinal di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, diberikan cairan Ringer laktat dan cairan Ringer asetat. Perubahan suhu membran timpani, perubahan suhu perifer dan kekerapan serta derajat menggigil dinilai sampai 50 menit setelah operasi dimulai.
Hasil : Didapatkan perbedaan bermakna (p=0,003) antara penurunan suhu membran timpani di antara kedua kelompok, kelompok yang mendapatkan cairan Ringer asetat mengalami penurunan suhu sebesar 0,730°C, sementara kelompok yang mendapatkan cairan Ringer laktat mengalami penurunan suhu sebesar 1,013°C. Perubahan suhu perifer diantara kedua kelompok juga berbeda bermakna (p=0,005), kelompok yang mendapatkan cairan Ringer asetat mengalami penurunan suhu perifer 0,724°C, sementara kelompok yang mendapat cairan Ringer laktat mengalami penurunan 0,964°C. Kejadian menggigil diantara kedua kelompok berbeda berakna (p=0,012), kejadian menggigil kelompok Ringer asetat 52,23% sementara kelompok Ringer laktat 74,62%. Tidak terdapat perbedaan bermakna derajat meggigil diantara kedua kelompok.
Kesimpulan : Bahwa pemberian cairan Ringer asetat lebih efektif mencegah hipotermia dan menggigil pada pasien yang menjalani operasi sesar dengan analgesia spinal

Background: The aim of this study is to determine the efficacy of lactated Ringer and acetated Ringer solutions in preventing hypothermia and shivering to parturitions women undergoing caesarean section using spinal analgesia.
Methods: One hundred thirty four parturitions women undergoing caesarean sections using spinal analgesia in emergency operating theatre of Cipto Mangunkusumo Hospital were included in this study. Those parturitions women were divided into two groups. One group received lactated Ringer solution and the other received acetated Ringer solution intravenously as maintenance and co-loading fluid. Tympanic membrane temperature and skin temperature were recorded every five minute within 50 minute interval.
Results: There was significant difference (p=0,003) between two groups in tympanic membrane temperature decrease. Acetated Ringer group had 0,730°C decrease in tympanic membrane temperature, while the lactated Ringer group had 1,013°C decrease. There was significant difference (p=0,005) between two groups in skin temperature. Acetated Ringer group had 0,724°C decrease in skin temperature, while the lactated Ringer group had 0,964°C decrease. Shivering incidence also show significant difference (p=0,412). Acetated Ringer group had 52,23% incidence while lactated Ringer group had 74,62%. There were no significant differences in shivering grade between two groups.
Conclusions: Acetated Ringer solution had greater efficacy in preventing hypothermia and shivering in parturitions women undergoing caesarean section using spinal analgesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18040
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Rochima Puspita
"Beberapa penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh memandikan bayi baru lahir terhadap kejadian hipotermia dan faktor risiko hipotermia telah banyak dilakukan, namun data tentang angka kejadiannya masih kurang terutama di Indonesia. Penelitian tentang hipotermia pada bayi akibat dimandikan setelah lahir umumnya dilakukan di rumah sakit dengan penanganan bayi baru lahir secara khusus yaitu dengan membuat lingkungan sekitar bayi secara optimal. Penanganan bayi baru lahir di rumah sakit yang dimandikan segera setelah iahir dilakukan secara khusus yang terdiri dari penggunaan radiant warmer setelah lahir maupun setelah mandi, penggunaan air mandi yang hangat (35-38°C) dan suhu ruangan mandi yang hangat (lebih dari 28°C). WHO menyarankan bayi baru iahir cukup bulan dimandikan dengan air hangat dan ruangan yang hangat, namun tidak menyatakan derajat suhu air hangat maupun ruang mandi yang aman untuk bayi. Pada prakteknya penanganan bayi setelah iahir maupun penanganan bayi setelah mandi di beberapa puskesmas dan rumah bersaiin swasta di Jakarta tidak dilakukan di bawah radiant warmer, melainkan hanya di bawah lampu pijar. Selain itu pada saat mandi, petugas kesehatan tidak melakukan pengukuran suhu air mandi maupun suhu ruangan.
Data mengenai insidens hipotermia dan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian hipotermia yang disebabkan prosedur memandikan bayi baru iahir di puskesmas atau di rumah bersalin dengan keterbatasan alat sampai saat ini belum ada. Hasil pengamatan awal yang dilakukan di sebuah puskesmas di Jakarta Selatan dan rumah bersalin swasta di Jakarta Timur didapatkan sebesar 50% dari 20 bayi baru lahir mengalami hipotermia setelah dimandikan Iebih dari 6 jam sesudah iahir. Peneliti kemudian memberikan penyuluhan tentang hipotermia dan persiapan mandi yang lebih balk diantaranya meliputi suhu segera sebelum mandi, usia saat mandi, air mandi yang hangat, ruang mandi dan suhu lingkungan bayi yang hangat, serta penghangatan sebelum maupun sesudah mandi yang memadai. Insidens hipotermia pada bayi baru iahir yang dimandikan Iebih dari 6 jam sesudah iahir dengan persiapan yang Iebih balk setelah mendapatkan penyuluhan tentang hipotermia diharapkan Iebih rendah. OIeh karena itu dipandang perlu dilakukan penelitian tentang insidens dan faktor-faktor risiko hipotermia akibat memandikan bayi baru iahir cukup bulan setelah mendapatkan penyuluhan tentang hipotermia.
Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
1. Apakah terdapat perbedaan risiko hipotermia pada kelompok yang telah melakukan persiapan mandi yang Iebih balk dengan yang tidak melakukan persiapan dengan balk setelah mendapatkan penyuluhan ?
2. Ingin mengetahui faktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya hipotermia pada bayi baru lahir cukup bulan yang dimandikan lebih dari 6 jam sesudah iahir."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Suindrayasa
"ABSTRAK
Hipotermia adalah keadaan suhu inti tubuh dibawah 36 C. Kejadian Hipotermia sering muncul pada pasien post operasi. Hipotermia post operasi yang berkepanjangan dapat menyebabkan kegagalan jantung dan sistem pernapasan, dan bahkan kematian. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa efektifitas penggunaan warmed IV line dan selimut terhadap peningkatan suhu pada pasien hipotermia post operasi. Penelitian ini merupakan deskriptif analitik dengan metode quasi experiment yang melibatkan 34 responden. Hasil penelitian ini menunjukan ada efektifitas penggunaan warmed IV line dan selimut terhadap peningkatan suhu pada pasien hipotermia post operasi p-velue = 0,011 . Hasil penelitian ini akan menjadi salah satu rekomendasi intervensi dalam upaya peningkatan suhu pasien hipotermia post operasi.

ABSTRACT
Hypothermia is a condition where the body rsquo s core temperature is below 36 oC. Hypothermia often appears in post operation patients. Prolonged post operation hypothermia can lead to heart failure and respiratory system, and even death. The purpose of this research is to analyze the effectiveness of the use of warmed IV line and blankets on increase temperature in post operation hypothermia patients. This research is an analytical descriptive with quasi experiment method that involved 34 respondents. The results of this research indicated if there was effectiveness of the use of warmed IV line and blankets on increase temperature in post operation hypothermia patients p velue 0,011 . The results of this research will be one of the recommendations of intervention in an effort to increase the temperature of post operation hypothermia patients."
2017
T48200
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Lee Klein
"Radiant infant warmer adalah perangkat medis yang menjaga bayi tetap hangat sekaligus memungkinkan intervensi medis tanpa mengganggu akses tenaga medis. Perangkat di pasaran umumnya membutuhkan daya minimal 700 Watt, berat 120 kg, dan harga sekitar Rp 40 juta. Studi ini bertujuan mengembangkan prototipe radiant infant warmer yang lebih murah, ringan, dan mampu menjaga suhu bayi dalam rentang 35-36ºC. Prototipe dibuat menggunakan material kayu multiplex dan dikendalikan mikrokontroler yang mengatur daya lampu pemanas berdasarkan sensor DS18B20. Pengujian dilakukan pada suhu ambient 26ºC dan kelembapan 62%, menggunakan lampu PX Infrared 100 Watt dan PX Spot Beam 60 Watt. Lampu dipasang pada reflektor downlight 130 mm. Hasil menunjukkan lampu PX Infrared mencapai suhu 35ºC di titik tengah dalam 2 menit 50 detik dengan daya awal 101,5 Watt, lalu mencapai kondisi tunak pada rata-rata 35,41ºC dengan daya 36,5 Watt. Lampu PX Spot Beam membutuhkan waktu 11 menit 25 detik, dengan untuk mencapai kondisi tunak dengan rata-rata temperatur 35,71ºC dengan daya 57,5 Watt. Distribusi panas lebih merata pada Spot Beam, sedangkan Infrared lebih cepat memanaskan. Prototipe ini berhasil dibuat dengan biaya Rp 2.344.150.

A radiant infant warmer is a medical device designed to keep infants warm while allowing medical interventions without obstructing access for healthcare providers. Commercial devices typically require a minimum of 700 watts of power, weigh 120 kg, and cost around Rp 40 million. This study aims to develop a prototype of a radiant infant warmer that is more affordable, lightweight, and capable of maintaining an infant’s temperature within the range of 35–36°C. The prototype was constructed using multiplex wood materials and controlled by a microcontroller that adjusts the heater lamp's power based on DS18B20 sensor readings. Testing was conducted at an ambient temperature of 26°C and 62% humidity, utilizing a 100-watt PX Infrared lamp and a 60-watt PX Spot Beam lamp. The lamps were mounted on a 130 mm downlight reflector. Results showed that the PX Infrared lamp reached 35°C at the center point in 2 minutes and 50 seconds with an initial power of 101.5 watts, then hold steady at an average temperature of 35.41°C with a power of 36.5 watts. The PX Spot Beam lamp required 11 minutes and 25 seconds to get steady at averaging temperature 35.71°C with a power of 57.5 watts. The Spot Beam provided more uniform heat distribution, while the Infrared lamp heated faster. The prototype was successfully built at a  cost of Rp 2,344,150."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>