Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 233 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ririn Rahayu
"Salah satu pola umum curah hujan di Indonesia adalah adanya dua rezim hujan,
yaitu rezim hujan Barat dan rezim hujan Timur dengan batas kira-kira 120°BT atau di
Pulau Sulawesi. Meskipun ganis bujur 1200 BT mi juga melintasi Pulau Flores dan
Pulau Sumba, namun untuk pulau-pulau di Timur Pulau Jawa adalah terkecualian.
Akan tetapi batas tersebut tentu tidak tepat pada garis lurus 120°BT karena
faktor-faktor yang mempengaruhi hujan yaitu 1. Kelembaban, di Sulawesi
kelembaban rata-rata sekitar 80% perbulan, 2. Ketinggian, daerah penelitian dibagi
menjadi empat wilayah ketinggian yaitu 0-100 m, 100-500 m, 500-1000 m dan diatas
1000 m, 3. DKAT, yang berpengaruh di Sulawesi adalah pada bulan -bulan Desember
- Januani dan Maret-April, 4. Arah dan kecepatan angin, sesuai dengan arah
datangnya angin dibagi menjadi empat yaitu angin musim Barat, angin musim
peralihan I, angin musim Timur dan angin musim peralihan H.
Masalah yang diajukan adalah Dimana batas rezim hujan Indonesia Barat dan rezim
hujan Indonesia Timur? Dengan batasan daerah penelitian adalah Propinsi Sulawesi
Tengah dan Sulawesi Selatan,mengingat kedua propinsi inilah yang dilalui oleh garis
120° BY Rezim hujan adalah kelompok atau region hujan yang menunjukkan perbedaan
waktu jatuhnya curah hujan maksimum dan curah hujan minimum di suatu tempat.
Wilayah rezim hujan Barat adalah wilayah dimana curah hujan maksimumnya jatuh pada
bulan-bulan Desember-Januari dan curah hujan minimumnya pada bulan-bulan Juli-
Agustus. Wilayah rezim hujan Timur adalah wilayah dimana curah hujan maksimumnya
jatuh pada bulan-bulan Mei-Juni dan curah hujan minimumnya jatuh pada bulan-bulan
September-Oktober. Penarikan garis region berdasarkan stasiun pengamat hujan.
Dari hasil pengolahan data, diperoleh 42 stasiun yang terbagi menjadi dua wilayah rezim
hujan yaitu Barat dan Timur. Wilayah rezim hujan Barat terdiri dari 16 stasiun yaitu
Pinrang, Parepare, Palanro, Pangkajene, Maros, Ujungpandang, Sungguminasa,
Penggentungan, Jeneponto, Sabang, Tompe, Tawaeli, Donggala, Mejene, Malino dan
Malakaji.
Wilayah rezim hujan Timur terdiri dari 26 stasiun yaitu: Tinombo, Ampibabo, Parigi,
Poso, Mekuli, Toili Batui, Luwuk, Rantepao, Palopo, Batubatu, Watansopeng, Rappang,
Belawa, Tancung, Paria, Sinjai, Macope, Watampone, Manipi, Bulukumba, Cellu, Canru
Enrekang, Palu dan Singkang"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1997
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhasanah
"Jumlah curah hujan disuatu tempat sering dinyatakan dengan
keadaan rata-ratanya dalam sekala waktu yang panjang.
Pernyataan dengan rata-rata kenyataannya menyembunyikan
variabilitas jumlah hujan dalam sekala waktu yang lebih
pendek. Dengan menggunakan pendekatan statistik, yaitu
membandingkan besarnya penyimpangan jumlah hujan pada suatu
waktu terhadap rata-ratanya dalam sekala waktu yang pan
jang. maka nilai variabilitas secara rata-rata dapat diketahui.
Pola curah hujan di Propinsi Lampung sedikit berbeda dengan
propinsi-propinsi lain di Sumatera. Propinsi Lampung yang
mempunyai pantai Barat dan pantai Timur, curah hujan maksimum
di pantai Barat tidak selalu jatuh pada bulan November.
Jika berpegang pada dalil umum bahwa pantai Barat suatu
pulau mempunyai curah hujan yang lebih besar dari pantai
Timurnya, maka di Propinsi Lampung menunjukan sedikit
heterogenita dalam pola.
Adapun tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui
distribusi curah hujan rata-rata bulanan dalam kaitannya
dengan variabilitas curah hujan bulanan di Propinsi
Lampung. Masai ah yang diajukan adalah:
1. Bagaimana distribusi curah hujan rata-rata di propinsi
Lampung dan faktor apa yang mempengaruhinya?
2. Dimana dan kapan di Propinsi Lampung terjadi variabi
litas jumlah hujan tertinggi dan terendah ?
3. Sejauh mana kaitan curah hujan rata-rata dengan variabilitasnya
di wilayah penelitian ?
Satuan analisis yang digunakan adalah satuan wilayah
pengamat hujan yang mencakup 46 stasiun. Analisa yang
dilakukan adalah korelasi peta diperkuat dengan uji
statistik (korelasi r Pearson) untuk mengetahui hubungan
antara curah hujan rata-rata dan variabi1itasnya dengan
ketinggian dan hubungan antara curah hujan rata-rata dengan
variabilitasnya.
Kesimpulan yang diperoleh adalah : Distribusi curah hujan
rata-rata tinggi sampai tertinggi terdapat di sekitar pantai Barat pada ketinggian 0 - 100 m dpi terjadi pada
bulan September sampai Januari dan di wilayah pedalaman
pada ketinggian dibawah 100 meter dpi, terjadi pada bulan
Desember sampai Maret. Di bagian Selatan wilayah penelitian
curah hujan tinggi terjadi pada bulan Januari. Untuk
curah hujan rata-rata bulanan terendah terjadi pada bulan
Juli dan Agustus.
Faktor yang • mempengaruhi pola distribusi curah hujan
i)ulanan adalah faktor arah lereng, arah angin dan letak
DKAT.
Nilai Variabilitas curah hujan bulanan tinggi terdapat pada
region curah hujan rata-rata rendah, yaitu di bagian Sela
tan wilayah penelitian dan terjadi pada bulan Juli dan
Agustus, selain itu terdapat juga di sekitar pantai Timur
yang terjadi pada bulan Maret dan April, sedangkan nilai
variabilitas rendah terdapat di wilayah dengan jumlah curah
hujan rata-rata tinggi, yaitu di pantai Barat dan wilayah
pedalaman yang terjadi pada bulan Oktober sampai Maret.
Dalam kaitannya dengan ketinggian , variabilitas curah
hujan menghasilkan hubungan positif yang lemah, artinya
variabilitas curah hujan di wilayah penelitian tidak'
dipengaruhi oleh ketinggian.
Hubungan antara curah hujan rata-rata dengan variabi1itasnya
umumnya berbanding terbalik, artinya jika curah hujan
rata-rata tinggi maka nilai variabi1itasnya akan rendah dan
jika curah hujan rata-rata rendah maka variabi1itasnya akan
tinggi. Hubungan terbalik antara curah hujan rata-rata
dengan variabi1itasnya cenderung lebih nyata pada bulanbulan
basah (Oktober - Maret"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1996
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Winarni
"Curah hujan merupakan unsur iklim yang sangat variabel, balk
dalam sekala ruang dan waktu. Selain berdasarkan ruang dan
waktu, curah hujan juga bervariasi dengan nilai rata-ratanya.
Seiisih antara jumiah curah hujan atau frekuensi hari hujan
dengan niiai rata-ratanya disebut variabilita.
Maksud dari penulisan mi ada].ah untuk mengungkapkan gainbaran
variabilita curah hujan dan frekuensi hari hujan dan kaitarinya
dengan nilai rata-rata, serta untuk mengetahui perbandingan
antara kedua variabilita mi di Daerah Aliran Kali
Serayu, Jawa Tengah.
Permasalahan dalani penelitian mi adalah:
1. Bagaitnana distribusi juinlah curah hujan dan frekuensi
hari hujan berdasarkan periode bulanan dan tahunan ?
2. Bagaimana kaitan antara variabilita curah huj
frekuensi hari hujan dengan nhlal rata-rata pada
bulanan dan tahunan ?
3. Bagaimana perbandingan antara variabilita curah
dengan variabiiita frekuensi hari hujan di Daerah
Kali Serayu ?
Metode analisis yang digunakan adaiah anaiisa korelasi peta
dibantu dengan graf 1k, yaitu korelasi peta-peta curah hujan
dan frekuensi hari hujan dengan ketinggian dan variabiiitanya.
Pembuatan graf 1k untuk melihat perbandingan antara
variabilita curah hujan dengan vaniabilita frekuensi han
hujan.
Berdasarkan hasil analisa dapat diketahui bahwa
Wiiayah curah hujan tertinggi dan frekuensi hari hujan tertinggi
terdapat pada ketinggian di atas 100 meter dpi.
Wiiayah curah hujan terendah terdapat pada ketinggian kurang
dari 1000 meter dpi dan pada ketinggian lebih dari 2000
meter dpi di lereng Gunung Prahu-Gunung Sundoro. Sedangkan
wilayah frekuensi hari hujan terendah terdapat pada ketinggian
kurang dari 100 meter dpi. Jumiah curah hujan dan frekuensi hari hujan tertinggi umunrnya jatuh pada bulan
Desember, sebagian pada bulan Januari. Sedangkan jumlah
terendah uinumnya pada bulan Agustus.
Kaitan variabilita curah hujan dan frekuensi hari hujan
dengan nilai rata-rata umumnya berbanding terbalik. Tetapi
ada juga yang berbandthg lurus, seperti di wilayah Titnur DAS
untuk curah hujan tahunan. Dan di wilayah Barat Laut DAS
untuk frekuensi hari hujan bulan Agustus, dan di wilayah
tengah DAS untuk frekuerisi hari hujan tahunan.
Variabilita frekuensi hari hujan umuxnnya lebih rendah dibandingkan
dengart variabilita curáh hujan."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1996
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situmorang, Fidelis R.
Jakarta: Sinar David, 2014
899.221 SIT b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Whitmore, T.C.
Oxford: Clarendon Press, 1990
574.526 WHI i (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Alif Nurmareta
"Remote sensing telah banyak diaplikasikan dalam bidang Meteorologi dan Klimatologi, khususnya dalam menjelaskan curah hujan, namun penerapannya dalam wilayah yang lebih spesifik belum banyak digali lebih dalam. Tutupan awan diinterpretasikan dari citra NOAA, selanjutnya di korelasikan dengan metode statistic dan analisis spasial dengan curah hujan harian di 30 lokasi stasiun hujan yang tersebar di wilayah penelitian.
Penelitian ini melihat kecendrungan potensi hujan bedasarkan tutupan awan yang terekam yang berlangsung mulai dari Oktober 2007 - April 2008. Hasil analisis keruangan terlihat bahwa tutupan awan berpotensi hujan tinggi banyak terjadi pada bulan Maret dan April. Hasil penghitungan statistik memperlihatkan terdapat kaitan positif antara tutupan awan berpotensi hujan tinggi pada wilayah 5x5 Km dengan curah hujan pada tanggal perekaman, tanggal setelah perekaman, dan curah hujan 3 harian yang terjadi."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S33836
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pascalis Dwi Rosario Deno
"Curah hujan merupakan salah satu input data yang memiliki peranan penting dalam permodelan hidrologi. Data curah hujan biasanya diperoleh dari stasiun pencatat curah hujan yang tersebar menurut koordinatnya. Data curah hujan yang tersedia sering kali mengalami kekurangan yang disebabkan oleh terbatasnya sebaran dan jumlah stasiun pencatat hujan yang ada. Medan, bentuk topografi serta biaya besar juga mempengaruhi ketersediaan dari stasiun pencatat curah hujan itu sendiri. Alternatif lain untuk memperoleh data curah hujan salah satunya adalah satelit hujan. Dalam hal ini satelit hujan yang tersedia ada berbagai macam jenisnya dan memiliki kemampuan memperoleh gambaran spasial dengan resolusi yang berbeda-beda. Salah satu data curah hujan harian yang akan digunakanan pada penelitian ini bersumber dari CHIRPS. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah melakukan analisis perbandingan curah hujan satelit CHIRPS dengan data hujan yang terdapat pada stasiun hujan di DAS Ciliwung Hulu dan DAS Garang Hulu pada rentang waktu tertentu sesuai dengan ketersediaan data curah hujan harian pada stasiun hujan di lokasi kedua DAS tersebut. Data yang dianalisis akan menentukan reliabilitas dari CHIRPS terhadap data hujan pada stasiun pencatat hujan. Data CHIRPS ini akan dianalisis lebih lanjut terkait persamaan dan perbedaannya dengan data stasiun hujan. Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa data CHIRPS tidak reliabel atau berkorelasi rendah terhadap data curah hujan harian stasiun pencatat hujan pada kedua DAS. Selisih antara hujan harian atau delta data dari kedua sumber data juga menunjukan bahwa data curah hujan harian cenderung berbeda antar kedua sumber data. Perbedaan-perbedaan ini dianalisis lebih lanjut untuk memperoleh jumlah data yang reliabel dengan melakuakan filter data menggunakan kriteria error berkisar antara nol hingga 0,4 persen. Hasil filter data menunjukan bahwa rata-rata data yang reliabel hanya sebesar 0,9 persen dari total data yang tersedia untuk masing-masing stasiun hujan pada DAS Ciliwung Hulu dan Garang Hulu. Perbedaan dan persamaan data ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti letak serta topografi lokasi kedua DAS dan cara kerja satelit hujan dalam memperoleh data melalui gelombang elektromagnetik yang sangat dipengaruhi oleh kondisi dari objek atau awan.

Rainfall is one of the input data that has an important role in hydrological modelling. Rainfall data is usually obtained from rainfall recording stations which are scattered according to their coordinates. Available rainfall data often suffers from deficiencies caused by the limited distribution and number of existing rain recording stations. Terrain, topography and high cost also affect the availability of the rainfall recording station itself. Another alternative to obtain rainfall data, one of which is a rain satellite. In this case there are various types of rain satellites available and have the ability to obtain spatial images with different resolutions. One of the daily rainfall data that will be used in this study comes from CHIRPS. The purpose of writing this thesis is to carry out a comparative analysis of CHIRPS satellite rainfall with rain data contained in rain stations in the Ciliwung Hulu watershed and Garang Hulu watershed at certain time intervals according to the availability of daily rainfall data at rain stations in the two watershed locations. The data analyzed will determine the reliability of CHIRPS against rain data at rain recording stations. The CHIRPS data will be analyzed further regarding the similarities and differences with the rain station data. The results obtained show that the CHIRPS data is not reliable or has a low correlation with the daily rainfall data of rain-recording stations in both watersheds. The difference between the daily rainfall or delta data from the two data sources also shows that the daily rainfall data tends to differ between the two data sources. These differences were further analyzed to obtain a reliable amount of data by filtering the data using error criteria ranging from zero to 0.4 percent. The results of the data filter show that the average reliable data is only 0.9 percent of the total available data for each rain station in the Upper Ciliwung and Garang Hulu watersheds. The differences and similarities in this data can be caused by several factors such as the location and topography of the two watersheds and the way the rain satellite works in obtaining data through electromagnetic waves which are strongly influenced by the conditions of objects or clouds.

"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triarko Nurlambang
"Tujuan penelitian ini adalah mengaplikasikan analisa grafis dari variabilita jumlah dan waktu hujan pada daerah pantai utara Jawa Barat. Sebagai alternatif dari analisa statistik yang sudah umum digunakan walaupun masih diragukan hasilnya, melalui analisa grafis dengan pendekatan pengamatan jangka panjang dan pendek ini diharapkan dapat diperoleh hasil yang paling tidak sama baiknya dengan menggunakan analisa statistik.
Penelitian ini mencakup wilayah pantai utara Jawa Barat yang telah berkembang secara cepat sehingga perubahan penggunaan juga meningkat tajam dan akhirnya diasumsikan bahwa perubahan penggunaan tanah tersebut dapat pula merubah ekosistem di wilayah tersebut termasuk pola curah hujannya, seperti yang dijelaskan dalam konsep siklus hidrologi. Data yang digunakan adalah dari data curah hujan bulanan dari tahun 1960 sampai dengan tahun 1988 di empat belas stasiun pencatat cuaca yang menyebar dari bagian barat sampai timur wilayah pantai utara dengan ketinggian 50 meter atau kurang di atas permukaan laut.
Dari hasil analisa grafis tersebut diperoleh hasil sebagai berikut :
a. Adanya variabilta curah hujan akan lebih jelas terlihat secara grafis dengan menggunakan pendekatan pengamatan jangka waktu yang lebih pendek
b. Ada kecenderungan jumlah curah hujan rata-rata tahunan dan juga bulanan menurun
c. Tidak nampak adanya kecenderungan pergeseran awal mulainya musim kemarau maupun hujan, tetapi ada indikasi perubahan lamanya curah hujan maksimum dan minimum yaitu menjadi semakin lama."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1996
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Muthia Harahap
"[ABSTRACT
Land and forest fires are complex problems that occurred in the province of Riau
every year. The trigger factors comes from natural and human activities. This
research uses a variable hotspots as an indication of land and forest fires produced
by the satellite sensors NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration)
due to the temperature rise above 315 °K or 42° C on an area of 1 km2. The density
of hotspots are scattered throughout the province of Riau 2005 to 2014 analyzed
using Kernel Density calculations. The result patterns of spatial density of hotspots
concentrated in Dumai, Rokan Hilir, Bengkalis and Pelalawan. While the time
pattern showed the highest number of hotspots for 10 years occurred in June until
August. Then the distribution of the density of hotspots related with the factors that
trigger fires such as monthly rainfall, distribution and depth of the peatland and the
type of land use. The analysis showed the highest number of hotspots spread out on
an area with a low monthly precipitation is 50-150 mm / month and on peatlands
with a depth of more than 4 meters (very deep) as well as on the type of plantation
land use, wetlands secondary forest and shrubs. Furthermore, the determination of
threshold no rain day due to the hotspots appearance obtained through buffering
technique as far as 10 km from rain gauge stations every day during the month of
June to August. Analysis on each occurrence of hotspots is also associated with the
depth of peat and types of land use to determine the characteristics of each buffer
area, the result of the threshold of no rainy days in relation to the hotspot appearance
in Riau Province is 3 days.

ABSTRAK
Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan kompleks yang terjadi di
Provinsi Riau setiap tahun. Pemicunya berasal dari faktor alami dan akibat aktivitas
manusia. Penelitian ini menggunakan variabel hotspots (titik panas) sebagai
indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan oleh sensor satelit
NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) akibat kenaikan suhu
di atas 315° K atau 42°C pada luasan 1 km2. Hotspots yang tersebar diseluruh
Provinsi Riau dianalisis kepadatannya sepanjang tahun 2005 hingga 2014
menggunakan perhitungan Kernel Density. Hasilnya pola spasial kepadatan
hotspots terkonsentrasi di Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis dan
Pelalawan. Sedangkan pola temporal menunjukkan jumlah hotspots terbanyak
selama 10 tahun terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Kemudian sebaran
kepadatan hotspots dihubungan dengan faktor-faktor pemicu terjadinya kebakaran
yakni curah hujan bulanan, sebaran dan kedalaman gambut serta jenis penggunaan
lahan. Hasil analisis menunjukkan jumlah hotspots terbanyak tersebar pada wilayah
dengan curah hujan bulanan rendah yaitu 50 - 150 mm/bulan dan pada lahan gambut
dengan kedalaman lebih dari 4 meter (sangat dalam) serta pada jenis penggunaan
lahan perkebunan, hutan lahan basah sekunder dan semak belukar. Selanjutnya
penentuan ambang batas hari tanpa hujan sehubungan kemunculan hotspots
diperoleh melalui teknik buffering sejauh 10 km dari stasiun-stasiun pengamatan
hujan setiap hari selama bulan Juni hingga Agustus. Analisis pada setiap
kemunculan hotspots juga dikaitkan dengan kedalaman gambut dan jenis
penggunaan lahan untuk mengetahui karakteristik setiap area buffer, hasilnya
ambang batas hari tanpa hujan dalam kaitan kemunculan hotspots di Provinsi Riau
adalah 3 hari.;Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan kompleks yang terjadi di
Provinsi Riau setiap tahun. Pemicunya berasal dari faktor alami dan akibat aktivitas
manusia. Penelitian ini menggunakan variabel hotspots (titik panas) sebagai
indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan oleh sensor satelit
NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) akibat kenaikan suhu
di atas 315° K atau 42°C pada luasan 1 km2. Hotspots yang tersebar diseluruh
Provinsi Riau dianalisis kepadatannya sepanjang tahun 2005 hingga 2014
menggunakan perhitungan Kernel Density. Hasilnya pola spasial kepadatan
hotspots terkonsentrasi di Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis dan
Pelalawan. Sedangkan pola temporal menunjukkan jumlah hotspots terbanyak
selama 10 tahun terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Kemudian sebaran
kepadatan hotspots dihubungan dengan faktor-faktor pemicu terjadinya kebakaran
yakni curah hujan bulanan, sebaran dan kedalaman gambut serta jenis penggunaan
lahan. Hasil analisis menunjukkan jumlah hotspots terbanyak tersebar pada wilayah
dengan curah hujan bulanan rendah yaitu 50 - 150 mm/bulan dan pada lahan gambut
dengan kedalaman lebih dari 4 meter (sangat dalam) serta pada jenis penggunaan
lahan perkebunan, hutan lahan basah sekunder dan semak belukar. Selanjutnya
penentuan ambang batas hari tanpa hujan sehubungan kemunculan hotspots
diperoleh melalui teknik buffering sejauh 10 km dari stasiun-stasiun pengamatan
hujan setiap hari selama bulan Juni hingga Agustus. Analisis pada setiap
kemunculan hotspots juga dikaitkan dengan kedalaman gambut dan jenis
penggunaan lahan untuk mengetahui karakteristik setiap area buffer, hasilnya
ambang batas hari tanpa hujan dalam kaitan kemunculan hotspots di Provinsi Riau
adalah 3 hari.;Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan kompleks yang terjadi di
Provinsi Riau setiap tahun. Pemicunya berasal dari faktor alami dan akibat aktivitas
manusia. Penelitian ini menggunakan variabel hotspots (titik panas) sebagai
indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan oleh sensor satelit
NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) akibat kenaikan suhu
di atas 315° K atau 42°C pada luasan 1 km2. Hotspots yang tersebar diseluruh
Provinsi Riau dianalisis kepadatannya sepanjang tahun 2005 hingga 2014
menggunakan perhitungan Kernel Density. Hasilnya pola spasial kepadatan
hotspots terkonsentrasi di Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis dan
Pelalawan. Sedangkan pola temporal menunjukkan jumlah hotspots terbanyak
selama 10 tahun terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Kemudian sebaran
kepadatan hotspots dihubungan dengan faktor-faktor pemicu terjadinya kebakaran
yakni curah hujan bulanan, sebaran dan kedalaman gambut serta jenis penggunaan
lahan. Hasil analisis menunjukkan jumlah hotspots terbanyak tersebar pada wilayah
dengan curah hujan bulanan rendah yaitu 50 - 150 mm/bulan dan pada lahan gambut
dengan kedalaman lebih dari 4 meter (sangat dalam) serta pada jenis penggunaan
lahan perkebunan, hutan lahan basah sekunder dan semak belukar. Selanjutnya
penentuan ambang batas hari tanpa hujan sehubungan kemunculan hotspots
diperoleh melalui teknik buffering sejauh 10 km dari stasiun-stasiun pengamatan
hujan setiap hari selama bulan Juni hingga Agustus. Analisis pada setiap
kemunculan hotspots juga dikaitkan dengan kedalaman gambut dan jenis
penggunaan lahan untuk mengetahui karakteristik setiap area buffer, hasilnya
ambang batas hari tanpa hujan dalam kaitan kemunculan hotspots di Provinsi Riau
adalah 3 hari.;Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan kompleks yang terjadi di
Provinsi Riau setiap tahun. Pemicunya berasal dari faktor alami dan akibat aktivitas
manusia. Penelitian ini menggunakan variabel hotspots (titik panas) sebagai
indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan oleh sensor satelit
NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) akibat kenaikan suhu
di atas 315° K atau 42°C pada luasan 1 km2. Hotspots yang tersebar diseluruh
Provinsi Riau dianalisis kepadatannya sepanjang tahun 2005 hingga 2014
menggunakan perhitungan Kernel Density. Hasilnya pola spasial kepadatan
hotspots terkonsentrasi di Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis dan
Pelalawan. Sedangkan pola temporal menunjukkan jumlah hotspots terbanyak
selama 10 tahun terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Kemudian sebaran
kepadatan hotspots dihubungan dengan faktor-faktor pemicu terjadinya kebakaran
yakni curah hujan bulanan, sebaran dan kedalaman gambut serta jenis penggunaan
lahan. Hasil analisis menunjukkan jumlah hotspots terbanyak tersebar pada wilayah
dengan curah hujan bulanan rendah yaitu 50 - 150 mm/bulan dan pada lahan gambut
dengan kedalaman lebih dari 4 meter (sangat dalam) serta pada jenis penggunaan
lahan perkebunan, hutan lahan basah sekunder dan semak belukar. Selanjutnya
penentuan ambang batas hari tanpa hujan sehubungan kemunculan hotspots
diperoleh melalui teknik buffering sejauh 10 km dari stasiun-stasiun pengamatan
hujan setiap hari selama bulan Juni hingga Agustus. Analisis pada setiap
kemunculan hotspots juga dikaitkan dengan kedalaman gambut dan jenis
penggunaan lahan untuk mengetahui karakteristik setiap area buffer, hasilnya
ambang batas hari tanpa hujan dalam kaitan kemunculan hotspots di Provinsi Riau
adalah 3 hari.;Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan kompleks yang terjadi di
Provinsi Riau setiap tahun. Pemicunya berasal dari faktor alami dan akibat aktivitas
manusia. Penelitian ini menggunakan variabel hotspots (titik panas) sebagai
indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan oleh sensor satelit
NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) akibat kenaikan suhu
di atas 315° K atau 42°C pada luasan 1 km2. Hotspots yang tersebar diseluruh
Provinsi Riau dianalisis kepadatannya sepanjang tahun 2005 hingga 2014
menggunakan perhitungan Kernel Density. Hasilnya pola spasial kepadatan
hotspots terkonsentrasi di Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis dan
Pelalawan. Sedangkan pola temporal menunjukkan jumlah hotspots terbanyak
selama 10 tahun terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Kemudian sebaran
kepadatan hotspots dihubungan dengan faktor-faktor pemicu terjadinya kebakaran
yakni curah hujan bulanan, sebaran dan kedalaman gambut serta jenis penggunaan
lahan. Hasil analisis menunjukkan jumlah hotspots terbanyak tersebar pada wilayah
dengan curah hujan bulanan rendah yaitu 50 - 150 mm/bulan dan pada lahan gambut
dengan kedalaman lebih dari 4 meter (sangat dalam) serta pada jenis penggunaan
lahan perkebunan, hutan lahan basah sekunder dan semak belukar. Selanjutnya
penentuan ambang batas hari tanpa hujan sehubungan kemunculan hotspots
diperoleh melalui teknik buffering sejauh 10 km dari stasiun-stasiun pengamatan
hujan setiap hari selama bulan Juni hingga Agustus. Analisis pada setiap
kemunculan hotspots juga dikaitkan dengan kedalaman gambut dan jenis
penggunaan lahan untuk mengetahui karakteristik setiap area buffer, hasilnya
ambang batas hari tanpa hujan dalam kaitan kemunculan hotspots di Provinsi Riau
adalah 3 hari.;Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan kompleks yang terjadi di
Provinsi Riau setiap tahun. Pemicunya berasal dari faktor alami dan akibat aktivitas
manusia. Penelitian ini menggunakan variabel hotspots (titik panas) sebagai
indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan oleh sensor satelit
NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) akibat kenaikan suhu
di atas 315° K atau 42°C pada luasan 1 km2. Hotspots yang tersebar diseluruh
Provinsi Riau dianalisis kepadatannya sepanjang tahun 2005 hingga 2014
menggunakan perhitungan Kernel Density. Hasilnya pola spasial kepadatan
hotspots terkonsentrasi di Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis dan
Pelalawan. Sedangkan pola temporal menunjukkan jumlah hotspots terbanyak
selama 10 tahun terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Kemudian sebaran
kepadatan hotspots dihubungan dengan faktor-faktor pemicu terjadinya kebakaran
yakni curah hujan bulanan, sebaran dan kedalaman gambut serta jenis penggunaan
lahan. Hasil analisis menunjukkan jumlah hotspots terbanyak tersebar pada wilayah
dengan curah hujan bulanan rendah yaitu 50 - 150 mm/bulan dan pada lahan gambut
dengan kedalaman lebih dari 4 meter (sangat dalam) serta pada jenis penggunaan
lahan perkebunan, hutan lahan basah sekunder dan semak belukar. Selanjutnya
penentuan ambang batas hari tanpa hujan sehubungan kemunculan hotspots
diperoleh melalui teknik buffering sejauh 10 km dari stasiun-stasiun pengamatan
hujan setiap hari selama bulan Juni hingga Agustus. Analisis pada setiap
kemunculan hotspots juga dikaitkan dengan kedalaman gambut dan jenis
penggunaan lahan untuk mengetahui karakteristik setiap area buffer, hasilnya
ambang batas hari tanpa hujan dalam kaitan kemunculan hotspots di Provinsi Riau
adalah 3 hari., Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan kompleks yang terjadi di
Provinsi Riau setiap tahun. Pemicunya berasal dari faktor alami dan akibat aktivitas
manusia. Penelitian ini menggunakan variabel hotspots (titik panas) sebagai
indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan oleh sensor satelit
NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) akibat kenaikan suhu
di atas 315° K atau 42°C pada luasan 1 km2. Hotspots yang tersebar diseluruh
Provinsi Riau dianalisis kepadatannya sepanjang tahun 2005 hingga 2014
menggunakan perhitungan Kernel Density. Hasilnya pola spasial kepadatan
hotspots terkonsentrasi di Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis dan
Pelalawan. Sedangkan pola temporal menunjukkan jumlah hotspots terbanyak
selama 10 tahun terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Kemudian sebaran
kepadatan hotspots dihubungan dengan faktor-faktor pemicu terjadinya kebakaran
yakni curah hujan bulanan, sebaran dan kedalaman gambut serta jenis penggunaan
lahan. Hasil analisis menunjukkan jumlah hotspots terbanyak tersebar pada wilayah
dengan curah hujan bulanan rendah yaitu 50 - 150 mm/bulan dan pada lahan gambut
dengan kedalaman lebih dari 4 meter (sangat dalam) serta pada jenis penggunaan
lahan perkebunan, hutan lahan basah sekunder dan semak belukar. Selanjutnya
penentuan ambang batas hari tanpa hujan sehubungan kemunculan hotspots
diperoleh melalui teknik buffering sejauh 10 km dari stasiun-stasiun pengamatan
hujan setiap hari selama bulan Juni hingga Agustus. Analisis pada setiap
kemunculan hotspots juga dikaitkan dengan kedalaman gambut dan jenis
penggunaan lahan untuk mengetahui karakteristik setiap area buffer, hasilnya
ambang batas hari tanpa hujan dalam kaitan kemunculan hotspots di Provinsi Riau
adalah 3 hari.]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Muthia Harahap
"[ABSTRAK
Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan kompleks yang terjadi di
Provinsi Riau setiap tahun. Pemicunya berasal dari faktor alami dan akibat aktivitas
manusia. Penelitian ini menggunakan variabel hotspots (titik panas) sebagai
indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan oleh sensor satelit
NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) akibat kenaikan suhu
di atas 315° K atau 42°C pada luasan 1 km2. Hotspots yang tersebar diseluruh
Provinsi Riau dianalisis kepadatannya sepanjang tahun 2005 hingga 2014
menggunakan perhitungan Kernel Density. Hasilnya pola spasial kepadatan
hotspots terkonsentrasi di Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis dan
Pelalawan. Sedangkan pola temporal menunjukkan jumlah hotspots terbanyak
selama 10 tahun terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Kemudian sebaran
kepadatan hotspots dihubungan dengan faktor-faktor pemicu terjadinya kebakaran
yakni curah hujan bulanan, sebaran dan kedalaman gambut serta jenis penggunaan
lahan. Hasil analisis menunjukkan jumlah hotspots terbanyak tersebar pada wilayah
dengan curah hujan bulanan rendah yaitu 50 - 150 mm/bulan dan pada lahan gambut
dengan kedalaman lebih dari 4 meter (sangat dalam) serta pada jenis penggunaan
lahan perkebunan, hutan lahan basah sekunder dan semak belukar. Selanjutnya
penentuan ambang batas hari tanpa hujan sehubungan kemunculan hotspots
diperoleh melalui teknik buffering sejauh 10 km dari stasiun-stasiun pengamatan
hujan setiap hari selama bulan Juni hingga Agustus. Analisis pada setiap
kemunculan hotspots juga dikaitkan dengan kedalaman gambut dan jenis
penggunaan lahan untuk mengetahui karakteristik setiap area buffer, hasilnya
ambang batas hari tanpa hujan dalam kaitan kemunculan hotspots di Provinsi Riau
adalah 3 hari.

ABSTRACT
Land and forest fires are complex problems that occurred in the province of Riau
every year. The trigger factors comes from natural and human activities. This
research uses a variable hotspots as an indication of land and forest fires produced
by the satellite sensors NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration)
due to the temperature rise above 315 °K or 42° C on an area of 1 km2. The density
of hotspots are scattered throughout the province of Riau 2005 to 2014 analyzed
using Kernel Density calculations. The result patterns of spatial density of hotspots
concentrated in Dumai, Rokan Hilir, Bengkalis and Pelalawan. While the time
pattern showed the highest number of hotspots for 10 years occurred in June until
August. Then the distribution of the density of hotspots related with the factors that
trigger fires such as monthly rainfall, distribution and depth of the peatland and the
type of land use. The analysis showed the highest number of hotspots spread out on
an area with a low monthly precipitation is 50-150 mm / month and on peatlands
with a depth of more than 4 meters (very deep) as well as on the type of plantation
land use, wetlands secondary forest and shrubs. Furthermore, the determination of
threshold no rain day due to the hotspots appearance obtained through buffering
technique as far as 10 km from rain gauge stations every day during the month of
June to August. Analysis on each occurrence of hotspots is also associated with the
depth of peat and types of land use to determine the characteristics of each buffer
area, the result of the threshold of no rainy days in relation to the hotspot appearance
in Riau Province is 3 days.;Land and forest fires are complex problems that occurred in the province of Riau
every year. The trigger factors comes from natural and human activities. This
research uses a variable hotspots as an indication of land and forest fires produced
by the satellite sensors NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration)
due to the temperature rise above 315 °K or 42° C on an area of 1 km2. The density
of hotspots are scattered throughout the province of Riau 2005 to 2014 analyzed
using Kernel Density calculations. The result patterns of spatial density of hotspots
concentrated in Dumai, Rokan Hilir, Bengkalis and Pelalawan. While the time
pattern showed the highest number of hotspots for 10 years occurred in June until
August. Then the distribution of the density of hotspots related with the factors that
trigger fires such as monthly rainfall, distribution and depth of the peatland and the
type of land use. The analysis showed the highest number of hotspots spread out on
an area with a low monthly precipitation is 50-150 mm / month and on peatlands
with a depth of more than 4 meters (very deep) as well as on the type of plantation
land use, wetlands secondary forest and shrubs. Furthermore, the determination of
threshold no rain day due to the hotspots appearance obtained through buffering
technique as far as 10 km from rain gauge stations every day during the month of
June to August. Analysis on each occurrence of hotspots is also associated with the
depth of peat and types of land use to determine the characteristics of each buffer
area, the result of the threshold of no rainy days in relation to the hotspot appearance
in Riau Province is 3 days.;Land and forest fires are complex problems that occurred in the province of Riau
every year. The trigger factors comes from natural and human activities. This
research uses a variable hotspots as an indication of land and forest fires produced
by the satellite sensors NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration)
due to the temperature rise above 315 °K or 42° C on an area of 1 km2. The density
of hotspots are scattered throughout the province of Riau 2005 to 2014 analyzed
using Kernel Density calculations. The result patterns of spatial density of hotspots
concentrated in Dumai, Rokan Hilir, Bengkalis and Pelalawan. While the time
pattern showed the highest number of hotspots for 10 years occurred in June until
August. Then the distribution of the density of hotspots related with the factors that
trigger fires such as monthly rainfall, distribution and depth of the peatland and the
type of land use. The analysis showed the highest number of hotspots spread out on
an area with a low monthly precipitation is 50-150 mm / month and on peatlands
with a depth of more than 4 meters (very deep) as well as on the type of plantation
land use, wetlands secondary forest and shrubs. Furthermore, the determination of
threshold no rain day due to the hotspots appearance obtained through buffering
technique as far as 10 km from rain gauge stations every day during the month of
June to August. Analysis on each occurrence of hotspots is also associated with the
depth of peat and types of land use to determine the characteristics of each buffer
area, the result of the threshold of no rainy days in relation to the hotspot appearance
in Riau Province is 3 days.;Land and forest fires are complex problems that occurred in the province of Riau
every year. The trigger factors comes from natural and human activities. This
research uses a variable hotspots as an indication of land and forest fires produced
by the satellite sensors NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration)
due to the temperature rise above 315 °K or 42° C on an area of 1 km2. The density
of hotspots are scattered throughout the province of Riau 2005 to 2014 analyzed
using Kernel Density calculations. The result patterns of spatial density of hotspots
concentrated in Dumai, Rokan Hilir, Bengkalis and Pelalawan. While the time
pattern showed the highest number of hotspots for 10 years occurred in June until
August. Then the distribution of the density of hotspots related with the factors that
trigger fires such as monthly rainfall, distribution and depth of the peatland and the
type of land use. The analysis showed the highest number of hotspots spread out on
an area with a low monthly precipitation is 50-150 mm / month and on peatlands
with a depth of more than 4 meters (very deep) as well as on the type of plantation
land use, wetlands secondary forest and shrubs. Furthermore, the determination of
threshold no rain day due to the hotspots appearance obtained through buffering
technique as far as 10 km from rain gauge stations every day during the month of
June to August. Analysis on each occurrence of hotspots is also associated with the
depth of peat and types of land use to determine the characteristics of each buffer
area, the result of the threshold of no rainy days in relation to the hotspot appearance
in Riau Province is 3 days.;Land and forest fires are complex problems that occurred in the province of Riau
every year. The trigger factors comes from natural and human activities. This
research uses a variable hotspots as an indication of land and forest fires produced
by the satellite sensors NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration)
due to the temperature rise above 315 °K or 42° C on an area of 1 km2. The density
of hotspots are scattered throughout the province of Riau 2005 to 2014 analyzed
using Kernel Density calculations. The result patterns of spatial density of hotspots
concentrated in Dumai, Rokan Hilir, Bengkalis and Pelalawan. While the time
pattern showed the highest number of hotspots for 10 years occurred in June until
August. Then the distribution of the density of hotspots related with the factors that
trigger fires such as monthly rainfall, distribution and depth of the peatland and the
type of land use. The analysis showed the highest number of hotspots spread out on
an area with a low monthly precipitation is 50-150 mm / month and on peatlands
with a depth of more than 4 meters (very deep) as well as on the type of plantation
land use, wetlands secondary forest and shrubs. Furthermore, the determination of
threshold no rain day due to the hotspots appearance obtained through buffering
technique as far as 10 km from rain gauge stations every day during the month of
June to August. Analysis on each occurrence of hotspots is also associated with the
depth of peat and types of land use to determine the characteristics of each buffer
area, the result of the threshold of no rainy days in relation to the hotspot appearance
in Riau Province is 3 days.;Land and forest fires are complex problems that occurred in the province of Riau
every year. The trigger factors comes from natural and human activities. This
research uses a variable hotspots as an indication of land and forest fires produced
by the satellite sensors NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration)
due to the temperature rise above 315 °K or 42° C on an area of 1 km2. The density
of hotspots are scattered throughout the province of Riau 2005 to 2014 analyzed
using Kernel Density calculations. The result patterns of spatial density of hotspots
concentrated in Dumai, Rokan Hilir, Bengkalis and Pelalawan. While the time
pattern showed the highest number of hotspots for 10 years occurred in June until
August. Then the distribution of the density of hotspots related with the factors that
trigger fires such as monthly rainfall, distribution and depth of the peatland and the
type of land use. The analysis showed the highest number of hotspots spread out on
an area with a low monthly precipitation is 50-150 mm / month and on peatlands
with a depth of more than 4 meters (very deep) as well as on the type of plantation
land use, wetlands secondary forest and shrubs. Furthermore, the determination of
threshold no rain day due to the hotspots appearance obtained through buffering
technique as far as 10 km from rain gauge stations every day during the month of
June to August. Analysis on each occurrence of hotspots is also associated with the
depth of peat and types of land use to determine the characteristics of each buffer
area, the result of the threshold of no rainy days in relation to the hotspot appearance
in Riau Province is 3 days., Land and forest fires are complex problems that occurred in the province of Riau
every year. The trigger factors comes from natural and human activities. This
research uses a variable hotspots as an indication of land and forest fires produced
by the satellite sensors NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration)
due to the temperature rise above 315 °K or 42° C on an area of 1 km2. The density
of hotspots are scattered throughout the province of Riau 2005 to 2014 analyzed
using Kernel Density calculations. The result patterns of spatial density of hotspots
concentrated in Dumai, Rokan Hilir, Bengkalis and Pelalawan. While the time
pattern showed the highest number of hotspots for 10 years occurred in June until
August. Then the distribution of the density of hotspots related with the factors that
trigger fires such as monthly rainfall, distribution and depth of the peatland and the
type of land use. The analysis showed the highest number of hotspots spread out on
an area with a low monthly precipitation is 50-150 mm / month and on peatlands
with a depth of more than 4 meters (very deep) as well as on the type of plantation
land use, wetlands secondary forest and shrubs. Furthermore, the determination of
threshold no rain day due to the hotspots appearance obtained through buffering
technique as far as 10 km from rain gauge stations every day during the month of
June to August. Analysis on each occurrence of hotspots is also associated with the
depth of peat and types of land use to determine the characteristics of each buffer
area, the result of the threshold of no rainy days in relation to the hotspot appearance
in Riau Province is 3 days.]"
2016
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>