Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kukuh Wibowo K
"ABSTRAK
Latar Belakang: Dimensi dari hiatus levator merupakan tempat atau portal yang berpotensi tinggi untuk terjadinya prolaps organ panggul POP dan memiliki hubungan statistik yang sangat kuat dengan gejala klinis POP. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan data mengenai korelasi pengukuran area hiatus levator pada POP simtomatik mengunakan Ultrasonografi 3D/4D dengan pemeriksaan klinis yaitu panjang Gh, panjang Pb dan penjumlahannya.
Metode: Analisa data sekunder sebanyak 160 pasien POP yang diperiksa dari Januari 2012 hingga April 2017 di poliklinik Uroginekologi RSCM, Jakarta. Diambil data karakteristik pasien, pengukuran Ultrasonografi 3D/4D maksimal Area Hiatal Levator, dan hasil pengukuran secara klinis dengan menggunakan pelvic organ prolapse quantification system (POP-Q).
Hasil: Terdapat korelasi positif antara pemeriksaan klinis dengan pengukuran luas area hiatal menggunakan USG dengan r = 0,43 untuk panjang Gh, dan korelasi pada penjumlahan Gh dan Pb dengan r=0,51 termasuk kategori sedang, sedangkan untuk panjang Pb dengan r = 0,23 tidak didapatkan adanya korelasi. Didapatkan titik potong optimal untuk membedakan derajat 2 dengan derajat 3 adalah 7,5 cm/29,7 cm2 dan derajat 3 dan derajat 4 adalah 8,3 cm/32,1 cm2.
Kesimpulan: Pemeriksaan klinis dengan menjumlahkan panjang Gh dan panjang Pb dapat dipertimbangkan untuk mencerminkan pemeriksaan area hiatal dengan mengunakan USG 3/4 dimensi transperineal pada daerah dengan sarana terbatas untuk melihat regangan pada levator ani atau yang disebut sebagai "ballooning"

ABSTRACT
Background: The dimension of levator hiatal is a site or portal that high potentially for pelvic organ prolapse POP and has a very strong statistical relationship with clinical symptoms of POP. This study aims to provide data on the correlation of levator hiatus area measurements in symptomatic POP using 3D/4D Ultrasound with clinical examination of Gh, Pb and summation Gh Pb.
Methods: Secondary data analysis of 160 POP patients examined from January 2012 to April 2017 at the Uroginekologi Clinic RSCM, Jakarta. Taken data on patient characteristics, maximum 3D 4D Ultrasound measurement of Levator Hiatus Area, and clinical measurement results using pelvic organ prolapse quantification system POP Q.
Results: There was a positive correlation between clinical examination and measurement of hiatal area area using ultrasound with r=0.43 for Gh length, and the medium correlation on the sum of Gh and Pb with r=0,51. No correlation for Pb length with r 0.23. The optimal cut to differentiate degrees 2 by 3 is 7.5 cm/29.7 cm2 and degree 3 by 4 is 8.3 cm/32.1 cm2.
Conclusion: Clinical examination by summing the lengths of Gh and Pb may be consider reflects the examination of the hiatal area by using transperineal ultrasound to see the strain on levator ani called ballooning in an area with limited resources. "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadrians Kesuma Putra
"Konstipasi merupakan salah satu gangguan di bidang uroginekologi yang sering diabaikan oleh pasien. Diketahui bahwa kelemahan otot dasar panggul yang dapat menyebabkan prolaps kompartemen posterior merupakan salah satu penyebab konstipasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan panjang genital hiatus, badan perineum dan titik Bp terhadap konstipasi pada pasien dengan prolaps kompartemen posterior dan dampak yang ditimbulkannya terhadap kualitas hidup.
Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan melibatkan penderita prolaps kompartemen posterior di poliklinik Uroginekologi Rekonstruksi RSUPN dr. Ciptomangunkusumo Jakarta. Data yang diperoleh berupa hasil anamnesis, pemeriksaan Pelvic Organ Prolapse Quantification (POP-Q), skor konstipasi Cleveland dan Colorectal-anal Impact Questionnaire-7 (CRAIQ-7). Sampel berjumlah 46 orang terbagi 2 masing-masing 23 sampel yang mengalami konstipasi dan tidak konstipasi.
Didapatkan bahwa jumlah panjang genital hiatus dan perineal body memiliki hubungan bermakna terhadap terjadinya konstipasi (p= 0,005) dan didapatkan titik potong 7,5 cm dengan sensitivitas 87% dan spesifisitas 52,2%. Uji multivariat menunjukkan bahwa jumlah panjang genital hiatus dan perineal body paling mempengaruhi terjadinya keluhan konstipasi (OR = 12,07, p = 0,024) dibanding dengan letak titik Bp yang juga bermakna terhadap terjadinya konstipasi (p = 0,003) pada titik potong -0,5 cm dengan sensitivitas 69,9% dan spesifisitas 65,2% akan tetapi hanya memiliki OR = 6,16 dan nilai p = 0,066. Akibat keluhan konstipasi sebanyak 52% sampel mengaku mengalami gangguan kualitas hidup. Jumlah panjang genital hiatus dan perineal body dan letak titik Bp mempengaruhi terjadinya konstipasi.

Constipation is one of the disorders in the uroginecology field which is often ignored by patients. It is known that pelvic floor muscle weakness which can cause posterior compartment prolapse is one of the causes of constipation. Aim of this study to know relationship among genital hiatus, perineal body and Bp point to constipation in patients with posterior prolapse and the impact it has on quality of life.
This study used a cross-sectional design using posterior compartment prolapse patients at the Uroginecology Polyclinic dr. Ciptomangunkusumo hospital at Jakarta. The data obtained consisted of history results, Quantitative examination of Pelvic Organ Prolapse (POP-Q), Cleveland constipation score and Colorectal-anal Impact Questionnaire-7 (CRAIQ-7). The sample consist of 46 people was divided into 2 each, 23 samples with constipation and were not constipated.
It was found that the number of genital hiatus and perineal bodies had a significant relationship to constipation (p = 0.005) and obtained 7.5 cm cut with a sensitivity of 87% and a specificity of 52.2%. Multivariate tests showed the number of length of body genital and perineal hiatus most affected the constipation (OR = 12.07, p = 0.024) cm comparing with Bp Point with sensitivity of 69.9% and specificity of 65.2% but only had OR = 6.16 and p = 0.066. As a result of complaints of constipation, as many as 52% of samples claimed to be able to eliminate quality of life. The number of genital hiatus and perineal lengths of the body and location of BP points can constipation.
"
2019
T55556
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cosmas Rinaldi A Lesmana
"latar belakang : Esofagitis refluks merupakan kondisi yang cukup sering ditemukan pada pasien usia lanjut. kejadian kanker esofagus, dimana esofagitis merupakan faktor resiko penting masih dianggap jarang di kebanyakan negara Asia. banyak faktor risiko lain penyebab kejadian kanker esofagus masih banyak belum diketahui. studi ini ditujukan untuk mencari prevalensi esofagitis refluks pada pasien usia lanjut faktor-faktor yang berhubungan.
metode: studi ini adalah studi potong lintang pada kelompok usia lanjut yang menjalani prosedur pemeriksaan endoskopi saluran cerna atas. pasien yang sudah mendapatkan terapi penghambat pompa proton jangka panjang pasien dengan kegemasan saluran cerna, pasien yang baru saja mendapatkan obat kemoterapi, pasien dengan kelainan otak dan pembuluh darah dan juga pasien yang terbukti terdapat infeksi kuman H. pylori dieksklusi analisis statistik dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 17 (Chicago, IIlinois, USA).
hasil : dari 238 pasien usia lanjut didapatkan esophagitis refluks sebanyak 22 (9,2%) pasien, rerata usia pasien adalah 69.8± 6.8 tahun. beberpa komorbiditas yang ditemukan seperti, diabetes, hipertensi, penyakit jantung korner, penyakit ginjal kronik, dan sirosis hari. satu-satunya faktor yang berhubungan dengan kejadian esofagitis refulks adalah adanya hernia hiatus esofagus (p = 0,038), tetai, esofagitis refulks cenderung ditemukan lebih banyak pada pasien usia lanjut yang memilki riwayat konsumsi obat yang bisa ,encetuskan kondisi refulks tanpa adanya perlindungan anti asam.
simpulan: esofagitis refluks masih merupakan masalah besar pada pasien usia lanjut. terdapatnya hernia hiatus bisa memberikan pertimbangan penting untuk dilakukanya pemeriksaan penyaring endoskopi saluran cerna atas. tetapi hal ini masih menjadi perbedaan dengan mempertimbangkan beban biaya dan rendahnya kejadian kanker esofagus di sebagian besar negara Asia."
Jakarta: Interna Publishing ( Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam), 2016
UI-IJGHE 17:2 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Anggrainy Dwifitriana Kouwagam
"Latar Belakang:
Prolaps Organ Panggul (POP) merupakan kondisi kompleks yang terjadi akibat defek pada struktur penyokong vagina. Kondisi ini dapat disebabkan oleh proses trauma pada otot penyokong levator ani yang menyebabkan melebarnya luas hiatus genital. Pelebaran hiatus genital ini disebut ballooning. Prevalensi POP berkisar antara 20-50%, dengan insidensi mencapai 1,5 – 1,8 per 1000 wanita per tahun dengan puncak usia 60 – 69 tahun. Kondisi POP memberi dampak terhadap kualitas hidup seorang wanita dan sering dikaitkan dengan gangguan berkemih, buang air besar hingga disfungsi seksual. Tatalaksana definitif dalam penanganan POP adalah tindakan pembedahan. Tindakan levatorplasty dapat dilakukan pada kasus penurunan kompartemen posterior, terutama pada pasien POP dengan hiatal ballooning. Tindakan ini bertujuan untuk mengurangi risiko prolaps berulang di masa mendatang. Pasien dengan rencana operasi POP di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta yang disertai ballooning pada pemeriksaan USG pre-operatif dilakukan tambahan tindakan levatorplasty, namun belum ada penilaian pasca operasi mengenai perbaikan kondisi ballooning tersebut.
Objektif:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbaikan ballooning sebelum dan setelah dilakukannya tindakan levatorplasty pada pasien dengan POP. Perbaikan yang dinilai berupa perbaikan luas dan panjang diameter anterioposterior hiatus levator, perbaikan panjang Gh + Pb, serta perubahan skor keluhan disfungsi dasar panggul sebelum dan sesudah tindakan. Penilaian dilakukan dengan menggunakan USG 3 dan 2 dimensi untuk hiatus levator, pemeriksaan klinis Pelvic Organ Prolapse Quantification System (POP-Q) untuk panjang Gh + Pb, serta kuisioner Pelvic Floor Distress Inventory-20 (PFDI-20) untuk penilaian keluhan klinis disfungsi dasar panggul.
Metode:
Studi analitik komparatif berpasangan dengan desain gabungan kohort retrospektif dan kohort prospektif yang dilakukan di Poliklinik Kebidanan dan Kandungan Divisi Uroginekologi dan Rekonstruksi Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Pengumpulan data retrospektif dilakukan dari Oktober 2021 hingga April 2022, dengan pengumpulan data prospektif untuk dilakukan tindakan levatorplasty dilakukan dari Oktober 2021 hingga Januari 2022. Sampel penelitian adalah wanita dengan POP dan ballooning yang dinilai dengan pemeriksaan USG Transperineal serta POP-Q, dan akan menjalani operasi levatorplasty.
Hasil:
Tingkat keberhasilan levatorplasty pada pasien POP dengan ballooning dilihat dari penurunan derajat ballooning berdasarkan kategori Lh max pada 28 pasien (87,5%), Ap hiatal pada 26 pasien (81,25%), dan panjang Gh + Pb pada 25 pasien (78,1%). Parameter PFDI yang diukur juga mengalami perbaikan dengan penurunan nilai median PFDI mencapai 31,2 (p = 0,009), serta penurunan pada nilai median sub-bagian POPDI-6 hingga 20,8 (p = 0,009), CRADI-6 hingga 6,2 (p = 0,096), dan UDI-6 hingga 10,4 (p = 0,360).
Kesimpulan:
Prosedur levatorplasty ditemukan dapat memperbaiki kondisi ballooning pada pasien POP yang dinilai dari perbaikan nilai luas dan panjang diameter anteroposterior hiatus levator, perbaikan klinis secara objektif (yang dinilai dengan pemeriksaan POP-Q) serta secara subjektif (yang dinilai dengan kuisioner PFDI-20). Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi bukti untuk penerapan prosedur levatorplasty untuk dapat dilakukan pada pasien-pasien POP yang disertai dengan ballooning di tempat praktik klinis di semua penjuru Indonesia.

Background:
Pelvic Organ Prolapse (POP) is a complex condition resulting from defects in the supporting structures of the vagina. This condition can be caused by a traumatic process to the supporting muscles of the levator ani which causes the widening of the genital hiatus. This widening process is called ballooning. The prevalence of POP ranges from 20-50%, with an incidence reaching 1.5-1.8 per 1000 women each year with a peak age of 60-69 years. POP conditions may have an impact on a woman's quality of life and are often associated with urinary and defecation disorders, and also sexual dysfunction. The definitive treatment for POP is surgery. Levatorplasty can be performed in cases of posterior compartment descent, especially in POP patients with Hiatal ballooning. This action aims to reduce the risk of recurrent prolapse in the future. At Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) Jakarta, patients with POP who are found with Hiatal ballooning during pre-operative ultrasound examination will be planned for an additional levatorplasty procedure. But there was no postoperative assessment regarding the improvement of the ballooning condition.
Objective:
This study aims to determine the improvement of ballooning after the levatorplasty procedure in patients with POP. The improvements assessed were the area and length of the anteroposterior diameter of the levator hiatus, the length of Gh + Pb, and complaints improvement for pelvic floor dysfunction. The assessment was done using 3- and 2-dimensional ultrasound for levator hiatus, clinical examination of the Pelvic Organ Prolapse Quantification System (POP-Q) for length Gh + Pb, and the Pelvic Floor Distress Inventory-20 (PFDI-20) questionnaire to assess clinical complaints of pelvic floor dysfunction.
Methods:
A paired comparative analytic study with a combined retrospective and prospective cohort design was carried out at the Obstetrics and Gynecology Outpatient Unit, Division of Urogynecology and Reconstruction, Department of Obstetrics and Gynecology, dr. Cipto Mangunkusumo Central General Hospital Jakarta. Retrospective data was collected from October 2021 to April 2022, with prospective data for levatorplasty performed from October 2021 to January 2022. The study sample was women with POP and ballooning who were assessed by transperineal ultrasound examination and POP-Q examination and will undergo levatorplasty procedure.
Result:
The success rate of levatorplasty in POP patients with ballooning was seen from the decrease in the degree of ballooning by the measurement of Lh max in 28 patients (87.5%), Ap hiatal in 26 patients (81.25%), and the length of Gh + Pb in 25 patients (78, 1%). The measured PFDI parameters also improved with a decrease in the median value of PFDI reaching 31.2 (p = 0.009), as well as a decrease in the median value of the POPDI-6 subsection to 20.8 (p = 0.009), CRADI-6 to 6.2 (p = 0.096), and UDI-6 to 10.4 (p = 0.360).
Conclusion:
The levatorplasty procedure is proven to repair the ballooning conditions in POP patients as assessed by improvements in the area and length of the anteroposterior diameter of the levator hiatus, clinical improvement objectively (as assessed by the POP-Q examination), and subjectively (as assessed by the PFDI-20 questionnaire). The results of this study are expected to be evidence for the application of the levatorplasty procedure to be performed on POP patients accompanied by ballooning in many clinical practices throughout Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anthonyus Natanael
"Latar belakang: Prolaps organ panggul (POP) didefinisikan sebagai turunnya visera pelvis (uterus, kandung kemih, uretra, dan rektum) dari posisi normal. Otot levator ani merupakan penopang panggul yang berperan penting dalam patogenesis POP. Studi sebelumnya menunjukkan terdapat perbedaan luas area hiatus dan panjang anteroposterior hiatus levator ani pada setiap derajat keparahan POP. Diagnosis POP dapat ditegakkan dengan POP-Q, namun pelaksanannya masih terbatas sehingga dibutuhkan alat pemeriksaan lain untuk skrining pasien.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan metode consecutive sampling. Peneliti mengidentifikasi subjek POP dengan dan tanpa keluhan benjolan. Subjek yang bersedia ikut serta dalam penelitian ini menjalani pemeriksaan POP-Q, panjang genital hiatus (Gh) dan perineal body (Pb), dan pemeriksaan USG translabial 3D/4D. Data dianalisis menggunakan SPSS Statistics 20 dengan uji T tidak berpasangan untuk membandingkan rerata parameter luas area hiatus dan panjang anteroposterior levator ani. Selanjutnya dilakukan analisa ROC untuk mendapatkan nilai titik potong dengan estimasi sensitifitas dan spesifisitas terbaik untuk membedakan prolaps bergejala dan tidak bergejala benjolan. Hasil: Sebanyak 109 subjek ikut serta dalam penelitian ini. Terdapat perbedaan bermakna luas hiatus (28,9+5,59 vs 19,6+4,63, p < 0,05 saat valsalva, 15,2+4,08 vs 12,5+3,15, p <0,005 saat kontraksi) dan panjang anteroposterior levator ani (8,6+1,06 vs 6,8+1.13, p<0,05) antara kelompok dengan keluhan benjolan dan kelompok tanpa keluhan benjolan. Titik potong luas area hiatus dan panjang anteroposterior levator ani untuk membedakan subjek dengan keluhan benjolan dan tanpa keluhan benjolan adalah 25,1 cm2 [sensitifitas 84,6%, spesifisitas 92,9%, AUC 0,925 (0,864-0,986)] dan 7,75 cm [sensitifitas 87,2%, spesifisitas 77,1%, AUC 0,859 (0,787-0,932)].
Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna luas hiatus dan panjang anteroposterior levator ani antara kelompok dengan keluhan benjolan dan tanpa keluhan benjolan. Titik potong luas hiatus 25,1 cm dan panjang anteroposterior 7,75 cm memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang baik untuk membedakan kedua kelompok.

Introduction: Pelvic organ prolapse (POP) is defined as descent of the pelvic viscera (uterus, bladder, urethra, and rectum) from its normal position. Levator ani muscle is the largest component of pelvic floor that plays an important part in POP pathogenesis. Previous study showed that there was difference in levator hiatus area and anteroposterior length on every grade of POP. The diagnosis of POP can be established from POP-Q tool, however its use is still very limited within its subspecialist practice causing the need of a new screening tool.
Methods: This was a cross-sectional study with consecutive sampling method. We classified POP subject with bulge symptom and without bulge symptom. Subjects that were willing to participate in this study under underwent POP-Q examination and 3D/4D transperineal ultrasonography. Data were analyzed using SPSS Statistics 20 with student’s t-test to compare levator hiatus area and anteroposterior length mean between 2 group.
Results: A total of 109 subjects were included in this study. There was a significance difference in levator hiatus area (28.9+5.59 cm2 vs 19.6+4.63 cm2, p < 0/05 during valsalva maneuver, 15.2+4.08 cm2 vs 12.5+3.15 cm2, p <0.05 during contraction) and anteroposterior length (8.6+1.06 c, vs 6.8+1.13 cm, p<0,05) between group with bulge symptom and without bulge symptom. Levator hiatus area and anteroposterior length cutoff to differentiate between subject with and without bulge symtoms was respectively 25,1 cm2 [sensitivity 84,6%, specificity 92,9%, AUC 0,925 (0,864-0,986)] and 7,75 cm [sensitivity 87,2%, specificity 77,1%, AUC 0,859 (0,787-0,932)].
Conclusion: There was a significant difference in levator hiatus area and anteroposterior length between group with and without bulge symptom. Levator hiatus area cut off at 25,1 cm2 anteroposterior length cut off at 7.75 cm showed good sensitivity and specificity to differentiate between 2 group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Guntari Hasyyatiningsih
"Penelitian terakhir yang dilakukan Lauder mengasumsikan bahwa gabungan vokal dan berpotensi untuk diujarkan sebagai diftong. Selain itu, gabungan vokal dan juga dianggap memiliki potensi untuk diujarkan sebagai diftong karena keempat bentuk ini lebih seperti bunyi vokal yang diikuti oleh bunyi konsonan hampiran. Untuk membuktikan asumsi tersebut secara objektif dapat dilakukan pengujian kualitas bunyi dengan perangkat lunak Praat. Dengan menggunakan perangkat lunak tersebut, penelitian ini dilakukan terhadap tiga puluh lima sampel yang dianggap mewakili pola suku kata yang ditemukan dalam data bersumber dari Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Hasil yang didapat adalah hanya bentuk yang secara umum diujarkan sebagai diftong. Bentuk lainnya ada juga yang diujarkan sebagai diftong tetapi hanya sebagian kecil dari jumlah sampel yang diuji.
Latest study from Lauder assumed that hiatus and could possibly be pronounced as diphthongs. Hiatus and are also considered as diphthongs. This is because the four hiatus sound like vocal which followed by sound semi vocal. In order to prove the assumption objectively, the sound quality can be tested by using Praat software. Through the software, this study use thirty five samples which could represent the syllable from found in the data from the fourth edition of Kamus Besar Bahasa Indonesia. The study found that only form which could generally be pronounced as diphthong. Other forms also be pronounced as diphthongs, but only few of the tested samples."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
S61260
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dafnil Akhir Putra
"Latar belakang : Prolaps organ panggul diketahui berkaitan dengan komplikasi berupa disfungsi seksual. Luas genitalia hiatus serta kekuatan otot dasar panggul merupakan salah satu parameter yang diketahui berkaitan dengan komplikasi tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan luas levator hiatus dan kekuatan levator ani pada kasus POP terutama terhadap masalah disfungsi seksual.
Metode : Penelitian ini menggunakan desain perbandingan potong lintang, yang dilaksanakan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada periode 1 Februari 2023 hingga Mei 2024. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan status ginekologis, termasuk POP-Q dan perineometer dan pemeriksaan USG dasar panggul. Kategori disfungsi dikelompokkan berdasarkan skor FSFI. Data yang diperoleh akan diuji secara parametrik maupun non parametrik sesuai normalitas data, dengan batas kemaknaan yaitu alpha 5%. Penentuan titik potong diukur dengan metoda ROC dan analisa AUC serta penghitungan nilai sensitivitas maupun spesifisitasnya. Selanjutnya, dilakukan uji korelasi untuk mendapatkan signifikansi (p) serta kekuatan korelasi (r) pada setiap variabel yang akan diperiksa.
Hasil: Pengambilan data secara consecutive sampling pada seluruh pasien baru POP yang datang ke Poli Uroginekologi, terdapat 40 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dalam populasi dengan kategori 20 sample disfungsi seksual dan 20 sampel tidak disfungsi seksual. Tidak terdapat perbedaan karakteristik yang bermakna pada sampel prolaps organ panggul pada kelompok disfungsi seksual maupun tidak disfungsi seksual. Dari uji T-tidak berpasangan didapatkan hubungan yang bermakna pada maksimal levator hiatus dengan kejadian disfungsi seksual (p=0,000). Terdapat hubungan kekuatan levator hiatus saat kontraksi dengan kejadian disfungsi seksual pada perempuan dengan prolaps organ panggul oleh uji Mann-Whitney (p=0,005). Pada luas levator hiatus didapatkan titik potong yaitu 30.865 cm2 (sensitivitas 85%, spesitifitas 80%), kemudian untuk titik potong kekuatan otot levator ani yaitu 20.5 cmH2O (sensitivitas 80%, sensitifitas 70%). Berdasarkan korelasi Pearson antara luas levator hiatus dengan skor FSFI yang bermakna pada domain rangsangan (p=0,000, r=-0,531) serta domain orgasme (p= 0,000, r=-0,581). Berdasarkan hasil uji korelasi spearman pada kekuatan otot levator ani didapatkan hasil yang bermakna pada domain tingkatan rangsangan (p=0,015, r=0,383) dan pada domain orgasme yaitu (p=0.002, r=0,478).
Kesimpulan : Pemeriksaan luas levator hiatus dengan USG dasar panggul dan pengukuran kekuatan otot dasar panggul dengan perineometer dapat menjadi alternatif untuk membantu mengevaluasi resiko kejadian disfungsi seksual pada perempuan POP postmenopause.

Latar belakang : Prolaps organ panggul diketahui berkaitan dengan komplikasi berupa disfungsi seksual. Luas genitalia hiatus serta kekuatan otot dasar panggul merupakan salah satu parameter yang diketahui berkaitan dengan komplikasi tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan luas levator hiatus dan kekuatan levator ani pada kasus POP terutama terhadap masalah disfungsi seksual.
Metode : Penelitian ini menggunakan desain perbandingan potong lintang, yang dilaksanakan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada periode 1 Februari 2023 hingga Mei 2024. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan status ginekologis, termasuk POP-Q dan perineometer dan pemeriksaan USG dasar panggul. Kategori disfungsi dikelompokkan berdasarkan skor FSFI. Data yang diperoleh akan diuji secara parametrik maupun non parametrik sesuai normalitas data, dengan batas kemaknaan yaitu alpha 5%. Penentuan titik potong diukur dengan metoda ROC dan analisa AUC serta penghitungan nilai sensitivitas maupun spesifisitasnya. Selanjutnya, dilakukan uji korelasi untuk mendapatkan signifikansi (p) serta kekuatan korelasi (r) pada setiap variabel yang akan diperiksa.
Hasil: Pengambilan data secara consecutive sampling pada seluruh pasien baru POP yang datang ke Poli Uroginekologi, terdapat 40 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dalam populasi dengan kategori 20 sample disfungsi seksual dan 20 sampel tidak disfungsi seksual. Tidak terdapat perbedaan karakteristik yang bermakna pada sampel prolaps organ panggul pada kelompok disfungsi seksual maupun tidak disfungsi seksual. Dari uji T-tidak berpasangan didapatkan hubungan yang bermakna pada maksimal levator hiatus dengan kejadian disfungsi seksual (p=0,000). Terdapat hubungan kekuatan levator hiatus saat kontraksi dengan kejadian disfungsi seksual pada perempuan dengan prolaps organ panggul oleh uji Mann-Whitney (p=0,005). Pada luas levator hiatus didapatkan titik potong yaitu 30.865 cm2 (sensitivitas 85%, spesitifitas 80%), kemudian untuk titik potong kekuatan otot levator ani yaitu 20.5 cmH2O (sensitivitas 80%, sensitifitas 70%). Berdasarkan korelasi Pearson antara luas levator hiatus dengan skor FSFI yang bermakna pada domain rangsangan (p=0,000, r=-0,531) serta domain orgasme (p= 0,000, r=-0,581). Berdasarkan hasil uji korelasi spearman pada kekuatan otot levator ani didapatkan hasil yang bermakna pada domain tingkatan rangsangan (p=0,015, r=0,383) dan pada domain orgasme yaitu (p=0.002, r=0,478).
Kesimpulan : Pemeriksaan luas levator hiatus dengan USG dasar panggul dan pengukuran kekuatan otot dasar panggul dengan perineometer dapat menjadi alternatif untuk membantu mengevaluasi resiko kejadian disfungsi seksual pada perempuan POP postmenopause.

Introduction : Pelvic organ prolapse is known to be related to complications in the form of sexual dysfunction. The area of hiatus genitalia and the strength of pelvic floor muscles are one of the known parameters related to these complications. The aim of this study is to determine the association between the hiatus levator area and the strength of the levator ani in POP cases, specifically focusing on sexual dysfunction issues.
Methods : This study uses a cross-sectional comparison design, which was carried out at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo in the period from February 2023 to May 2024. A gynecological status check, including POP-Q, perineometer, and pelvic floor ultrasound examination, is performed. The categories of dysfunction are grouped based on FSFI scores. The data obtained is then tested in a parametric or non-parametric test according to the normality of the data, with an efficiency limit of alpha 5%. The determination of the cut-off point is measured by the ROC method, the AUC analysis, and the calculation of the sensitivity and specificity values. Then a correlation test is performed to obtain the significance (p) as well as the strength of the correlation (r) on each variable to be examined.
Result : The data was collected on consecutive samples of all new POP patients who came to Uroginecology Polyclinic. There was 40 patients who met the inclusion criteria in the population had 20 sexual dysfunction samples and 20 non-sexual dysfunction samples. There were no significant characteristic differences in the pelvic organ prolapse sample in the sexual dysfunction group or non-sexual dysfunction group. From the T-unpaired test, a meaningful relationship was found between the maximum levator hiatus and the incidence of sexual dysfunction (p=0,000). There was a relationship between the strength of the hiatus levator during contraction and the incidence of sexual dysfunction in women with pelvic organ prolapse, as determined by the Mann-Whitney test (p=0.005). The area of the hiatus levator is obtained at a cutting point of 30,865 cm2 (sensitivity 85%, specificity 80%), and for the cutting point, the strength of the levator ani muscle is 20.5 cmH2O (sensitivity 80%, sensitivity 70%). Based on Pearson's correlation between the area of the hiatus levator and a meaningful FSFI score on the stimulatory domain (p=0,000, r=0.531) and the orgasm domain (p=0,000, r=0.581). Based on the results of the spearman correlation test on the strength of the levator ani muscle, meaningful results were obtained in the stimulus level domain (p=0.015, r=0.383) and in the orgasm domain (p=0.002, r=0.478).
Conclusion : An extensive examination of the hiatus levator with a pelvic floor ultrasound and measurement of pelvic floor muscle strength with a perineometer may be an alternative to help evaluate the risk of sexual dysfunction incidence in postmenopausal POP women.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fernandi
"Disfungsi dasar panggul disebabkan tersering oleh trauma otot dasar panggul persalinan. Platelet rich plasma (PRP) adalah serum darah yang disertifugasi sehingga mengandung konsentrasi platelet dan growth factors yang tinggi. Terapi PRP mudah dilakukan dan aman untuk proses regenerasi trauma otot levator ani pascasalin. Studi ini bertujuan untuk mengetahui peran PRP dalam mendukung pemulihan trauma otot dasar panggul pascasalin.
Studi prospektif, penyamaran tunggal, uji acak terkendali merupakan studi yang melibatkan wanita hamil anak pertama, dilakukan di kamar bersalin di Rumah Sakit tempat rujukan berjenjang, Puskesmas Lingkungan Suku Dinas, dan praktik bidan mandiri. Subjek diinjeksi dengan PRP autologus atau plasebo pada otot levator ani selama perineorafi pascasalin. Pemeriksaan utrasonografi transperienal dan perineometri dilakukan untuk menilai luas hiatus genital dan kekuatan otot levator ani pada kehamilan trimester 3, 40 hari pascasalin, dan 3 bulan pascasalin. Uji Mann-Whitney dan Wilcoxon signed-rank digunakan untuk analisis.
Dari total 116 subejk, 58 subjek memenuhi syarat untuk analisis. Penurunan kekuatan otot pada 3 bulan pascasalin bermakna secara statistik dari 41.45 (Interquartile Range, IQR = 18.05) menjadi 30.88 (IQR = 18.33) cmH2O pada kelompok kontrol, namun pada kelompok intervensi penurunan dari 37.45 (IQR = 13.89) menjadi 35.83 (IQR = 18.81) cmH2O (uji Wilcoxon, p = 0.001 vs p = 0.29). Sub-kelompok kasus ballooning menunjukkan peningkatan luas hiatus genital pada kelompok intervensi dari 26/59 (IQR = 7.53) menjadi 20.25 (IQR = 8.47) cm2, secara kontras terjadi perburukan pada kelompok kontrol dari 22.45 (IQR = 6.59) menjadi 26.8 (IQR = 7.16) cm2 (uji Wilcoxon, p = 0.047 vs p = 0.508). Selain itu, secara bermakna kekuatan otot levator ani menurun dari 47.1(IQR = 24.9) menjadi 34.7 (IQR = 33.8) cmH2O pada kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok intervensi yang mengalami penurunan dari 38.5 (IQR=17.2) menjadi 35.45 (IQR = 16.3) cmH2O (uji Wilcoxon, p = 0.038 vs p = 0.878).
Simpulan: Platelet rich plasma dapat menjadi terapi alternatif menjanjikan untuk trauma mikro atau ballooning otot dasar panggul pada wanita pascasalin anak pertama.

Pelvic floor dysfunction (PFD) is mostly caused by childbirth pelvic floor muscle trauma. Platelet rich plasma (PRP) is centrifugated blood which contains concentrated platelets and high level of growth factors. PRP can be a feasible and safe therapy for post-partum levator ani muscle trauma regeneration process. This study aims to explore the role of PRP in supporting pelvic floor muscle recovery after childbirth trauma.
A prospective, single blind, randomized control trial was enrolling primigravid women at 21 health facilities in Jakarta, Indonesia, from November 2016 to July 2019. Subjects were injected with autologous PRP or placebo at levator anal muscles (LAM) during perineorraphy after childbirth. Transperineal ultrasound and perineometry was used to asses the levator hiatal area and LAM strength at third trimester of pregnancy,40 days post-partum and three months post-partum. Mann- Whitney U-test and Wilcoxon signed-rank test were used to analyze.
Among 116 primigravid women, 58 women were eligible for analysis. Muscle strength reduction three months after childbirth was found statistically significant from 41.45 (Interquartile Range, IQR = 18.05) to 30.88 (IQR = 18.33) cmH2O in control group, not in intervention group which reduction only from 37.45 (IQR = 13.89) to 35.83 (IQR = 18.81) cmH2O (Wilcoxon test, p = 0.001 vs p = 0.29). In ballooning subgroup case analysis showed hiatal area improvement in intervention group from 26.59 (IQR = 7.53) to 20.25 (IQR = 8.47) cm2, in contrast with worsening in control group from 22.45 (IQR = 6.59) to 26.8 (IQR = 7.16) cm2 (Wilcoxon test, p= 0.047 vs p = 0.508). Also, significant LAM strength reduction was also found from 47.1 (IQR = 24.9) to 34.7 (IQR = 33.8) cmH2O in control group compared to intervention group which only from 38.5 (IQR = 17.2) to 35.45 (IQR = 16.3) cmH2O (Wilcoxon test, p = 0.038 vs p = 0.878).
Conclusion: Platelet rich plasma can be a promising alternative therapy for micro trauma or ballooning of pelvic muscle injury in primiparous women.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library