Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
Heny Anggreini
"Masyarakat memiliki hak untuk memperoleh kehendaknya—pandangan hidupnya, namun situasi tersebut tidak dapat diperoleh karena masyarakat terperangkap oleh ideologi-ideologi besar yang berkuasa (mendominasi). Oleh karena itu, pengarang sebagai perekam—kaum intelektual yang mengkontestasikan ideologinya melalui karya sastra. Karya sastra sebagai alat pemersatu kekuatan-kekuatan sosial dan pertarungan kelompok subordinat untuk melakukan perlawanan terhadap tindakan politik yang menawarkan ideologi-ideologi tertentu. Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah terjelaskannya ideologi-ideologi yang hidup di masyarakat, termasuk ideologi dominan, yang berkaitan dengan pola pikir dan pola perilaku masyarakat dalam karya sastra. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang berfokus pada analisis isi dengan menggunakan teori hegemoni Gramsci. Hasil penelitian ini adalah tokoh Sarman bukan counter-hegemonik atas ideologi kapitalisme, tetapi melalui Sarman, Seno mencoba untuk menegosiasikan agar ideologi kapitalisme menjadi ideologi kapitalisme yang sosialis dan humanis, yaitu kapitalis yang memandang manusia sebagai makhluk bermartabat dan makhluk sosial, berhak mendapatkan hak-hak yang seharusnya diperoleh. Keterkaitan tokoh Sarman dengan Seno Gumira Ajidarma sebagai pengarang, sangat jelas terlihat bahwa pengarang mengkontestasikan ideologi-ideologi kepada pembaca dan ingin menegosiasikan ideologi-ideologinya. Namun, seperti Sarman, Seno masih terjebak dalam kelompok dominan (penguasa) yang berideologi kapitalisme."
Ambon: Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, 2019
400 JIKKT 7:1 (2019)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Mohammad Rinaldi
"Penelitian ini menempatkan media massa sebagai ruang kontestasi. Untuk itu kemudian wacana yang tersaji adalah representasi dari kekuatan yang dominan. Penelitian ini ingin melihat bagaimana keterkaitan hegemoni ideologi demokrasiliberal Amerika terhadap pembentukan wacana war on terror di media massa tanah air. Penelitian ini dilakukan dengan paradigma kritis dan pendekatan kualitatif dengan menggunakan teori ekonomi politik kritis konstruktivis serta menggunakan strategi penelitian Analisis Wacana Kritis. Dengan Analisis Wacana Kritis penelitian kemudian dilakukan di tiga level yaitu pada level mikro yaitu teks dengan menganalisis teks berita, pada level meso yaitu praktik diskursus dengan data wawancara terhadap dua wartawan desk internasional, dan pada level makro yaitu praktik sosiokultural. Untuk memenuhi kriteria kualitas penelitian kritis dilakukan juga analisis historical situatedness. Hasil penelitian menunjukkan adanya keterkaitan antara hegemoni ideologi demokrasi-liberal Amerika Serikat yang dibangun oleh proses sejarah dengan wacana 'War On Terror' yang tersaji kepada publik dalam ruang-ruang media massa.
This research observed mass media as a contested terrain. In such context, the discourse represented through news in mass media was perceived as representing the dominant power. This research analyzed how US liberal-democracy ideology hegemony was taken part into the war on terror discourse propagation throughout Indonesian national mass media. This research applies critical paradigm and qualitative approach with constructivist critical political economy theory and critical discourse analysis strategy. Through conducting critical discourse analysis, this research focuses on three level of analyses: (1) at the micro level, by doing news text analysis, (2) at the meso level, by doing discourse analysis through administering interviews with two journalists in international desk, and (3) at the macro level, by doing socio-cultural practice analysis. To ensure the critical research quality, historical situatedness analysis was undertaken, as well. The result of this research revealed that there is a relation between the US democracy-liberal ideology hegemony that is continuously constructed through historical process with the 'War On Terror' discourse disseminated to the public and represented in mass media."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Muhammad Ammar Rasyad
"Artikel ini membahas mengenai usaha penanaman hegemoni pada pemilihan presiden 2024 melalui debat calon presiden. Pemilu presiden menjadi ajang penting peralihan pemerintahan pada negara demokrasi. Debat capres seringkali hanya dilihat sebagai panggung kampanye saja, tetapi sedikit yang melihat ini sebagai media penanaman hegemoni. Penulis juga menggunakan kerangka market for loyalties dengan menganalogikan debat calon presiden seperti pasar dengan kegiatan jual-beli. Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan, bagaimana hegemoni ditanamkan melalui debat calon presiden 2024? Dan bagaimana identitas masing-masing pasangan calon yang diperjual-belikan dilihat menggunakan kerangka market for loyalties? Temuan pada artikel ini menyebutkan bahwa hegemoni ditanamkan melalui ideologi dan narasi yang dibawa masing-masing pasangan calon dan koalisinya. Pemerintah berperan membatasi pandangan rakyat terhadap ideologi hanya pada 3 pasangan calon presiden melalui debat calon presiden yang ditayangkan melalui media massa dan digital. Ideologi tersebut tercermin pada identitas masing-masing pasangan calon; pasangan calon 01 mewakili identitas keagamaan dan perubahan; 02 mewakili identitas pemuda, loyalitas pada Jokowi, dan keberlanjutan; 03 mewakili identitas PDIP sebagai partai pengusung dan petahana. Temuan ini dapat memberikan gambaran terkait proses penanaman hegemoni yang terjadi dalam debat calon presiden dan membuka kemungkinan penelitian lainnya terkait hegemoni dalam konteks peralihan pemerintahan.
This article discusses the efforts to instill hegemony in the 2024 presidential election through presidential candidate debates. The presidential election is an important event for the transition of government in a democratic country. Presidential debates are often only seen as a campaign stage, but few see this as a medium for planting hegemony. The author also uses the market for loyalties framework by analogizing the presidential candidate debate to a market with buying and selling activities. This research seeks to answer the question, how is hegemony instilled through the 2024 presidential candidate debates? And how is the identity of each candidate pair traded using the market for loyalties framework? The findings in this article state that hegemony is instilled through the ideologies and narratives brought by each candidate pair and their coalition. The government plays a role in limiting the people's view of ideology to only 3 pairs of presidential candidates through presidential candidate debates aired through mass and digital media. The ideology is reflected in the identity of each candidate pair; candidate pair 01 represents religious identity and change; candidate pair 02 represents youth identity, loyalty to Jokowi, and sustainability; candidate pair 03 represents the identity of PDIP as the supporting party and incumbent. These findings can provide an overview of the process of hegemony cultivation that occurs in presidential candidate debates and open up the possibility of other research related to hegemony in the context of the transition of government."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Zen Wisa Sartre
"Penelitian ini membahas representasi hegemoni ideologi intoleran dalam novel Perjalanan ke Akhirat (1969) karya Suherman, komik Siksa Neraka (1999) karya Rahimsyah, dan Kepedihan Siksa Neraka (2017) karya Rohim sebagai ekspresi budaya populer. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan sosiologi sastra dan kajian hegemoni. Hasil dan analisis mengungkapkan bahwa hegemoni ideologi intoleran dalam karya sastra sebagai ekspresi budaya populer direpresentasikan melalui hukuman, siksaan, kritik, dan konstruksi identitas. Suherman, Rahimsyah, dan Rohim sebagai pengarang merepresentasikan hukuman, siksaan, kritik, dan konstruksi identitas yang merujuk pada konsep kafir dalam Periode Makkah Pertama hingga Ketiga. Ketiga pengarang memanfaatkan hukuman, siksaan, dan kritik terhadap tokoh-tokoh yang berdosa dan kafir agar pembaca menyadari pentingnya nilai dan moral. Sementara, konstruksi identitas dimanfaatkan agar pembaca menyadari keberadaan orang lain yang dilabeli kafir karena tidak sesuai dengan nilai dan moral keislaman yang sejalan dengan pemahaman pengarang. Dengan demikian, nilai dan moral keislaman dimanifestasikan pengarang untuk mengklasifikasikan para tokoh sebagai orang yang berdosa dan kafir sehingga layak mendapat hukuman dan siksaan di neraka.
This research discusses the representation of hegemony intolerant ideology in the novel of Perjalanan ke Akhirat (1969) by Suherman, the comics of Siksa Neraka (1999) by Rahimsyah and Kepedihan Siksa Neraka (2017) by Rohim as an expression of popular culture. This research uses a descriptive qualitative method with a sociological approach of literature and hegemony analysis. The results and analysis reveal that hegemony intolerant ideology in literature as an expression of popular culture is represented in punishment, torture, criticism, and identity construction. Suherman, Rahimsyah, and Rahim, as an author represents punishment, torture, criticism, and identity construction that refer to the concept of kufr in the First to Third Meccan Period. Those three authors use punishment, torture, criticism, and identity construction for the characters who are sinful and kufr to make the reader realize the importance of values and morals. Meanwhile, identity construction is used to make the reader realize the existence of other people labeled as kufr because they are not in accordance with Islamic values and morals of the author's understanding. Thus, Islamic values and morals are manifested by the authors to classify the characters as sinners and kufr, so they deserve to receive punishment and torture in hell."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Raisha Sastri Utami
"Fenomena penggunaan bahasa Inggris yang disisipkan dalam lagu-lagu populer yang berbahasa non-Inggris saat ini sedang menjadi tren di kalangan generasi muda yang berasal dari negara-negara yang bahasa aslinya bukan bahasa Inggris. Fenomena ini juga terjadi di negara Korea dengan genre musik mereka yang disebut K-Pop. Akibat perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi, terutama internet, yang begitu pesat, lagu-lagu K-Pop kemudian menyebar dan dikenal luas oleh publik internasional, termasuk di Indonesia. Penyisipan bahasa Inggris dalam lirik lagu K-Pop tersebut memiliki maksud serta tujuan tertentu yang berhubungan dengan cerminan penyampaian identitas si penyanyi.Penelitian ini mengambil contoh lima lirik lagu K-Pop yang dipopulerkan oleh salah satu grup band Korea, Super Junior, dan menelaahnya dengan metode analisis grammar fungsional dan analisis wacana kritis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat penerapan berbagai macam strategi pembentukan identitas (acts of identity) dalam masing-masing lirik lagu yang digunakan untuk menyampaikan representasi wacana identitas tertentu. Fenomena penggunaan bahasa Inggris itu sendiri didorong oleh beberapa latar belakang yang berhubungan dengan hegemoni ideologi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memahami fenomena hibridisasi bahasa Inggris dengan bahasa lain dalam sebuah teks lagu serta membantu pemahaman wacana identitas serta faktor makro-sosiologi ideologi hegemoni yang melatarbelakanginya.
The phenomena of English usage in non-English songs have become a widespread trend among young generation whose native language is not English. This also happens in Korea and in their respective music genre, called K-Pop. Through the fast development of information and telecommunication technology, especially internet have caused K-Pop songs to spread and be known throughout the world mass, including Indonesia. The use of English in K-Pop popular song has particular purpose and meaning related to the representation of identities of its singer. This research has taken samples from five song's lyrics which are popularized by Super Junior, one of K-Pop boy band from South Korea, and has analyzed them through systemic functional grammar and critical discourse analysis.The result of the research indicates that there is application of some acts of identity on each lyric which is used to portray different representations of identities. The phenomena of English usage itself have to do with certain backgrounds driven by hegemonic ideology. This research is expected to help people understand the growing phenomena of English hybridization in popular song's lyrics and to make them aware of the discourse of identity and macrosociological factor, such as hegemony of ideology, which underlie them."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S126
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library