Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 242 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Taufik Mansur
1987
S19149
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Yulian Suhandi
"ABSTRAK
Masyarakat Lampung Pesisir menggunakan sistem
kewarisan mayorat laki-laki, dimana anak laki-laki tertua
berhak atas seluruh harta peninggalan dan sebagai penerus
keturunan mereka. Tujuan penelitian dalam tesis ini
adalah : 1) untuk mengetahui bagaimanakah jika dalam suatu
keluarga pada masyarakat adat Lampung Pesisir tidak
mempunyai keturunan laki-laki 2) Untuk mengetahui
bagaimanakah tanggung jawab anak laki-laki tertua terhadap
harta peninggalan dan terhadap keluarga dalam perkawinan
jujur. 3) Untuk mengetahui bagaimanakah pengaruh agama
Islam terhadap penerusan harta peninggalan dalam penerapan
sistem mayorat laki-laki. Penelitian ini menggunakan metode
destkriptif analitis dengan pendekatan kualitatif. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah menggunakan data
primer dilakukan dengan wawancara dan sebagai pendukung
data sekunder dilakukan dengan studi kepustakaan.
Berdasarkan hasil penelitian, cara meneruskan keturunan
jika tidak ada anak laki-laki, maka anak perempuan akan
melakukan perkawinan semanda, yaitu perkawinan "ambil lakilaki", istilah Lampung Pesisir Ngakuk Ragah. Anak laki-laki tertua bagi masyarakat adat Lampung Pesisir bertanggung
jawab sebagai kepala rumah tangga dalam kedudukan adat
maupun terhadap harta peninggalan orang tua. Agama Islam
telah masuk ke daerah ini sejak abad 16 saat pemerintahan
Maulana Hasanuddin di Banten yang bekerja sama dengan para
punyimbang adat setempat. Hal ini mengakibatkan sebagian
masyarakat adat sudah menggunakan hukum Islam dalam proses
penerusan harta peninggalan. Dengan demikian dapat
disimpulkan masyarakat adat Lampung Pesisir masih
mengutamakan kedudukan anak laki-laki sebagai penerus
keturunan, tetapi dalam penerusan harta peninggalan
sebagian masyarakat adat sudah menggunakan hukum Islam,
terutama masyarakat di perkotaan."
2005
T37741
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hariki Harsono
"Kehidupan rumah tangga yang selayaknya berlangsung adalah adanya kerukunan antara suami isteri. Akan tetapi hal itu sering tidak terwujud, karena beberapa masalah, yaitu a.l. tidak dipenuhinya hak dan kewajiban, serta soal harta bersama suami isteri. Permasalahan dalam skripsi ini adalah mengenai pembagian harta bersama suami isteri setelah perceraian ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Undang-undang Perkawinan mengatur tentang Harta Benda Dalam Perkawinan dalam Bab VII pasal 35, pasal 36, dan pasal 37, sedangkan Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai Harta Kekayaan Dalam Perkawinan dalam Bab XIII pasal 85 sampai dengan pasal 97. Meskipun terdapat persamaan-persamaan antara ketentuanketentuan dalam Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, terdapat pula perbedaan-perbedaannya, namun tidak saling bertentangan. Dalam menyusun skripsi ini dikumpulkan bahan pustaka dan dilakukan penelitian lapangan, a.l. ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan sekaligus memperoleh putusan No. 45/PDT.G/2005/PAJS. Tujuan skripsi ini adalah untuk mengetahui apakah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur mengenai harta bersama suami isteri, bagaimana Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai pembagian harta bersama suami isteri setelah putusnya perkawinan, dan menganalisa apakah seorang suami yang bersikap sewenang-wenang memperoleh harta bersama sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Untuk memutuskan perkara tersebut Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan memasukkan dalam pertimbangannya a. l. pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yang menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan pasal 37 Undang-undang Perkawinan jo pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, yang menentukan bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Oleh karena para pihak dalam kasus tersebut tidak membuat perjanjian perkawinan, maka Majelis Hakim tersebut telah membuat keputusan yang telah sesuai dengan ketentuanketentuan yang berlaku."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia;, ], 2008
S23373
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ramelan P. Utojo
Jakarta: LDF, 2008
345 RAM p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Attya Nathania
"ABSTRAK
Harta warisan yang belum dibagi merupakan hak kepemilikan seluruh ahli waris secara bersama-sama. Apabila ingin diadakan pengalihan, maka harus diketahui dan disetujui oleh seluruh ahli waris. Permasalahan muncul ketika salah seorang ahli waris melakukan pengalihan tanpa diketahui dan mendapat persetujuan dari ahli waris lainnya. Pengaturan mengenai hal ini dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak diatur secara tegas yaitu tidak diaturnya akibat apabila terjadi pengalihan harta warisan oleh ahli waris tanpa sepengetahuan dan izin dari ahli waris lainnya. Oleh sebab itu, seharusnya pengaturan mengenai waris ini diperbaharui undang-undangnya karena sudah tidak mengakomodir permasalahan waris yang baru timbul.
"
"
"ABSTRACT
"
Undivided Inheritance is an ownership rights owned by the Heirs all together. Transferring assets of the Inheritance, must be noticed and approved by all the Heirs. The problem would arise when one of the heirs transfers the Inheritance property unnoticed and unapproved by the other heirs. The Indonesian Civil Code does not explicitly express about the consequences of transferring the inheritance assets without the other Heirs noticing and also approving it. Therefore, the regulation itself needs to be updated because it does not accomodate the newly arisen inheritance issue. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adennisa Cahya Pramesti
"Pasal 37 UU Perkawinan telah menentukan bahwa apabila perkawinan bubar karena perceraian, maka harta bersama dibagi menurut hukumnya masing-masing. Pasal tersebut memberikan pengertian terhadap apa yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing, yakni adalah hukum adat, hukum agama, dan hukum-hukum lainnya. Namun permasalahannya adalah hingga saat ini tidak ada ketentuan mengenai bagaimana bentuk pembagian harta bersama tersebut. Tidak jarang masyarakat kemudian memilih untuk membuat suatu kesepakatan mengenai pembagian harta bersama dalam bentuk akta Notaris agar kemudian akta tersebut memiliki nilai autentisitas. Suatu akta Notaris sendiri merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak dan karenanya suatu akta Notaris berkedudukan sebagai perjanjian yang mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Penelitian ini menganalisis tentang bagaimana kedudukan dan dasar hukum akta pembagian harta bersama menurut UU Perkawinan dan KUHPerdata dan bagaimana keabsahan suatu akta pembagian harta sebagai suatu perjanjian berdasarkan studi kasus. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan meneliti bahan kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih terdapat kekosongan hukum mengenai kedudukan akta pembagian harta bersama sebagai suatu perjanjian dalam bidang hukum keluarga sehingga dasar hukum yang dipakai hanya sebatas Pasal 37 UU Perkawinan dan ketentuan hukum perjanjian dalam Buku III KUHPerdata. Kedudukan akta pembagian harta bersama yang disamakan dengan perjanjian, maka Majelis Hakim sudah seharusnya dapat memberikan pertimbangan hukum dalam suatu perkara yang tidak hanya berangkat dari bunyi kesepakatan, melainkan juga harus menimbang bagaimana keabsahan dari kesepakatan itu sendiri. Majelis Hakim memiliki wewenang untuk membatasi asas kebebasan berkontrak dengan berangkat dari nilai-nilai kepatutan, keadilan, dan perikemanusiaan. Dengan demikian, dibutuhkan suatu pembaharuan undang-undang dalam bidang hukum perkawinan agar sekiranya dapat mengisi kekosongan hukum di masyarakat yang sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang kian kompleks. Wewenang menemukan hukum oleh Hakim sudah seharusnya diterapkan bilamana ada kekosongan hukum. Sekiranya Hakim juga dapat bersikap lebih bijaksana dalam memutus perkara dengan memandang semua aspek agar menghasilkan putusan yang memenuhi rasa keadilan.

Article 37 of the Marriage Law stipulates that if a marriage is dissolved by divorce, the marital property shall be divided according to their respective laws. The article provides an understanding of what is meant by their respective laws, namely customary law, religious law, and other laws. However, the problem is that until now there are no provisions regarding how the form of division of marital property. It is not uncommon for the community to then choose to make an agreement regarding the division of marital property in the form of a Notarial deed so that the deed has authenticity. A Notarial deed itself is a manifestation of the principle of freedom of contract and therefore a Notarial deed acts as a binding agreement for the parties who make it. This research analyzes how the position and legal basis of the deed of division of marital property according to the Marriage Law and Civil Code and how the validity of a deed of division of property as an agreement based on a case study. The research method used is normative juridical by examining literature materials. The results of this study indicate that there is still a legal vacuum regarding the position of the deed of division of marital property as an agreement in the field of family law so that the legal basis used is limited to Article 37 of the Marriage Law and the provisions of agreement law in Book III of the Civil Code. The position of the deed of division of marital property is equated with an agreement, so the Panel of Judges should be able to provide legal considerations in a case that does not only depart from the sound of the agreement, but must also consider how the validity of the agreement itself. Judges have the authority to limit the principle of freedom of contract by departing from the values of decency, justice, and humanity. Thus, it is necessary to reform the law in the field of marriage law so that it can fill the legal vacuum in society in line with the increasingly complex needs of society. The authority to made law by judges should be applied when there is a legal vacuum. If the Judge can also be wiser in deciding cases by looking at all aspects in order to produce a decision that fulfills a sense of justice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Junita Sari Ujung
"Kurator memiliki peranan yang penting dalam suatu kepailitan untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Pasal 1 butir 5 Undangundang nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Dalam melaksanakan tugas pemberesan dan pengurusan harta pailit, Kurator harus independent dan tidak berpihak terhadap salah satu pihak. Akan tetapi dalam prakteknya tugas ini tidak mudah dan dapat dijalankan dengan mulus. Sulit sekali menjaga hubungan yang seimbang antara Kurator dengan Kreditor, Kurator dengan Debitor dan Kurator dengan Hakim Pengawas. Kurator dalam melaksanakan tugasnya harus dapat mendata/mengumpulkan harta Debitor, agar dapat membayarkan utang-utang Debitor terhadap para Kreditor. Dalam pelaksanaannya bisa saja Debitor tidak kooperatif, sehingga Kurator kesulitan menjalankan tugasnya. Kurator yang berpihak kepada Debitor dengan cara menutup-nutupi keberadaan harta pailit dapat berakibat tidak terbayarnya utang Debitor terhadap Kreditor. Kurator yang berpihak kepada Kreditor, sehingga dalam penjualan benda-benda harta pailit, tidak melelangnya dengan harta yang patut juga dapat merugikan Debitor.Independensi Kurator sangatlah penting dalam rangka pelaksanaan tugas Kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit pada suatu kepailitan, agar tugasnya dapat terlaksana dengan baik. Akibat dari Kurator yang tidak independent adalah tidak tercapainya keadilan dalam suatu pemberesan dan pengurusan harta pailit yang menjadi tugas Kurator. Oleh sebab itu sebelum menerima penunjukannya sebagai Kurator dalam suatu kepailitan, Kurator harus mengukur kemampuannya apakah mampu mengurus dan membereskan harta pailit, memeriksa apakah ada benturan kepentingan dengan salah satu pihak dan yakin dapat bersikap adil terhadap setiap pihak.

Receiver plays a significant role in a bankruptcy proceeding for administration and settlement proceedings of the bankrupt estate. Section 5 of Article 1 of Law number 37 of 2004 regarding Bankruptcy and Moratorium stipulates that the Receiver shall mean the Probate Court or an individual appointed by court for the purpose of administration and settlement of the bankrupt-Debtor?s assets under supervision of the Supervisory Judge. In performing the settlement and administration process upon the bankrupt estate, the Receiver must be independent and not in favour of either party. However, in practice, this stand is not easily and not smoothly carried out. It is a very heavy task to keep in balance positions between the Receiver and Creditors, Receiver and Debtor, and Receiver and the Supervisory Judge. The Receiver, in performing its duties, must be able to collect/gather the Debtor?s assets for the purpose of repayment of the Debtor?s debts to Creditors. In practice, it is possible that the Debtor is not cooperative and as a consequence, the Receiver will deal with barriers in performing its duties. The Receiver that stands for the Debtor by way of concealing the existence of the bankrupt estate may cause the Debtor?s debts owed to Creditors being unpaid. Otherwise, the Receiver that stands for Creditors which, in the disposal of the bankrupt estate, does not auction any appropriate assets will also bring about loss towards Debtor. Independence of the Receiver is crucial for the performance of the Receiver?s duties in administering and settling the bankrupt estate in a bankruptcy proceeding, in order that the duties of the Receiver can be performed well. The consequence of the Receiver which is not independent may cause fairness in the settlement and administration proceedings of the bankrupt estate under the Receiver?s duties can not be attained. Therefore, before accepting its appointment as a Receiver under a bankrupt proceeding, the Receiver must be aware of its capabilities in administering and settling the bankrupt estate and to examine whether there will be conflict of interest with either party, and certain that being able to be fair towards parties."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T24713
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tania Permatasari
"Hidup bersama sangat penting di dalam masyarakat. Akibat paling dekat ialah bahwa dengan hidup bersama antara dua orang manusia ini mereka sekedar menyendirikan diri dari anggota-anggota lain masyarakat. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 Undang-undang Perkawinan). Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannya dengan keturunan yang merupakan pula tujuan dari perkawinan, sedangkan pemeliharaan dan pendidikan anak menjadi hak dan kewajiban dari orang tua. Namun dalam kenyataannya sekarang ini masih banyak suami-istri yang bercerai. Perceraian merupakan upaya atau jalan keluar terakhir dalam menyelesaikan perselisishan dalam perkawinan. Dan perceraian adalah sesuatu yang dibenci oleh Tuhan. Akan tetapi menjadi diperbolehkan karena dipengaruhi oleh beberapa faktor atau sebab-sebab tertentu. Akibat perceraian akan berpengaruh terhadap hubungan suami-istri, anak, harta bersama dan nafkah. Semuanya itu harus difikirkan oleh mereka yang bercerai. Pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah apakah penyebab putusnya hubungan perkawinan dalam Putusan Nomor 270/Pdt.G/2001/PN.JKT.BAR berdasarkan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975? Bagaimana penerapan pada Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berkaitan dengan harta bersama karena perceraian? Dan bagaimana proses pembuatan perjanjian pembagian harta bersama yang dibuat oleh Notaris dan akibat hukum yang timbul dari perjanjian pembagian harta bersama tersebut? Kemudian dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif. Macam bahan hukumnya atau sumber/jenis data sekunder yang dipakai dalam penulisan ini, meliputi bahan hukum primer, terdiri Undang-undang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yurisprudensi. Bahan hukum sekunder, terdiri buku-buku hukum. Dan bahan hukum tersier, terdiri abstrak, ensiklopedi, kamus, dan penerbitan pemerintah. Sedangkan metode analisa data yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Kesimpulan yang diperoleh dari penulisan ini adalah bahwa antara penggugat dan tergugat telah bercerai dengan sebab-sebab yang telah sesuai dengan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan harta bersama karena perceraian dapat diatur menurut hukumnya masing-masing (hukum agama/hukum adat/hukum lainnya), serta perjanjian pembagian harta bersama untuk dinyatakan otentik maka dibuat oleh Notaris yang berwenang.

Living together is very important in the community. The proximate consequence of living together between a man and a woman is not just segregating from the other members of the community. Marriage is a material and conjugal bond between a man and a woman as a married couple intended to form a happy and everlasting family (household) based on the One Supreme God (Article 1 of Law Of Marriage). Forming a happy family highly relates to descent being the purpose of marriage and parent is responsible for raising and educating their child(-ren). But, in fact, many married couples are divorced now. Divorce is the last effort or solution to settle marital dispute and something God hates but allows due to factors or causes. Divorce will influence marital status, child(-ren), joint property and conjugal rights. Those intending to divorce have to think of the same. The main problem in this thesis is what the causes of separation of marital relationship in a Judgment Number 270/Pdt.G/PN.JKT.BAR based on Article 9 of Government Regulation Number 9 Of 1975?. How the application of Article 37 of Law Number 1 Of 1974 relates to joint property due to divorce? where the joint property is stipulated according to the respective laws. ?The respective laws? mean religious law, traditional law, other laws. And how the process of drawing up joint property division agreement before a Notary Public and legal consequences arising from the joint property division agreement?. After that in this study, the writer uses normative law bibliographic study methods. Laws material kind its or source / secondary data type that is used in this writing, covering primary law materials, consisting of Law of Marriage, Government Regulation Number 9 Of 1975, jurisprudence. Secondary legal materials consist of law books. And tertiary law material, consist abstractedly, encyclopaedia, dictionary, and government publication. In analyzing this case, the writer uses qualitative analytical methods by connecting the case to the theories contained in legal materials. Conclusion in this thesis is that the plaintiff and the defendant divorced with the causes complying with Article 19 of Government Regulation Number 9 Of 1975, and joint property due to divorce can be stipulated according to the respective laws (religious law/traditional law/other laws), and joint property division agreement is drawn up before a Notary Public for authentication."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27458
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hermien Hadiati Koeswadji
Surabaya: Sinar Wijaya, 1984
345.05 HER d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>