Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
Rr. Wulan Kusuma Wardhani
"Komisi Nasional Hak Asasi Manusia adalah lembaga yang berwenang untuk menyelidiki pelanggaran HAM berat berdasarkan pasal 18 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sebagai penyelidik pelanggaran HAM berat, Komnas HAM, mempunyai beberapa wewenang yang diantaranya diatur dalam pasal 19 ayat (1) huruf g UU No. 26 Tahun 2000. Wewenang tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan upaya paksa, yang dilakukan atas perintah penyidik. Di dalam UU No. 26 Tahun 2000 tidak dijelaskan pihak yang bertanggung jawab atas upaya paksa tersebut. Selain itu, di dalam UU No. 26 Tahun 2000 juga tidak dijelaskan mengenai lembaga yang berfungsi untuk mengawasi tindakan upaya paksa tersebut. Hal ini menimbulkan permasalahan apabila tindakan upaya paksa berdasarkan pasal 19 ayat (1) tersebut dilakukan tidak sesuai dengan hukum. Menurut pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000, apabila tidak ditentukan lain maka hukum acara yang digunakan adalah berdasarkan KUHAP. Permasalahannya, KUHAP tidak mengatur praperadilan terhadap penyelidik padahal ada kemungkinan penyelidik melakukan tindakan upaya paksa yang tidak sesuai dengan hukum. Menurut doktrin habeas corpus, setiap tindakan upaya paksa merupakan pelanggaran terhadap HAM, oleh karena itu diperlukan lembaga pengawasan terhadap setiap tindakan upaya paksa. Hampir setiap upaya paksa memerlukan campur tangan pengadilan. Pada kenyataannya, upaya paksa yang dilakukan oleh Komnas HAM tidak dapat dilaksanakan karena belum terbentuknya Pengadilan HAM ad hoc."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S22250
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Carías, Allan-Randolph Brewer
"Together with the expansive process of human rights constitutional declarations, in addition to the writ of habeas corpus and of habeas data, Latin American constitutions created a specific judicial remedy for the protection of constitutional rights, known as the suit, action, recourse, or writ of amparo. After spreading throughout Latin America, it was incorporated in the American Convention of Human Rights. It is similar to the 'injunctions' and the other equitable remedies of the United States legal system. This book examines, with a comparative constitutional law approach, trends in the constitutional and legal regulations in all Latin American countries regarding the amparo proceeding. It is an abridged version of the course of lectures the author gave at the Columbia Law School analyzing the regulations of the seventeen amparo statutes in force in Latin America, as well as the regulation on the amparo guarantee established in Article 25 of the American Convention on Human Rights."
New York: Cambridge University Press, 2009
e20528036
eBooks Universitas Indonesia Library
Tambunan, Herbet Pardamean
"Skripsi ini membahas mengenai limitasi atau batasan penghentian penyidikan berdasarkan kurang alat bukti atau bukan merupakan suatu tindak pidana. Kewenangan polisi sebagai penyidik merupakan kewenangan yang sangat besar dalam proses hukum acara pidana karena polisi sebagai penyidik menentukan apakah suatu peristiwa pidana dapat dilanjutkan ke tahap persidangan atau tidak. Penghentian penyidikan serta penjelasan terhadap alasan penghentian penyidikan itu sendiri serta batasan-batasannya tidak dijabarkan secara rinci oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU No. 8 Tahun 1981). Terhadap kasus 14 perusahaan di Provinsi Riau yang diduga melakukan tindak pidana illegal logging, penyidik akhirnya mengeluarkan SP3 terhadap kasus tersebut di bulan Desember 2008 dengan alasan kurang alat bukti dan bukan merupakan suatu tindak pidana tanpa ada penjelasan apapun. Oleh karena itu, subjektifitas penyidik yang menjadi dasar dalam menentukan suatu peristiwa pidana harus dihentikan ataupun dilanjutkan dapat menimbulkan dampak negatif seperti adanya conflict of interest antara penyidik dengan tersangka atau penyidik dengan penegak hukum lainnya.
This thesis dicusses about termination of investigation limitations based on the absence of sufficient evidence and an event which did not constitute an offense, by virtue of law. The competence of police as investigator is a high competence in a criminal procedural law process because they have competence to determine the criminal events can be brought into the court or not. The explaination of termination of investigation, the reasons, and the limitations are not described in details by Indonesia Criminal Procedure Code (Act. No. 8 Year 1981). Recording to the case of 14 companies in Riau which expected as illegal logging criminal offender, the investigator finally releasing the SP3 in December 2008 without any explanations. The subjectivity of the investigator, which becoming the basic to determine should be terminated or continued, could cause the negative effects, in example conflict of interest between investigator and the suspected or investigator and the other law enforcement officers."
2012
S43132
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library