Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 44 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Krisno Legowo
"Keluarnya Peraturan-peraturan Pemerintah, terutama terbitnya Keputusan Presidium Kabinet No. 1271UIKep11211966 dan diikuti Peraturan Peiaksanaannya tentang ganti nama yang ditujukan bagi Warga Negara Indonesia yang memakai nama Gina adalah upaya pemerintah dalam nation dan character building Indonesia.
Ganti nama dari orang-orang WNI keturunan Gina mengganti nama-namanya menjadi nama-nama yang lazim di Indonesia telah mempercepat proses asimilasi, yang secara perorangan membaur kedalam masyarakat setempat Indonesia, bersamaan terjadi proses melunturnya identitas kelompok etnis yang disandangnya. identitas etnik memiliki sisi internal dan eksternal. Sisi internal adalah kesadaran seseorang dalam pengetahuannya mengenal dan menelusuri asal usul leluhumya. Sedangkan tanda eksternal adalah tanda-tanda konkrit berupa atribut atau simbol antara lain yaitu nama.
Perubahan atas nama-nama Cina secara perorangan memiliki problemaiknya sendiri di tingkat hubungan sosial dan budaya. Nama Cina sebagai suatu tanda yang berupa kata benda, tampak perubahannya terjadi bermacammacam. Perubahan dapat terjadi sebagian masih menggunakan unsur nama lamanya digabung dengan nama-nama yang lazim dipakai di Indonesia seperti bersumber dari unsur keagamaan setempat dan nama marga dari suatu etnik tertentu di Indonesia. Ada nama yang sama sekali berubah serta ada yang mendasarkan pada suara dari sebutan nama lamanya dipakai menjadi nama diri yang bernuansa Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anderson, Ronald A.
Cincinnati, Ohio: South-Western Publishing Company, 1950
343.73 AND g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
cover
Abdul Aziz Billah Djangaritu
"Di Negara Indonesia terdapat begitu banyak Peraturan Perundang-undangan, sehingga menjadi suatu masalah di mana terdapat disharmonisasi atau tumpang tindih pengaturan di dalamnya yang mengakibatkan permasalahan-permasalahan lainnya timbul dan menghambat aktivitas bernegara. Penyelesaian Disharmonisasi Peraturan Perundang-undangan saat ini di Indonesia tidak hanya berupa Judicial review, melainkan terdapat pula legislative review, dan executive review. Penelitian ini memfokuskan pembahasan terhadap kedudukan hukum kewenangan executive review yang memiliki pro dan kontra akan pelaksanaanya seperti halnya yang tertuang pada Peraturan Menteri dan Hak Asasi Manusia Nomor 2 tahun 2019 tentang Penyelesaian Disharmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Melalui Mediasi yang dinilai memiliki bentuk baru dalam sistem hukum di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan tipologi penelitian preskriptif, sedangkan untuk metode analisis data yaitu kualitatif. Penyelesaian Permasalahan disharmonisasi di luar pengadilan selama ini, dinilai tidak begitu berhasil. Dengan demikian untuk mendukung kebijakan reformasi regulasi oleh Presiden, maka kewenangan Mediasi Permasalahan Peraturan Perundang-undangan pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia hadir sebagai alternatif penyelesaian permasalahan disharmonisasi yang ada pada peraturan perundang-undangan. Pada pelaksanaanya, hasil mediasi dinilai tidak efektif dikarenakan adanya hasil kesepakatan dari para pihak yang tidak terealisasikan. Oleh karenanya, perlu dilakukan penguatan terhadap kewenangan penyelesaian permasalahan disharmonisasi peraturan perundang-undangan di luar pengadilan dengan cara diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dan diakomodir dalam suatu lembaga negara yang fungsinya dikhususkan untuk menangani permasalahan peraturan perundang-undangan pada pemerintah di Indonesia. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi sengketa antar kelembagaan negara dalam mengharmonisasikan regulasi terhadap lingkup kewenangannya masing-masing.

In the State of Indonesia there are so many Regulations that it becomes a problem where there is disharmony or overlapping arrangements that cause other problems to arise and hinder state activities. Settlement of Disharmonization Current regulations in Indonesia are not only in the form of Judicial reviews, but there are also legislative reviews and executive reviews. This study focuses on the discussion of the legal position of executive review authority that has pros and cons of implementing it. This can be seen in Ministerial Regulation and Human Rights Number 2 of 2019 concerning the Settlement of Disharmonization of Laws and Regulations through Mediation which is considered to have a new form in the legal system in Indonesia. The method used in this research is normative juridical with prescriptive research typology, while the data analysis method is qualitative. Settlement of disharmony matters outside the court all this time, is considered not very successful. Thus to support the policy of regulatory reform by the President, the authority of Mediation on Regulatory Issues at the Ministry of Law and Human Rights exists as an alternative solution to the problem of disharmony in the regulations in Indonesia. In the implementation, the mediation results are considered ineffective because of the agreement results from the parties that are not realized. Therefore, it is necessary to strengthen the authority to resolve the problem of disharmonization of regulations outside the court by being regulated by regulations that are higher in status and accommodated in a state institution whose function is devoted to handling regulatory issues in the government in Indonesia. This is intended to prevent disputes between state institutions in harmonizing regulations regarding the scope of their respective authorities."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Hariadi
"Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang merupakan suatu studi kelayakan dari aspek lingkungan, dalam prakteknya disusun setelah suatu kegiatan berjalan, sehingga tidak sesuai dengan maksud dari penetapan kebijakan tentang AMDAL tersebut. George C. Edward III mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi, dan prosedur operasi standar.
Penelitian terhadap pelaksanaan kebijakan tentang AMDAL ini dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif, yang memberikan gambaran pelaksanaan kebijakan tentang AMDAL (PP No. 51 Tahun 1993) di Komisi AMDAL Daerah DKI Jakarta dan pembahasan atas pelaksanaan kebijakan tersebut secara kualitatif dengan mengacu pada faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan di atas.
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa komunikasi tentang isi kebijakan telah dilaksanakan dengan baik melalui kegiatan periodik berupa penyegaran kepada para instansi terkait dan konsultasi regional pelaksanaan AMDAL se-Jawa yang dikoorfinir oleh Pemerintah Pusat. Dari faktor sumber daya diperoleh bahwa sumber daya manusia pelaksana kebijakan ini tidak mencukupi baik dari mutu maupun jumlahnya. Sebagian besar anggota Komisi yang aktif secara formal belum memiliki dasar-dasar tentang AMDAL, dan minimnya jumlah tenaga pelaksana di lapangan dalam melakukan pengawasan. Sedangkan dari sumber daya kewenangan diketahui bahwa kewenangan yang dimiliki oleh Komisi maupun oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah tidak memadai untuk dapat melaksanakan kebijakan ini dengan baik. Kewenangan tersebut berada pada instansi pembina dan pemberi izin.
Dari faktor disposisi/sikap aparat diketahui bahwa sikap aparat yang bertugas pada instansi pembina dan pemberi izin kurang mendukung dengan tidak mewajibkan penyusunan AMDAL sebagai salah satu syarat perizinan. Dari faktor prosedur operasi standar, telah dikeluarkan lnstruksi Gubernur Nomor 84 Tahun 1997 yang mewajibkan penyusunan AMDAL sebagai persyaratan perizinan daerah. Instruksi ini juga kurang membantu pelaksanaan kebijakan tentang AMDAL selain karena dikeluarkan setelah kebijakan tentang AMDAL berjalan selama empat tahun, juga karena sikap kurang mendukung dari aparat pelaksana pada mstansi-instansi terkait."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurkholis
"ABSTRAK
Kebijakan desentralisasi di Indonesia secara tegas mulai dilaksanakan pada tahun 2001, dan telah membawa perubahan yang besar terhadap kondisi perekonomian daerah. Saiah satu usaha dalam meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat pembangunan perekonomian daerah, pengelolaan potensi daerah, dan terwujudnya kesejahteraan masyarakat di samping sebagai sarana percepatan pertumbuhan kehidupan berdemokrasi dalam era desentralisasi adalah kebijakan pembentukan daerah. Pembentukan daerah yang secara massive terjadi adalah berupa pemekaran wilayah, khususnya wilayah Kabupaten/Kota. Terkait dengan kebijakan desentralisasi dan pembentukan daerah, ukuran yang optimal bagi pemerintahan daerah menemukan urgensinya karena memiliki keserasian dan kesinergian dalam mencapai tujuan pembangunan ekonomi daerah. Studi ini berusaha mengidentifikasi faktor-faktor yang signifikan dipertimbangkan dalam proses pemekaran daerah selama ini dan mengukur ukuran optimal bagi pemerintahan Kabupaten/Kota yang mendukung terwujud dan tercapainya tujuan dari kebijakan desentralisasi. Dari hasil studi ini, nantinya akan dapat disimpulkan bagaimana pola reformasi terhadap pemerintahan Kabupaten/Kota di Indonesia yang sehanisnya dilakukan. Hasil analisis dengan menggunakan model probit menunjukkan bahwa suatu wilayah Kabupaten/Kota akan memiliki peluang besar/kecenderungan untuk dimekarkan selama ini adalah apabila daerah tersebut (berdasarkan urutan bobot pertimbangan, dari yang terbesar sampai terkecil): a) terletak di luar Jawa dan Bali; b) daerah berstatus Kabupaten; c) memiliki rasio PDS terhadap pengeluaran total yang besar; d) bukan daerah Baru basil pemekaran; e) memiliki PDRB yang berkontribusi besar terhadap PDRB total (atas dasar harga berlaku) seluruh Kabupaten/Kota dalam satu Provinsi; f) mempunyai jumlah penduduk yang besar; g) mempunyai wilayah yang cukup luas; h) mendapatkan alokasi DAU yang besar; dan i) memiliki nilai PDRB yang relatif kecil. Dari faktor-faktor yang signifikan menjadi pertimbangan dilakukannya pemekaran wilayah selama ini tersebut, terlihat bahwa kinerja dari pembangunan daerah masih belum/tidak signifikan untuk dipertimbangkan. Hasil regresi fungsi translog dan fungsi kuadratik dengan menggunakan pendekatan minimisasi pengeluaran per kapita menunjukkan eksistensi economies of scale dari besarnya jumlah penduduk Kabupaten/Kota. Dengan menggunakan pendekatan maksimisasi, ditunjukkan pula bahwa pengeluaran Pemerintah KabupatenlKota selama ini belum efisien dan belum mendukung upaya pencapaian kinerja pembangunan seperti yang dicita-citakan.
Dengan berbagai ketentuan, variabel yang signifikan digunakan dalam pengukuran ukuran optimal adalah jumlah penduduk. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan pendekatan minimisasi dan maksimisasi, ukuran optimal bagi KabupatenlKota yang diperoleh tidak tunggal (berbeda-beda), baik antara Kabupaten dan Kota, antar setiap jenis pengeluaran per kapita, maupun antar waktu. Hasil perhitungan dengan pendekatan maksimisasi dan minimisasi menunjukkan adanya sating kesinergian. Secara umum, ukuran jumlah penduduk yang optimal bagi daerah KabupatenlKota agar pengeluaran per kapita dapat minimum dan jumlah penduduk minimal agar PDRB per kapita dapat meningkat adalah sekitar 2 (dua) juta jiwa. Realitas ukuran Pemerintah Kabupaten/Kota yang secara umum relatif kecil dibandingkan dengan ukuran optimal dan ukuran minimal, menunjukkan masih belum efisiennya pengeluaran Pemerintah Kabupaten/Kota, dan juga belum mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sehingga, kebijakan pemekaran wilayah yang dilakukan selama ini justru membuat semakin tidak tercapainya tujuan utama dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di daerah."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T17157
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Sutrisno
"ABSTRACT
More than two decades government applied the Assessment List of the Performance Implementation (abbreviated, DP3: Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) to assess the work achievement of the civil servant which is appointed through Government Regulation No.10 in 1979. As long as its implementation, the assessment instrument of the work achievement for the civil servant not yet changed or revised neither the substance aspect nor the mechanism of its procedure. In its development when the paradigm of public administrative experienced the change lately DP3 is gazed not relevant to used as the implement of achievement assessor on human resources of the government profession. The implementation of DP3 does not give the significant impact for the management of the civil servant that caused DP3 could not become the objective implement that could be relied on by each government profession to receive the benefit from being carried out of the achievement of the work assessment. DP3 until now is only the bundle yearly that its function only to satisfy the administrative requirement. Until now the utilization of DP3 only for the need of the mutation, the promotion and the salary increase periodically, in fact the assessment function of the work achievement of the civil servant management necessarily could be widened in order to increase the achievement of the government profession and the organization.
Municipal Government of Yogyakarta really cared on the increase efforts in the work achievement and gaze that DP3 has been inappropriate with the requirement for the individual and the organization. Therefore Municipal Government of Yogyakarta compiled the assessment instrument of the work achievement that being enrich of the DP3 implement for considering the work achievement and management. This instrument is the Score Implement of the Work Achievement (abbreviated, APKP: Alat Penilaian Kinerja Pegawai) that its substance same with DP3 especially being linked with elements of the assessment. However from the aspect of the mechanism and the procedure, this assessment is very difference with DP3. This could become added value for APKP compared with DP3, which APKP could become alternative for the achievement assessment on the government profession which could more be relied on than DP3. Municipal Government of Yogyakarta at this time use DP3 and APKP to carried out the implement of work achievement. DP3 is still carried out because this normative implement juridical became the assessment implement of the work achievement in the civil servant management system. Whereas APKP is enrich of DP3, since the results of the APKP assessment converted through DP3.
This research use the qualitative approach that meant to explore the differences and problems dealt with the implementation of the assessment instrument of DP3 and APKP from the perspective of the procedure and the assessment mechanism and also the follow-up of the assessment in order to increase the work achievement. The two assessment implements had several equalities and the difference in accordance with the characteristics and factors that formed the background of the compilation of this assessment implement. The equality between DP3 and APKP are the element of the assessment that used, the assessment ray that caused such as hallo effect, and the follow-up produced by these assessment implements that not yet clear for the government profession.
Whereas the difference are the determination of the professional who will carried out this achievement, if DP3 is only considered by the superior then in APKP the assessment could be carried out by the management, the staff, the workmate and other to become the assessor. Moreover the assessment period of APKP twice in a year whereas DP3 is yearly, APKP used in the wider scope that consider the work achievement such as the passing in the course, the passing in the task and studying permission, and also the other aspect where this does not met in DP3.
DP3 and APKP are two assessment implements of the work achievement that important to continue to be carried out together. DP3 fill the normative juridical aspect in the civil servant system whereas APKP is guided to receive the clearer work achievement at glance. Nevertheless in fact DP3 already to be replaced with the other assessment implement of the work achievement that matched the development and the latest requirement on the importance on the implement of the achievement assessment. Whereas APKP must be the implement of the assessment on work achievement that compiled by Municipal Government of Yogyakarta continue to be developed especially in explication elements of the assessment that necessarily could reflect the work achievement. The study and development of APKP must be carried out in a comprehensive and deep manner towards all the aspects that were related to the assessment of the civil servant achievement so this implement could give the real contribution for its management in Municipal Government of Yogyakarta

ABSTRAK
Lebih dari dua dasawarsa pemerintah menerapkan Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) untuk menilai prestasi kerja pegawai negeri sipil (PNS) yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1979. Sepanjang pelaksanaannya, instrumen penilaian prestasi kerja pegawai negeri sipil tersebut belum sekalipun mengalami perubahan atau revisi baik dari aspek substansi maupun prosedur mekanisme penilaiannya. Dalam perkembangannya ketika paradigma administrasi publik mengalami perubahan seperti pada masa sekarang ini DP3 dipandang sudah tidak relevan lagi untuk digunakan sebagai alat untuk menilai prestasi dan kinerja sumber daya manusia aparatur pemerintah. Pelaksanaan DP3 tidak memberi dampak yang berarti bagi pengelolaan kepegawaian negeri sipil, hal ini disebabkan DP3 tidak mampu menjadi alat yang obyektif yang dapat diandalkan oleh setiap pegawai untuk memperoleh manfaat dari dilaksanakannya penilaian prestasi kerja mereka. DP3 selama ini hanya merupakan berkas isian tahunan yang fungsinya hanya untuk memenuhi kebutuhan administratif saja. Selama ini pemanfaatan DP3 hanya untuk keperluan mutasi, kenaikan pangkat dan kenaikan gaji berkala, padahal fungsi dan kegunaan penilaian prestasi kerja pegawai mestinya dapat diperluas dalam rangka meningkatkan kinerja pegawai dan organisasi.
Pemerintah Kota Yogyakarta sangat peduli terhadap upaya peningkatan kinerja pegawai dan memandang DP3 sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan individu dan organisasi. Maka dari itu Pemerintah Kota Yogyakarta menyusun instrumen penilaian kinerja pegawai yang dimaksudkan untuk menjadi alat pendamping bagi DP3 dalam menilai prestasi dan kinerja pegawai. Instrumen tersebut adalah Alat Penilaian Kinerja Pegawai (APKP) yang dari sisi substansi sebenarnya tidak jauh beda dengan DP3 khususnya berkaitan dengan unsur-unsur penilaiannya. Namun dari aspek mekanisme dan prosedur penilaian kedua alat tersebut memiliki perbedaan. Hal inilah yang dapat menjadi nilai tambah bagi APKP dibandingkan dengan DP3, dimana APKP dapat menjadi alternatif bagi penilaian prestasi dan kinerja pegawai yang dapat lebih diandalkan dibandingkan DP3.
Pemerintah Kota Yogyakarta saat ini menggunakan DP3 dan APKP untuk menilai prestasi dan kinerja pegawai. DP3 masih dilaksanakan sebab secara yuridis normatif alat inilah yang menjadi alat penilaian prestasi kerja yang sah dalam sistem manajemen pegawai negeri sipil. Sedangkan APKP dimaksudkan sebagai pendamping DP3, dimana hasil penilaian melalui APKP dikonversikan ke dalam DP3.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang dimaksudkan untuk mengeksplorasi perbedaan-perbedaan dan masalah-masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan instrumen penilaian kinerja baik melalui DP3 maupun APKP dilihat dari perspektif prosedur dan mekanisme penilaian serta tindak lanjut hasil penilaian dalam rangka meningkatkan kinerja pegawai.
Kedua alat penilaian tersebut memiliki sejumlah persamaan dan perbedaan sesuai dengan karakteristik dan faktor-faktor yang melatarbelakangi penyusunan alat penilaian tersebut. Persamaan antara DP3 dan APKP antara lain meliputi : unsur penilaian yang digunakan, bias penilaian yang ditimbulkan seperti hallo effect, dan tindak lanjut hasil penilaian kedua alat tersebut yang belum jelas bagi pegawai.
Sedangkan perbedaan dari kedua alat tersebut diantaranya adalah : penentuan pegawai yang akan menilai kinerja seseorang, apabila DP3 hanya dinilai oleh atasan maka dalam APKP penilaian dapat dilakukan oleh pimpinan, bawahan, rekan kerja dan lainnya untuk menjadi penilai. Selain itu periode penilaian APKP dua kali dalam setahun sedangkan DP3 sekali setahun, APKP digunakan dalam lingkup yang lebih luas untuk menilai prestasi dan kinerja pegawai seperti kelulusan dalam diklat, kelulusan dalam tugas dan ijin belajar serta aspek lain dimana hal ini tidak terdapat dalam DP3.
DP3 dan APKP adalah dua alat penilaian prestasi dan kinerja pegawai yang sama-sama penting untuk tetap dilaksanakan. DP3 disini untuk memenuhi aspek yuridis normatif dalam sistem kepegawaian negeri sipil sedangkan APKP diarahkan untuk memperoleh gambaran dan potret yang jelas terhadap prestasi dan kinerja pegawai. Namun demikian sebenarnya DP3 sudah waktunya untuk diganti dengan alat penilaian prestasi dan kinerja yang baru disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan terkini tentang pentingnya suatu alat penilaian kinerja. Sedangkan APKP sebagai alat penilaian kinerja yang disusun oleh Pemerintah Kota Yogyakarta perlu terus dikembangkan khususnya dalam penjabaran unsur-unsur penilaian yang seharusnya dapat lebih mencerminkan prestasi dan kinerja pegawai. Kajian dan pengembangan APKP harus dilakukan secara lebih komprehensif dan mendalam terhadap segala aspek yang terkait dengan penilaian prestasi dan kinerja pegawai negeri sipil sehingga alat tersebut dapat memberikan kontribusi yang nyata bagi pembinaan dan pengelolaan pegawai negeri sipil di Pemerintah Kota Yogyakarta."
2007
T19214
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Islamy
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai adanya perjanjian franchise antara Muhaerul dengan PT. Wadha Artha Abadi. yang akan ditinjau berdasarkan Peraturan Perundang-undangan khususnya Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2007 tentang Waralaba Terdapat berbagai persoalan terkait dengan unsur-unsur perjanjian franchise dalam Peraturan Pemerinth Nomor 42 tahun 2007 tentang Waralaba yang tidak terpenuhi oleh perjanjian franchise oleh Muhaerul dengan PT. Wadha Artha abadi sehingga apakah perjanjian franchise ini dapat dikatakan sebagai perjanjijan franchise atau tidak, Peneliti mengajukan pokok permasalahan, yaitu: 1. Bagaimanakah perjanjian franchise antara Muhaerul dengan PT. Wadha Artha Abadi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dengan ketentuan peraturan lainnya yang mengatur mengenai franchise atau waralaba. 2. Bagimanakah akibat hukum dari perjanjian franchise antara Muhaerul dengan PT. Wadha Artha Abadi apabila tidak memenuhi aspek-aspek perjanjian franchise menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. 3. Bagaimanakah upaya hukum dan perlindungan hukum bagi para pihak dari perjanjian franchise

ABSTRAK
This thesis discusses the existence of the franchise agreement between Muhaerul with PT. Wadha Artha Abadi. which will be reviewed based on the legislation in particular Government Regulation No. 42 of 2007 on Franchise There are many problems associated with the elements of his government's franchise agreement in Regulation No. 42 of 2007 on Franchise are not met by the franchise agreement by Muhaerul with PT. Wadha Artha framchise immortal so that if agreement can be said as perjanjijan franchise or not, researchers propose the subject matter, namely: 1. How does the franchise agreement between Muhaerul with PT. Wadha Artha Abadi according to Government Regulation No. 42 Year 2007 on Franchise with other relevant regulations governing the franchise or the franchise? 2. How does legal consequences of franchise agreements between Muhaerul with PT. Wadha Artha Abadi if it does not meet aspects of the franchise agreement under the provisions of Government Regulation No. 42 Year 2007 on Franchise? 3. How are laws and legal protection for the parties to the franchise agreement is Muhaerul with PT. Wadha Artha Abadi."
2016
S63642
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>