Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dina Garniasih, examiner
"Latar belakang: Thalassemia adalah kelainan sel darah merah berupa gangguan sintesis hemoglobin (Hb) yang diturunkan secara autosomal resesif. Transfusi PRC pada pasien transfussion-dependent thalassemia (TDT) menyebabkan akumulasi besi pada berbagai organ, salah satunya kelenjar endokrin. Hal tersebut akan menyebabkan hemosiderosis di hipofisis anterior dan keterlambatan pubertas.
Tujuan: Mendeteksi keterlambatan pubertas menggunakan MRI T2* hipofisis di poliklinik Thalassemia Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Metode: Pemeriksaan MRI dilakukan menggunakan MRI Avanto 1,5 Tesla, sekuen T2 SE. Penghitungan nilai MRI T2* hipofisis menggunakan perangkat lunak CMR Tools TM yang berfungsi menghitung deposit besi pada organ. Dilakukan pemeriksaan kadar feritin serum, FSH, LH testosteron (lelaki), dan estradiol (perempuan) menggunakan electro-chemiluminscence immunoassay (ECLIA). Hubungan antara MRI T2* hipofisis dengan kadar feritin serum, saturasi transferin, FSH, LH, testosteron, dan estradiol dianalisis menggunakan analisis korelasi Pearson.
Hasil: Sebanyak 56 pasien TDT dibagi menjadi 27 subyek usia prapubertas, 14 subyek pubertas normal dan 15 subyek pubertas terlambat. Hasil menunjukkan nilai MRI T2* hipofisis pasien TDT pubertas normal lebih tinggi secara signifikan dibandingkan pubertas terlambat (p=0,000). Terdapat hubungan bermakna antara nilai MRI T2* hipofisis dengan feritin serum (r = -0,502) dan tidak ada hubungan antara MRI T2* hipofisis dengan saturasi transferin, FSH, LH, testosteron, dan estradiol.
Simpulan: Nilai MRI T2* hipofisis TDT pubertas normal lebih tinggi dibandingkan pubertas terlambat.

Background: Thalassemia is an autosomal recessive red blood cells disorder characterized by abnormal hemoglobin (Hb) synthesis. PRC transfusion to transfussion-dependent thalassemia (TDT) patients results in iron accumulation in organs, including endocrine system. It further cause hemosiderosis at anterior hypophysis which leads to delayed puberty.
Objective: To detect patients with delayed puberty using MRI T2* in Thalassemia Clinic Department of Pediatrics Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta.
Method: MRI was assesed with MRI Avanto 1,5 Tesla,T2 SE sequence, whilst T2* hypophysis result being done with CMR Tools TM software, which aims to measure iron deposit. Levels of ferritin serum, FSH, LH, testosterone (male subjects), and estradiol (female subjects) were observed with electro-chemiluminescence immunoassay (ECLIA). Correlation between MRI T2* hypophysis with levels of ferritin serum, transferrin saturation, FSH, LH, testosterone, and estradiol were analyzed with Pearson correlation analysis.
Results: 56 TDT patients were consist of 27 prepuberty subjects, 14 normal puberty subjects, and 15 delayed puberty subjects. Results showed that MRI T2* hypophysis of normal puberty TDT patients was significantly higher compared to delayed puberty patients (p = 0,000). There was significant correlation between MRI T2* hypophysis with ferritin serum (r = -0,502). Meanwhile, there was no significant correlation between MRI T2* hypophysis with transferrin saturation, FSH, LH, testosterone, and estradiol.
Conclusions: Pituitary MRI T2* of TDT patients higher in normal group than that in delayed puberty group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Iriani
"Azoospermia sebagai salah satu penyebab infertilitas dapat disebabkan oleh bermacam-macam faktor, antara lain karena adanya gangguan pada sistem endokrin dan gangguan pada sistem transportasi sperma. Pada penelitian ini telah dilakukan analisis semen dan penentuan kadar FSH dan LH di dalam serum dengan teknik ?Radio Immuno Assay? (RIA) pada pria azoospermia. Hasil analisis semen dari 40 pria azoospermia, 9 pria di antaranya adalah azoospermia dengan fruktosa negatif, dan 31 pria lainnya adalah azoospermia dengan fruktosa positif. Dari 40 pria, 7 orang pria hipergonadotropik (median kadar FSH serum = 28,934 nanogram per mililiter; median kadar LH serum = 30,656 nanogram per mililiter) dan 7 orang pria hipogonadotropik (median kadar FSH serum = 3,917 nanogram per mililiter; median kadar LH serum = 5,951nanogram per mililiter). Dengan uji korelasi jenjang Spearman (Spearman?s Rho) diperoleh kesimpulan ada hubungan antara kadar FSH serum dengan kadar LH serum; tidak ada hubungan antara kadar FSH dan LH serum dengan volume semen; ada hubungan antara kadar FSH serum dengan viskositas semen dan tidak ada hubungan antara kadar LH serum dengan viskositas semen. Dengan uji Mann-Whitney (uji U) diperoleh kesimpulan tidak ada beda antara kadar FSH serum pada azoospermia fruktosa positif dengan kadar FSH serum pada azoospermia fruktosa negatif; Kadar LH serum pada azoospermia fruktosa positif lebih besar daripada kadar LH serum pada azoospermia fruktosa negatif; volume semen pada azoospermia fruktosa positif lebih bayak daripada volume semen pada azoospermia fruktosa negatif. Dan dengan uji X2 diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada beda antara jumlah penderita azoospermia fruktosa positif dengan jumlah penderita azoospermia fruktosa negatif berdasarkan kadar FSH dan LH serum normal, di bawah normal, dan di atas normal."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novita Prasetiawati
"Fertilisasi In Vitro (FIV) merupakan terapi pasutri ingin anak. Berbagai penelitian dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan FIV seperti penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dosis gonadotropin dengan ketebalan endometrium, serta menyelamatkan oosit imatur melalui suplementasi hCG. Analisis retrospektif dilakukan dari 2018 sampai 2021. Hasil yang diamati berupa jumlah oosit didapat, oosit matang, pembuahan, embrio berkualitas baik dan buruk, tingkat kehamilan. Analisis dilakukan terhadap penggunaan total dosis gonadotropin dan ketebalan endometrium serta penyelamatan oosit imatur dengan mengkultur oosit imatur dalam medium suplementasi hCG. Pembagian kelompok berdasarkan penggunaan gonadotropin, yaitu <2200 IU; 2200--3000 IU; dan >3000 IU. Penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara dosis gonadotropin dengan ketebalan endometrium (P>0,05). Dosis gonadotropin 2200--3000 IU menghasilkan kehamilan 48% meskipun tidak bermakna signifikan (P>0,05). Ketebalan endometrium 8--13 mm dan >13 mm memiliki keberhasilan hamil 44% dan 25 % (P>0,05). Gonadotropin tidak berpengaruh terhadap ketebalan endometrium dan kehamilan, namun gonadotropin berpeluang menghasilkan oosit imatur sehingga menurunkan kehamilan. Perlu dilakukan upaya penyelamatan oosit imatur dengan suplementasi 0,5 IU hCG. Suplementasi hCG 0,5 IU menunjukkan persamaan maturitas dengan media kultur (P>0,05). Suplementasi hCG 0,5 IU menunjukkan fertilisasi dengan hasil signifikan (P<0,05). Sehingga supplementasi hCG dapat dijadikan alternatif penyelamatan oosit imatur secara in vitro.

In Vitro Fertilization (IVF) is couple treatment to have baby but its success rate is relatively low. Evaluating gonadotropin effect on endometrium thickness (EMT) and rescue immature oocyte was done to increase IVF success rate. An analytical retrospective study conducted in 2018 until 2021. The results observed were the oocytes obtained, maturation rates, fertilization rates, embryo quality, pregnancy rates. The measurement of EMT was taken on the day hCG administration. The immature oocytes were rescued in solely culture medium and suplemeted hCG. The gonadotropin doses divided into groups: low (<2200 IU); middle (2200--3000 IU); high (>3000 IU). The study showed there was no significant result between gonadotropin with EMT (P>0.05). 2200--3000 IU results 48% in pregnancy (P>0.05). Pregnancy rates in EMT 8--13mm and >13mm were 44% and 25%, respectively (P>0.05). Although gonadotropin doesn’t influence EMT and pregnancy, it produces immature oocytes that could decrease pregnancy rate. Therefore, rescue the immature oocyte by culturing in a suplemented 0.5 IU hCG is needed. There were same oocytes maturity in IVF medium and supplemented hCG. However suplemented hCG produced a higher fertilization rate (P<0.05). Medium with hCG supplemented can be used as an alternative to rescue immature oocyte in vitro."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdurrahman Hadi
"Latar Belakang: Tumor sel germinal mediastinum merupakan kelompok neoplasma gonad yang
sensitif terhadap kemoterapi, namun agresif dan memiliki prognosis buruk. Penegakkan diagnosis
dini yang tepat adalah hal yang penting dan salah satunya adalah dengan penilaian penanda tumor
alpha fetoprotein (AFP) dan beta human chorionic gonadotropin (ßHCG).
Metode: penelitian ini dilakukan dengan desain uji diagnostik dengan pendekatan potong lintang
terhadap pasien tumor sel germinal nonseminoma mediastinum di RSUP Persahabatan sejak
Januari 2015 hingga Desember 2022 dengan mengukur kadar Alfa Fetoprotein dan Human
Chorionic Gonadotropin serum dan dilakukan pemeriksaan histopatologi. Analisis data dilakukan
untuk menguji sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, akurasi diagnostik,
dan analisis kurva receiver operating characteristic (ROC).
Hasil: Dari total 362 subjek yang memenuhi kriteria inklusi, dari kedua penanda tumor AFP dan
ßHCG didapatkansensitivitas 90,77% (IK 95% 80,98% - 96,54%), spesifisitas 97,98% (IK 95%
95,65% - 99,26%), nilai duga positif 90,77% (IK 95% 81,61% - 95,61%), nilai duga negatif
97,98% (IK 95% 95,77% - 99,05%), rasio kekerapan positif 45,4 (IK 95% 20,27 – 99,58), rasio
kekerapan negatif 0,09 (IK 95% 0,04 – 0,2), serta nilai akurasi diagnostik sebesar 96,69% (IK
95% 94,28% - 98,28%).
Kesimpulan: Pemeriksaan kadar Alfa fetoprotein dan ßhuman chorionic gonadotropin memiliki
akurasi 96,69%, sensitivitas 90,77% spesifisitas 97,98%, nilai duga positif 90,77%, nilai duga
negatif = 97,98% dalam penegakkan diagnosis tumor sel germinal nonseminoma mediastinum

Background: Mediastinal germ cell tumors are a group of gonadal neoplasms that are sensitive
to chemotherapy, but very aggressive and have poor prognosis. Early and correct diagnosis is
important, one of them is by measuring tumor markers in serum: alpha-fetoprotein (AFP) and
beta human chorionic gonadotropin (βHCG).
Method: This study was conducted with a diagnostic test with a cross sectional approach design
on patients with mediastinal germ cell tumors at RSUP Persahabatan from January 2015 to
December 2022, and also assessment of tumor markers alpha-fetoprotein (AFP) and beta human
chorionic gonadotropin (βHCG) serum and histopathology examination. Data analysis was
carried out to find the sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value,
diagnostic accuracy, and receiver operating characteristic (ROC)
Results: Of a total of 362 eligible subjects, the sensitivity was 90.77% (95% CI 80.98% -
96.54%), the specificity was 97.98% (95% CI 95.65% - 99.26%), the positive predictive value
was 90.77% (95% CI 81.61% - 95.61%), the negative predictive value was 97.98% (95% CI
95.77% - 99.05%), the positive likelihood ratio was 45.4 (95% CI 20.27 - 99.58), the negative
likelihood ratio was 0.09 (95% CI 0.04 - 0.2), and the diagnostic accuracy was 96.69% (95% CI
94.28% - 98.28%).
Conclusion: the sensitivity was 90.77%, the specificity was 97.98%, the positive predictive value
was 90.77%, the negative predictive value was 97.98%, and the diagnostic accuracy was 96.69%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ervan Surya
"Latar belakang: Fertilisasi in vitro (FIV) merupakan salah satu tata laksana utama dalam penanganan infertilitas. Penyuntikan human Chorionic Gonadotropin (hCG)eksogen merupakan salah satu tahapan penting dalam proses FIV untuk proses maturasi oosit. Walaupun sudah terdapat penelitian sebelumnya mengenai korelasi kedua hal tersebut, namun belum didapatkan suatu model prediksi maturitas oosit.
Tujuan: Mengetahui korelasi kadar serum hCG 12 jam pascapenyuntikan terhadap tingkat maturitas oosit pada FIV dan model prediksi maturitas oosit.
Metode: Penelitian ini merupakan sebuah penelitian potong lintang yang dilakukan pada peserta program FIV di Klinik Yasmin, RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia sejak Januari 2020 hingga Desember 2020. Pasien dengan riwayat prosedur pembedahan ovarium, kemoterapi, radioterapi, dan peserta poor responder dieksklusi dari penelitian. Dilakukan penyuntikan r-hCG 250 µg secara subkutan pada semua subjek. Kadar serum hCG 12 jam pascapenyuntikan dan tingkat maturitas oosit setiap subjek dikumpulkan dan dianalisis.
Hasil: Didapatkan sebanyak 28 subjek yang diikutsertakan dalam penelitian. Didapatkan korelasi yang tidak bermakna antara kadar hCG 12 jam pascapenyuntikan dan tingkat maturitas oosit (r = 0,052, p = 0,788). Namun, didapatkan kadar serum hCG 12 jam pascapenyuntikan yang lebih tinggi pada subjek dengan tingkat maturitas >75% (mean diff 34.78,p = 0.046). Didapatkan titik potong kadar serum hCG 12 jam pascapenyuntikan sebesar 90.15 mIU/mL untuk memprediksi tingkat maturitas yang baik. (sensitivitas 68.2%, spesifisitas 83.3%). Prediksi tingkat maturitas oosit dapat dilakukan dengan mengetahui kadar serum hCG 12 jam pascapenyuntikan dan indeks massa tubuh (IMT) subjek (sensitivitas 83.3%, spesifisitas 68.2%).
Simpulan: Kadar serum hCG 12 jam pascapenyuntikan yang lebih tinggi berhubungan dengan tingkat maturitas oosit yang lebih baik pada peserta program FIV. Tingkat maturitas oosit dapat diprediksi melalui kadar serum hCG 12 jam pascapenyuntikan dan IMT.

Background: In vitro fertilization (IVF) is one of the main treatments of infertility. Exogenous Human chorionic gonadotropin (hCG) injection is an important process of IVF and thought to be vital in determining oocyte maturation.
Purpose: This study aims to determine the relationship between 12 hours post-injection serum hCG and oocyte maturation rate on IVF participants.
Method: This is a cross-sectional study on IVF participants on Yasmin Clinic, dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Jakarta, Indonesia, during the period of January 2020 to December 2020. Subjects with history of ovarian surgery, chemotherapy, radiotherapy, and poor responder subjects were excluded from the study. Subjects were injected with 250 µg of r-hCG subcutaneously. Twelve hours post-injection serum hCG level and oocyte maturation rate were collected and analyzed accordingly.
Result: A total of 28 subjects were included in the study. It was found that higher 12 hours post-injection serum hCG was related with subjects with >75% oocyte maturation rate (mean diff 23.78, p = 0.046). The cut-off point of 12 hours post-injection serum hCG in order to predict better oocyte maturation rate was found to be 90.15 mIU/mL (sensitivity 68.2%, specificity 83.3%). Oocyte maturation rate predicted may be calculated using body mass index and 12 hours post-injection serum hCG. (sensitivity 83,3%, specificity 68,2%).
Conclusion: Higher 12 hours post-injection serum hCG was associated with higher oocyte maturation rate on IVF subjects. Oocyte maturation rate may be predicted using body mass index and 12 hours post-injection serum hCG.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trisnawulan
"ABSTRAK
Mola hidatidosa merupakan penyakit trofoblas yang disertai peningkatan kadar Human Chorionic Gonadotropin (= HCG). Telah dilaporkan terjadinya gejala hipertiroidisme pada panderita mola yang ada kemungkinan berlanjut dengan timbulnya penyulit krisis tiroid yang dapat berakibat fatal. Hiperfungsi tiroid tersebut disebabkan pengaruh keaktifan tirotropik dari HCG. Penelitian ini bertujuan untuk memantau kadar hormon tiroid pada penderita mola hidatidosa.
Dari bulan Maret sampai dengan Agustus 1986 telah diperiksa serum dari 12 penderita MR. Pemeriksaan dilakukan secara serial: sebelum pengeluaran jaringan mola, lalu dilanjutkan pada hari ke 3 - 5, 1 bulan dan 2 bulan sesudahnya.
Dilakukan penetapan kadar hormon tiroksin (= T4) dan ambilan tiroksin (= Ambilan T4) dengan cara "Enzyme Immuno Assay" (=EIA) menggunakan kit ENDAB Irmruno Assay, kemudian nilai Indeks tiroksin babas (= ITB) dihitung. Diperiksa pula kadar "Thyroid Stimulating Hormone" (=TSH) dengan cara Radio Immuna Assay (=RIA) dan kadar hCG urin dengan test aglutinasi.
Sebelum dilakukan pengeluaran jaringan mola ke 12 kasus semuanya menunjukkan tanda tanda hipertiroidisme secara laboratoris (Ti, ambilan T4, ITB) dengan atau tanpa disertai gejala klinia. Setelah pengeluaran jaringan mola kelainan ini akan menurun dan mencapai kadar normal pada kurang lebih 1 bulan sesudahnya. Kadar TSH makin meningkat tetapi masih dalam batas batas normal. Keadaan ini seiring dengan penurunan kadar hCG urin. Hasil-hasil tersebut sesuai dengan yang didapatkan oleh peneliti peneliti terdahulu.
Disarankan untuk memasukkan pemeriksaan kadar hormon tiroid pada protokol panatalaksanaan penderita mola hidatidosa untuk mempertimbangkan pengobatan terhadap kelainan barman ini dan menghindari penyulit yang mungkin terjadi. "
1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library