Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
New York: Walker, 1978
371.95 BEI (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
JPK 16(1-3)2010 ed.khusus
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Davis, Gary A.
Harlow, Essex: Pearson, 2014
371.95 DAV e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Gifted visual-spatial laearners is one of categories of gifted children that has been ovelooked and under diagnosed. Linda Kreger Silverman (1995;2002) defined Gifted Visual spatial learner as those highly intelligence children (gifted) with special developmental pattern and characteristics. Their strenghts are the visual - spatial ability and gestalt cognitive style. They learn better visually that auditory. They learn all-at-once, and when they got the concept, the learning is permanent. Gifted children with visual-spatial learning style often have asynchronous developmental pattern and tend to have speech and language expressive disorder, or more commonly known as a specific Language Impairment (SLI) or Pure Dysphasic Development. These unique developmental characteristic often cause problems generally worsen without proper assistance and strategies of intervention. They also often misdiagnosed under the label of high function autism, ADHD and / or learning disabilities. A collaborative diagnostic with a long term continual observation and special approach is needed to help this population."
150 PJIP 1:2 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Virginia D.A. Ekaputri
"Bertentangan dengan kualitas secara umum yang dimiliki anak berbakat yang membuatnya diharapkan untuk menampilkan produktivitas dan pemenuhan diri, penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya justru menemukan setidaknya 15-50 persen jumlah siswa berbakat dalam suatu kelas mengalami fenomena underachievement. Fenomena ini dijelaskan sebagai adanya ketidaksesuaian antara potensi yang dimiliki dengan prestasi yang ditunjukkan dimana prestasi berada lebih rendah daripada potensi yang dimiliki. Underachievement biasanya dimulai pada pertengahan Sekolah Dasar, akan tetapi baru pada Sekolah Menengah Pertama atau kala anak berbakat menginjak usia remaja gejalanya menetap dan lebih terlihat. Penyebab underachievement sendiri lebih mengarah pada kurangnya motivasi berprestasi yang menyebabkan perilaku-perilaku yang tidak mendukung pencapaian prestasi yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Tuckman (1999) mengajukan tripartite model of motivation for achievement yang terdiri dari 3 komponen attitude, drive, dan strategy. Model ini dinilai sesuai untuk menjelaskan mengenai gambaran motivasi berprestasi pada anak berbakat berprestasi kurang karena Tuckman lebih memfokuskan pada "will", daripada "skill" yang tentunya telah dimiliki oleh anak-anak berbakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi gambaran motivasi berprestasi berdasarkan tripartite model of motivation for achievement, antara attitude, drive, dan strategi yang dimiliki remaja berbakat berprestasi kurang. Attitude dioperasionalisasikan ke dalam konsep self efficacy, drive dioperasionalisasikan ke dalam konsep incentive value, dan strategy dioperasionalisasikan ke dalam konsep self regulation. Hasil yang didapatkan dari penelitian yang menggunakan metode kualitatif melalui wawancara langsung kepada 5 orang subyek cukup menarik. Keunikan tiap subyek terlihat dimana 2 dari 5 orang subyek menunjukkan karakteristik orang dengan self efficacy tinggi, dua lainnya menunjukkan self efficacy yang rendah, sedangkan satu orang subyek menunjukkan self efficacy menengah. Hasil pada komponen selanjutnya adalah kelima subyek memiliki incentive value berupa motivasi ekstrinsik dan intrinsik yang mendorong usahanya mencapai prestasi yang baik. Terakhir, pada gilirannya kelima subyek mengaplikasikan strategi-strategi efektif yang dapat membantunya dalam mencapai prestasi yang baik. Akan tetapi, peneliti menemukan masalah pada strategi dimana walaupun subyek melakukan strategi-strategi pembelajaran yang dianggap efektif, namun usaha mereka seringkali terganggu oleh hal-hal lain di luar pembelajaran sehingga prestasi yang diharapkan pun belum dapat terwujud.

Gifted children are known to have certain qualities that would help them fulfil stereotypic expectations of productivity and self-fulfilment. Unfortunately, some research has found that 10-50 percents of gifted children are facing underachievement syndrome. This phenomenon of underachievement is defined as discrepancy between actual and expected levels of attainment. While signs of underachievement often begin by third or fourth grade, middle school or junior high usually marks the highest point of consistent underachievement. It may simply become more visible when children reach adolescence. The causes of underachievement lead to lack of achievement motivation. The problem in achievement motivation can make children behave in unconstructive ways in order to gain achievement that is relevant to the potential they possess. Tuckman (1999) presented tripartite model of motivation for achievement that includes three generic motivational factors that influence outcome attainment: attitude, drive, and strategy. This model is appropriate to describe gifted underachievers achievement motivation because its focus is on will, or the motivation to achieve the outcome that is considered separately from level of skill, that is controlled for in sampling of gifted children. The purpose of this research is to explore achievement motivation of gifted underachievers based on Tuckman`s tripartite model of motivation for achievement, which includes attitude, drive, and strategy. The factors of the model are operationalized as self-efficacy for attitude, incentive value for drive, and self-regulation for strategy. The qualitative research was conducted by interviewing five subjects that represented the appropriate characteristics of adolescent gifted underachievers. It brings interesting and unique results of all five gifted underachiever subjects. Firstly, two out of five subjects have shown characteristics of people high in self-efficacy, while two others shown the other way around. The other subject tends to show middle level of self-efficacy. Secondly, all five subjects have shown incentive value from extrinsic and intrinsic motivation that drives them to work hard for good performance. In turn, all five subjects apply effective learning strategies that can help them realize high achievement. However, research have found problem in learning strategies done by subjects where subjects are prone to obstacles outside the realm of learning that makes them underachieve."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
London: Sage, 2019
371.95 SAG
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dianti Endang Kusumawardhani
"The implementation of acceleration program for the gifted students was problematic and has been dismissed by Indonesian Government in 2014. 240 first year students from three high schools in Jakarta participated in this study. The study focused on the social environment that is projected in accelerated and regular classrooms. Type of Classrooms is associated with Accelerated learning. Path analysis model was used to develop the relationships between latent and manifest variables. This study employed PLSPA TH program to analyse the data. The results showed accelerated learning is positively related to Self Regulated Learning in Biology but there is only a very weak relation in Mathematics. Accelerated learning positively and marginally related to SeIf Efficacy in Biology, but negatively and marginally related to Mathematics SeIfthcacy. There is a significant relationship between Accelerated learning and Achievement in both Mathematics and Biology."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan Ikatan Psikologi Sosial-HIMPSI, 2018
150 JPS 15:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Tomlinson, Carol Ann
California: Crowin Press, 2004
371.95 DIF
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Fahrurrozi
"ABSTRAK
Remaja berbakat intelektual membutuhkan lingkungan yang tepat agar potensi keberbakatannya dapat berkembang dengan baik. Meskipun demikian, stigma keberbakatan dapat menjadi salah satu kendala bagi remaja berbakat intelektual untuk mencapai potensi keberbakatannya secara optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui stigma keberbakatan yang dipersepsikan remaja berbakat intelektual dan teman sebaya, penyesuaian diri yang dipersepsikan remaja berbakat intelektual, strategi social coping yang digunakan remaja berbakat intelektual, dan karakteristik remaja berbakat intelektual apa saja yang diasosiasikan teman sebaya. Penelitian ini menggunakan mixed methods dengan menggunakan wawancara dan SCQ untuk memperoleh data kualitatif serta kuesioner persepsi remaja terhadap teman sebaya berbakat intelektual untuk memperoleh data kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja berbakat intelektual memandang positif bakat intelektual yang mereka miliki dan 50 partisipan menganggap bakat intelektual yang dimiliki membuat mereka merasa berbeda dengan teman-teman di kelas reguler. Di sisi lain, teman sebaya menganggap mereka lebih pintar dari teman-teman yang berada di kelas reguler dan mereka mendapatkan panggilan berupa ldquo;anak aksel rdquo; dan ldquo;anak pintar rdquo;. Selain itu, sebagian besar remaja menganggap menyesuaikan diri dengan teman-teman merupakan hal yang penting. Ada pun Minimizing focus on popularity dan helping others merupakan strategi social coping yang digunakan oleh sebagian besar remaja berbakat intelektual yang mengikuti kelas akselerasi. Selain itu, terdapat 14 karakteristik remaja berbakat intelektual yang diasosiasikan oleh teman sebaya.Remaja berbakat intelektual membutuhkan lingkungan yang tepat agar potensi keberbakatannya dapat berkembang dengan baik. Meskipun demikian, stigma keberbakatan dapat menjadi salah satu kendala bagi remaja berbakat intelektual untuk mencapai potensi keberbakatannya secara optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui stigma keberbakatan yang dipersepsikan remaja berbakat intelektual dan teman sebaya, penyesuaian diri yang dipersepsikan remaja berbakat intelektual, strategi social coping yang digunakan remaja berbakat intelektual, dan karakteristik remaja berbakat intelektual apa saja yang diasosiasikan teman sebaya. Penelitian ini menggunakan mixed methods dengan menggunakan wawancara dan SCQ untuk memperoleh data kualitatif serta kuesioner persepsi remaja terhadap teman sebaya berbakat intelektual untuk memperoleh data kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja berbakat intelektual memandang positif bakat intelektual yang mereka miliki dan 50 partisipan menganggap bakat intelektual yang dimiliki membuat mereka merasa berbeda dengan teman-teman di kelas reguler. Di sisi lain, teman sebaya menganggap mereka lebih pintar dari teman-teman yang berada di kelas reguler dan mereka mendapatkan panggilan berupa ldquo;anak aksel rdquo; dan ldquo;anak pintar rdquo;. Selain itu, sebagian besar remaja menganggap menyesuaikan diri dengan teman-teman merupakan hal yang penting. Ada pun Minimizing focus on popularity dan helping others merupakan strategi social coping yang digunakan oleh sebagian besar remaja berbakat intelektual yang mengikuti kelas akselerasi. Selain itu, terdapat 14 karakteristik remaja berbakat intelektual yang diasosiasikan oleh teman sebaya.

ABSTRACT
Intellectually gifted adolescents need an appropriate environment in order to develop their potencies well. Nevertheless, stigma of giftedness may become an obstacle for intellectually gifted adolescents to gain optimal potencies. This study is aimed to understand stigma of giftedness perceived by intellectually gifted adolescents and their peers, conformity perceived by intellectually gifted adolescents, social coping strategies used by intellectually gifted adolescents, and intellectually gifted adolescents rsquo characteristics associated by peers. The study used mixed methods using interview and SCQ to get qualitative data and using questionnaire of adolescents rsquo perception on intellectually gifted peers to get quantitative data. The results show that intellectually gifted adolescents perceived their intellectual gifts positively and 50 from all participants perceived their intellectual gifts made them feel different from their peers in regular class. On the other side, peers perceived intellectually gifted adolescents smarter than them and intellectually gifted adolescents got calls such ldquo anak aksel rdquo and ldquo smart boy girl rdquo from their peers. Besides, most of intellectually gifted adolescents perceived conformity with their peers as an important thing. Moreover, minimizing focus on popularity and helping others are social coping strategies used by almost intellectually gifted adolescents who enrolled in acceleration program. Besides, there are 14 characteristics of intellectually gifted adolescents associated by their peers."
2017
T48769
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>