Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 35 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wahyu Kristianto
"ABSTRAK
Kegiatan menyelam dapat menyebabkan gangguan pada pendengaran.
Penyelam TNI AL berisiko mengalami gangguan pendengaran akibat
barotrauma pada telinga. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
yang bertujuan untuk mengetahui gambaran gangguan pendengaran pada
50 orang penyelam TNI AL Armada RI Kawasan Barat sebagai sampel.
Data didapatkan dengan tes rinne, weber, dan schwabach menggunakan
garputala frekuensi 512 Hz untuk menentukan jenis gangguan sensorik
atau konduktif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 42% responden
mengalami gangguan pendengaran, terdapat 40% tuli sensorik dan 2% tuli
konduktif. Program pendidikan dan latihan tentang standar prosedur
penyelaman yang tepat perlu dirancang untuk mencegah terjadinya
gangguan pendengaran akibat penyelaman.

ABSTRACT
Diving activity may caused hearing loss. Indonesian Navy divers have
risked to undergo hearing loss that caused by barotrauma in the ear. The
objective of this study was to describe descriptive of hearing loss on 50
person Navy divers in the west district. The Rinne, Weber, and Schwabach
tests that use a tuning fork 512 Hz were perform to identify conduction or
sensoric deafness. These research shows that 42% have hearing loss, 40%
sensoric deafness and 2% conductive deafness. The education programs
and training about the progress right diving procedure standart should be
designed prevent hearing loss caused by diving."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
S43106
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Linardita Ferial
"Aktivitas di terminal berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan antara lain kebisingan. Tingkat kebisingan yang tinggi berpotensi untuk terjadinya gangguan kesehatan bagi manusia khususnya gangguan pendengaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara tingkat kebisingan terhadap gangguan pendengaran penduduk di lokasi pemukiman sekitar Terminal Pakupatan. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional pada enam pemukiman di sekitar Terminal Pakupatan, Kota Serang, Provinsi Banten pada Januari-Mei 2018. Besar sampel sebanyak 100 orang dengan metode proposional random sampling.
Hasil penelitian menunjukkan tingkat kebisingan di lokasi pemukiman sekitar Terminal Pakupatan mencapai 81,09 dB dimana telah melewati baku mutu kebisingan yang mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996 sebesar 55 dB. Variabel confounding yaitu umur, riwayat penyakit, status bekerja, konsumsi rokok, konsumsi alkohol dan lamanya tinggal. Masyarakat yang tinggal di lokasi dengan tingkat kebisingan lebih dari 55 dB memiliki risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tinggal di lokasi dengan tingkat kebisingan kurang dari 55 dB 3,39; 0,61-26,91, setelah dikontrol oleh jenis pekerjaan dan lama tinggal sehingga perlu adanya upaya pencegahan rambatan bising kepemukiman dengan menerapkan jalur hijau atau penanaman pohon.

potential to cause environmental pollution, such as noise. High noise levels have the potential to cause health problems for humans especially hearing loss. This study aimed to identify the relationship between noise level to hearing loss in residential locations around Pakupatan Bus Station. This study used cross sectional study design in six settlements around Pakupatan Bus Station, Serang City, Banten Province conducted in January May 2018. The number of samples is 100people with proportional random sampling method.
The results of the analysis showed that the noise level at the residential area around Pakupatan Bus Station reached 81.09dB where it has passed the noise quality standard based on the Decree of the Minister of the Environment Number 48 Year 1996 of 55 dB and found that people exposed to noise ge 55dB have lower risk compared to people exposed to noise.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T50232
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Aisyah Amanda
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat kebisingan, faktor karakteristik pekerja (usia, masa kerja, durasi kerja, riwayat diabetes, riwayat hipertensi), dan faktor perilaku pekerja (penggunaan APT dan perilaku merokok), dengan gangguan pendengaran pada pekerja bagian refining PT X tahun 2019. Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross-sectional dengan jumlah sampel sebanyak 66 orang pekerja bagian refining. Data gangguan pendengaran pada pekerja diperoleh dari hasil Medical Check Up rutin yang dilakukan oleh perusahaan, sedangkan data tingkat kebisingan diperoleh melalui pengukuran secara langsung menggunakan Sound Level Meter di area kerja bagian refining. Hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara usia (OR 7; 95% CI: 1,608-30,474), masa kerja (OR 7,8; 95% CI: 0,925-65,747, dan perilaku merokok (OR 7,8; 95% CI: 0,925-65,747) dengan gangguan pendengaran pada pekerja bagian refining. Selain itu, didapatkan rata-rata tingkat kebisingan yang berbeda pada setiap unit kerja bagian refining, yakni unit kerja Peleburan sebesar 87,08 dBA, Pemurnian Perak sebesar 89,04 dBA, Pemurnian Emas sebesar 83,25 dBA, dan Waste Management sebesar 77,85 dBA.

This study aims to analyze noise level, characteristics of worker (age, work period, work duration, history of diabetes, history of hypertension), worker behaviour (use of ear protector and smoking behaviour) with hearing loss among refining unit workers at PT X in 2019. A cross-sectional study was conducted involving 66 refining workers. Data on hearing loss among workers are obtained from the results of routine medical check up conducted by the company, while noise level data is obtained through direct measurement using the Sound Level Meter in the refining section work area. Chi Square test results showed that there was a significant relationship between age (OR 7; 95% CI: 1,608-30,474), work period (OR 7.8; 95% CI: 0.925-65,747, and smoking behavior (OR 7.8; 95% CI: 0.925-65,747) with hearing loss among refining workers. In addition, different noise levels were obtained for each refining work unit, the Smelting work unit was 87.08 dBA, Silver Refining was 89.04 dBA, Gold Refining was 83.25 dBA, and Waste Management was 77, 85 dBA.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farida Khoirotin Novaisa
"Kebisingan merupakan salah satu bahaya fisik di tempat kerja yang memiliki risiko terhadap terjadinya gangguan pendengaran kepada pekerja. Diantara beberapa sektor industri, konstruksi merupakan industri yang memiliki kebisingan dalam pekerjaannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kebisingan serta hubungan karakteristik dan perilaku pekerja terhadap gangguan pendengaran pada pekerja. Pada penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional dengan jumlah responden sebanyak 106 pekerja dan pengukuran titik kebisingan pada 30 titik yang tersebar pada area konstruksi. Berdasarkan pengukuran kebisingan yang dilakukan, rentang kebisingan pada lokasi konstruksi BUMN Center ialah 67.9 – 100.8 dBA dan kejadian ganggguan pendengaran pada pekerja sebesar 44.3%. Uji Mann- Whitney U Test dilakukan pada variabel tingkat kebisingan dan gangguan pendengaran dan menunjukkan hasil tidak adanya perbedaan signifikan tingkat kebisingan terhadap gangguan pendengaran pada pekerja (p=0.904). Adapun pada variabel karakteristik dan perilaku pekerja, hanya usia yang memiliki hubungan signifikan dengan gangguan pendengaran (p=0.000) dengan OR 7.8. Penelitian ini menemukan adanya tingkat kebisingan yang melebihi NAB dan pekerja yang mengalami gangguan pendengaran, sehingga disarankan untuk adanya tindakan pencegahan dan meminimlaisir risiko dengan prinsip kontrol hirarki.

Noise exposure is one of the physical hazards in the workplace that can cause of hearing loss to workers. Among some industrial sectors, construction sector has a lot of noise in its workplace. The study aimed to analysis the differences in noise intensity and the association between characteristics and behavior to hearing loss among construction workers Gedung BUMN Center. The study used cross-sectional study design with 106 respondents and measurements of noise points at 30 points spread across the construction area. Based on noise measurements, the noise range at the construction site of the BUMN Center is 67.9 - 100.8 dBA and the incidence of hearing disorders in workers is 44.3%. The Mann-Whitney U Test was conducted on variable noise levels and hearing loss and showed results no significant differences in noise levels and hearing loss among workers (p=0.904). As for the characteristic variables and behavior of workers, only age has a significant association with hearing loss (p=0.000) and OR 7.8. This study found that there was a noise intensity that exceeded NAB and workers with hearing loss, so minimze the risk with hierarchy control is recommended as preventive action."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Subagio
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58445
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gustav Syukrinto
"Otitis media efusi (OME) sering terjadi pada anak, dapat timbul tanpa gejala sehingga diagnosis dan penatalaksanaan sering terlambat adakalanya telah terjadi komplikasi. Salah satu komplikasinya berupa gangguan pendengaran, meskipun tidak selalu jelas namun pada anak usia dini dapat menyebabkan keterlambatan bicara, berbahasa dan bila terjadi pada usia sekolah maka anak menjadi kesulitan mengikuti pelajaran atau pendidikan, gangguan tingkah laku sehingga terlihat kurang berprestasi dan tidak fokus. Gangguan pendengaran umumnya terdapat pada kedua telinga, apabila volume cairan sedikit, maka gangguan pendengaran akan minimal. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Profil Otitis Media di Kotamadya Jakarta Timur yang bertujuan untuk mengetahui prevalensi otitis media efusi dan gambaran gangguan pendengarannya pada anak usia 5-18 tahun di kotamadya Jakarta Timur berdasarkan pemeriksaan audiometri nada murni. Metode penelitian berupa survey di populasi masyarakat bersifat deskriptif potong lintang terhadap 396 anak di kotamadya Jakarta Timur sesuai dengan kriteria penerimaan dan penolakan. Percontoh dipilih secara multi stage stratified random sampling, bertingkat dari kecamatan hingga kelurahan berdasarkan kepadatan penduduk. Kemudian dilanjutkan secara spatial random sampling berdasarkan nomor rumah. Dari hasil penelitian ini didapatkan angka prevalensi OME sebesar 1,52%. Ambang dengar pada anak dengan OME berkisar 10-43,75dB dan gangguan pendengaran terjadi pada 5 dari 6 anak dengan OME.

Otitis Media with Effusion (OME) is common in children. It is usually asymptomatic, causing late diagnosis and management. Sometimes OME is diagnosed very late while there is already complications, one of the complication of OME is hearing impairment. Although not always clear, but in young children OME can cause delayed speech and lingual disability. If this condition happens in school-aged-children, it will be difficult for children to catch up with the education programs and there could be behavior problems. The hearing impairment usually occur at both ear, and its degree accord to the volume of the fluid. This research is a part of research on Profile of Otitis Media at East Jakarta that aims to evaluate the prevalence of OME and the hearing impairment due to OME in 5-18 years old at East Jakarta based on pure tone audiometry examination. The research method is a descriptive cross sectional survey on 396 children at East Jakarta that match with inclusion and exclusion criteria. Sample was chosen using multistage stratified random sampling method, starts from the district to sub district according to population density. It was continued with spatial random sampling based on the house number. The research shows the prevalence of OME in 5-18 years old at East Jakarta was 1,52%. The hearing threshold in children with OME was ranged 10-43,75dB and hearing impairment occur on 5 from 6 children with OME."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggina Diksita Pamasya
"[ABSTRAK
Gangguan pendengaran akibat stroke yang terjadi pada jalur auditorik merupakan aspek yang sedikit sekali dieksplorasi pada pasien pasca stroke dan berpotensi menimbulkan dampak pada fungsi dan kualitas hidup. Pendengaran memfasilitasi komunikasi verbal sehingga hal ini penting untuk memberikan penatalaksanaan yang sesuai dan maksimal. Untuk mengukur proporsi gangguan pendengaran dan gangguan komunikasi verbal pada pasien pasca stroke dapat dilakukan pemeriksaan audiometri nada murni, audiometri tutur, dan audiometri tutur dalam bising untuk mengkaji bagaimana gangguan pendengaran berkorelasi dengan karakteristik demografik dan karakteristik klinis serta faktor yang mempengaruhi. Penelitian potong lintang ini dilakukan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan November 2014 sampai Mei 2015, melibatkan 40 subyek pasien pasca stroke otak (eksklusi afasia, gangguan fungsi luhur dan gangguan kognitif) yang terdiagnosis dari pencitraan tomografi komputer kepala. Sebanyak 40% mengalami gangguan pendengaran sensorineural (ringan 37,5% dan sedang 20%). Gangguan pendengaran sentral didapatkan 12,5 dan campuran (sensorineural dan sentral) sebanyak17,5%. Didapatkan gangguan komunikasi verbal dalam suasana tenang dan bising 12,% sedangkan gangguan dalam suasana bising sebanyak 32,5%. Berdasarkan nilai odds rasio didapatkan kecenderungan faktor risiko usia lebih dari 60 tahun, letak lesi kortikal dan atau subkortikal serta vaskularisasi lesi dapat mempengaruhi gangguan pendengaran dengan atau tanpa disertai gangguan komunikasi dan secara statistik bermakna.

ABSTRACT
Hearing loss due to stroke which disturb the auditoric path is less known, and may potentially effect the function and quality of life. Hearing facilitates a good speech hence it is important to give appropriate and optimal treatment. To measure the proportion of hearing loss and speech disorder in post stoke patient, we did pure tone audiometry, speech audiometry, and word in noise and to analyze how it could correlate with demographic, clinical characteristic and other factors. This cross sectional study was conducted in Cipto Mangunkusumo hospital Jakarta which started from November 2014 to May 2015, involving 40 samples after stroke patient (with the exclusion of aphasia and cognitive disorder) which were diagnosed with brain CT scan. Fourty percents patients had sensoryneural hearing loss (mild 37,5% and moderate 20%,). Central Hearing loss was found in 12.5% patients and mixed (sensorineural and sentral) hearing loss was found in 17.5%. Speech disorder in quite and noise background was found in 12.5% patients and disorder in noise background was found in 32.5% patients. Based on the odds ratio it is found that age older than 60 year old, cortical and or subcortical lesion, and vascularization of the lesion is the risk factor that can influence hearing disorder with or without speech disorder and it is statistically significance.;Hearing loss due to stroke which disturb the auditoric path is less known, and may potentially effect the function and quality of life. Hearing facilitates a good speech hence it is important to give appropriate and optimal treatment. To measure the proportion of hearing loss and speech disorder in post stoke patient, we did pure tone audiometry, speech audiometry, and word in noise and to analyze how it could correlate with demographic, clinical characteristic and other factors. This cross sectional study was conducted in Cipto Mangunkusumo hospital Jakarta which started from November 2014 to May 2015, involving 40 samples after stroke patient (with the exclusion of aphasia and cognitive disorder) which were diagnosed with brain CT scan. Fourty percents patients had sensoryneural hearing loss (mild 37,5% and moderate 20%,). Central Hearing loss was found in 12.5% patients and mixed (sensorineural and sentral) hearing loss was found in 17.5%. Speech disorder in quite and noise background was found in 12.5% patients and disorder in noise background was found in 32.5% patients. Based on the odds ratio it is found that age older than 60 year old, cortical and or subcortical lesion, and vascularization of the lesion is the risk factor that can influence hearing disorder with or without speech disorder and it is statistically significance., Hearing loss due to stroke which disturb the auditoric path is less known, and may potentially effect the function and quality of life. Hearing facilitates a good speech hence it is important to give appropriate and optimal treatment. To measure the proportion of hearing loss and speech disorder in post stoke patient, we did pure tone audiometry, speech audiometry, and word in noise and to analyze how it could correlate with demographic, clinical characteristic and other factors. This cross sectional study was conducted in Cipto Mangunkusumo hospital Jakarta which started from November 2014 to May 2015, involving 40 samples after stroke patient (with the exclusion of aphasia and cognitive disorder) which were diagnosed with brain CT scan. Fourty percents patients had sensoryneural hearing loss (mild 37,5% and moderate 20%,). Central Hearing loss was found in 12.5% patients and mixed (sensorineural and sentral) hearing loss was found in 17.5%. Speech disorder in quite and noise background was found in 12.5% patients and disorder in noise background was found in 32.5% patients. Based on the odds ratio it is found that age older than 60 year old, cortical and or subcortical lesion, and vascularization of the lesion is the risk factor that can influence hearing disorder with or without speech disorder and it is statistically significance.]"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58644
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nassor Rashid Hamad
"Gangguan pendengaran merupakan gangguan yang paling umum ditemukan pada neonatus. Gangguan dapat diatasi dengan mudah bila didiagnosis pada awal kelahiran. Prevalensi global gangguan pendengaran permanen pada neonatus kebanyakan berasal dari negara berkembang sekitar 0,5-5 per 1000 kelahiran. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi efek terapi aminoglikosida dan faktor yang dapat menginduksi gangguan pendengaran pada neonatus yang dirawat di NICU Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. Penelitian bersifat case-control dengan sampel 112 neonatus di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Data skrining pendengaran neonatus secara retrospektif dikumpulkan melalui data rekam medis elektronik dan data medis pasien. Hanya pasien yang dirawat dan diobati di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) dari November 2018 hingga Oktober 2019 yang diambil sebagai sampel penelitian. Usia gestasional saat kelahiran (LGA) dan anomali kraniofasial dianggap sebagai faktor risiko yang berpengaruh terhadap gangguan pendengaran karena secara statistik signifikan (p < 0,05). Penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan dari jenis kelamin, berat badan saat kelahiran, ventilasi mekanik, lama rawat di NICU (>5 hari), hiperbilirubinemia (> 10 mg/dl), asfiksia, dan terapi aminoglikosida (p > 0,05). Prevalensi gangguan pendengaran pada neonatus dengan usia gestasional saat lahir dibawah dari 37 minggu dan adanya anomali kraniofasial memiliki signifikansi yang tinggi dibandingkan bayi yang lahir dengan normal. Kedua faktor tersebut memiliki risiko gangguan pendengaran pada neonatus 8 hingga 14 kali lebih tinggi. Sebaliknya, terapi aminoglikosida ditemukan tidak berbeda signifikan pada penelitian ini dikarenakan nilai p sebesar 0,124 yang lebih besar dari 0,05 untuk interval kepercayaan 95%. Temuan lainnya yang tidak berbeda secara signifikan adalah jenis kelamin, berat badan saat lahir, lama rawat di NICU selama > 5 hari, dukungan ventilator > 5 hari, bayi lahir dengan asfiksia dan hiperbilirubinemia > 10 mmol/l

Hearing loss is the most common disorder in neonates; it can be best managed if diagnosed at an early stage of life. The global prevalence of permanent neonatal hearing loss mainly occurs in developing countries, accounting for 0.5 to 5.0 per 1000 live births. This study's objective was to evaluate effects of aminoglycoside therapy, and associated factors that can induce hearing loss in neonates admitted to NICU at Dr.Cipto-Mangunkusumo Hospital. This was a case-control study conducted among 112 neonates at Dr. Cipto-Mangunkusumo Hospital (CMH). Data of neonatal hearing screening were retrospectively collected from hospital electronic medical records and medical files. Only patients admitted and treated at the Neonatal Intensive Care Unit from November 2018 to October 2019 were recruited. Out of 112 neonates studied, the Low Gestational Age at birth (L.G.A.) and Craniofacial anomalies were considered as risk factors for hearing loss since they were statistically significant (p< 0.05). The study showed no statistically significant association in gender, birth weight, mechanical ventilation, NICU stay period (>5 days), hyperbilirubinemia (>10mg/dl), asphyxia, and aminoglycoside therapy (p>0.05). The prevalence of hearing loss in neonates with a lower gestational age of leser than 37 weeks and craniofacial anomalies are significantly higher compare to full-term neonates born. They are more associated with 8 to 14 times increased risk of hearing loss in neonates. In contrast, aminoglycoside therapy was found insignificant different in this study since its p-value were 0.124 which is greter than p-value <0.05 for 95% signicant interval. Other finds that were not significantly different are gender, birth weight, extended stay at ICU for >5 days, ventilatory support > 5days, baby borns with asphyxia and hyperbilirubinemia > 10mmol/l."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nassor Rashid Hamad
"Gangguan pendengaran merupakan gangguan yang paling umum ditemukan pada neonatus. Gangguan dapat diatasi dengan mudah bila didiagnosis pada awal kelahiran. Prevalensi global gangguan pendengaran permanen pada neonatus kebanyakan berasal dari negara berkembang sekitar 0,5-5 per 1000 kelahiran. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi efek terapi aminoglikosida dan faktor yang dapat menginduksi gangguan pendengaran pada neonatus yang dirawat di NICU Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. Penelitian bersifat case-control dengan sampel 112 neonatus di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Data skrining pendengaran neonatus secara retrospektif dikumpulkan melalui data rekam medis elektronik dan data medis pasien. Hanya pasien yang dirawat dan diobati di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) dari November 2018 hingga Oktober 2019 yang diambil sebagai sampel penelitian. Usia gestasional saat kelahiran (LGA) dan anomali kraniofasial dianggap sebagai faktor risiko yang berpengaruh terhadap gangguan pendengaran karena secara statistik signifikan (p < 0,05). Penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan dari jenis kelamin, berat badan saat kelahiran, ventilasi mekanik, lama rawat di NICU (>5 hari), hiperbilirubinemia (> 10 mg/dl), asfiksia, dan terapi aminoglikosida (p > 0,05). Prevalensi gangguan pendengaran pada neonatus dengan usia gestasional saat lahir dibawah dari 37 minggu dan adanya anomali kraniofasial memiliki signifikansi yang tinggi dibandingkan bayi yang lahir dengan normal. Kedua faktor tersebut memiliki risiko gangguan pendengaran pada neonatus 8 hingga 14 kali lebih tinggi. Sebaliknya, terapi aminoglikosida ditemukan tidak berbeda signifikan pada penelitian ini dikarenakan nilai p sebesar 0,124 yang lebih besar dari 0,05 untuk interval kepercayaan 95%. Temuan lainnya yang tidak berbeda secara signifikan adalah jenis kelamin, berat badan saat lahir, lama rawat di NICU selama > 5 hari, dukungan ventilator > 5 hari, bayi lahir dengan asfiksia dan hiperbilirubinemia > 10 mmol/l

Hearing loss is the most common disorder in neonates; it can be best managed if diagnosed at an early stage of life. The global prevalence of permanent neonatal hearing loss mainly occurs in developing countries, accounting for 0.5 to 5.0 per 1000 live births. This study's objective was to evaluate effects of aminoglycoside therapy, and associated factors that can induce hearing loss in neonates admitted to NICU at Dr.Cipto-Mangunkusumo Hospital. This was a case-control study conducted among 112 neonates at Dr. Cipto-Mangunkusumo Hospital (CMH). Data of neonatal hearing screening were retrospectively collected from hospital electronic medical records and medical files. Only patients admitted and treated at the Neonatal Intensive Care Unit from November 2018 to October 2019 were recruited. Out of 112 neonates studied, the Low Gestational Age at birth (L.G.A.) and Craniofacial anomalies were considered as risk factors for hearing loss since they were statistically significant (p< 0.05). The study showed no statistically significant association in gender, birth weight, mechanical ventilation, NICU stay period (>5 days), hyperbilirubinemia (>10mg/dl), asphyxia, and aminoglycoside therapy (p>0.05). The prevalence of hearing loss in neonates with a lower gestational age of leser than 37 weeks and craniofacial anomalies are significantly higher compare to full-term neonates born. They are more associated with 8 to 14 times increased risk of hearing loss in neonates. In contrast, aminoglycoside therapy was found insignificant different in this study since its p-value were 0.124 which is greter than p-value <0.05 for 95% signicant interval. Other finds that were not significantly different are gender, birth weight, extended stay at ICU for >5 days, ventilatory support > 5days, baby borns with asphyxia and hyperbilirubinemia > 10mmol/l."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jelsi Natalia Marampa
"Pendahuluan : Gangguan pendengaran yang disebabkan akibat bising merupakan masalah kesehatan yang banyak diderita oleh pekerja di industri. Gangguan pendengaran dapat dicegah melalui Program Konservasi Pendengaran (HCP). Program ini telah diterapkan oleh PT. HASI tahun 2002 pada semua departemen yang mempunyai tingkat kebisingan 85 dBA atau lebih. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penerapan HCP di PT. Hardaya Aneka Shoes Industri; mengevaluasi kebijakan perusahaan dalam mendukung HCP; mengevaluasi ketersediaan sumberdaya pendukung dalam penerapan HCP; mengevaluasi tingkat pemenuhan elemen-elemen HCP; mengetahui tingkat keberhasilan penerapan HCP. Metode : Penelitian ini adalah studi evaluasi dengan mempergunakan data tahun 2002 sampai dengan tahun 2005 di PT. HASI. Data penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data dari survei kebisingan, pengendalian kebisingan, audiometri, alat pelindung telinga, pendidikan dan motivasi, pencatatan dan pelaporan dan evaluasi program serta data primer yang diperoleh mela1ui kuesioner untuk variabel umur, lama kerja, riwayat penyakit, riwayat keturunan, dan hobby pekerja Telitian : Penerapan Hep dari Aspek Input sangat baik, meliputi komitmen manajemen, komponen program, dan dukungan sumberdaya. Dari aspek Proses yakni penerapan elemen-elemen Hep, termasuk dalam kategori sangat baik, dan dari aspek Output yakni pemenuhan penerapan elemen Hep sangat baik, namun dari hasil analisa audiometri tahun 2002 dan 2005 diketahui terjadi penambaban kasus gangguan pendengaran sejak tahun 2002-2005, adanya kasus penurunan ambang dengar dari kategori normal menjadi ringan dan berat, dari ringan menjadi sedang. Selain itu teIjadi perubahan ambang dengar yang positif lebih dari 15 dB pada frekuensi 500, 1000,2000, sebesar 1 % pada telinga kanan dan frekuensi 4000 dan 8000 Hz sebesar 6.2 % pada telinga kanan dan 8.2 % pada telinga kiri. Umur responden yang mempunyai kasus g~ngguan pendengaran rata-rata dibawah 40 tahun, dengan lama keIja semuanya lebih dari 10 tahun, dan 33 % mempunyai gangguan riwayat penyakit serta hobby yang dapat memperberat gangguan pendengaran. Kesimpulao : Penerapan Hep di PT. HASI dari tahun ke tahun semakin baik dan menunjukkan adanya komitmen yang kuat dari manajemen perusahaan. Ada hubungan yang kuat antara aspek Input - Proses - Output dalam menerapkan Program Hep. Ditemukan adanya kasus baru selama tahun 2002 sampai 2005, Adanya kasus penurunan ambang dengar.dari kategori normal menjadi ringan, sedang dan berat. Terjadi perubaban ambang dengar yang positif lebih dari 15 dB. Faktor lama kerja dan riwayat penyakit serta hobby merupakan faktor yang memperberat gangguan pendengaran pad a pekerja di PT. HASI.

Introduction : Hearing problems caused by noise are the most common health problems among industrial workers. Hearing problems can be prevented through Hearing Conservation Program (HCP). This program has been implemented by PT. HASI in 2002 to its all departments having 85 dBA noise level or more. This study is aimed to evaluate the implementation of HCP at PT. Hardaya Aneka Shoes Industri; evaluating company policy in supporting HCP; evaluating the supporting resources availability in HCP implementation; evaluating the compliance level of HCP elements; acknowledging the achievement level ofHCP implementation. Method : This study is an evaluation study using data taken from 2002 to 2005 in PT. HASI. The data is a secondary data which is attained from noise survey, noise control, audiometric, hearing protective devices, education and motivation, record keeping and reporting and program evaluation as well as primary data obtained from questionnaires for the variable on age, work duration, medical history, family history, and workers preferences. Study : The implementation of HCP from Input aspect is very good, including management commitment, program component, and resource supports. From the Process Aspect is the implementation of HCP elements, including the category is very good, and from the Output Aspect i.e the compliance ofHCP implementation is very good, yet from the audiometric analysis results in 2002 and 2005, the increase of hearing impairment cases was found since 2002-2005, there was a decrease in hearing threshold from the normal category become the medium one. Moreover, there is a positive hearing threshold change at the level of more than 15 dB in the frequency of 4000 and 8000 Hz, 6.2 % on right ear and 8.2 % on left ear. The respondents' age are approximately below 40 years old, with the working period more than 10 years, and 33 % of them have health problems and likeness that may aggravate their hearing problems. Conclusion : HCP implementation in PT. HASI is getting better year by year and has sho\'1tl a strong commitment from the company management. There is a strong relationship between Input - Process - Output aspects in implementing HCP programs. New emerging cases have been indicated during 2002 - 2005, a decrease in hearing threshold from normal category to light, medium, heavy. There is a positive hearing threshold for more than 15 dB. Work period and medical history factors as well as workers' likeness are the factors that may aggravate hearing impairment among workers in PT. HASI."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2006
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>