Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
Ita Riefita
"Gabapentin merupakan salah satu obat antikonvulsi yang baru diperkenalkan pada awal tahun 1990-an dan tahun 1995 baru disetujui untuk digunakan di USA sebagai suatu pengobatan tambahan dari bangkitan parsial dengan atau tanpa generasi kedua. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kondisi yang optimal dalam menganalisis gabapentin yang diderivatisasi dengan asam 2,4,6-trinitrobenzen sulfonat. Analisis dilakukan dengan kromatografi cair kinerja tinggi menggunakan kolom C18, dengan fase gerak asetonitril-air-asam asetat glasial (600:400:1; v/v), kecepatan alir 1,0 ml/menit, dideteksi pada panjang gelombang 350 nm dengan detektor photo diode array. Waktu retensi gabapentin 5 menit. Pada rentang konsentrasi 4- 20 μg/ml dihasilkan kurva kalibrasi yang linear dengan koefisien korelasi (r) 0,9993 dan memberikan limit kuantitasi gabapentin pada konsentrasi 2 μg/ml. Hasil uji akurasi dan presisi larutan gabapentin konsentrasi 4 μg/ml memberikan nilai 99,18 ± 0,57%, konsentrasi 8 μg/ml nilai akurasi dan presisi 97,57 ± 1,29%, dan konsentrasi 16 μg/m nilai akurasi dan presisi 98,68 ± 1,59%. Hasil validasi metode telah memenuhi kriteria yang dipersyaratkan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
S32790
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Sari Yuliana
"Metode yang sederhana, sensitif, dan waktu analisa yang cepat telah dikembangkan dan divalidasi untuk analisis gabapentin dalam plasma manusia in vitro secara kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Metode ini mencakup pengendapan protein dengan menggunakan asetonitril dan aliquot dari suprenatannya diderivatisasi secara prakolom dengan asam 2,4,6- trinitrobenzen sulfonat (TNBS). Derivat yang terbentuk dianalisis menggunakan kolom C18 XTerra® 5 μm (Waters) 4,6 x 150 mm pada panjang gelombang 349 nm. Fase gerak yang digunakan terdiri dari asetonitrilaquabidest-asam asetat glasial (500:500:1, v/v) dengan kecepatan alir 1,0 ml/menit. Baclofen digunakan sebagai baku dalam. Waktu retensi derivat gabapentin dan baku dalam adalah 22 dan 19 menit. Kurva kalibrasi gabapentin dalam plasma linear dengan nilai koefisien korelasi (r) 0,9998 yang dicapai pada rentang konsentrasi 0,25-20,00 μg/ml. Lower limit of quantification (LLOQ) yang ditemukan adalah 0,25 μg/ml. Nilai uji perolehan kembali yang diperoleh ≥ 90%. Koefisien variasi dari tiga konsentrasi yang berbeda adalah di bawah 1,0%. Hasil validasi metode telah memenuhi kriteria yang dipersyaratkan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
S32564
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Angelina Patricia Chandra
"Kanker paru-paru menduduki posisi ketiga jenis kanker tertinggi di Indonesia. Nyeri kanker adalah salah satu gejala paling umum yang terjadi pada pasien kanker. Pemberian opioid sebagai pereda nyeri memiliki banyak efek samping yang dapat bersifat fatal seiring meningkatnya dosis opioid. Oleh sebab itu, alternatif yang dapat dilakukan adalah mengombinasikan adjuvan pada terapi opioid. Gabapentin adalah antikonvulsan yang sering dipakai sebagai adjuvan terapi opioid. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian gabapentin sebagai adjuvan opioid terhadap dosis opioid dan intensitas nyeri kanker pada pasien kanker paru-paru. Jumlah sampel yang diperoleh untuk kelompok terapi opioid adalah 43 pasien dan jumlah sampel yang diperoleh untuk kelompok opioid dengan gabapentin adalah 34 pasien. Tidak menemukan adanya perbedaan dosis opioid dan intensitas nyeri yang signifikan antara kelompok pasien yang menerima opioid saja dan yang menerima opioid dengan gabapentin. Mayoritas pasien (44,15%) dari keseluruhan pasien mengalami bebas nyeri pada akhir terapi. 79,06% pasien yang diterapi dengan opioid dan 88,24% pasien pada kelompok opioid dengan gabapentin mengalami penurunan intensitas nyeri > 50% pada akhir terapi. Peran gabapentin dalam menurunkan dosis opioid dan menurunkan intensitas nyeri pasien kanker paru-paru masih perlu diteliti lebih lanjut.
Lung cancer is the third most prevalent cancer in Indonesia. Cancer pain is one of the most common symptoms experienced by cancer patients. Opioids as treatment of cancer pain has numerous adverse effects which may be fatal along with the increase of its doses. Therefore, combining opioids with its adjuvant serves as an alternative to minimize its negative effects. This study aims to determine the effects of gabapentin as opioid adjuvant on opioid dose and pain intensity in lung cancer patients. The sample size obtained for the opioid group is 43 patients and 34 for the opioid with gabapentin group. No significant difference of opioid dose and pain intensity between patients who received opioid and patients who received opioid with gabapentin. The majority of patients (44,15%) of all included patients are pain-free at the end of their therapy. 79,06% of patients with opioid therapy and 88,24% patients with opioid and gabapentin have a > 50% decrease of pain intensity at the end of their therapy. The role of gabapentin in decreasing opioid dose and pain intensity in lung cancer patients need to be studied further."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Andy
"Latar Belakang. Nyeri pascaoperasi abdomen bawah merupakan salah satu komplikasi yang sering dikeluhkan pasien. Walaupun intensitasnya lebih rendah dibandingkan nyeri pascaoperasi abdomen atas, tetapi prosedur pembedahan ini lebih sering dilakukan di rumah sakit. Penggunaan gabapentin sebagai analgesia preemtif yang diberikan dua jam sebelum operasi dilaporkan dapat mengurangi nyeri pascaoperasi dan mengurangi kebutuhan analgesia pascaoperatif pada pasien yang menjalani pembedahan. Penelitian mengenai efektivitas gabapentin oral sebagai analgesia preemtif pada operasi abdomen bawah belum pernah dilakukan di Indonesia. Metode. Uji klinis acak tersamar ganda terhadap 72 subjek yang didapatkan dengan consecutive sampling pada November 2019 – Februari 2020 di RSU Kabupaten Tangerang. Subjek yang memenuhi kriteria dirandomisasi menjadi dua kelompok untuk mendapatkan regimen analgesia preemtif gabapentin 600 mg oral atau plasebo dua jam sebelum insisi. Pasien dilakukan penilaian kebutuhan morfin, derajat nyeri, saat pertama membutuhkan morfin, dan efek samping pada kedua kelompok dalam 24 jam pertama pascaoperasi. Analisis hasil menggunakan uji general linear model (GLM) dan anova untuk pengukuran berulang dan Mann-Whitney U. Hasil. Uji GLM menunjukkan ada perbedaan bermakna pada total kebutuhan morfin dalam 24 jam pascaoperasi antara kelompok gabapentin (2,47±1,90 mg) dengan plasebo (5,33±1,97 mg; p<0,001). Derajat nyeri saat istirahat dan bergerak saat pulih sadar, 2 jam, 6 jam, 12 jam, dan 24 jam pascaoperasi antara kedua kelompok didapatkan hasil berbeda bermakna dengan p<0,05. Uji Mann-Whitney menunjukkan ada perbedaan bermakna pada saat pertama subjek membutuhkan morfin untuk rescue analgesia antara kelompok gabapentin (161,5 [25 – 990] menit) dengan plasebo (67,5 [10 – 371] menit) dengan p<0,001. Kejadian mual pada kelompok gabapentin didapatkan lebih rendah dibandingkan kelompok plasebo. Simpulan. Gabapentin 600 mg oral lebih efektif dibandingkan plasebo sebagai analgesia preemtif pada operasi abdomen bawah nonobstetrik. Kejadian mual lebih sedikit pada pemberian analgesia preemtif gabapentin.
Background. Lower abdominal postoperative pain is one of the most common postoperative complications reported by the patients. Although the pain intensity is lower than upper abdominal postoperative pain, lower abdominal surgery procedures are more often conducted in the hospital. Gabapentin therapy as preemptive analgesia given two hours before surgery has been reported to reduce postoperative pain and decrease postoperative analgesia requirements. There have been no studies in Indonesia reporting the effectiveness of oral gabapentin as preemptive analgesia to reduce lower abdominal postoperative morphine requirements. Method. Double-blind randomized clinical trial was conducted from 72 subjects by consecutive sampling on 2019 November-2020 February at Tangerang District General Hospital. Subjects fulfilling criteria were randomized into two groups and were given gabapentin 600 mg orally or placebo two hours before incision. Patients’ morphine requirements, pain scale at the first time morphine administration, and side effects on two groups on the first 24 hour postoperative were assessed. Result analysis was conducted using general linear model (GLM) and anova for repeated measurements and Mann-Whitney U. Result. GLM showed that there was significant difference on first 24-hour postoperative total morphine requirements between gabapentin group (2.47±1.90 mg) and placebo group (5.33±1.97 mg; p<0.001). Pain scale at rest and movement while on recovery, 2 hours, 6 hours, 12 hours, and 24 hours after surgery were significantly different between two groups with p<0.05. Mann-Whitney test showed significant different results for the first time patient requiring morphine as rescue analgesia between gabapentin group (161.5 [25 – 990] minutes) and placebo group (67.5 [10 – 371] minutes) with p<0.001. Nausea events on gabapentin group was reported lower than placebo group. Conclusion. Gabapentin 600 mg orally is more effective than placebo as preemptive analgesia for nonobstetric lower abdominal surgery. Nausea events were reported lower when gabapentin given as preemptive analgesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Hubert Andrew
"Kanker payudara adalah kanker dengan prevalensi tertinggi di Indonesia. Dengan prevalensi sebesar 30–50%, nyeri kanker adalah salah satu komplikasi kanker tersering yang dapat menurunkan mutu hidup penderitanya. Nyeri kanker, yang merupakan sejenis nyeri campuran, dapat diakibatkan oleh perjalanan penyakit atau terapi antikanker. Umumnya nyeri kanker ditangani dengan pemberian opioid dengan/tanpa adjuvan. Namun, opioid memiliki efek samping yang bersifat dose-dependent sehingga penggunaannya harus tepat guna agar memaksimalkan manfaatnya sekaligus meminimalisasi risikonya. Studi ini meneliti efek dari pemberian adjuvan gabapentin terhadap intensitas nyeri dan dosis opioid pasien dengan nyeri kanker payudara. Data rekam medis dari 58 pasien dengan nyeri kanker payudara dari dua rumah sakit rujukan di Jakarta diinklusi untuk studi kohort retrospektif ini. Data yang diambil meliputi profil klinis pasien, derajat nyeri, dan dosis opioid. Analisis statistik tidak menemukan adanya perbedaan yang signifikan dalam median intensitas nyeri maupun median dosis opioid antara kelompok pasien dengan nyeri kanker payudara yang menerima adjuvan gabapentin dengan yang tidak. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan peran gabapentin sebagai adjuvan dalam tata laksana nyeri kanker. Penelitian-penelitian selanjutnya disarankan untuk memperbanyak jumlah pasien dan mengendalikan faktor-faktor perancu seperti status opioid dan pemberian adjuvan lain.
Breast cancer is the most prevalent cancer in Indonesia. With a prevalence of 30–50%, cancer pain is a frequent complication of cancer which may lower patient quality of life. Cancer pain, a type of mixed pain, may develop from cancer progression or anticancer therapy. Opioids with/without adjuvants are usually administered to manage cancer pain. However, opioids are associated with dose-dependent side effects. Hence, the administration of opioids should be efficient to maximize benefit and minimize risks. This research studied the effect of adjuvant gabapentin administration on the severity of pain and opioid dose of patients with breast cancer pain. This retrospective cohort study included medical records from 58 patients with breast cancer pain from two tertiary hospital in Jakarta. Patients’ clinical profile, pain severity level, and opioid doses were collected. Statistical analyses did not find a significant difference in median pain severity level and median opioid dose between patients with breast cancer pain who received gabapentin and those who do not. Further research is warranted to determine the role of gabapentin as adjuvant in the management of cancer pain. Future studies should increase the sample size and control confounders such as opioid status and the administration of other adjuvants."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Alma Milania Djamal
"Latar Belakang Kanker nasofaring menduduki peringkat keempat kanker terbanyak di Indonesia. Di antara gejala-gejalanya, sakit kepala sering dilaporkan dan terkadang menjadi satu- satunya keluhan. Opioid telah lama menjadi pendekatan utama untuk mengatasi nyeri kanker neuropatik; namun efektivitasnya sering kali dianggap kurang optimal. Akibatnya, obat-obatan tambahan, termasuk Gabapentin, sering kali diintegrasikan ke dalam rejimen pengobatan untuk meningkatkan manajemen nyeri. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kemanjuran terapi opioid saja dan terapi kombinasi dalam pengobatan nyeri kanker. Metode Sebuah studi kohort retrospektif dilakukan dengan meninjau rekam medis dari dua rumah sakit di Jakarta, Indonesia. Penelitian ini mencakup sampel 139 pasien yang didiagnosis menderita kanker nasofaring. Ekstraksi data meliputi demografi pasien, resep opioid awal dan akhir, intensitas nyeri awal dan akhir yang dinilai dengan Numerical Rating Scale (NRS), jenis kanker nasofaring, dan peresepan gabapentin. Hasil Analisis statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam rata-rata penurunan NRS. Pasien dalam kelompok terapi kombinasi, termasuk gabapentin sebagai bahan pembantu, mengalami penurunan rata-rata skor Numerical Rating Scale (NRS) sebesar 2,141, sedangkan pasien pada kelompok opioid saja mengalami penurunan rata-rata skor NRS sebesar 0,894. Kesimpulan Studi ini menyoroti penurunan signifikan secara statistik pada rata-rata skor NRS, yang menegaskan potensi kemanjuran gabapentin sebagai bahan tambahan opioid dalam mengurangi nyeri kanker di antara pasien kanker nasofaring.
Introduction Nasopharyngeal cancer ranks as the fourth most prevalent cancer in Indonesia. Among its symptoms, headaches are frequently reported and, at times, can be the sole complaint. Opioids have long been the primary approach to managing neuropathic cancer pain; nonetheless, their effectiveness is often considered suboptimal. As a result, adjuvant medications, including Gabapentin, are frequently integrated into treatment regimens to augment pain management. This study aims to compare the efficacy of opioid-only and combination therapy in the treatment of cancer pain. Method A retrospective cohort study was undertaken by reviewing medical records from two hospitals in Jakarta, Indonesia. The study encompassed a sample of 139 patients diagnosed with nasopharyngeal cancer. Data extraction included patient demographics, initial and final opioid prescriptions, initial and final pain intensity assessed by the Numerical Rating Scale (NRS), type of nasopharyngeal cancer, and the prescription of gabapentin. Results Statistical analysis demonstrated a significant difference in mean NRS reduction. Patients in the combination therapy group, including gabapentin as an adjuvant, experienced a mean reduction of 2.141 in Numerical Rating Scale (NRS) scores, while those in the opioid-only group had a mean reduction of 0.894 in NRS scores. Conclusion The study highlighted the statistically significant reduction in mean NRS scores, affirming the potential efficacy of gabapentin as an adjuvant to opioids in alleviating cancer pain among nasopharyngeal cancer patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library