Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 51 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hardius Usman
"Keberadaan pekerja anak-anak banyak mendapat perhatian berbagai pihak. Disamping dianggap melanggar hak-hak anak, juga dikuatirkan bekerja dapat menimbulkan dampak buruk bagi perkembangan anak. Akan tetapi, bagi Indonesia melarang anak-anak bekerja bukanlah tindakan rasional, mengingat keadaan sosial ekonomi Indonesia. Sekalipun demikian, pekerja anak harus dikurangi secara bertahap yang didasarkan pada skala prioritas. Untuk membuat skala prioritas ini dibutuhkan pengkajian dari berbagai aspek.
Berdasarkan hal tersebut, maka tesis ini mencoba untuk meneliti beberapa permasalahan pekerja anak, sehingga dapat memberi rekomendasi guna pembuatan prioritas dalam rangka mengurangi pekerja anak.
Tesis ini mempunyai beberapa fokus pembahasan, yaitu melihat kondisi pekerja anak-anak, mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya pekerja anak-anak, dan melihat karakteristik pekerja anak yang mengalami eksploitasi. Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber pads Survei Sosial Nasional (Susenas) KOR tahun 2000. Oleh karena keterbatasan informasi pada sumber data maka pekerja anak-anak dibatasi untuk penduduk yang berusia 10-14 tahun saja. Sedang metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis inferensial dengan membuat model regresi logistik. Variabel babas yang digunakan dalam pembuatan model adalah daerah tempat tinggal, lapangan usaha kepala rumahtangga (KRT), status pekerjaan KRT, pendidikan KRT, jenis kelamin KRT, rata-rata pengeluaran rumahtangga per kapita per bulan, dan jenis kelamin anak.
Analisis situasi yang digunakan untuk melihat kondisi pekerja anak-anak memberikan beberapa hasil, yaitu: sebagian besar pekerja anak-anak tinggal di daerah pedesaan, dan bekerja di sektor pertanian, dengan status sebagai pekerja keluarga/tak dibayar. Sedang berdasarkan jenis kelamin, persentase anak laki-laki yang menjadi pekerja ternyata lebih tinggi dibanding anak perempuan.
Berdasarkan model regresi logistik, terlihat adanya kecenderungan semakin rendah rata rata pengeluaran rumahtangga per kapita per bulan, maka akan semakin tinggi resiko anak-anak untuk bekerja. Karakteristik kepala rumahtangga, yaitu: pendidikan, lapangan usaha, status pekerjaan, dan jenis kelamin, juga mempunyai pengaruh yang mengakibatkan timbulnya pekerja anak-anak, Disamping itu, daerah tempat tinggal, dan jenis kelamin anak juga ikut mempengaruhi timbulnya pekerja anak-anak.
Pekerja anak-anak yang mengalami eksploitasi berdasarkan kriteria akses ke pendidikan, jam kerja, dan upah/gaji menunjukan kondisi yang memprihatinkan. Semua propinsi di Indonesia ternyata terdapat anak-anak yang mengalami eksploitasi tersebut. Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, Bali, Sulawesi Utara, merupakan propinsi-propinsi yang perlu mendapat perhatian dalam masalah eksploitasi pekerja anak-anak."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2002
T9562
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luddin, Muchlis Rantoni
"ABSTRAK
Dimensi persoalan pekerja anak di perkebunan teh tidak hanya berkaitan dengan persoalan pendidikan, kemiskinan, ekonomi keluarga dan budaya lokal, melainkan pula berhimpitan dengan aspek lain di balik fenomena pekerja anak itu yakni perhatian perusahaan dan pemerintah daerah yang kurang, tempat tinggalnya yang di isolir dari pusat kegiatan ekonomi dan tidak ada program aksi oleh institusi yang berkompeten dalam membina kehidupan masyarakat.
Pekerja anak di perkebunan teh Ciliwung perlu diteliti karena dianggap mengalami perlakuan eksploitasi. Eksploitasi dilakukan karena pekerja anak dianggap produktif, bekerja tanpa menimbulkan masalah, menerima sedikit upah tanpa protes. mudah diatur dan penurut. Karena itu, di balik fenomena pekerja anak ada masalah eksploitasi. Pertanyaannya adalah bagaimana eksploitasi itu dilakukan?; mengapa eksploitasi dilakukan pada anak yang masih belia?; siapa saja yang melakukan tindakan eksploitasi?; apa yang menyebabkan anak-anak itu terjerumus dalam tindakan eksploitatif orang tua dan majikannya?; bagaimana pola eksploitasi dilakukan kepada anak-anak yang bekerja?; bagaimana peta, struktur dan hirarki eksploitasi pekerja anak itu?; bagaimana motif kemiskinan dijadikan sebagai alat melakukan eksploitasi pekerja anak?; bagaimana dampak tindakan eksploitasi itu terhadap perkembangan jiwa dan Fisik pekerja anak.
Bagi kaum Marxis, eksploitasi dianggap sebagai upaya menarik keuntungan yang tidak adil oleh hak-hak istimewa dari pemilikan pribadi. Menurut Wright konsep eksploitasi terkait dengan analisis kelas yakni kelas kapitalis sebagai pemilik sarana produksi dan kelas pekerja yang tidak memiliki sarana produksi. Dalam terminologi libetarian, eksploitasi sering diikuti pemaksaan. Karena itu, Best memandang eksploitasi sebagai pengambilan keuntungan secara tidak adil oleh satu pihak kepada pihak lain. Eksploitasi memiliki ciri, al.: (a) berlangsung dalam relasi antar manusia, (b) setidaknya ada dua pihak yang terlibat yakni pihak yang mengeksploitisir dan pihak yang dieksploitisir, (c) ukurannya adalah keadilan, (d) terdapat distribusi yang tidak wajar dalam hubungan itu. Ukuran ketidakadilan dalam eksploitasi juga dinyatakan oleh Calvert dan Calvert bahwa ketidakadilan sering muncul dalam pekerjaan sehingga menimbulkan masalah, termasuk masalah pekerja anak yang dieksploitasi.
Penelitian ini memakai pendekatan kualitatif-analitis. Data dikumpulkan melalui berbagai sumber yaitu dari informan kunci yakni pekerja anak itu sendiri, teman sebaya dan keluarganya dan sumber tertulis. Penelitian diawali dengan pengenalan lapangan dan observasi guna beradaptasi dengan kehidupan pekerja anak. Kemudian, peneliti menggunakan teknik observasi, "quasi-partisipasi", interview mendalam dan focus group discussion agar peneliti dapat berinteraksi secara optimal dengan pekerja anak dan menyelami perangainya di tempat kerja, di rumah dan di lingkungannya. Peneliti juga menerapkan teknik dokumentasi untuk rnemperoleh data sekunder dan tertier.
Berdasarkan studi yang dilakukan, diperoleh beberapa temuan penelitian. Derajat eksploitasi yang terjadi sifatnya berjenjang. Semakin ke bawah tingkat eksploitasi akan semakin besar implikasinya, sebaliknya, semakin ke atas tingkat eksploitasi akan semakin rendah implikasinya. Eksploitasi yang dilakukan oleh majikan menghujam ke bawah kepada para pekerja, di mana dilakukan secara sistimatis, lebih terbuka dan dibarengi dengan penekanan. Pada kenyataannya, anak bekerja karena "dipaksa" oleh orang tuanya dan menjadi agen penyetor yang memberi konstribusi bagi kelangsungan hidup keluarganya dan menghidupi dirinya sendiri. Bahkan, prinsip no work, no pay dijadikan sebagai analogi bahwa jika anak mau jajan maka harus mencari uang sendiri. Temuan ini sekaligus menunjukkan bahwa asumsi selama ini mengenai anak-anak bekerja karena ingin membantu orang tuanya, tidak sepenuhnya benar. Anak yang tidak bekerja akan diberi sanksi, yakni sanksi kehilangan haknya sebagai anak untuk dipenuhi kebutuhan hidupnya yang elementer dan sanksi moral karena dianggap tidak bertanggung jawab terhadap orang tua dan keluarganya. Eksploitasi oleh pihak yang memiliki otoritas di perkebunan terhadap pekerja anak juga dibarengi dengan tindakan pelecehan, termasuk pelecehan seksual yang dilakukan oleh mandor terhadap wanita pekerja anak. Derivasi bentuk eksploitasi ini dianggap masih relatif jarang dalam kajian teoritis tentang eksploitasi. Selain itu, tindakan eksploitasi berlangsung secara formal dan informal. Bagi masyarakat miskin di perkebunan teh, ikatan sosial semakin kuat dalam kerangka membangun relasi sosial-kemasyarakatan, namun sebaliknya semakin rendah dalam relasi ekonomi, guna mempertahankan aset-aset ekonomi keluarga. Perusahaan perkebunan teh Ciliwung menempuh kebijakan bahwa setiap penduduk yang berdomisili di areal perkebunan teh wajib menjadi pekerja sehingga anak-anak yang sudah tidak bersekolah 'diminta' menjadi pekerja. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian terdahulu yang menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak melanjutkan sekolah disuruh menjadi pekerja.
Namun demikian, asumsi bahwa bekerja di perusahaan merupakan simbol kesejahteraan keluarga besar perusahaan, tidak sepenuhnya benar sebab ternyata pekerja anak dan keluarganya di Perkebunan Teh Ciliwung senantiasa dieksploitasi dan hidup dalam batas subsistensi.
Seorang pekerja anak yang datang dari keluarga miskin cenderung selalu miskin atau dimiskinkan oleh kondisi yang mendera kehidupannya. Kepentingan pekerja anak dan keluarganya untuk mempertahankan eksistensinya juga diliputi konflik, meskipun masih bersifat latent kecuali kasus Entin dengan mandor Ali, karena posisi para pekerja, terutama pekerja anak selalu diletakkan dalam relasi yang eksploitatif, di mana majikan akan selalu memperoleh keuntungan dari para pekerja anak.
Gaya hidup majikan selalu identik dengan prestise dan pola konsumsi yang merefleksikan tingkat kekayaannya. PeneIitian juga menemukan bahwa pekerja anak yang memberikan kontribusi yang cukup besar kepada perusahaan, justru tidak mempunyai akses terhadap pemanfaatan aset perusahaan. Pekerja tidak diberi kesempatan mengontrol jalannya perusahaan, termasuk mengontrol besarnya perolehan perusahaan dari hasil kerjanya. Pekerja dibatasi haknya untuk memperoleh informasi tentang perusahaan, bahkan birokrasi perusahaan sengaja dibuat berjenjang agar dapat membatasi akses pekerja kepada pimpinan perusahaan, sehingga pekerja hanya dapat berhubungan dengan petugas atau penanggungjawab lapangan. Pekerja anak juga tidak berhak untuk memiliki aset produktif. Nilai seorang pekerja di hadapan majikan ditentukan oleh seberapa banyak penghasilan yang diperoleh dan biaya transaksi upah yang disepakati. Lebih banyak nilai perolehan upah dan hasil kerja yang bisa dipotong atau dieksploitasi oleh majikan, maka pekerja akan semakin merasa dieksploitasi.

ABSTRACT
The Exploitation Of The Child Worker On The Tea Plantation In Cisarua BogorThe dimensions of child worker issue at the plantation not only deals with the education, poverty, family economic life, and local culture but also other aspects like less attention of the company and local government (PEMDA), isolated setting away from business centers, no implementation program by institutions competent in developing and sustaining the economic and social life of community.
The child worker case at Ciliwung tea plantation assumed have been exploited needs to be researched. The exploitation happens because child workers are considered productive, relatively no-causing work problem. accepting little wage without complaint easily managed, and obedient. Thus, behind this child worker phenomenon lies exploitation issue. The question is how this exploitation is carried out?: why this exploitation makes use of very young children?; what make these children arc exploited by their parents and employers?; what the exploitation pattern applied on these children are?; what the exploitation structure and hierarchy of these child workers are?; how this poverty motive is made use to exploit these child workers?; what is the impact of this exploitation on the physical and psychological development of child workers?.
For Marxists, exploitation is defined as an effort to make profit in such an unfair way by using privileged right of the private ownership. According to Wright, the exploitation concept is related to the class analysis, that is the capitalist class as the owner of the means of production and the worker class with no means of production. In Libertarian terminology, exploitation is usually followed by force. That is why, Best views exploitation as the unfair profit taking from one party by the other one. Exploitation has the following characteristics: (a) it takes place in the relationship among humans, (b) there are as least two parties involved; the exploiting and the exploited ones, (c) the parameter is justice, (d) there is an unequal-distribution in the relationship. The injustice parameter in exploitation is also stated by Calvert and Calvert that injustice often anises in work world and brings problems, including the problem of exploited child workers.
This research use qualitative-analytic approach. Data were collected from various sources. They are the key informant; the child workers themselves, their colleagues and families and also the written information. The research was initiated with the field observation in order to adapt with the child worker life. Than by using the observation technique, "quation-participation", in depth interview, and focus group discussion, the researcher interacted optimally with the child workers and learned their behavior at the work site, home, and neighbourhood. The researcher also applied the documentation technique in other to gain secondary and tertiary data.
On the basis of the study conducted, it was gained several research findings. It was found that degrees of exploitation was gradual. The lower the exploitation degrees is, the bigger its implication will be, on the contrary, the higher the degree of exploitation is the smaller its implication will be. Exploitation done by the employer is directed straight to the workers. In which it is carried out systematically, more open and with pressure. As a matter of fact, this children work because they are "forced" by they parents and economically become the contributors to the sustainability of their family and their own lives_ Even, the principle of "no work no pay" is used as an analogy that if a child needs to buy something, be alone has to earn money for that. This finding shows that the assumption that children work for helping their parents is not completely right. A child who does not work will be sanctioned, that is the loss of his right to full his elementary need and morally considered irresponsible for his parents and family. The exploitation of these child workers at the plantation by the authorized employers is also signed with the harassment, including the sexual harassment by the male supervisors to the female child workers. The derivation of the exploitation form is relatively are in the theoretical study of the exploitation. Besides, exploitation occurs formal and informal ways. For poor community at tea plantation, social cohesion is getting stronger in building their social relation, but it's getting weaker in building their economic relation in order to keep the family economic assets. The company of Ciliwung tea plantation implements the policy that at people living in the plantation are must work at the plantation including their children who no longer go to school. This finding is in line with the former research finding that children are who no longer go to school are 'asked' to work at the plantation. However, the assumption that working at the plantation is the prosperity symbol of the company big family is not completely right, because in fact the child workers and their parents are exploited and live in substantial limit.
A child worker from poor family tend to always be poor or to be 'pored' {made poor) by such life condition. The need of the child workers and their parents to survive and keep their existence is also covered with latent conflict, except the case of Entin and Supervisor that happens because the workers position, especially child workers is always placed in an exploitative relation in which the employer always take advantage from them.
The employer's life style is always identical with the prestige and consumption pattern reflecting his wealth. Research also found that even a child worker giving a significant contribution to the company, does not have access to use company asset. Workers are not given opportunity to control the operation of the company, including to control the amount of profit that they contribute. Workers' right of getting information on the company is restricted, even the company bureaucracy is composed in such a gradual way that higher the workers to have direct access to the top leader, that the workers just have the access to the supervisor or field officer. A child worker has no right to own productive asset. The value of a worker for the employer is determined by the amount of gain he earns and the cost of the wage transaction having been agreed. The more the amount of wage and the work gain that can be reduced or exploited that more exploited the worker is"
2002
D199
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Deforestation in Indonesia had became a serious threat for environment concervation and economic society, initially it happen in era Oede Baru Indonesia reduce forest as an instrument to middle construction with took forest materially exploitation without redeforestation effort toward the forest at least it will harmful a society surrounding the forest and environment itself. In the end Indonesia in political environment interest should have bargaining power position with international society from economic of from their environment."
ALJUPOP
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nathanael Janong
"Masuknya peristiwa pandemi di Indonesia telah menghasilkan perubahan sistem kerja dari offline menjadi online, yang dianggap mampu membawa fleksibilitas kerja. Walau begitu, nyatanya implementasi “fleksibilitas” ini malah digunakan sebagai alat eksploitasi. Sebagai mahasiswa, magang dapat dinilai sebagai ‘celupan’ pertama kepada dunia kerja. Pengalaman yang didapatkan dari proses magang sangatlah penting terhadap proses, persepsi, ataupun etos kerja mereka kedepannya. Maka, penelitian ini ingin menganalisis proses eksploitasi dalam pekerjaan magang remote. Hasil penelitian menemukan bahwa eksploitasi masih umum dalam pengalaman magang remote; yang terjadi dalam 3 bentuk utama yaitu kerja berlebihan, underpaid, dan ketidakadaan representasi bagi pekerja. Beratnya eksploitasi telah merusak kesehatan fisik dan mental, menyebabkan mahasiswa merasa stres hingga depresi. Akibatnya, terdapat mahasiswa yang mengalami perubahan persepsi signifikan dalam bentuk membatasi kerja dengan kehidupan pribadi, dan bekerja secara independen atau di luar negeri. Di sisi lain, terdapat mahasiswa yang tidak sadar dan bahkan menyetujui tindak eksploitasi yang dialaminya. Adanya persetujuan ini merupakan hasil manufacturing consent yang dilakukan secara aktif (hubungan personal manajemen dengan pekerja) dan pasif (normalisasi eksploitasi, status magang yang sementara, magang yang seringkali diwajibkan). Maka, ditemukan bahwa eksploitasi disebabkan oleh manipulasi struktur magang dan peran manajemen, yang merupakan upaya labour control perusahaan untuk mengatur kehidupan pekerja dan memaksimalisasi profit.

The entry of the pandemic in Indonesia has resulted in a shift from offline to online work systems, seen as bringing work flexibility. However, in reality, the implementation of this "flexibility" is being used as a tool for exploitation. Internships, as the first exposure to the working world for students, significantly impact their future processes, perceptions, and work ethics. Therefore, this research aims to analyze the process of exploitation in remote internship. Findings shows that exploitation is still prevalent in remote internship, taking three main forms: overwork, underpayment, and lack of representation. The severity of exploitation has resulted in physical and mental health issues, leading students to feel stressed and depressed. Consequently, some students have experienced significant changes in their perceptions, such as limiting their work involvement in personal life, and choosing to work independently or abroad. Meanwhile, some students are unaware and even consent to exploitation, which result from active (personal relationships with management) and passive (normalization of exploitation, temporary internship status, and the often mandatory nature of internships) manufacturing consent. As a result, it is found that exploitation is driven by internship structure manipulation and management roles, serving as labour control to regulate workers' lives and maximize profits. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Suarni
"Fenomena AYLA adalah sebuah fenomena tragedi kemanusiaan yang luar biasa yang terjadi hampir di setiap pelosok. Keluarga sebagai salah satu tempat yang seharusnya teraman dan ternyaman bagi anak, narnun pada kenyataannya justru sebaliknya kondisi keluargalah yang mendorong anak menjadi AYLA tidak saja secara ekonomi melainkan faktor keretakan keluarga. Sebagai akibat dari terjerumusnya anak ke dunia pelacuran dapat berdampak pada fisik, psikis dan sosial anak sehingga proses tumbuh kembangnya terganggu.
Berangkat dari fenomena tersebut yang mendorong Remaja Ulet Bandung sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang masih baru berdiri untuk kansen dan memberikan pelayanan kepada anak yang dilacurkan khususnya dalam bidang kesehatan, mengingat resiko kesehatan sangat dekat dengan anak yang dilacurkan dan akan mengancam jiwa anak tersebut.
Bardasarkan uraian di atas, penelitian ini berusaha mendeskripsikan perlindungan kesehatan yang dilakukan AYLA dan bagaimana LSM Remaja Ulet berperan serta membantu mereka untuk mencegah dan meminimalisir resiko kesehatan bagi anak yang dilacurkan di Kota Bandung. Remaja Ulet sebagai salah satu lembaga yang sangat peduli dengan permasalahan anak yang dilacurkan menangani langsung kasus-kasus kesehatan balk penyakit bersifat umum maupun Penyakit Menular Seksual (PMS). Dalam perkembangannya masalah kesehatan adalah salah satu masalah yang sangat serius dan perlu penanganan segera.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif untuk menggali informasi-informasi tentang perlindungan kesehatan anak yang dilacurkan dampingan LSM Remaja Ulet, yang diperoleh melalui infer-man.
Hasil temuan penelitian menunjukkan perlindungan kesehatan anak yang dilacurkan terdiri dari konseling kesehatan, melalui informasi berupa leaflet, ke dokter atau ke rumah sakit melalui rujukan Remaja Ulet, mengkonsumsi obat-obatan anti biotik dan obat-obat lainnya yang tersedia di warung-warung. Sedangkan secara garis besarnya perlindungan kesehatan anak yang dilacurkan dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu perlindungan kesehatan yang bersifat pencegahan (prevenfif) dan perlindungan kesehatan bersifat pengobatan (kuratif).
Perlindungan kesehatan yang dilakukan anak yang dilacurkan lebih banyak berkaitan dengan masalah kesehatan reproduksi, mengingat anak yang dilacurkan termasuk anak yang memiliki aktivitas yang high risk, karena prilaku seksual dengan berganti-ganti pasangan diperparah lagi dengan tingkat kematangan mereka baik secara pemikiran maupun seksual. Gatal-gatal pada begian vagina, keputihan, aborsi adalah jenis penyakit kelamin yang pernah umumnya diderita oleh anak yang dilacurkan. Karena penyakit tersebut bukanlah penyakit yang ringan dan merupakan Penyakit Menular Seksual (PMS) sehingga penanganannya harus dilakukan dengan cara-cara medis, sehingga pada saat anak yang dilacurkan mengalami penyakit kelamin seperti yang telah disebutkan, maka mereka dengan dorongan diri sendiri meminta bantuan kepada pendamping atau Social Worker Remaja Ulet untuk mengantar atau merujuk ke dokter praktek, akupunktur atau rumah sakit jaringan Remaja Ulet. Mengingat penyakit menular seksual akan berdampak, jangka panjang dan tidak bisa disembuhkan tanpa bantuan tenaga medis yang profesional sehingga mendorong anak yang dilacurkan senantiasa berhati-hati dan lebih 'memiliki tindakan pencegahan (preventif) yakni dengan membersihkan vagina mereka dengan menggunakan sabun pembersih khusus wanita. air daun sirih dan ada juga yang menggunakan air garam. Cara-cara yang dilakukan oleh mereka dalam melindungi kesehatan mereka sangat bervariasi tergantung pada tingkat pengetahuan mereka mengenai penyakit-penyakit kelamin dan penanganannya.
Penelitian ini menemukan beberapa yang sekiranya dapat menjadi renungan, analisis bersama serta dapat menjadi tugas bersama untuk membenahinya, agar perlindungan kesehatan anak yang dilacurkan dapat lebih maksimal, sehingga resiko-resiko yang berkaitan dengan kesehatan dapat diminimalisir yang pada akhirnya anakanak dapat terselamatkan dan dapat meraih kembali hak-haknya, sehingga disarankan agar perlu adanya langkah-langkah yang dilakukan agar sebisa mungkin anak-anak mendapatkan hak-haknya secara layak sesuai dengan Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, diharapkan keluarga sebagai tempat yang paling dekat bagi anak, sudah selayaknya keluarga menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi seorang anak, adanya langkah preventif yang dapat ditempuh oleh semua pihak pemerintah, LSM, akademisi dan masyarakat agar anak dapat tercegah dari bentukbentuk eksploitasi, dengan menyediakan aksess pelayanan yang ramah anak sehingga anak memiliki alternatif tempat yang aman dan nyaman untuk tumbuh dan berkembang secara layak, menyediakan akses yang dapat menjadi alternatif pencarian nafkah misalnya dengan membekali mereka keterampilan yang memadai dan modern sehingga mereka betul-betul siap untuk bekerja di tempat-tempat yang aman dan nyaman bagi anak sehingga perlahan-lahan anak yang dilacurkan dapat meninggalkan aktivitasnya di dunia malam karena adanya alternatif pekerjaan untuk menghasilkan uang yang memadai dan adanya perhatian serius dari berbagai pihak untuk melakukan langkah-langkah prevenlif. kuratif dan rehabilitafif bagi AYLA dan memberikan bekal pengetahuan yang maksimal kepada AYLA untuk meningkatkan perlindungan kesehatan mereka."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T13727
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rido Budiman
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang bagaimana mistisisme dan seksualitas
direpresentasikan dalam proses penerjemahan budaya dan cultural borrowing
dalam Lady Terminator, Queen of Black Magic dan Mystics in Bali, 3 film
eksploitasi dari Indonesia yang didistribusikan di dunia internasional. Dengan
melakukan analisis tekstual dan kontekstual, tujuan utama penelitian ini adalah
membongkar strategi-strategi pemaknaan yang digunakan dalam ketiga film
tersebut sebagai bagian dari kategori film eksploitasi. Hal ini terlihat dari hasil
penelitian yang menunjukkan film eksploitasi dari Indonesia yang didistribusikan
secara internasional masih setia dengan elemen-elemen yang mendefinisikan film
eksploitasi (kekerasan, dan seksualitas) dan juga unsur mistisisme yang menjadi
ciri khusus film eksploitasi dari Indonesia. Di satu sisi, film-film ini dengan
strategis memanfaatkan unsur mistisisme sebagai daya tarik untuk penonton
internasional. Akan tetapi, ada strategi-strategi yang dilakukan baik dalam tataran
narasi maupun visual untuk memastikan produk budaya populer ini dapat
dinikmati atau bahkan dipahami oleh penonton internasional dan salah satunya
adalah dengan merasionalkan unsur mistisisme. Selain membuat penonton
menikmati eksotisme yang ditawarkan dan merasa berjarak dengan narasi film
(distancing), film-film ini juga menggunakan strategi intertekstualitas dengan
meniru film-film Hollywood seperti Terminator untuk menciptakan kedekatan
(identification).

ABSTRACT
This thesis discusses how mysticism and sexuality are represented in the process
of cultural translation and cultural borrowing in Lady Terminator , Queen of Black
Magic and Mystics in Bali, three internationally distributed exploitation films
from Indonesia. By doing textual and contextual analysis, the main purpose of this
study is to dismantle the strategies used in the meaning making process in the
three films. Research finding reveal that internationally distributed exploitation
films from Indonesia are still loyal to the elements that define exploitation films
(violence, and sexuality) and also an element of mysticism which is a special
characteristic of exploitation films from Indonesia. These films strategically
utilize elements of mysticism as an appeal to an international audience. However,
there are strategies apply both at the level of the narrative and the visual to ensure
the products of popular culture can be enjoyed or even understood by an
international audience and one of them is to rationalize the element of mysticism.
In addition to making the audience enjoy the exoticism offered and felt within the
narrative of the film (distancing), these films also use the strategy of intertextuality
to imitate Hollywood movies, such as Terminator, to create proximity
(identification).;"
2016
T45910
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harta Haryadi
"Indonesia memiliki sumber daya batubara yang sangat besar dengan jumlah 125,28 miliar ton dan cadangan yang dapat ditambang sebesar 32,36 miliar ton. Selama 10 tahun terakhir (2005-2014) produksi
batubara Indonesia terus meningkat rata-rata 14% setiap tahunnya, sebagai upaya memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Berdasarkan data Dirjen Minerba 2015, produksi batubara selama tahun 2014 berjumlah 458 juta ton, dari jumlah tersebut 382 juta ton diekspor dan 76 juta ton dikonsumsi di dalam negeri. Konsumen
terbesar batubara di dalam negeri adalah PLN untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebesar 46,15 juta ton (64,00%), Indonesia Power Producer sebesar 15,95 juta ton (17,00%), industri semen, pupuk, pulp dan tekstil 9,91 juta ton (16,00%), non PLN dan non IPP sebesar 0,96 juta ton (2,00%) dan industri metalurgi sebesar 0,30 juta ton (1,00%). Dari rencana berdasarkan RPJMN, produksi batubara diperkirakan akan mencapai 443 juta ton pada tahun 2025, dengan 163 juta ton dikonsumsi di dalam negeri dan 280 juta ton diekspor. Selama 5 tahun terakhir (2012-2015), harga batubara ekspor terus mengalami penurunan yang sangat tajam, sehingga banyak produsen batubara skala kecil di dalam negeri menghentikan produksinya karena banyak mengalami kerugian akibat merosotnya harga batubara ekspor tersebut. Apabila kondisi ini terus berlanjut, maka akan mengganggu kondisi perbatubaraan nasional. Oleh sebab itu mulai saat ini pemerintah perlu mengambil langkah-langkah mengendalikan pengusahaan batubara melalui berbagai kebijakan, antara lain melalui pengendalian produksi, pembatasan ekspor dan jaminan pasokan untuk kebutuhan di dalam negeri khususnya dalam rangka mengamankan program pemerintah membangun PLTU sebesar 35.000 MW hingga 5 tahun kedepan."
Bandung: Pusat pendidikan dan pelatihan mineral dan batubara, 2015
622 TMB 9:2 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nurasiah Jamil
"ABSTRAK
Kejadian eksploitasi seksual anak di Indonesia meningkat 30% pertahun. Korban ESA merupakan remaja yang memiliki risiko tinggi tertular penyakit yang diakibatkan oleh hubungan seksial bebas. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran pengetahuan tentang kesehatan reproduksi pada korban eksploitasi seksual anak (ESA) yang mendapatkan pendampingan dari Yayasan Bina Sejahtera (Bahtera) Kota Bandung tahun 2016. Metode penelitian ini kualitatif, desain studi kasus dengan metode wawancara mendalam terhadap 20 informan, 15 informan anak dan 5 informan pendamping anak. Hasil penelitian mendapatkan pengetahuan informan anak tentang fisiologi kesehatan reproduksi hanya mengetahui sebatas organ tubuh secara umum bukan organ reproduksi. Pengetahuan informan tentang hubungan seksual adalah hubungan kelamin laki-laki dan perempuan, pengetahuannya tentang perilaku seksual berisiko yaitu memberikan nafkah bagi pasangan. Pengetahuan informan tentang masa subur dan risiko kehamilan adalah masa yang berhubungan dengan terjadinya kehamilan namun kehamilan tidak dapat terjadi jika hanya melkukan sekali hubungan seks. Sedangkan pengetahuan tentang alat kontrasepsi meliputi ketidaktahuan adanya kontrasepsi laki-laki. Adapun pengetahuan tentang kehamilan tidak diinginkan dan aborsi adalah hal yang sering terjadi dilingkungannya. Pengetahuan tentang infeksi menular seksual hanya satu jenis IMS yang diketahui yaitu Raja Singa yang dijenal dengan nama “kapatil”. Sedangkan pengetahuannya tentang HIV/AIDS adalah penyakit menakutkan yang ditularkan lewat hidung, mulut dan pencegahannya harus menjauhi ODHA. Sumber informasi tentang kesehatan reproduksi sebagian besar didapat dari teman sebaya.

ABSTRAK
The incidence of sexual exploitation of children in Indonesia increased by 30% per year. SEC victims are teenagers who have a high risk of transmited sexual diseases caused by free sexual relationship. The aim of this study is to describe about reproductive health knowledge of sexual exploitation of children victim that get assistance from Yayasan Bina Sejahtera Kota Bandung in 2016. This research method is qualitative, case study design with in-depth interviews with 20 informants, 15 informants are children and 5 informants are child companion. The results of the study informants children gain knowledge about the physiology of reproductive health only know the extent of organ generally not the reproductive organs. Informant knowledge about sexual relationships is the relationship of male and female, his knowledge of risky sexual behaviors that provide for the couple. Informant knowledge about fertility and pregnancy risk is associated with the period of pregnancy, but pregnancy can not occur if only happened once sex. While knowledge about contraceptives include ignorance of their male contraception. The knowledge of both unintended pregnancy and abortion is something that often happens in their environment. Knowledge of sexually transmitted infections is only one type of STI is known that the Lion King which known as "kapatil". While knowledge of HIV / AIDS is a terrible disease that is transmitted through the nose, mouth and prevention should stay away from people living with HIV. Sources of information about reproductive health mostly obtained from peers."
2016
S63278
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>