Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 105 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Beta Novianti Kusuma Ningrum
"Latar Belakang: Disfungsi saluran cerna berhubungan dengan luaran klinis yang lebih buruk pada pasien sakit kritis. Kadar albumin serum yang rendah merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko disfungsi saluran cerna. Hubungan kadar albumin dengan disfungsi saluran cerna masih inkonklusif karena pendekatan diagnostik disfungsi saluran cerna yang belum terstandarisasi dengan baik. Gastrointestinal dysfunction score (GIDS) instrumen dengan subjektivitas minimal dan reproduktifitas maksimal, diharapkan dapat menegakkan diagnosis disfungsi saluran cerna dengan objektivitas yang lebih baik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kadar albumin saat admisi dengan terjadinya disfungsi saluran cerna yang dinilai menggunakan GIDS. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif pada subjek berusia ≥18 tahun yang dirawat di ruang rawat intensif Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) dr. Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI). Karakteristik subjek penelitian berupa usia, jenis kelamin, status gizi, penyakit komorbid, diagnosis admisi intensive care unit (ICU), waktu inisiasi pemberian nutrisi oral atau enteral, kebiasaan mengonsumsi alkohol, dan skor sequential organ failure assessment (SOFA). Dilakukan analisis bivariat untuk menilai hubungan kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna. Hasil: Diperoleh 64 subjek, kelompok kadar albumin rendah 32 subjek dan kelompok kadar albumin normal 32 subjek. Rerata usia subjek 50,2±15,7, laki-laki 64,1%, 26,6% subjek dengan status gizi berat badan normal berdasarkan indeks massa tubuh (IMT), 50% subjek dengan malnutrisi secara klinis,  21,9% subjek dengan diagnosis komorbid diabetes melitus dan 3,1% subjek dengan parkinson, 34,4 % subjek dengan diagnosis admisi bedah, 95,3% subjek mendapatkan nutrisi oral atau enteral ≤ 48 jam, median skor SOFA 3 (0-12). Rerata kadar albumin  subjek dengan disfungsi saluran cerna 2,7±0,6 g/dL, rerata kadar albumin  subjek tidak disfungsi saluran cerna 3,7±0,7 g/dL. 31,3% subjek mengalami disfungsi saluran cerna. Terdapat hubungan signifikan secara statistik antara kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna RR 9 (95%CI 2,3-35,6; p <0,001) dan skor GIDS, p<0,001. Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna. Pemeriksaan kadar albumin saat admisi ICU idealnya dilakukan secara rutin dan diikuti dengan koreksi kadar albumin apabila ditemukan kondisi hipoalbuminemia.

Background: Gastrointestinal dysfunction is associated with worse clinical outcomes in critically ill patients. Low serum albumin levels are one factor that can increase the risk of gastrointestinal dysfunction. The relationship between albumin levels and gastrointestinal dysfunction is still inconclusive because the diagnostic approach to gastrointestinal dysfunction is not yet well standardized. Gastrointestinal dysfunction score (GIDS) is an instrument with minimal subjectivity and maximum reproducibility, which is expected to provide a diagnosis of gastrointestinal dysfunction with better objectivity. This research was conducted to determine the relationship between albumin levels at admission and the occurrence of gastrointestinal dysfunction as assessed using GIDS. Methods: This study is a prospective cohort study of subjects aged ≥18 years who were treated in the intensive care unit at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and RSUI. Characteristics of research subjects included age, gender, nutritional status, comorbid diseases, ICU admission diagnosis, time of initiation of oral or enteral nutrition, alcohol consumption habits, and SOFA score. Bivariate analysis was carried out to assess the relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction. Results: There were 64 subjects, 32 subjects in the low albumin level group and 32 subjects in the normal albumin level group. Mean age of subjects 50.2 ± 15.7, 64.1% male, 26.6% subjects with normal weight nutritional status based on BMI, 50% subjects with clinical malnutrition, 21.9% subjects with comorbid diagnosis of diabetes mellitus and 3.1%  subjects with Parkinson's, 34.4%  subjects with surgical admission diagnosis, 95.3% subjects received oral or enteral nutrition ≤ 48 hours, median SOFA score 3 ( 0-12). The mean albumin level of subjects with gastrointestinal dysfunction was 2.7 ± 0.6 g/dL, the mean albumin level of subjects without gastrointestinal dysfunction was 3.7 ± 0.7 g/dL. 31.3% of subjects experienced gastrointestinal dysfunction. There was a statistically significant relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction RR 9 (95%CI 2.3-35.6; p <0.001) and GIDS score, p<0.001. Conclusion: There is a significant relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction. Albumin levels examination during ICU admission should ideally be carried out routinely and followed by correction of albumin levels if hypoalbuminemia is found."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Neuharth, Dan
"Buku ini membahas mengenai cara agar seorang anak yang mengalami masa lalu buruk berkaitan dengan orangtuanya dapat menghadapi masalah tersebut dan menjalani hidupnya di masa depan dengan kendali atas masa lalu tersebut. terdiri atas 3 bagian yang difokuskan menjadi 24 bab."
New York: HarperCollins, 2002
616.89 NEU i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Magfira
"ABSTRAK
Latar belakang: Penelitian mengenai Disfungsi Seksual pada Wanita (DSW) masih jauh
tertinggal dibandingkan pada pria, saat ini hipertensi diketahui mempengaruhi terjadinya
disfungsi seksual pada pria. Namun, bagaimana hipertensi mempengarhui kejadian DSW
belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
hipertensi esensial dengan kejadian DSW.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di Klinik
Ikhalas Medika Kota Serang, Banten pada bulan Agustus-September 2019. Seluruh
perempuan yang berusia diatas 18 tahun, berpendidikan minimal SD, menikah,
melakukan hubungan seksual dalam 4 minggu terakhir, tidak memiliki riwayat diabetes,
kemoterapi, radiasi maupun operasi didaerah panggul selain section caesare
diikutsertakan dalam penelitian. Fungsi seksual wanita diukur menggunakan Female
Sexual Function Index-Indonesia (FSFI-I), subjek dikategorikan memiliki DSW apabila
nilai FSFI-I < 26.55. Analisa menggunakan modified Cox-regression digunakan untuk
mengetahui hubungan DSW dengan hipertensi esensial yang dinyatakan dalam Rasio
Prevalensi (PR) dan Interval Kepercayaan 95% (95%CI).
Hasil: Sebanyak 442 wanita diikutsertakan dalam penelitian ini dengan respons rate
penelitian sebesar 86.3%. Sebanyak 91.67% wanita dengan hipertensi (121/132) dalam
penelitian ini mengalami DSW dan sebanyak 72.9% (226/310) wanita tanpa hipertensi
mengalami DSW. Hipertensi diketahui meningkatkan kejadian DSW dengan nilai aPR
sebesar 1.76 kali lipat (95%CI: 1.20-2.60).
Kesimpulan: DSW merupakan masalah kesehatan yang umum dijumpai dan kejadiannya
diketahui meningkat pada wanita dengan hipertensi. Pengelolaan hipertensi dengan
pendekatan holistik perlu dilakukan termasuk didalamnya penilaian gangguan fungsi
seksual pada wanita dengan hipertensi.

ABSTRACT
Introduction: Comapared to male, the study regarding Female Sexual Dysfunction
(FSD) was far left behind. Recent study showed that high blood pressure is a major cause
of male sexual dysfunction. However, how hypertension affects women sexual function
was not completely understood. This study aims to investigate the relationship between
hypertension and FSD.
Methods: This is a cross-sectional study conducted in a private primary healthcare
clinic, in Serang City, Banten Province Indonesia from August-September 2019. All
women aged 18 years or older, at least elementary school graduated, had sexual activities
during the last 4 weeks were recruited. Exclusion criteria were pregnant, had history of
diabetes, or chemotherapy, radiation, or surgery in the pelvic region except for caesarean
section. Patient sexual function was assessed by the Indonesian validated Female Sexual
Function Index (FSFI-I). Patients were classified as having sexual dysfunction (SD) if the
total FSFI-I score was < 26.55. Modified cox-regression performed to evaluate the
association between hypertension and SD and to calculate the Prevalence Ratio (PR) for
SD in HT women.
Results: A total of 442 women were included in this study with a response rate of 86.3%.
A total of 91.67% women with hypertension (121/132) in this study had FSD and a total
of 72.9% women without hypertension (226/310) had FSD. Hypertension increased the
proportion of FSD with an aPR 1.76 (95% CI: 1.20-2.60).
Conclusion: FSD is a common problem and the prevalence increase in women with
hypertension. Holistic approach management in hypertension needs to be done including
the assessment of sexual function in women with hypertension.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Legoh, Dickson Allan
"Latar Belakang: Banyak penelitian yang melaporkan adanya hubungan antara disfungsi ereksi (DE) dengan depresi, akan tetapi hubungan kausal tetap tidak jelas. Sulit membatasi mana yang lebih dahulu apakah depresi atau DE. Prevalensi depresi pada laki-laki dengan DE oleh Strand J, dkk mendapatkan angka 14,7% dengan menggunakan DSM IV. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adanya hubungan antara lama dan derajat DE dengan depresi.
Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan cross-sectional terhadap 49 sampel DE organik yang datang berobat di Klinik Impotensi Departemen Urologi RSUPN-CM Jakarta pada bulan Januari 2004 sampai Agustus 2004 yang memenuhi kriteria penelitian. Instrumen yang digunakan adalah structure clinical interview for DSM IV Axis I-Disorder (SCID).
Hasil: Dari 49 sampel DE organik sebesar 22,4% sampel mengalami depresi. Proporsi Gangguan Depresi tertinggi ditemukan pada sampel DE organik derajat ringan (62,5%) dan lama sakit DE 2 tahun (30,4%). Pada sampel terdapat hubungan yang bermakna antara DE organik derajat ringan dengan Gangguan Depresi (p 0,020), sementara hubungan antara lama DE organik dengan Gangguan Depresi tidak terbuktikan secara statistik (p 0,208). Hasil analisis regresi logistik didapatkan DE organik derajat ringan merupakan faktor risiko untuk mengalami Gangguan Depresi pada sampel (OR 8,7).
Simpulan: Disfungsi ereksi derajat ringan adalah faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko untuk mengalami gangguan Depresi pada pasien DE organik.

Introduction: A number of trials have reported a correlation between erectile dysfunction and depression; however the causal link has not been clear yet. It's difficult to determine which of these - erectile dysfunction or depression - occurs first. Prevalence of depression in men with erectile dysfunction, assessed by Strand J et al obtained 14.7% by using DSM-IV. The purpose of this trial was to elicit the presence of correlation between the morbid duration and the degree of erectile dysfunction with depression.
Methods: A cross sectional trial on 49 samples who presented to the Clinic of Impotence in the Urological Department of Cipto Mangunkusunzo Hospital in Jakarta from January 2004 until August 2004. The fulfilled the criteria of the trial. The instrument used was Structured Clinical Interview for DSM IV Axis-I Disorder (SCID).
Result: Out of 49 organic erectile dysfunction samples, 22.4% of them were found to have depression. Proportions of the highest Depression Disorder were found in mild organic erectile dysfunction samples (62.5%) and with the morbid duration 52 years (30.4%). In the samples, significant correlation was found between mild organic erectile dysfunction with Depression Disorder (p 0.020) whereas the correlation of the morbid duration of organic erectile dysfunction with Depression Disorder was not statistically obtained (p 0.208). The results of logistic regression analysis revealed that mild organic erectile dysfunction constituted a risk factor for developing Depression Disorder among the sample (OR 8.7).
Conclusion: Mild erectile dysfunction is a factor that has a role in augmenting the risk for developing Depression Disorder in organic erectile dysfunction patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahayuningsih Dharma Setiabudy
"Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang ditandai dengan hipertensi, edema dan proteinuria. Berdasarkan tanda-tanda tersebut, diduga disfungsi endotel memegang peranan dalam patogenesis kedua penyakit tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pada preeklampsia terjadi disfungsi endotel dengan memeriksa kadar sVCAM-1, vWF dan fibrin monomer sebagai petanda aktivasi koagulasi. Juga ingin diketahui apakah terdapat hubungan antara disfungsi endotel dengan beratnya penyakit. Desain penelitian potong lintang. Subyek penelitian adalah 30 orang wanita hamil 24 - 42 minggu dengan diagnosis preeklampsia yang bersedia ikut dalam penelitian dan kelompok kontrol terdiri atas wanita hamil aterm. Pemeriksaan kadar sVCAM-1 dikerjakan dengan cara ELISA dengan reagen dari R&D system. Kadar vWF ditentukan dengan cara enzyme linked fluorescent assay (ELFA) dengan reagen dari VIDAS bioMerieux. Fibrin monomer diperiksa dengan cara ethanol gelation test. Rerata dan simpang baku kadar sVCAM-1 pada preeklampsia dan kontrol berturut-turut adalah 576,4 ng/mL dan 58,3 ng/mL serta 375,7 ng/mL dan 43 ng/mL (p<0,05). Sedang rerata dan simpang baku kadar vWF pada preeklampsia dan kontrol berturut turut 305,3% dan 107,4% serta 162,4% dan 33% (p,0,05). Didapatkan korelasi sedang antara kadar sVCAM-1 dengan tekanan sistolik maupun diastolik (r=0,71) dan (r=0,65). Demikian pula antara kadar vWF dengan tekanan sistolik dan diastolik didapatkan korelasi sedang (r=0,67) dan (r=0,77). Fibrin monomer positif didapatkan pada 28 dari 30 penderita preeklampsia sedang pada kelompok kontrol hanya 1 orang yang positif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada preeklampsia terjadi disfungsi endotel. Pada preeklampsia terdapat korelasi antara petanda disfungsi endotel dengan tingginya tekanan darah.

Endothelial Dysfunction In Preeclampsia. Preeclampsia is a complication of pregnancy characterized by hypertension, edema, and proteinuria. Based on these signs, it is suggested that endothelial dysfunction plays a role in the pathogenesis of preeclampsia. The aims of this study were to know whether endothelial dysfunction occur in preeclampsia by measuring the level of sVCAM-1, von Willebrand factor, and fibrin monomer. The relationship between markers of endothelial dysfunction and blood pressure would also be sought. In this cross-sectional study, 30 women at the 24-42 weeks of pregnancy with preeklampsia, were enrolled and control group comprised of fullterm pregnant women. The level of sVCAM-1 was determined by ELISA method using reagents from R&D system, while vWF level was measured by enzyme linked fluorescent assay (ELFA) using reagent from VIDAS bioMerieux, and fibrin monomer was detected by ethanol gelation test. The mean of sVCAM-1 level in the preeklampsia group and in the control group were 576.4 ng/mL, and 375.7 ng/mL, respectively while the standard deviation were 58.3 ng/mL, and 43 ng/mL, respectively. The mean of vWF level in the preeklampsia group and in the control group were 305.3% and 162.4%, respectively while the standard deviation were 107.4% and 33%, respectively. Moderate correlation were found between sVCAM-1 as well as vWF level with both systolic and diastolic pressure. Fibrin monomer was found in 28 out of 30 subjects of preeclampsia group, but only 1 out of 31 subjects in the control group. The results of this study indicated that endothelial dysfunction occurred in preeclampsia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rahayuningsih Dharma Setiabudy
"Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit yang ditandai dengan demam dan perdarahan. Selain itu terdapat efusi pleura yang diduga karena peningkatan permeabilitas vaskular. Berdasarkan tanda tersebut, diduga disfungsi endotel memegang peranan dalam patogenesis demam berdarah dengue.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah pada demam berdarah dengue terjadi disfungsi endotel dengan memeriksa kadar sVCAM-1, von Willebrand factor dan petanda aktivasi koagulasi yaitu D dimer. Di samping itu ingin diketahui apakah ada hubungan antara petanda disfungsi endotel dengan beratnya penyakit. Desain penelitian ini potong lintang, kelompok kasus terdiri atas 31 penderita DBD dan kelompok kontrol terdiri atas 30 penderita demam bukan DBD. Kadar sVCAM-1 diperiksa dengan cara ELISA, vWF dengan cara enzyme linked fluorescent assay (ELFA) dan D-dimer dengan cara sandwich enzyme immunoassay.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata kadar sVCAM-1 pada kelompok DBD dan kelompok kontrol berturut-turut adalah 1323 ng/mL dan 1003 ng/mL, sedangkan simpang bakunya berturut-turut 545 ng/mL dan 576 ng/mL. Rerata kadar vWF pada kelompok DBD dan kontrol berturut-turut 284% dan 327%, dengan simpang baku berturut-turut 130% dan 141%. Kadar sVCAM-1 tidak berkorelasi dengan jumlah trombosit, kadar albumin, kadar D dimer dan beratnya penyakit. Terdapat korelasi lemah antara kadar vWF dengan D dimer dan beratnya penyakit. ( r = 0,472 dan r = -0,450).
Kesimpulan: Hasil pemeriksaan sVCAM-1, vWF dan D dimer menunjukkan bahwa pada DBD terjadi disfungsi endotel. Namun tidak ada hubungan antara sVCAM-1 dengan beratnya penyakit, hanya ada hubungan yang lemah antara vWF dengan D dimer maupun beratnya penyakit.

Endothelial Dysfunction in Dengue Hemorhagic Fever. Dengue hemorrhagic fever (DHF) is characterized by fever, bleeding, and pleural effusion which may be caused by increased vascular permeability. Based on these findings it is assumed that endothelial dysfunction plays a role in the pathogenesis of DHF.
The aims of this study was to know whether endothelial dysfunction occurs in DHF by measuring sVCAM-1, vWF, and D dimer. The relationship between endothelial dysfunction and severity of the disease would also be analyzed. This was a cross sectional study which involved 31 DHF patients and 30 non DHF fever patients as control group. The level of sVCAM-1 was determined by ELISA method, vWF by enzyme linked fluorescent assay , and D dimer by sandwich enzyme immunoassay.
The results indicated that mean of sVCAM-1 level in DHF group and control group were 1323 ng/mL and 1003 ng/mL, while standard deviation (SD) were 545 ng/mL and 576 ng/mL respectively. The mean of vWF level in DHF group and control group were 284% and 327%, with SD 130% and 141% respectively. The level of sVCAM-1 did not correlate with platelet count, albumin level, D dimer level and severity of disease. There was a weak correlation between vWF level with D dimer and severity of disease ( r = 0,472 and r = -0,450 ).
Conclusion: The results of this study indicate that endothelial dysfunction occurs in DHF, but there is no correlation between sVCAM-1 with severity of disease, only a weak correlation between vWF with D dimer and severity of disease is found."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Pendleton, Heidi McHugh
St. Louis Missouri: Elsevier, 2013
615.85 PEN o
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hendro Djoko Tjahjono
"Disfungsi ereksi merupakan salah satu bentuk gangguan seksual yang dapat dialami oleh pasien diabetes melitus. Tujuan dari penerapan EBNP Evidence Based Nursing Practise adalah untuk mengidentifikasi secara dini adanya disfungsi ereksi menggunakan instrument International Index of Erectile Function-5 IIEF-5 . Desain yang digunakan dengan pendekatan PICO Problem, Intervention, Comparison, Outcomes dan melalui penelusuran jurnal dari Proquest, Ebsco, Science Direct, didapatkan 16 responden. Hasil penerapan menunjukkan disfungsi ereksi ringan dialami 5 orang 31,25 , disfungsi ereksi ringan ke sedang 9 orang 56,25 dan disfungsi ereksi sedang 2 orang 12,5 . Disfungsi ereksi memerlukan penanganan lebih lanjut untuk meningkatkan kualitas hidup pasien diabetes melitus.

Erectile dysfunction is one form of sexual disorder that diabetic patients can be experienced. The aims of EBNP Evidence Based Nursing Practise implementation is to identify early erectile dysfunction using International Index of Erectile Function-5 IIEF-5 instruments. The design used with PICO Problem, Intervention, Comparison, Outcomes approach and Proquest, Ebsco, Science Direct journal reviews with 16 respondent. The results showed mild erectile dysfunction were 5 person 31,25 , mild to moderate erectile dysfunction were 9 56,25 and moderate erectile dysfunction were 2 12,5 . Erectile dysfuntion required further treatment needs to improving diabetic patient quality of life. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Luhur Pribadi
"Latar belakang: Kondisi hipoksia masih merupakan potensi paling berbahaya pada saat terbang, dan berhubungan dengan angka kejadian kecelakaan pesawat baik saat latihan atau tugas operasi. Deteksi dini terhadap efek fisiologis hipoksia sangat penting untuk mencegah bencana dalam penerbangan sipil dan militer.1Saat ini ada beberapa penelitian mengenai efek fisiologi pada hipobarik hipoksia terutama di bidang vascular. Fungsi endotel perifer vaskular dapat dinilai melalui pengukuran fungsi vasomotor. Tes non-invasif untuk menilainya dapat menggunakan pemeriksaan flow mediated dilation (FMD). Sejauh belum ada penelitian yang mencari hubungan antara fungsi endotel pembuluh darah perifer terhadap hipoksia sebagai acuan awal deteksi dini faktor risiko terjadinya hipoksia hipobarik pada awak pesawat.
Tujuan: Untuk mengetahui manfaat pemeriksaan disfungsi endotel terhadap hipoksia hipobarik
Metode: Sebanyak 59 awak pesawat TNI AU yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala dan latihan uji latih hipoksia d LAKESPRA SARYANTO dilakukan pemeriksaan FMD kemudian dihubungkan dengan menggunakan uji statisik antara WSE dan FMD.
Hasil: Didapatkan proporsi yang mengalami disfungsi endotel sebesar 23.7 %. Sedangkan proporsi subjek dengan WSE yang tidak normal sebesar 32%.Tidak terdapat hubungan bermakna antara disfungsi endotel dengan WSE (p=0,357) dan nilai r = 0,111.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan bermakna antara disfungsi endotel dengan WSE.

Background: Hypoxia is still the most dangerous potential during flight, and is associated with the incidence of aircraft accidents both during training or operating duty. Early detection of physiological effects of hypoxia is very important to prevent mishap in civil and military flights. Currently there are several studies on the physiological effects of hypobaric hypoxia especially in the vascular. Vascular peripheral endothelial function can be assessed through measurement of vasomotor function. Non-invasive tests to assess can use flow mediated dilation (FMD). As far as there has been no research looking for a relationship between peripheral vascular endothelial function and hypoxia as an initial reference to early detection of risk factors for hypobaric hypoxia in aircrew
Objective: To determine the relationship between endothelial dysfunction examined by FMD against hypoxia with time of useful consciousness (TUC) parameters.
Methods: A total of 59 Indonesian Air Force crews conducting periodic medical examinations and hypoxic training in LAKESPRA SARYANTO were performed FMD examination and analyzed by correlation statistics between FMD and TUC.
Results: There was a proportion of 23.7% endothelial dysfunction. While the proportion of subjects with abnormal TUC was 32%. There was no significant relationship between endothelial dysfunction and TUC (p = 0.357) and r value = 0.111
Conclusion: There is no significant relationship between endothelial dysfunction and time of useful consciousness
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58739
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lasut, Margareth Virgini
"Proses perkembangan penyakit dan terapi kanker ginekologi dapat berdampak pada keadaan fisik maupun psikologi pasien kanker ginekologi. Hal inilah yang dapat memicu kejadian disfungsi seksual. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi disfungsi seksual pada pasien kanker ginekologi. Penelitian dengan metode cross sectional ini dilakukan pada 218 pasien kanker ginekologi dengan menggunakan teknik pengambilan sampel purposive sampling. Analisis data menunjukan hasil bahwa ada pengaruh yang signifikan dari faktor usia (p-value 0,001), pendidikan (p-value 0,047), fatigue (p-value 0,001), kecemasan (p-value 0,001) terhadap kejadian disfungsi seksual pada pasien kanker ginekologi. Tidak terdapat pengaruh signifikan dari faktor pekerjaan terhadap kejadian disfungsi seksual pada pasien kanker ginekologi. Fatigue merupakan faktor yang paling mempengaruhi kejadian disfungsi seksual pada pasien kanker ginekologi (OR 5,762). Penelitian ini merekomendasikan pembentukan divisi khusus untuk pelayanan terkait masalah disfungsi seksual pada pasien kanker serta menambahkan intervensi keperawatan khusus untuk masalah disfungsi seksual pada pasien kanker.

The development of gynaecological cancer and its therapy can significantly impact both the physical and psychological well-being of patients. This can lead to the occurrence of sexual dysfunction. This study aimed to identify the factors influencing sexual dysfunction in gynaecological cancer patients. Using a cross-sectional method, this study was conducted on 218 gynaecological cancer patients using purposive sampling. The data analysis revealed significant effects from factors such as age (p-value 0.001), education (p-value 0.047),  pain (p-value 0.001), and fatigue (p-value 0.001) on the occurrence of sexual dysfunction in gynaecological cancer patients. There was no significant effect from the factor of occupation on the occurrence of sexual dysfunction. Fatigue was found to be the most influential factor in the occurrence of sexual dysfunction in gynaecological cancer patients (OR 5.762). This study recommends the establishment of a specialized division for addressing sexual dysfunction issues in gynaecological cancer patients and the addition of specialized nursing interventions for sexual dysfunction in gynaecological cancer patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>