Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andrika Salamun
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S5942
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Brian Wijanarko
"Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 merupakan salah satu pemilihan kepala daerah yang menjadi target utama untuk dapat dikuasai oleh setiap partai politik, termasuk PDI Perjuangan. Status dan posisi DKI Jakarta yang sangat strategis membuat seluruh elit PDI Perjuangan turut terlibat dalam memberikan usulan-usulan sikap. Masuknya berbagai usulan sikap diinternal PDI Perjuangan tentunya menimbulkan dinamika politik tersendiri disana selain faktor lainnya yang berasal dari luar PDI Perjuangan. Dinamika politik yang berkembang diinternal PDI Perjuangan dilatarbelakangi oleh pertimbangan elit-elit yang menginginkan peran partai yang dominan (sebagai Cagub) dan menguntungkan di Pilgub tersebut. Elit yang diwakili Megawati menginginkan mengusung kadernya sendiri sebagai Cagub sedangkan elit yang diwakili Taufiq Kiemas menginginkan PDI Perjuangan mengambil peran yang juga menguntungkan lainnya dengan berkoalisi dengan incumbent sebagai Cawagub. Munculnya dua pertimbangan sikap ini sangat terkait dengan berbagai faktor seperti perolehan kursi legislatif PDI Perjuangan di DKI Jakarta, evaluasi kepemimpinan gubernur sebelumnya, pertimbangan politik untuk tahun 2014, dan sebagainya. Perkembangan situasi politik di DKI Jakarta turut mempengaruhi semakin kencangnya perdebatan diinternal PDI Perjuangan saat itu, terutama saat beberapa partai politik telah mengarahkan sikap politiknya kepada partai besar lain. Penelitian ini menemukan banyak faktor politik yang melatarbelakangi dan menjadi pertimbangan PDI Perjuangan dalam proses penentuan Cagub yang diusung. Pada akhirnya PDI Perjuangan mengusung figur Joko Widodo sebagai Cagub untuk Pilgub DKI Jakarta tahun 2012. Keputusan mencalonkan Jokowi tentu sangat menarik untuk dilihat karena PDI Perjuangan telah ‘berani’ untuk mengajukan figur yang belum mengenal kondisi sosial dan politik di DKI Jakarta saat itu.

The 2012 election for DKI Jakarta Governor is a main target of every political parties, including the PDI Perjuangan. The strategic status and position of DKI Jakarta prompted all PDI Perjuangan elites to involve in underlining their stances. The infusion of many opinions in the PDI Perjuangan internal ignited distinctive political dynamics therein besides other external factors. The source of this political dynamics is the consideration of the party elites who intended the domination of mutual dominant party role (as candidate). Elites who were represented by Megawati intended to field their own proteges as candidate while other elites who were represented by Taufiq Kiemas intended the party to form a coalition with the incumbent by fielding the PDI Perjuangan candidate as the candidate of vice governor. This political division is related to the legislative chair won by the PDI Perjuangan in Jakarta, the evaluation in the leadership of the incumbent, political consideration for 2014 General Election, etc. The development of political situation in DKI Jakarta also influenced the internal disputes, especially when several lesser political parties showed that they had the intention of joiningnother major parties. The thesis finds many political factors which constituted the background of PDI Perjuangan’s consideration in determining the party’s candidate. Eventually, the PDI Perjuangan fielded Joko Widodo as the governor candidate during the 2012 Governor Election. The decision to field Joko Widodo is very interesting to be researched because the PDI Perjuangan eventually showed its bravery to field a figure who didn’t master the political and social of DKI Jakarta at the time."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S53946
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muslimin A.R. Effendy
"ABSTRAK
Disertasi ini mengenai kesultanan Bima dengan fokus kajian pada dinamika politik antar elite dan fragmentasi kekuasaan dalam mempertahankan kedaulatan di tengah ancaman dan tantangan dari luar dan dalam. Studi mempersoalkan bagaimana kesultanan Bima dapat bertahan di saat elite terfragmentasi dalam penguasaan sumberdaya, dan dampaknya pada integrasi dan perubahan secara struktural. Fokus kajian dimulai dari tahun 1905 saat penetrasi kekuasaan kolonial melalui kekuatan militer, yang menunjukkan melemahnya kontrol Sultan atas politik dan ekonomi di Bima. Adapun masa akhir kajian tahun 1957, yakni sejak diberlakukannya UU No.1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang menjadi awal berdirinya Kabupaten Bima sebagai daerah otonom baru, menggantikan sistem birokrasi kesultanan Bima.
Secara struktural, kekuasaan di Bima dijalankan oleh dua kelompok elite, yaitu Mawa?a Bilmana (?yang membawa kebijaksanaan?) dan Manggampo Donggo (?yang menghimpun?). Konvensi antar kelompok menggariskan bahwa tureli nggampo atau raja bicara (perdana menteri) diambil dari kelompok Mawa?a Bilmana, sedangkan Sultan dari kelompok Manggapo Donggo. Pada dasarnya, kedua kelompok elite ini berpandangan sama dalam memperjuangkan kepentingan dou (rakyat) dan dana (negara), meski berbeda dalam cara dan visi politik dalam mengelola kekuasaan. Temuan studi menunjukkan bahwa konvensi menyangkut distribusi kekuasaan tersebut dilanggar sultan.
Pendorong utamanya adalah melemahnya dukungan bangsawan Mawaa Bilmana,sementara di sisi lain sultan semakin lemah dalam menggalang kekuatan internal pendukung otoritasnya. Kondisi inilah yang melahirkan kebutuhan sultan akan perlunya dukungan eksternal guna mempertahankan kekuasaannya. Hal ini tercermin dari keputusan sultan untuk beraliansi dengan kekuatan luar demi mempertahankan kekuasaannya dari tekanan bangsawan lokal. Keputusan Sultan ini ditentang bangsawan Mawa?a Bilmana yang berpandangan bahwa persekutuan dengan kekuatan luar akan dapat merusak tatanan tradisional dan mengancam kedaultan negara. Langkah sultan tersebut juga menimbulkan perlawanan dari para elite baru, yakni kaum terpelajar. Bahkan, kelompok ini menuntut agar tatanan ?feudal? diubah dengan sistem baru yang menghargai dan mengakomodasi perbedaan dalam format ?negara berdaulat?, yang didasarkan pada nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Menariknya, meski atmosfer perubahan menggema, para elite baru ini justru tetap mengharap kehadiran figur bangsawan untuk memimpin dan mempersatukan rakyat yang terpolarisasi berdasarkan kepentingan dan politik aliran. Harapan ini terkabul dengan tampilnya Putra Muh. Salahudin bernama Abdul Kahir menjadi pemimpin daerah (1954-1959, 1960- 1964). Bahkan, di era demokratisasi ini, hadirnya Ferry Zulkarnaen anak Abdul Kahir menjadi Bupati Bima (2005-2010, 2010-2015) menunjukkan bahwa kelompok bangsawan Manggampo Donggo masih memiliki pengaruh yang cukup kuat di masyarakat. Sultan dianggap mampu menjadi hawo ro ninu (?menaungi dan melindungi?) rakyat untuk menciptakan keteraturan sosial guna mewujudkan kepentingan rakyat dan negara.

ABSTRACT
This study of Bima?s Kingdom is focused on political dynamic at elite level which?s reflected a kind of fragmentation of powers for supporting principles of ?kedaulatan/democracy?. Problem statement of this study is how was Bima?s kingdom able to survive facing the challenge waves, internally and externally. Moreover, how were the impacts of power struggle on social integration as well as structural change. Period of study is started in 1905 when the colonial power had started to penetrate by military/army force. The significant of 1957 was related to the changing system of beuracracy from feodal (Kesultanan Bima) to legal-rational (Kabupaten Bima as an autonomy district) due to implementing UU no.1/1957 on Local Government Principles.
Structurally, regarding the history of Bima, there were two dominant ruler groups: (1) Mawa?a Bilmana (the Wisdom givers) and (2) Manggampo Donggo (the pollers). Their roles had been based on a political concensus that a Lord of Speech (Prime Minister) would be from Mawa?a Bilmana group, Soultan (the King) would be from Manggampo Donggo. This convention had been ruled for inter-generations. Basically, both of elite groups had similar point of views for fulfilling people?s (dou) interests as well as country/state (dana). In fact, they had different visions in a matters of managing economic resources and politic of government which was stimulated the broken of Elite?s convention. Finding study has shown that the main cause factor was related to the Soultan?s basis of power at local level has been corrupted. Therefore, He tried to allie with external forces, such us: Ducth, Japan, NICA, NIT. Lord of Speech perceived its negatively which could treat Bima?s traditional structure, and also the freedom of Bima.
The friction between Soultan and Lord of Speech reflected the disability of government for managing economic as well as security matters. Moreover, it also shown the different interests of both. Actually, it could be understandable if there was an assumption that the power of Soultan should be maintained by hand in hand with alliens forces, particularly for handling internal challenges. Soulthan policy was also critised by new elites (such us: educated peoples) who asked the changing of the feodal structure into a new system, a kind of ?demokratic state? which recognized and democratic values as well as people?s power. Interestingly, eventhough the authority of Lords/Manggampo Donggo was going down and down by time even the political climates was changed, but peoples (including new elite group) still dreamed for having a figure (Soultan) who would not be only capable to lead them, but also able to integrate Bima?s peoples which had been fragmented in order of interests.
The dream was come true by promoted a son of Muhammad Salahudin which named Abdul Kahir was lead Bima as major (1954-1959, 1960- 1964). Moreover, during democratizaion era, the lords is still playing significant roles which proved by Ferry Zulkarnaen (son of Abdul Kahir). Ferry has been elected as Major of Bima District (2005-2010, 2010-2015). This fact has reflected that Manggampo Donggo has still strong and significant roles in society, particularly at grassroots level. Peoples have perceived that Soutan has able to create hawo ro ninu or ?to accomodate and protect? peoples (dou)."
Depok: 2011
D1180
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hasan Saeful Rijal
"Skripsi ini akan memberikan kajian terkait dinamika politik internal pada saat Jusuf Kalla memimpin Partai Golkar. Pada periode ini, lahir dua partai politik baru yaitu Partai Hanura dan Partai Gerindra yang didirikan oleh Wiranto dan Prabowo yang mempunyai hubungan erat dengan Partai Golkar. Pada masa ini, menjadi awal dari penguasaan Partai Golkar oleh para saudagar. Di sisi lain, sebagai partai pendukung pemerintah, Partai Golkar juga mengalami penurunan perolehan suara di Pemilu 2009 dibanding Pemilu 2004. Ketiadaan mekanisme manajemen konflik yang baik membuat partai ini akan selalu dibayangi perpecahan. Partai politik lain akan kembali lahir dari Partai Golkar. Setidaknya sudah ada tiga partai besar yang lahir dari Partai Golkar, yaitu Partai Demokrat, Partai Hanura dan Partai Gerindra.

This thesis will provide the internal political dinamic in the time of Jusuf Kalla lead Golkar Party. In this period, two political parties (Hanura and Gerindra) were born established by Wiranto and Prabowo that had close relation with Golkar Party. We can say that in this time Golkar Party by merchants. Golkar party had decreased for election in 2009 if compared with 2004. The bad management of risk makes this party always be shadowed by divisions. Al least, three new parties had born by Golkar, they are Democtrat Party, Hanura Party, and Gerindra Party.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S47240
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Suswati
"Penelitian ini dilakukan untuk memahami bagaimana penerapan pemagaran oleh empat presiden Amerika Serikat (AS), yaitu Presiden Bill Clinton, Presiden George W. Bush, Presiden Barack Obama, dan Presiden Donald Trump dalam pidatonya. Pemagaran dalam pidato mereka berfungsi sebagai strategi kebahasaan yang membantu menjelaskan fokus dari kebijakan politik mereka. Pemagaran juga berfungsi membantu penutur dalam menjelaskan dinamika politik yang berlangsung di AS dalam rentang waktu 1993--2021.
Korpus data terdiri dari 28 pidato yang bersumber dari pidato keempat presiden AS. Pidato yang dijaring merepresentasikan kondisi politik, sosial budaya, dan hukum, baik di dalam maupun luar negeri AS. Cuplikan pidato keempat presiden AS menggambarkan dinamika politik di AS yang menjadi polemik nasional dan internasional dalam jangka waktu panjang. Pidato mereka juga menjadi arena tarik-menarik antara presiden dari Partai Republik dan Partai Demokrat
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan mengacu pada teori pemagaran Hyland (1998a). Teori tersebut membantu untuk menjelaskan bentuk pemagaran yang menguatkan dan melemahkan proposisi dari wacana pidato kebijakan politik keempat presiden AS, kesamaan dan perbedaan fungsi pemagaran, serta membantu menjelaskan dinamika politik di AS.
Temuan yang penting dari penelitian ini adalah bagaimana pemagaran dapat membantu mengonstruksi citra politik seorang pemimpin negara, khususnya keempat presiden AS. Hal itu terlihat pada kecenderungan penggunaan pemagaran judgmental, modalitas, adjektival, dan adverbial oleh keempat presiden AS untuk membangun citra positif sebagai pemimpin yang memiliki keyakinan diri yang tinggi, memiliki kepastian atas komitmen pemerintahannya, memiliki keterandalan dan terpercaya. Selain itu, penggunaan pemagaran dalam pidato-pidato tersebut juga menunjukkan sikap kehati-hatian dalam menghasilkan kebijakan politiknya. Sikap kehati-hatian keempat presiden AS diindikasikan melalui jarangnya penggunaan pemagaran judgmental dengan klausa I promise (hanya muncul pada cuplikan pidato Presiden Bill Clinton. Penggunaan adverbia yang melemahkan proposisi, seperti about dan often, untuk menyamarkan akurasi data frekuensi kemunculannya juga tidak banyak.
Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa latar belakang ideologi partai tidak memberi pengaruh yang signifikan atas kebijakan yang disampaikan oleh penutur. Kendati ideologi partai muncul dalam upaya tarik-menarik kebijakan politik dari keempat presiden AS, desakan publik, intensi pribadi, dan prioritas pemerintah cenderung menjadi sebab munculnya kebijakan baru. Atribut ideologi partai, seperti Alkitab, juga digunakan oleh presiden dari Partai Demokrat dan Partai Republik, yaitu Presiden Barack Obama dan Donald Trump sebagai upaya memuluskan sebuah kebijakan. Presiden Barack Obama mengutip Alkitab dalam upayanya meyakinkan publik atas kebijakan imigran ilegal yang berhak bekerja dan tinggal di AS. Sementara itu, Presiden Donald Trump juga mengutip Alkitab berkaitan dengan kebijakan imigran ilegal dengan tujuan membatasi imigran ilegal bekerja dan tinggal di AS.
Temuan penting lainnya adalah pemagaran dengan variasi yang sama, yaitu pemagaran dengan adjektiva less memiliki fungsi yang berbeda ketika melekat ke dalam konteks. Presiden Barack Obama menggunakan adjektiva less untuk melemahkan proposisi; sedangkan Presiden Donald Trump menggunakan adjektiva less untuk menguatkan proposisi Jadi, pemagaran digunakan untuk menguatkan ataupun melemahkan proposisi dengan intensi tertentu.

This research was conducted to understand how the four Presidents of the United States (US), President Bill Clinton (BC), George W. Bush (GB), Barack Obama (BO), and Donald Trump (DT) implemented hedging in their speeches. The function of hedging as a linguistic strategy helps to explain the focus of each political policy. Furthermore, hedging also help speakers explain the political dynamics that took place in the US in the 1993-2021 time period.
The data corpus consists of 28 speeches sourced from the four US Presidents each year during their administrations. The speeches represent political, socio-cultural and legal conditions, both domestically and internationally in the US. The speeches of the four US Presidents describe the dynamics of politics in the US which has become a national and international polemic for a long period of time. These speeches have also become an attraction between Presidents from the Republican and Democratic parties.
This research used a qualitative descriptive method referring to Hyland's (1998a) hedging theory. This theory helps to explained the forms of hedging that strengthen and weaken the propositions of the political policy speeches of the four US Presidents, the similarities and differences in the functions of hedging, and helps explaining political dynamics in the US.
An important finding of this study is how hedging can construct the political image of a state leader, especially the four Presidents of US. It can be seen in the tendency to use hedging judgmental, hedging modality, hedging adjectival, and hedging adverbial by the four US Presidents, to build a positive image as a leader who has high self-confidence, have certainty over the commitment of their government, a leader who is reliable and trustworthy, and a leader who is very careful in producing their political policies by considering all parties. The watchfulness of the four US Presidents is indicated through the infrequent use of the I Promise clause which only appears in the excerpt of President BC's speech and the use of adverbs that weaken propositions such as about and often to disguise the accuracy of the data with a small frequency of occurrence.
Besides, the party's ideological background does not have a significant influence on the policies conveyed by the speaker. Although the party's ideology appears in efforts to tug-of-war on the political policies of the four US Presidents. However, based on data analysis, it showed that public pressure, personal intentions and government priorities tend to be the cause of the emergence of new policies. Furthermore, party ideology attributes such as the Bible are also used by Presidents from the Democratic and Republican parties, President Barack Obama and Donald Trump, as an effort to pass the policies. President Barack Obama cited the Bible in his efforts to convince the public of the policy of illegal immigrants having the right to work and live in the US. Meanwhile, President Donald Trump quoted the Bible also in relation to illegal immigrant policies with the aim of restricting illegal immigrants from working and living in the US through hate speech.
Another important finding is that the hedge with the same variation, such as the adjectival less which is also used by Presidents Barack Obama and Donald Trump, has a different function when embedded in the context. President Barack Obama used the adjective less to weaken the proposition. Meanwhile, President Donald Trump used the adjective less to strengthen the proposition This shows that the function of hegding in the political discourse of the US President's speeches is used to strengthen or weaken proposition with certain intentions.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yerry Wirawan
"Sistem Ekonomi Politik yang dicoba dibangun oleh Orde Baru diawal pemerintahannya 1966-1968 adalah sebagai upaya menggantikan Sistem Demokrasi Terpimpin dibawah Soekarno. Perubahan yang dilakukan oleh Orde Baru ini tidak terlepas kaitannya dari faktor ekonomi politik dalam dan luar negeri. Orde Baru menyadari betul bahwa Sistem Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno memiliki basis dukungan politik yang cukup kuat. Untuk itu Orde Baru, jika ingin rnenggeser Soekarno, tidak bisa hanya bertumpukan semata-mata pada aspek politik saja, namun terlebih harus menekankan pada aspek ekonomi. Pilihan Orde Baru menjawab persoalan ekonomi ini adalah sistem kapitalisme dan bantuan modal asing. Upaya dan dinamika yang ditempuh dari Orde Baru dalam membangun Sistem Ekonomi Politiknya inilah yang menjadi sorotan dari penulisan skripsi ini."
2000
S12611
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haura Zahidah
"Fenomena perniagaan komoditas opium dan kayu kuning memegang peranan vital bagi pendapatan Nusantara pada awal abad ke-20. Fenomena ini terdokumentasi pada naskah klasik berbentuk surat kontrak yang terdapat di Bima. Penelitian ini bertujuan mengungkap fenomena tersebut, yang berlangsung di Kesultanan Bima pada 1905. Data yang digunakan berupa teks naskah surat kontrak berbahasa Melayu koleksi Museum Samparaja, Bima, Nusa Tenggara Barat yang didigitalisasi oleh British Library dan diberi nomor EAP988/1/155 dan EAP988/1/166. Naskah surat kontrak ini dinamakan sebagai Surat Kontrak Sultan Ibrahim dengan Letnan Go Ke Hoe. Naskah surat kontrak tersebut dianalisis menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik studi pustaka dan teori monopolitas perdagangan yang dipaparkan oleh Posner (1992). Hasil penelitian menunjukkan adanya kuasa hak tunggal atas perniagaan komoditas opium dan kayu kuning oleh Sultan Bima yang bekerja sama dengan elite politik bawahan Belanda, Letnan Go Ke Hoe. Hal ini merupakan praktik politik dualisme yang dilangsungkan pemerintah Belanda untuk melancarkan siasatnya dalam mengeksploitasi sumber daya alam di Bima.

The phenomenon of trade in opium and yellow wood commodities played a vital role in the income of the archipelago in the early 20th century. This phenomenon is documented in classic texts in the form of contracts found in Bima. This study aims to reveal this phenomenon that took place in Bima Sultanate in 1905. The data used is in the form of texts of contracts in Malay in the collection of the Samparaja Museum, Bima, West Nusa Tenggara which were digitized by the British Library and numbered EAP988/1/155 and EAP988/ 1/166. The text of this contract letter is called the Contract Letter of Sultan Ibrahim with Lieutenant Go Ke Hoe. The contract documents were analyzed using a qualitative descriptive method with literature review techniques and the trade monopoly theory presented by Posner (1992). The results showed that the Sultan of Bima had the sole power of attorney over the trade of opium and yellow wood commodities in collaboration with the Dutch subordinate political elite, Lieutenant Go Ke Hoe. This is a dualism political practice carried out by the Dutch government to launch its strategy in exploiting natural resources in Bima."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library