Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indah Aprianti
"Diflunisal merupakan zat aktif yang memiliki aktivitas anti-inflamasi, analgesik dan antipiretik dengan karakteristik yang ideal untuk diformulasikan menjadi sediaan topikal. Tujuan penelitian ini adalah memformulasikan sediaan transetosom diflunisal dengan karakteristik dan kemampuan penetrasi terbaik serta mengetahui efektivitas anti-nosiseptif yang dibandingkan dengan pemberian diflunisal secara oral. Pada penelitian ini dilakukan optimasi formula dengan total 4 formula yang membandingkan jenis dan konsentrasi surfaktan yang berbeda. Formula F4 yang menggunakan Span 80 dengan konsentrasi 0,75% menghasilkan karakteristik dan penetrasi terbaik, dimana memiliki ukuran partikel 75,3 nm; indeks polidispersitas 0,247; potensial zeta -32,93 mV; efisiensi penjerapan 75,7%; jumlah kumulatif terpentrasi 279,789 μg/cm2; dan fluks sebesar 30,997 μg/cm2.jam. Sediaan gel transetosom F4 selanjutnya diuji efektivitasnya secara in vivo yang dibandingkan dengan pemberian secara oral diflunisal menggunakan model induksi formalin. Waktu menjilat dan menggigit kaki yang telah diinduksi formalin pada pemberian sediaan gel transetosom diflunisal berkurang sebesar 41,3% pada fase I dan 63,6% pada fase II. Nilai ini tidak berbeda bermakna (p>0,05) dengan diflunisal yang diberikan secara oral. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa formulasi transetosom diflunisal berhasil menghasilkan vesikel dengan karakteristik dan kemampuan penetrasi yang baik sehingga menghasilkan efek anti-nosiseptif yang tidak berbeda bermakna dengan kecenderungan efektivitas yang lebih baik dibandingkan dengan sediaan oral.

Diflunisal has been known for its anti-inflammatory, analgesic, and antipyretic activities. This study aimed to characterize transethosome formulations to obtain the highest diflunisal penetration and to determine their anti-nociceptive effectiveness compared to oral diflunisal. In this study, the four different formulas were optimized by comparing the types and concentrations of different surfactants. Formula F4 using Span 80 as surfactant with a concentration of 0.75% produces the best characteristics and highest diflunisal permeation, which has a particle size 75.3 nm; polydispersity index 0.247; zeta potential -32.93 mV; entrapment efficiency 75,7 %; the cumulative amount of diflunisal permeated 279.789 μg/cm2; and flux of 30,997 μg/cm2.h. Using a formalin-induced pain model, the F4 formulation gel was tested for its anti-nociceptive activity compared to oral diflunisal. The time animals spent licking and biting the formalin-induced paw on diflunisal transethosome gel was reduced by 41.3% in Phase I and 63.6% in Phase II. These data were not significantly different (p>0.05) from the diflunisal given orally. Based on these results, it can be concluded that diflunisal transethosome formulation produced vesicles with favorable characteristics and in vitro penetration, leading to an anti-nociceptive effect that was not significantly different with a tendency of greater efficacy compared to oral administration."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abrarriani Euis Kartika
"Sistem penghantaran obat secara transdermal memungkinkan obat untuk menembus kulit hingga dapat masuk ke dalam sirkulasi sistemik untuk memberikan efek terapeutik bagi tubuh. Penetrasi obat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya ialah status hidrasi kulit yakni kondisi kadar air pada kulit. Perubahan hidrasi kulit dapat mengubah sifat komponen lipid dan keratin stratum korneum yang mempengaruhi masuknya obat transdermal melalui kulit. Penelitian ini dilakukan untuk menguji pengaruh perbedaan waktu dan medium hidrasi kulit terhadap penetrasi obat senyawa model Transetosom-Diflunisal. Transetosom-Diflunisal dibuat dengan metode hidrasi lapis tipis. Uji penetrasi obat dilakukan secara in vitro menggunakan sel difusi Franz (SDF) dengan membran kulit tikus yang direndam dalam medium perendaman dapar fosfat pH 7,4 atau NaCl 0,9% selama 30 menit, 2 jam, dan 24 jam, serta dengan membran kulit tikus yang tidak dilakukan perendaman. Hasil jumlah kumulatif obat terpentrasi dan tingkat penetrasi (fluks) obat yang diperoleh cukup berbeda berdasarkan waktu dan medium hidrasi kulit yang berbeda pula, dimana tiap medium hidrasi memiliki waktu perendaman optimal yang berbeda. Berdasarkan penelitian, hasil uji penetrasi Transetosom-Diflunisal paling optimal ditunjukkan oleh membran kulit tikus yang direndam dalam dapar fosfat pH 7,4 selama 2 jam dengan tingkat penetrasi (fluks) sebesar 163,53±50,59 μg/cm².jam. Waktu dan medium perendaman membran kulit dalam dapar fosfat pH 7,4 selama 2 jam ini dapat menjadi acuan validasi metode pada uji penetrasi sel difusi Franz untuk menggambarkan kondisi hidrasi kulit yang optimal.

The transdermal drug delivery system allows the drug to penetrate the skin and enter the systemic circulation to exert a therapeutic effect on the body. Drug penetration is influenced by several factors, one of which is the hydration status of the skin, namely the condition of the water content in the skin. Changes in skin hydration can change the properties of the lipid and keratin components of the stratum corneum which affect transdermal drug entry through the skin. This study was conducted to examine the effect of differences in skin hydration time and medium on drug penetration of the Transethosome-Diflunisal model compound. Transethosome-Diflunisal were prepared by the thin layer hydration method. Drug penetration test is carried out in vitro used Franz diffusion cells (SDF) with rat skin membranes immersed in phosphate buffer pH 7.4 or 0.9% NaCl immersion medium for 30 minutes, 2 hours and 24 hours, as well as with rat skin membranes that were not soaked. The results of the cumulative amount of drug penetrated and the level of penetration (flux) of the drug obtained are quite different based on the different skin hydration times and mediums, where each hydration medium has a different optimal soaking time. Based on the research, the most optimal results of the Transethosome-Diflunisal penetration test were shown by the skin membranes of mice soaked in phosphate buffer pH 7.4 for 2 hours with a penetration rate (flux) of 163.53±50.59 μg/cm².hour. The time and medium for immersing the skin membrane in phosphate buffer pH 7.4 for 2 hours can be used as a reference for validating the method in the Franz diffusion cell penetration test to describe optimal skin hydration conditions."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mayang Puspita
"Transetosom merupakan nanovesikel pembawa obat berupa bentuk pengembangan dari transfersom dan etosom yang mengandung komponen surfaktan sebagai aktivator tepi dan etanol tinggi. Kandungan kedua komponen ini menjadikan transetosom yang fleksibel dan mampu melewati celah sempit hingga menembus lapisan kulit subkutan  Senyawa model yang digunakan adalah diflunisal yang berupa obat anti-inflamasi golongan non-steroid. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan dua jenis metode pembuatan transetosom, meliputi metode dingin dan metode hidrasi lapis tipis. Kedua metode ini merupakan metode yang paling umum digunakan karena mudah dalam pembuatan dan mampu memberikan karakteristik vesikel yang baik dengan nilai persentase efisiensi penjerapan yang tinggi. Transetosom yang dibuat dengan kedua metode, kemudian dilakukan karakterisasi meliputi ukuran partikel, indeks polidispersitas, potensial zeta, indeks deformabilitas, dan persentase efisiensi penjerapan. Hasil penelitian menunjukkan transetosom dengan metode pembuatan hidrasi lapis tipis memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan metode dingin berdasarkan hasil karakterisasi efisiensi penjerapan dan indeks deformabilitas. Persentase efisiensi penjerapan untuk metode hidrasi lapis tipis dengan nilai sebesar 29.141 ± 2.194 %, sedangkan untuk metode dingin dengan nilai sebesar 17.573 ± 1.268 %. Namun, berdasarkan kondisi stabilitas fisik, metode dingin menunjukkan ukuran partikel yang lebih stabil dibandingkan metode hidrasi lapis tipis.

Transethosome is a drug-carrier that is developed from transferosome and ethosome which contain surfactant compound as the edge activator and high ethanol content. These two components makes the transethosome flexible and able to pass through narrow gaps to penetrate the subcutaneous layer of skin. The model compound used is diflunisal which is a non-steroidal anti-inflammatory drug. This study aims to compare the two types of transethosomes production methods, including the cold method and the thin layer hydration method. These two methods are the most commonly used methods because of easy to manufacture and able to provide good vesicle characteristics with high entrapment efficiency percentage values. The transethosomes prepared by both methods were then characterized including particle size, polydispersity index, zeta potential, deformability index, and the percentage of entrapment efficiency. The results showed that transethosomes using the thin layer hydration method produced better results than the cold method based on the characterization results of entrapment efficiency and deformability index. The percentage of entrapment efficiency for the thin layer hydration method is 29.141 ± 2.194 %, while for the cold method is 17.573 ± 1.268 %. However, based on physical stability conditions, the cold method showed more stable particle size than the thin layer hydration method."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joyce Setyawati
"ABSTRAK
Pengamatan kualitas indra penglihatan telah dapat kita ikuti sejak tahun 1987 dengan keluarnya surat keputusan Menteri Kesehatan yang mengatakan kebutaan merupakan bencana nasional. Kemudian survai morbiditas mata dan kebutaan yang diselenggarakan Departemen Kesehatan pada tahun 1982 menunjukkan kebutaan dua mata 1,2% dari jumlah penduduk (1,2). Katarak merupakan penyebab kebutaan utama, pembedahan merupakan suatu penanggulangan kebutaan karena katarak. Pembedahan katarak pada prinsipnya dibedakan menjadi 2 cara yaitu pengambilan lensa secara utuh dan pengambilan lensa dengan meninggalkan kapsul posterior. Prinsip bedah katarak yang terakhir ini disebut sebagai bedah katarak ekstra kapsular. Cara pembedahan katarak terakhir ini kini lebih disukai dengan makin dikenalnya pemakaian lensa intraokular (3).
Kejadian penyulit selama atau pasta bedah katarak dapat selalu terjadi. Kesulitan membedah katarak ekstra kapsular antara lain, pupil yang kecil dan tekanan bola mata yang tinggi. Kedua hal tersebut akan menyulitkan pengeluaran dan pembersihan sisa-sisa lensa disamping penyulit--penyulit karena tingginya tekanan bola mata.
Kesulitan mengeluarkan massa lensa menyebabkan manipulasi yang lebih banyak pada iris dan endotel kornea. Hal ini merangsang terjadinya iritis dan oedema kornea. Sisa korteks lensa yang tertinggal dapat menimbulkan uveitis. Disamping itu pupil yang kecil pada bedah katarak akan lebih menyulitkan peradangan lensa intraokular.
Setiap tindakan berupa pengirisan konjungtiva, kornea, sklera maupun manipulasi iris pada bedah katarak ektra kapsular akan menimbulkan reaksi radang dimana akan terbentuk mediator peradangan yaitu prostaglandin, khususnya PGE2 ( 4 ). PGE2 selain menimbulkan reaksi radang pasca bedah dapat juga menimbulkan penciutan pupil. Di mata penghambatan sintesa prostaglandin akan mencegah terjadinya penciutan pupil.
Untuk mendapatkan midriasis yang cukup telah dipergunakan bermacam--macam obat terutama yang bekerja melalui saraf autonom yakni golongan obat simpatomimetik dan antikolenergik ( 4,5 ).
Di Bagian Ilmu Penyakit Mata RSCM 1 jam pra bedah katarak ekstra kapsular midriasis diperoleh dengan tropikamid 1% dan fenilefrin 10% ( 6 ). Meskipun demikian penciutan pupil masih dapat terjadi juga. Manipulasi pada bedah intraokular agaknya menimbulkan keluarnya mediator peradangan prostaglandin yang menyebabkan penciutan pupil selain menyebabkan peradangan pasca bedah intraokular ( 7 ).
"
1990
T58490
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library