Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Compton, Boyd R.
Jakarta: LP3ES , 1993
320.51 COM k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Fukuyama, Francis
Yogyakarta: Qalam, 2004
909 FUK e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Kompas, 2002
320.959 8 MAS
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Billah, Mohd. Ma`sum
"Kondisi buruh yang jelek menjadi salah satu pemicu kuat maraknya aksi-aksi buruh di awal dasawarsa '90-an. Pada pihak lain dalam kurun waktu yang sama, birokrasi pemerintahan (negara) dan majikan (modal) juga selalu berupaya mengendalikan buruh dan serikat buruh. Hubungan 'buruh-negara' dan 'buruh-modal' menjadi wilayah studi yang menarik. Studi tentang masalah perburuhan di Indonesia pada garis besarnya diletakkan di dalam konteks pertumbuhan ekonomi, yang lebih membahas masalah ketenaga-kerjaan, atau dalam dimensi politik yang bertujuan untuk mendukung gerakan buruh; meskipun pada awal dasawarsa '90 muncul studi yang menggunakan perspektif struktural dan kritis. Akan tetapi studi yang membahas tentang hubungan 'buruh-modal' dan hubungan 'buruh-negara' dalam konteks kekuasaan (power) belumlah banyak, dan khususnya yang membahas hubungan 'buruh-negara' dari perspektif Althusserian dan Gramscian nampak belum ada. Itulah sebabnya studi strategi pengendalian negara atas buruh dilihat dari perspektif Althusserian dan Gramscian ini dilakukan.
Pada tahun 1965 terjadi krisis politik yang melahirkan satu pemerintahan yang mengadopsi dan mengembangkan 'ideologi pembangunanisme' yang bertumpu kepada dua strategi, pertama adalah strategi meminimalkan konflik sosial, dan kedua memaksimalkan produktivitas ekonomi. Elite pemegang kekuasaan yang merupakan aliansi dari intelektual-teknokrat-sipil dengan tokoh-tokoh militer modernis yakin bahwa stabilitas adalah merupakan prasarat bagi pertumbuhan ekonomi,sehingga dalam konteks perburuhan, upaya pengendalian buruh adalah akibat nalar dari diterimanya ideologi itu.
Studi ini memaparkan perubahan-perubahan pengendalian negara atas buruh. Upaya pengendalian buruh secara ketat oleh negara sudah dimulai sejak masa kolonial. Meskipun upaya pengendalian itu menunjukkan wajah ramahnya pada masa 'demokrasi liberal',akan tetapi keramahan itu semakin menipis dan bahkan tidak nampak sama sekali pada masa 'demokrasi Pancasila' yang menggantikan 'demokrasi terpimpin' pada parohan terakhir dasawarsa '60-an. Dengan menganalisis penggunaan aparat repressi negara, baik perangkat hukum maupun perangkat non-hukum, dan penggunaan aparat ideologis negara lewat perspektif Althusserian, serta hegemoni negara (perspektif Gramscian), studi ini memaparkan kecenderungan kuat semakin ketatnya pengendalian negara atas buruh.
Semakin ketatnya pengendalian buruh itu nampak dari keragaman dan intensitas penggunaan perangkat repressi negara. Terdapat dua perangkat repressi,yakni perangkat hukum (undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, peraturan menteri, keputusan menteri,instruksi menteri,dan surat edaran menteri), dan perangkat nonhukum (aksi tandingan, pengaturan dan campur tangan, inkorporasi serikat buruh, dan aksi militer yang dipersiapkan dan dilakukan secara sistematis, berkesinambungan, dan effektif). Disamping itu juga digunakan perangkat ideologis seperti monopoli takrif situasi dan tafsirnya, penanaman kaidah dan norma, serta pendidikan. Studi ini berhasil mengidentifikasikan berbagai strategi pengendalian buruh oleh negara yang dilakukan secara terencana, sistematis, terarah untuk mendukung ideologi pembangunanisme dan memperkokoh legitimasi rezim pasca '65.
Pada tataran teoritis, studi yang sejak semula dirancang sebagai studi eksploratif ini mengambil kesimpulan bahwa perspektif Althusserian dan Gramscian membantu memahami bentuk-bentuk strategi pengendalian buruh oleh negara. Meskipun demikian, bobot sumbangan perspektif Althusserian dan Gramscian pada studi tentang perburuhan akan lebih, terutama konteks hubungan 'buruh-negara', bilamana studi penjajagan ini di lanjutkan oleh studi yang lebih mendalam yang bersifat menerangkan (eksplanatori).
Pada tataran praktis studi ini juga mengambil kesimpulan adanya tanda yang kuat dari kesenjangan antara kehendak normatif konstitusional atas negara dan rata-pemerintahan dengan praktek politik dan pemerintahan pada masa 'demokrasi Pancasila' pasca '65. Peraturan-peraturan di bawah undang-undang yang diciptakan khususnya pada masa itu pada kenyataannya kurang atau tidak mengacu dan bahkan cenderung menafikan undang-undang dan konstitusi di atasnya. Oleh karena itu studi ini merekomendasikan perlunya satu judicial review' atas segala peraturan di bawah undang-undang.
Pada tataran buruh, studi ini menyimpulkan bahwa buruh cenderung terhegemoni secara kuat oleh negara. Oleh karena itu disarankan kepada buruh dan serikat buruh serta aktor non-pemerintah lainnya untuk melakukan 'counter hegemony' dan membangun serta meningkatkan posisi tawar buruh, baik terhadap modal maupun terhadap negara."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danang Budiawan
"Demokrasi liberal belakangan dianggap mampu untuk menyelesaikan pelbagai permasalahan yang timbul pada abad belakangan. Berbagai kemajuan tidak semata bersandar pada ekonomi melainkan juga dalam budaya dan kehidupan sosial manusia modern. Namun demokrasi liberal tidak selamanya tanpa cela. Ketika segalanya nyaris sempurna ternyata demokrasi meninggalkan noda dalam diri antagonisme yang ditelantarkan di ujung jalan. ANtagonisme sendiri secara ringkas dapat dikatakan merupakan dasar dari segala sesuatu. Perbedaan yang dimaknai sebagai pertentangan merupakan kondisi hakiki. Pertentangan tidak semua nyata benturan-benturan fisik melainkan juga kepentingan-kepentingan yang semakin kompleks dan melebar. Melemahnya antagonisme dalam demokrasi liberal, menyimpan kemungkinan akan bangkitnya yang totaliter dalam diri demokrasi liberal. Hal tersebut dapat terjadi karena totaliter bukan berarti pasti meniadakan kebebasan, tetapi bagaimana jika kebebasan malah dimaknai secara berlebih-lebihan serta dianggap yang paling mulia? Walaupun dapat dikatakan jauh panggang dari api terhadap kemungkinan tersebut dapat terjadi, tetapi demokrasi liberal tidak dapat menutup mata atas kemungkinan tersebut. Demokrasi menempatkan ruang kosong yang menyimpan kondisi untuk terus-menerus diisi. Tidak ada yang menetap pasti sehingga jawaban bagi kemungkinan tersebut adalah mengembalikan dan menjadikan antagonisme sebagai cawan demokrasi liberal"
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S16164
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Rinaldi
"Penelitian ini menempatkan media massa sebagai ruang kontestasi. Untuk itu kemudian wacana yang tersaji adalah representasi dari kekuatan yang dominan. Penelitian ini ingin melihat bagaimana keterkaitan hegemoni ideologi demokrasiliberal Amerika terhadap pembentukan wacana war on terror di media massa tanah air. Penelitian ini dilakukan dengan paradigma kritis dan pendekatan kualitatif dengan menggunakan teori ekonomi politik kritis konstruktivis serta menggunakan strategi penelitian Analisis Wacana Kritis. Dengan Analisis Wacana Kritis penelitian kemudian dilakukan di tiga level yaitu pada level mikro yaitu teks dengan menganalisis teks berita, pada level meso yaitu praktik diskursus dengan data wawancara terhadap dua wartawan desk internasional, dan pada level makro yaitu praktik sosiokultural. Untuk memenuhi kriteria kualitas penelitian kritis dilakukan juga analisis historical situatedness. Hasil penelitian menunjukkan adanya keterkaitan antara hegemoni ideologi demokrasi-liberal Amerika Serikat yang dibangun oleh proses sejarah dengan wacana 'War On Terror' yang tersaji kepada publik dalam ruang-ruang media massa.

This research observed mass media as a contested terrain. In such context, the discourse represented through news in mass media was perceived as representing the dominant power. This research analyzed how US liberal-democracy ideology hegemony was taken part into the war on terror discourse propagation throughout Indonesian national mass media. This research applies critical paradigm and qualitative approach with constructivist critical political economy theory and critical discourse analysis strategy. Through conducting critical discourse analysis, this research focuses on three level of analyses: (1) at the micro level, by doing news text analysis, (2) at the meso level, by doing discourse analysis through administering interviews with two journalists in international desk, and (3) at the macro level, by doing socio-cultural practice analysis. To ensure the critical research quality, historical situatedness analysis was undertaken, as well. The result of this research revealed that there is a relation between the US democracy-liberal ideology hegemony that is continuously constructed through historical process with the 'War On Terror' discourse disseminated to the public and represented in mass media."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Manambe, Ellena Florance
"Teori demokrasi deliberatif sebagai salah satu cara untuk melengkapi, atau bahkan menyempurnakan praktek demokrasi liberal (demokrasi representatif) di Indonesia paska Reformasi. Dengan menggunakan perspektif demokrasi deliberatif milik Jǖrgen Habermas seorang ilmuwan sosial kritis madzab Frankfurt maka setidaknya Teori demokrasi deliberatif sedikit banyak bisa memberikan kontribusi terhadap ide dan praktek demokrasi liberal yang sedang dijalankan di Indonesia, khususnya setelah Reformasi 1998. Dalam demokrasi deliberatif, kebijakan-kebijakan penting (perundang-undangan) dipengaruhi oleh diskursusdiskursus “liar” yang terjadi dalam masyarakat Di samping kekuasaan administratif (negara) dan kekuasaan ekonomis (kapital) terbentuk suatu kekuasaan komunikatif melalui jaring-jaring komunikasi publik masyarakat sipil.
Kajian teori ini megkaji setelah dari lebih satu dekade, bagaimana sebetulnya nasib perjalanan demokrasi di negara-negara demokrasi di dunia, dan dalam hal ini khususnya di Indonesia? Apakah perjalanan demokrasi kita masih “on the right track”, atau sebaliknya, kita sebetulnya sudah jauh menyimpang dari prinsipprinsip, ide-ide atau aturan-aturan demokrasi yang sesungguhnya. Kekosongan pengetahuan tentang arah demokrasi dan proses demokratisasi merupakan PR besar bangsa ini mengingat proses dan implementasi model demokrasi dan demokratisasi sangat penting dalam pembangunan ekonomi.
Perdebatan atas pemikiran demokrasi selama satu abad terakhir oleh Josep Schampeter diaminkan oleh Josep Besette terkait tradisi kebersamaan diruang public memberikan bobot yang lebih besar untuk apa disebut "kebebasan dan modern", kebebasan berpikir dan hati nurani, hak-hak dasar dari inti demokrasi merupakan dasar dari lahirnya kebijakan dan aturan hukum. Ini menjadi pertimbangan penulis terkait dengan kajian teori demokratis. Penulis ingin mengevaluasi banyak hal terkait proposal yang secara teoretikus demokrasi menawarkan konsolidasi lembaga-lembaga secara demokratisasi. Penulis memusatkan perhatian pada paradigma baru demokrasi, model "demokrasi deliberatif", saat ini menjadi yang paling sangat cepat berkembang tren nya dalam implementasi. Gagasan utama penulis: bahwa dalam pemerintahan yang demokratis keputusan politik harus dicapai melalui proses musyawarah, persamaan hak masyarakat sipil dalam bentuk partisipasi publik, dimana bicara demokrasi sudah ada sejak kelahirannya pada abad kelima. Cara-cara musyawarah dan tidak berjarak dengan daerah pemilih menjadikan demokrasi deliberatif sebagai jalan penyempurnaan yang sangat kaya makna. Deliberatif memainkan peran sentral dalam berkembangnya pemikiran demokrasi itu sendiriCara Teori Demokrasi Deleberatif sebagai Jalan Penyempurnaan Demokrasi Liberal (Demokrasi Representatif/Perwakilan) di Indonesia Paska Reformasi.

The theory of deliberative democracy is the one who’s going to complete or even accomplish the practice of democracy liberal (democracy representative in Indonesia while reformation). By using perspective democracy a deliberative belonging to jurgen habermas a social scientist at least the theory democracy of deliberative more or less can contribute for an idea and practices democracy liberal being executed in Indonesia, especially after 1998’s reform. In a deliberative democracy, policies matters (legislation) influenced by discussion occurring in the community in side administrative power (a state) and power economical (capitalized) formed his communicative through public communication civil society.
This is the core democracy a deliberative being the writer testing to be applied in a political system or of the Indonesian. Critical theory of deliberative democracy at least through to contribute the idea and practice of liberal democracy in Indonesia, especially after the Reformation of 1998. In deliberative democracy, policies important (law) influenced by discourses "wild" in society in addition to the administrative authority (ies) and economic power (capital) form a communicative power through public communication web of civil society. This is the core of deliberative democracy being the author of the trial to be applied in the political system or government post-New Order Indonesia.)
The disagreement which has existed in democratic thought over the past centuries between the tradition associated with Josep Schampeter , which gives greater weight to what Josep Basette called “the liberties of the moderns”, freedom of thought and conscience, certain basic rights of the person and of property and the rule of law. It is with those considerations in mind that I will be examining the present debate undemocratic theory. I want to evaluate the proposals that democratic theorists are offering inorder to consolidate democratic institutions. I will concentrate my attention on the new paradigm of democracy, the model of “deliberative democracy”, which is currently becoming the fastest growing trend in the field. Their main idea: that in a democratic polity political decisions should be reached through a process of deliberation among free and equalcitizens, has accompanied democracy since its birth in fifth century. The ways ofenvisaging deliberation and the constituency of those entitled to deliberate have variedgreatly, but deliberation has long played a central role in democratic thought.What we see today is therefore the revival of an old theme, not the sudden emergence of a new one.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
T45149
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Anggraini
"ABSTRAK
Tahun 2010 ketika Viktor Orban terpilih sebagai Perdana Menteri Hungaria, populisme semakin kuat hingga berujung dengan kemunculan iliberalisme demokrasi di Hungaria. Bentuk pemerintahan di era Viktor Orban cukup bertentangan dengan nilai dan prinsip Uni Eropa yang termaktub dalam Artikel 2 Treaty on European Union (TEU), yaitu berdasarkan kebijakannya, Hungaria dianggap telah membahayakan nilai demokrasi, hak asasi manusia, nilai kebebasan, dan supremasi hukum. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk meneliti lebih lanjut dengan menggunakan konsep populisme. Sebagai salah satu negara anggota Uni Eropa, Hungaria mendapat berbagai teguran dan peringatan dari Uni Eropa. Viktor Orbán pun seringkali tidak mempedulikan peringatan Uni Eropa, sehingga berujung pada keputusan Uni Eropa yang pada akhirnya sepakat untuk melakukan aktivasi mekanisme Artikel 7 TEU pada September 2018. Berdasarkan Artikel 7 TEU, Uni Eropa melalui hasil pemungutan suara Parlemen Eropa telah menyepakati bahwa terdapat clear risk of a serious breach di Hungaria. Sampai dengan saat ini, proses kelanjutan reaksi Uni Eropa terhadap Hungaria measih menunggu keputusan dari Komisi, yaitu menunggu hasil apakah Hungaria akan diberikan sanksi atau tidak. Kesepakatan untuk melakukan aktivasi mekanisme Artikel 7 TEU juga merupakan hal yang pertama kali dilakukan oleh Uni Eropa sejak institusi tersebut dibentuk, sehingga penelitian ini menggunakan teori liberal intergovernmentalisme untuk melihat lebih dalam terkait proses terbentuknya keputusan Uni Eropa tersebut.

ABSTRACT
In 2010 when Viktor Orban was elected Prime Minister of Hungary, populism grow stronger until it ended with the emergence of the illiberalism democracy in Hungary. The form of government in the Viktor Orban era is quite contrary to the values and principles of the European Union as contained in Article 2 of the Treaty on European Union (TEU), which is based on its policy, Hungary is considered to endanger the values of democracy, human rights, values of freedom, and the rule of law. Therefore, this study aims to research further using the concept of populism. As one of the European Union member states, Hungary has received various warnings from the European Union. Viktor Orban often ignored the EUs warnings, which led to the European Unions decision finally agreed to activate the mechanism of Article 7 TEU in September 2018. Based on Article 7 TEU, the European Union passed the results of the European Parliaments agreement that there was clear risk of a serious breach in Hungary. Until now, the process of continuing the European Unions reaction to Hungary has awaited a decision from the Commission, which is awaiting the results of whether or not Hungary will be sanctioned. The agreement to activate the Article 7 TEU mechanism is also the first thing that has been done by the European Union since the institution was formed, so that this study uses the liberal intergovernmentalism theory to look deeper into the process of the European Unions decision"
Depok: Universitas Indonesia. Sekolah Kajian Stratejik dan Global, 2019
T52496
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titik Astuty Rahendra Pratiwi
"Transisi Dari Tentara Revolusi Ke Tentara Profesional Pada Awal Demokrasi Li_beral (1950-1952 ), peranan militer adalah dominan pada jaman revolusi, namun pada masa ini yang menarik untuk ditelitti adalah proses transisi ttentara revolusi ke tentara profesional yang menimbulkan pelbagai konflik dengan partai-partai politik. Oleh Militer dianggap mencampuri masalah intern terlalu dalam ke dalam tubuh Angkatan Darat, Fakultas Sastra, 1989. Penelitian mengenai skripsi ini dilakukan berdasarkan teori ilmu-ilmu sejarah. Data-data yang diperoleh dari beberapa kepustakaan dan berdasarkan data tersebut dilakukan deskripsi analisa yang kemudian dapat disimpul_kan bahwa : Terjadinya pergolakan intern, sebab pokoknya adalah heterogenitas TNI sebagai tentara rakyat ditambah dengan anggota-anggota yang berasal dari KNIL. Dan sejak tahun 1950 yang dikenal dengan masa liberal ini di Indonesia menggunakan sistim pemerintahan Demokrasi Parlementer, di mana presiden mempunyai kekuasaan terbatas sekali. Keadaan seperti ini menimbulkan situasi yang berlainan dengan masa revolusi, di mana militer memiliki peran militer dan politik yang hampir-hampir menentukan, sebaliknya pada masa ini peran tersebut diambil alih oleh para politisi."
1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufiq Rahmat Hidayatullah
"ABSTRACT
Penelitian ini merupakan telaah kritis terhadap teori politik John Rawls dan
Jürgen Habermas dalam menghadapi persoalan fakta pluralisme, utamanya
mengenai asas neralitas sebagai fondasi politik demokrasi liberal. Rawls
mengembangkan konsepsi politik tentang keadilan melalui gagasan konsensus
yang saling bertumpang-tindih, sementara Habermas mengelaborasi gagasan
tentang validitas dan legitimasi politik di atas tindakan komunikatif. Penelitian ini
berusaha menunjukkan bahwa politik demokrasi adalah ruang serba mungkin
yang tidak dapat dipagari oleh eksklusi atau inklusi terhadap kategori tertentu.
Melalui perspektif teori diskurus Habermas, penelitian ini berusaha mengupas
defisit dalam konstruksi teori politik prosedural Rawls tentang perumusan asasasas
keadilan politik. Sasarannya adalah mencapai suatu pemahaman tentang
keadilan politik yang tidak beku dan senantiasa terbuka terhadap segala rupa
kemungkinan baru.

ABSTRACT
This undergraduate thesis is a critical analysis of the political theory of John
Rawls and Jürgen Habermas in terms of addressing the pluralism, particularly
regarding the principle of neutrality as the foundation of liberal democratic
politics. Rawls developed a political conception of justice through the idea of
overlapping consensus, while Habermas elaborated the notion of political validity
and legitimacy above the communicative action. This critical analysis aims to
prove that democracy is a room with unlimited probability, which is most unlikely
to be restricted with neither exclusivity nor inclusivity towards particular groups.
Through the perspective of Habermas’ discourse theory, this analysis seeks to
unravel the deficit in the construction of Rawls’ political theory of the principles
of political justice. The objective is to achieve an understanding of political justice
that is not frigid and open to all sorts of new possibility."
2014
S56114
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>