Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Naomi Theodora Wahyutomo
"China-Mauritius Free Trade Agreement merupakan sebuah kerja sama perdagangan bebas pertama antara China dengan salah satu negara Afrika yaitu Mauritius. Disahkan pada tahun 2019, dan mulai diimplementasi di kedua negara tahun 2021, perjanjian tersebut mengatur beberapa ketentuan seperti perdagangan barang, perdagangan jasa, investasi, serta kerja sama ekonomi. Meskipun demikian, di kawasan Afrika, Mauritius bukan merupakan satu-satunya mitra dagang China. Perdagangan China di Afrika justru secara signifikan lebih banyak dengan negara-negara Afrika lainnya seperti Afrika Selatan, Nigeria, Mesir, dan lain sebagainya, dibandingkan dengan Mauritius yang nilai perdagangannya dengan China tidak terlalu signifikan. Pertanyaan penelitian yang muncul kemudian adalah mengapa China menjadikan Mauritius sebagai mitra FTA pertama di Afrika meskipun Mauritius bukan merupakan mitra dagang yang kuat dibandingkan negara-negara lainnya di Afrika. Penelitian ini merupakan penelitian eksplanatif yang berfokus kepada data kualitatif. Penelitian ini menggunakan teori Cross-Regionalism dari Mireya Solís dan Saori N. Katada untuk mengeksplorasi motif China di balik pemilihan mitra FTA yaitu Mauritius sebagai negara Afrika pertama. Dua motif yang diteliti adalah motif ekonomi serta motif keamanan dan diplomasi. Penelitian menunjukkan bahwa pemilihan Mauritius sebagai mitra FTA didasari pada motif ekonomi seperti keinginan China untuk mengakses pasar yang lebih luas, menghindari trade diversion ke India serta meningkatkan pengaruh BRI di Afrika. Sementara itu, motif keamanan dan diplomasi didominasi oleh keinginan China untuk meningkatkan pengaruh di Samudera Hindia yang berkaitan dengan comprehensive security China.

China-Mauritius Free Trade Agreement is the first free trade agreement between China and one of African countries which is Mauritius in 2019. However, in African region, Mauritius is not the only China’s trade partner. China’s value trade with other African countries is more significant than with Mauritius. Therefore, this research raised a question, why did China choose Mauritius as its first FTA partner in Africa even though Mauritius is not the strongest trade partner among other African countries. Thus, this research aims to explore China’s motives when chose Mauritius as its first FTA partner in Africa This research is categorized as an explanatory-research that focuses on qualitative data. This research uses theory from Mireya Solís and Saori N. Katada called Cross-Regionalism to explore China’s motives. This research explored two motives, which are economic motives and security and diplomatic motives. This research finds that China’s partner choice as an FTA partner, which is Mauritius, are based on China’s economic motives (greater access to African market, avoid trade diversion to India, and intensifying BRI to Africa) and security and diplomatic motives (intensifying its influence in Indian Ocean to fulfil its comprehensive security)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Ajeng Dewisari Puspitaningsih Averilya
"Tulisan bertujuan menganalisis motif yang mendasari Tiongkok dalam menyepakati ketentuan pembangunan berkelanjutan yang terkandung di dalam Comprehensive Agreement on Investment (CAI) dengan Uni Eropa pada tahun 2020. Analisis dalam tulisan ini didukung oleh kerangka teori cross-regionalisme yang menjelaskan motif suatu aktor internasional dalam menyetujui kemitraan ekonomi dengan mitra di kawasan berbeda. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode penelitian melalui studi literatur. Studi literatur dilakukan dengan mencari data dan informasi pada artikel, jurnal, buku, berita, hingga situs resmi. Melalui analisis yang dilakukan, penelitian ini menemukan bahwa pertimbangan Tiongkok dalam menyetujui ketentuan pembangunan berkelanjutan dalam CAI dipengaruhi oleh tiga motif seperti motif ekonomi yang didukung oleh keinginan Tiongkok dalam memperoleh akses pasar dan upaya mencegah pengalihan investasi mengikuti perdagangan. Motif keamanan dan diplomasi Tiongkok yang dipengaruhi keinginan Tiongkok memperkuat tatanan keamanan, menghindari isolasi diplomatik, serta meningkatkan status internasional. Adapun motif leverage Tiongkok dipengaruhi upaya untuk menciptakan preseden dan peningkatan kapasitas Tiongkok.

This paper aims to analyze the motives underlying China in agreeing to the terms of sustainable development contained in the Comprehensive Agreement on Investment (CAI) with the European Union in 2020. The analysis in this paper is supported by the theoritical framework of cross-regionalism which explains the motives of an international actor in agreeing to a economic cooperation with partner in different region. This research is qualitative with research method through literature study. Literature study is carried out by searching for data and information on articles, journals, books, news, and official websites. Through the analysis conducted, this study finds that China's consideration in agreeing to terms of sustainable development in the CAI is affected by three motives such as economic motives which are influenced by China's desire to gain market access and efforts to prevent investment diversion following trade. China's desire to strengthen the security order, avoid diplomatic isolation, and improve international status. Meanwhile, China's leverage motive is influenced by the efforts to create precendents and increase China's capacity.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zainab Assegaff
"Tesis ini bertujuan untuk menganalisis kedudukan Indonesia dalam negosiasi perdagangan bebas Uni Eropa (UE) dengan negara-negara Asia Tenggara, yang dilihat dari perspektif UE. Pertanyaan pendahuluan dari penelitian ini adalah mengapa UE menegosiasikan perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara Asia Tenggara. Sementara itu, pertanyaan penelitian utama dari tesis ini adalah mengapa Indonesia hanya menjadi negara keenam di Asia Tenggara yang melakukan negosiasi perdagangan bebas dengan UE dan bukan yang pertama. Metode penelitian tesis ini adalah metode analisis kualitatif dengan menggunakan studi kasus, dalam hal ini negosiasi perdagangan bebas UE-Asia Tenggara. Metode pengumpulan data utama menggunakan teknik studi pustaka yang dikumpulkan dari buku, artikel, laman berita, dan laman resmi dari organisasi-organisasi terkait. Untuk menjawab pertanyaan penelitian, peneliti menggunakan teori Cross-Regionalism yang dikemukakan oleh Mireya Solís dan Saori N. Katada (2007). Faktor regional yang membuat UE melakukan perjanjian perdagangan bebas (FTA) lintas kawasan antara lain kondisi ekonomi internal yang terpuruk; kemunculan kekuatan-kekuatan ekonomi baru, terutama Tiongkok, yang menyaingi UE; kemajuan ekonomi dari keenam negara Asia Tenggara yang jauh lebih baik dari UE; kondisi perdagangan barang yang tidak menguntungkan dengan ASEAN; dan kebijakan politik UE. FTA lintas kawasan merupakan upaya UE untuk memperbaiki kondisi perekonomiannya, mencegah terjadinya pengalihan perdagangan (trade diversion), dan menjadi kekuatan normatif. Faktor regional yang menyebabkan Indonesia tidak menjadi prioritas bagi UE adalah kondisi ekonomi Indonesia yang tidak lebih baik dari Singapura, Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Filipina; hubungan ekonomi UE-Indonesia yang menurun; isu-isu keberlanjutan (sustainability); dan minimnya hubungan UE-Indonesia. Kemudian, motif yang memengaruhi UE untuk melakukan FTA lintas kawasan adalah motif pengaruh (leverage), yaitu untuk mempromosikan nilai-nilai UE, sehingga terbentuk like-minded countries. Motif ekonomi dan motif pengaruh (leverage) merupakan alasan yang menyebabkan Indonesia tidak menjadi mitra negosiasi FTA bilateral pertama dan hanya yang keenam. Tampaknya kedua alasan ini memengaruhi UE dalam penentuan mitra FTA, sedangkan motif keamanan dan diplomasi tidak memengaruhinya. Hal ini menunjukkan bahwa motif keamanan dan diplomasi (politik) diabaikan oleh UE. Dalam memilih mitra FTA, nilai-nilai yang diusung UE kalah ketika berhadapan dengan kepentingan ekonominya.

This thesis aims to analyze Indonesia's position in the Free Trade Agreement (FTA) negotiations between the European Union (EU) and Southeast Asian countries as seen from the EU's perspective. The preliminary question of this thesis is why the EU negotiated FTAs with Southeast Asian countries. Meanwhile, the primary research question is why Indonesia became the sixth country in Southeast Asia to negotiate a bilateral FTA with the EU instead of the first. The research method of this thesis is a qualitative analysis using a case study, which is the EU-Southeast Asia FTA negotiations. The majority of the data collected in this thesis is collected from books, articles, news pages, and official pages from related organizations. To answer the research question, the researcher uses Cross-Regionalism theory put forward by Mireya Solís and Saori N. Katada (2007). Regional factors that have led the EU to conduct cross-regional FTA ​​are internal economic slump; the emergence of new economic powers, notably China, that rival the EU; economic improvement of the six Southeast Asian countries which is much better than the EU; unfavorable trade in goods with ASEAN; and EU political policy. Cross-regional FTA is EU's effort to improve its economic condition, prevent trade diversion, and become a normative power. Regional factors that have caused Indonesia not to become a priority for the EU are Indonesia's economic condition that was no better than Singapore, Malaysia, Vietnam, Thailand, and the Philippines; the decline of EU-Indonesia economic relation; sustainability issues; and the lack of EU-Indonesia relation. Furthermore, the motive that influences the EU to conduct cross-regional FTA ​​is leverage motive, namely to promote EU values, so that like-minded countries are formed. Economic motive and leverage motive were the reasons why Indonesia was not the first and only the sixth bilateral FTA negotiating partner. It seems that both of these reasons influenced the EU in determining its FTA partners, while security and diplomacy motives did not influence the EU. This shows that security and diplomacy (politics) motives were disregarded by the EU. In choosing FTA partners, the values promoted by the EU lose out when it comes to its economic interests."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library