Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Inna Apriantini
"Pernikahan usia dini masih tergolong tinggi di Indonesia. Penurunan angka pernikahan usia dini di Indonesia tergolong lambat.. Pernikahan dini adalah salah satu bentuk dari pelanggaran hak dari anak. Penelitian ini bertujuan untuk melihat factor determinan yang menyebabkan terjadinya pernikahan usia dini di Indonesia menggunakan data SDKI 2017. Penelitian ini disusun berdasarkan data sekunder dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2017. Sampel ini digunakan untuk mendapatkan gambaran usia kawin pertama pada rentang usia 15-25 tahun dengan status responden menikah pada penelitian. Analisis data yang dilakukan adalah dengan menganalisis data SDKI 2017 dengan Analisa Univariate dan Analisa Bivariate (Potong Lintang). Gambaran persentase pernikahan dini di Indonesia pada Usia 15-25 tahun lebih banyak wanita yang menikah dini yaitu sebanyak 65,1 persen.sedangkan untuk wanita yang tidak menikah dini hanya sebesar 34,9 persen. Factor determinan terjadinya pernikahan dini dari hasil penelitian ini adalah Pendidikan, tempat tinggal, status ekonomi, penggunaan majalah/koran, penggunaan radio, dan penggunaan internet.

Early marriage is still relatively high in Indonesia. The decline in the number of early marriage in Indonesia is relatively slow. Early marriage is one form of violation of the rights of children. This study aims to look at the determinants that cause early marriage in Indonesia using the 2017 IDHS data. This study was compiled based on secondary data from the 2017 Indonesian Demographic and Health Survey (IDHS). This sample was used to obtain an overview of the age of first marriage in the age range 15-25 years with the status of respondents married in the study. Data analysis was performed by analyzing 2017 IDHS data with Univariate Analysis and Bivariate Analysis (Cross-Cutting). The percentage of early marriages in Indonesia at the age of 15-25 years is more women who marry early, which is as much as 65.1 percent. While for women who are not married early is only 34.9 percent. The determinants of early marriage from the results of this study are education, residence, economic status, magazine / newspaper use, radio use, and internet use."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Izzatun Nidaa
"Perkawinan anak merupakan salah satu pelanggaran hak anak yang dapat berdampak bagi kesehatan reproduksi, risiko mengalami kekerasan dan dampak psikologis, sosial ekonomi serta bagi bayi/anak yang dilahirkan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran perkawinan anak di Kabupaten Pekalongan dan faktor-faktor yang berkontribusi. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Sampel sebanyak 370 perempuan berusia 20-24 tahun dari 30 desa di 8 kecamatan yang dipilih secara acak dari 19 kecamatan di Kabupaten Pekalongan. Teknik sampling yang digunakan adalah Probability Proportional to Size (PPS) 3 tahap. Data dikumpulkan dengan cara wawancara. Proporsi perkawinan anak perempuan di Kabupaten pekalongan sebesar 8,6% dan 0,54% di antaranya merupakan perkawinan pertama yang terjadi sebelum usia 15 tahun. Prevalensi perkawinan anak tertinggi ditemukan di Kecamatan Lebakbarang (28,6%), Kandangserang (20,6%) dan Doro (17,5%). Tingkat pendidikan merupakan faktor yang berhubungan dengan perkawinan anak di Kabupaten Pekalongan, sedangkan pengetahuan, pengaruh teman sebaya dan lokasi tempat tinggal merupakan faktor konfonding. Perempuan berpendidikan rendah memiliki kemungkinan untuk mengalami perkawinan anak 53 kali dibanding perempuan berpendidikan tinggi setelah dikontrol oleh pengetahuan, pengaruh teman sebaya dan lokasi tempat tinggal (OR= 53,27; 95% CI = 7,03 - 403,81). Diperlukan program pencegahan perkawinan anak dari Pemerintah Kabupatan Pekalongan serta peningkatan akses pendidikan yang merata untuk tingkat SMA/sederajat khususnya di Kecamatan Lebakbarang, Kandangserang dan Doro.

Child marriage is a violation of children's rights that has several impacts on reproductive health, the risk of experiencing violence and psychological impact, the babies/children being born, and socio-economic. The aim of the research is to find out the prevalence of child marriage in Pekalongan Regency and the contributing factors. This study used a cross-sectional research design. Sample of 370 women aged 20-24 years from 30 villages in 8 sub-districts were randomly selected from 19 sub-districts in Pekalongan Regency. The sampling technique is 3 stage Probability Proportional to Size (PPS). Data were collected by interview. The proportion of child marriage in Pekalongan Regency was 8.6%, of which 0.54% of them had their first marriages before they were 15 years old. The highest prevalence of child marriage was found in these sub-districts: Lebakbarang (28.6%), Kandangserang (20.6%) and Doro (17.5%). Level of education is a factor related to child marriage in Pekalongan Regency, while knowledge, peer influence and location of residence are confounding. Women with low education are 53 times more likely to experience child marriage than women with higher education after controlling for knowledge, peer influence and location of residence (OR= 53.27; 95% CI = 7.03 - 403.81). The Government of Pekalongan Regency needs to develop a program to prevent child marriage and increase access to high school education level, especially in Lebakbarang, Kandangserang and Doro sub-district."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nugrahayu Suryaningrum
"Penurunan AKB di Indonesia dihadapkan permasalahan kesenjangan AKB antarkabupaten/kota yang menunjukkan adanya keterkaitan antarwilayah yang berpengaruh. Sebagian besar kematian bayi disebabkan oleh faktor maternal yang dapat dicegah dan diperbaiki selama kehamilan. Usia ibu saat melahirkan merupakan salah satu prediktor terkuat dalam kematian bayi yang sangat erat berkaitan dengan perkawinan usia anak. Dengan mempertimbangkan efek spasial antarkabupaten/kota, penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan perkawinan usia anak dengan kematian bayi kabupaten/kota di Indonesia yang dikontrol oleh pengaruh faktor ibu, rumah tangga, dan kesehatan. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat dependensi spatial pada AKB kabupaten/kota di Indonesia. Model Regresi Analisis Spatial Durbin menunjukkan bahwa perkawinan usia anak berhubungan positif dan signifikan dengan AKB kabupaten/kota. Selain itu, AKB tidak hanya dipengaruhi oleh variabel penjelas dalam kabupaten/kota tersebut melainkan juga dipengaruhi oleh AKB kabupaten/kota tetangga dan beberapa variabel penjelas kabupaten/kota tetangga. Oleh karena itu, untuk menurunkan AKB suatu wilayah, maka perlu membangun wilayah sekitarnya, membangun akses ke wilayah dengan fasilitas kesehatan yang baik agar pemanfaatan pelayanan kesehatan meningkat dan mengurangi AKB suatu wilayah. Pemanfaatan teknologi, informasi dan komunikasi juga sangat penting untuk melakukan sosialisasi dan edukasi pentingnya pendewasaan usia perkawinan. Dengan demikian remaja khususnya perempuan dapat merencanakan pendidikan, pekerjaan, dan pernikahan dengan matang serta mempunyai pengetahuan kesehatan reproduksi yang baik sehingga diharapkan AKB Indonesia semakin menurun.

The decline in IMR in Indonesia is faced with the problem of IMR gaps between districts/cities which indicate that there are interregional linkages that are influential. Most infant deaths are caused by maternal factors that can be prevented and corrected during pregnancy. Maternal age at delivery is one of the strongest predictors of infant mortality, which is closely related to child marriage. By considering the spatial effects between districts/cities, this study aims to study the relationship of child marriage to IMR in Indonesia which is controlled by the influence of maternal, household, and health factors. The results of the analysis show that there are spatial dependencies on IMR in Indonesia. The Analysis Regression Spatial Durbin Model shows that child marriage has a positive and significant relationship with IMR. In addition, IMR is not only influenced by the explanatory variables in the district, but also influenced by IMR in neighboring districts and several explanatory variables in neighboring districts. Therefore, to reduce the IMR in a region, it is necessary to develop the surrounding area, build access to areas with good health facilities so that the utilization of health services increases and reduces the IMR in an area. Utilization of technology, information and communication is also very important to socialize and educate the importance of maturing the age of marriage. In this way, adolescents, especially women, can plan their education, work and marriage carefully and have good reproductive health knowledge so that it is expected that the Indonesian IMR will decrease."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rapha Destrida
"Hukum perkawinan Indonesia mengatur syarat umur perkawinan yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu 16 (enam belas) tahun bagi perempuan, dan 19 (sembilan belas) tahun bagi laki-laki. Namun, pada tahun 2019, syarat umur tersebut mengalami peningkatan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, yaitu 19 (sembilan belas) tahun bagi laki-laki maupun perempuan. Peningkatan syarat umur tersebut bertujuan untuk menghindari diskriminasi terhadap perempuan, serta menekan angka perkawinan anak di Indonesia. Namun, tujuan tersebut tidak sepenuhnya tercapai karena peningkatan syarat umur hanya berlaku efektif untuk menghindari diskriminasi terhadap perempuan, tetapi tidak berlaku efektif dalam menekan angka perkawinan anak di Indonesia. Terdapat peningkatan angka perkawinan anak di Indonesia yang ditinjau dari adanya lonjakan drastis terhadap angka kasus dispensasi perkawinan setelah berlakunya peningkatan syarat umur tersebut. Dispensasi perkawinan merupakan suatu pengecualian terhadap pemenuhan syarat umur, sehingga mereka yang belum mencapai syarat umur dapat melangsungkan perkawinan. Dispensasi perkawinan tersebut dapat diberikan melalui permohonan yang diajukan oleh orang tua calon suami atau isteri ke Pengadilan. Lebih lanjut, dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, diatur bahwa dalam mengajukan dispensasi perkawinan diperlukan adanya “alasan sangat mendesak” sebagai latar belakang pengajuan yang disertakan bukti-bukti cukup. Meskipun demikian, tidak diatur lebih lanjut mengenai batasan dari frasa “alasan sangat mendesak” tersebut, yang menimbulkan ragam tafsiran bagi masyarakat dalam mengajukan permohonan dispensasi perkawinan, maupun bagi Hakim dalam mengadili permohonan dispensasi perkawinan. Penelitian ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal yang berisi analisis pertimbangan Hakim dalam menetapkan permohonan dispensasi perkawinan atas alasan sangat mendesak terhadap 2 (dua) penetapan yaitu Penetapan Nomor 270/Pdt.P/2022/PN Mnd dan Penetapan Nomor 41/Pdt.P/2022/PN Gin, dan selanjutnya 2 (dua) analisis penetapan tersebut akan dibandingkan. Lebih lanjut, penelitian ini juga akan membahas tafsiran Hakim mengenai frasa “alasan sangat mendesak” melalui observasi langsung yang dilakukan Penulis kepada Hakim.

Indonesian marriage law originally regulates the age requirements for marriage at 16 (sixteen) for women and 19 (nineteen) for men through Law Number 1 of 1974 on Marriage. However, in 2019, Law Number 16 of 2019 raised the age requirements to 19 (nineteen) years old for both gender. The increase was aimed to avoid discrimination against women and as an effort to suppress child marriage rates in Indonesia. However, this goal has not been fully achieved due to the ineffectiveness in suppressing the child marriage rates in Indonesia. This can be seen from the sharp rise in the number of marriage dispensation cases after the implementation of the increase in the age requirement. Marriage dispensation is an exception to the fulfillment of marriage age requirement, which allows those who have not reached the age requirement to marry. Marriage dispensation can be granted through an application submitted by the parents of the prospective bride or groom to the court. Furthermore, article 7 paragraph (2) of Law Number 16 of 2019 stipulates that a “very urgent reason” must be provided as the basis for the dispensation application. However, there are no further regulations regarding the limitation of the phrase “very urgent reason”, which has led to various interpretations by the public in applying marriage dispensations, as well as by Judges in determining the marriage dispensation applications. This research is conducted using doctrinal research methods, which analyze the considerations of Judges in granting marriage dispensation application based on “very urgent reason” in 2 (two) court orders, namely Court Order Number 270/Pdt.P/2022/PN Mnd and Court Order Number 41/Pdt.P/2022/PN Gin, followed by comparison of the 2 (two) court orders. Additionally, this research will discuss the Judge’s interpretation of the phrase “very urgent reason” through direct observation conducted by the author with the Judge."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Munte, Alfonso
"Tesis ini menelusuri pengalaman perempuan penyintas korban perkawinan anak dipaksa memasuki lembaga perkawinan pada usia anak. Peneliti menelusuri bagaimana perempuan penyintas perkawinan anak yang berasal dari Sekolah Perempuan mendapatkan akses pengetahuan umum, baik pendidikan formal maupun informal. Tujuan penelitian ini untuk mempelajari perempuan dewasa penyintas korban perkawinan anak mampu mengatasi berbagai masalah terkait dampak perkawinan anak serta bagaimana mereka membangun otonomi dan kebahagiaan melalui akses pengetahuan formal dan informal dalam kehidupannya kemudian dielaborasi dengan teori Shulamith Firestone dan Sara Ahmed. Peneliti menggunakan metode penelitian wawancara dan dengan instrumen penelitian berupa daftar pertanyaan detail, kemudian dimasukkan ke dalam padatan faktual, kategori dan tema. Hasil penelitian menyimpulkan keempat subjek penelitian mempunyai pengalaman pahit yang tergambar dengan tindak kekerasan seksual. Pengabaian dari suami dan mertua subjek penelitian yang semestinya perempuan penyintas perkawinan anak tersebut mendapatkan tempat aman dan ruang kasih sayang. Beberapa subjek penelitian mengalami kendala akses atas pengurusan administrasi. Akses subjek terhadap pengetahuan umum dan tentang kesehatan reproduksi menjadi penting ketika akses tersebut terhubung dengan percakapan perempuan dewasa korban pernikahan anak dengan petugas kesehatan. Dua perempuan dewasa korban perkawinan anak mendapatkan privilege karena pernah mengecap sekolah perempuan yang merupakan respons atas dasar pilihannya secara mandiri.

This thesis explores the experience of female survivors of child marriage being forced to enter marriage institutions. The researcher explores how women survivors of child marriage from Sekolah Perempuan gain access to general knowledge, both formal and informal education. The purpose of this research is to study that adult women who are victims of child marriage are able to overcome various problems related to the impact of child marriage and how they build autonomy and happiness through access to formal and informal knowledge in their lives and then I elaborated based on theory of Shulamith Firestone and Sara Ahmed. Researcher used interview research methods and research instruments such as list form that contained some detailed questions, then put them into factual solids, categories and themes. The results of the study concluded that the four research subjects had bitter experiences depicted by acts of sexual violence. The neglect of the husband and in-laws of the research subjects, which should have women who survived child marriages, got a safe place and a space of love. Some research subjects experience problems with access to administrative management. Subject access to general knowledge and about reproductive health becomes important when those access were connected with consultation of adult women victims of child marriage with health workers. Two adult women who are victims of child marriages got privileged because they have experienced Sekolah Perempuan which are a response based on their independent choices."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baugh, Carolyn G.
"In Minor Marriage in Early Islamic Law, Carolyn Baugh offers an in-depth exploration of 8th-13th century legal sources on the marriageability of prepubescents, focusing on such issues as maintenance, sexual readiness, consent, and a fathers right to compel. Modern efforts to resist establishment of a minimum marriage age in countries such as Saudi Arabia rest on claims of early juristic consensus that fathers may compel their prepubescent daughters to marry. This work investigates such claims by highlighting the extremely nuanced discussions and debates recorded in early legal texts. From the works of famed early luminaries to the consensus writers of later centuries, each chapter brings new insights into a complex and enduring debate."
Leiden: Brill, 2017
e20497961
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Riska Carolina
"Indonesia telah ikut ambil bagian dalam berbagai perjanjian dan ketentuan-ketentuan dari hukum internasional yang berkaitan dengan pernikahan anak, termasuk CEDAW (United Nation Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women 1979), yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 dan CRC (United Nation Convention Convention on the Rights of Child 1989), yang diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Ratifikasi Indonesia berarti menundukan diri dan berkomitmen kepada ketentuan internasional yang telah disepakati, akan tetapi pernikahan anak masih kerap terjadi di Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa usia dewasa adalah seseorang yang telah berusia 21 tahun dan/atau sudah menikah, yakni dengan ketentuan perempuan berumur 16 tahun dan laki-laki berusia 19 tahun. Hal ini bertentangan dengan komitmen Indonesia terutama dalam CEDAW dan CRC. Pelanggaran komitmen yakni melanggengkan pernikahan anak terutama anak gadis yang berumur di bawah 18 tahun. Badan-badan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) telah banyak mempromosikan bahaya daripada pernikahan anak. Bukan hanya di Indonesia saja namun banyak dari negara-negara berkembang dan negara dunia ketiga yang mengalami masalah dalam menyesuaikan hukum internasinal dengan hukum nasional dalam memandang pernikahan anak tersebut

Indonesia has participated in the various agreements and provisions of international law related to child marriage, including CEDAW (United Nation Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women 1979), which Indonesia has ratified through Law No. 7 of 1984 and the CRC (United Nation Convention Convention on the Rights of Child 1989) ratified by Presidential Decree No. 36 of 1990. Ratification means subduing the self of the state and are committed to the internationally agreed provisions, but the marriage of children still frequently occur in Indonesia. Law No. 1 of 1974 states that age of consent is someone who has aged 21 years old and/or married, ie the provision of 16-year-old woman and men aged 19 years old. This is contrary to the commitment of Indonesia, especially in the CEDAW and the CRC. Violations of commitments are perpetuate child marriage of girls especially under 18 years old. United Nations agencies has been heavily promoting the dangers of child marriage. Not only in Indonesia, but many of the developing countries and the third world countries that have problems in adjusting to International law with national law in the view of the child marriage."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45852
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Nenden Assyfa Putri
"Suatu produk yang berhasil di ingat konsumen tidak akan pernah terlepas dari fungsi komunikasi pemasaran. Adanya komunikasi pemasaran dapat mewakili suara perusahaan untuk menjadi sarana dalam menjalin komunikasi dan membangun hubungan dengan pelanggan. Salah satu aktivitas pemasaran yang dilakukan perusahaan selama ini selalu mengutamakan marketing event secara tatap muka sebagai strategi pemasaran utamanya. Hadirnya pandemi Covid-19, marketing event bertransformasi menjadi kegiatan virtual dimana perusahaan harus mengikuti perkembangan tersebut agar tidak tertinggal. Penelitian ini menggunakan beberapa konsep serta referensi dari Marketing Event, Computer Mediated Communication dan Hierarchy of Effect. Strategi penelitian ini menggunakan studi fenomenologi dengan pendekatan kualitatif. Sebagai penelitian kualitatif, peneliti melakukan tahapan wawancara mendalam dan observasi kepada tiga informan yang mempunyai pengalaman dalam ikut serta marketing event di masa pandemi Covid-19. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa keberhasilan pembentukan pemahaman dalam mengikuti marketing event tergantung dari sektor perusahaan. Untuk produk skincare dan smartphone, marketing event secara virtual dinilai sudah memberikan pemahaman terhadap produk kepada konsumen. Sedangkan pada produk printer, acara virtual dinilai kurang memberikan pemahaman karena informan tidak bisa merasakan langsung pengalaman terhadap produk.

A product that is successfully remembered by consumers will never be separated from the marketing communication function. The existence of marketing communications can represent the voice of the company to be a means of establishing communication and building relationships with customers. One of the marketing activities carried out by the company so far has always prioritized face-to-face marketing events as its main marketing strategy. With the presence of the Covid-19 pandemic, marketing events have transformed into virtual activities where companies must follow these developments so they don't get left behind. This study uses several concepts and references from Event Marketing, Computer Mediated Communication and Hierarchy of Effect. This research strategy uses a phenomenological study with a qualitative approach. As a qualitative research, the researcher conducted in-depth interviews and observations with three informants who had experience in participating in marketing events during the Covid-19 pandemic. The results of this study indicate that the success of forming understanding in participating in marketing events depends on the company sector. For skincare and smartphone products, virtual marketing events are considered to have provided an understanding of the product to consumers. Meanwhile, for printer products, virtual events are considered to lack understanding because the informants cannot experience the product directly."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khalida
"Penelitian ini menganalisis pengaruh dari pernikahan anak pada wanita terhadap kemampuan negosiasi wanita tersebut dalam keluarga menggunakan data dari Indonesia Family Life Survey IFLS gelombang kelima. Proxi yang digunakan untuk kemampuan bernegosiasi adalah pengaruh wanita dalam pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan anak, transfer ke orangtua dan mertua, serta waktu sosialisasi suami dan diri sendiri.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa menikah pada usia dewasa akan meningkatkan kemungkinan wanita tersebut memiliki kemampuan negosiasi dalam keluarga pada aspek pendidikan anak, kesehatan anak dan waktu yang dihabiskan suami untuk bersosialisasi di luar. Implikasi dari penelitian ini menunjukkan pentingnya mengurangi pernikahan di bawah umur karena fenomena tersebut secara negatif mempengaruhi pemberdayaan wanita dari sisi kemampuan negosiasi dalam keluarga.Kata Kunci: wanita, pernikahan anak, agensi keluarga, kemampuan negosiasi.

This study analyses the impact of child marriage on womens socio economic bargaining power in the family using the fifth wave of Indonesia Family Life Survey. The proxies used for socioeconomic bargaining power are spending for childrens education and health, transfer to parents and parents in law, husbands socialising time and respondent rsquo s socialising time.
The findings show that marrying after reaching adulthood will increase the womens probability for bargaining power in their childrens education, childrens health and husbands socialising time. The implication of this study would address the importance of reducing the number of child marriage in Indonesia as it would affect womens empowerment represented by family socio economic agency in negative way.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sekar Sanding Kinanthi
"Education is found to be one of the leading factors of child marriage, though the relationship between the two is complex. The two-way relationship between education attainment and the probability of child marriage indicate an endogeneity problem. To address this problem, this study exploited the implementation of School Operation Assistance (henceforth be referred to as BOS) as an exogenous factor that indicates a jump in the years of schooling for a Fuzzy Regression Discontinuity design using data from the 2002/2003, 2007, 2012, and 2018 Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS). This study found that an increased year of schooling decreases the probability of child marriage by an average of 3.8-6.6 percent. The study also shows that there is some evidence of a knowledge effect, which means that educational attainment affects the probability of child marriage through the channel of media and increased reproductive health knowledge.

Pendidikan kerap kali disebut sebagai faktor utama dalam pernikahan anak, sekalipun hubungan di antara keduanya kompleks. Hubungan dua-arah antara pendidikan dan  kemungkinan pernikahan anak mengindikasikan adanya permasalahan endogenitas. Untuk mengatasi masalah ini, penelitian ini mengeksploitasi implementasi Bantuan Operasi Sekolah (BOS) sebagai faktor eksogen yang menunjukkan lompatan dalam lama bersekolah untuk fuzzy regression discontinuity design yang menggunakan data dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002/2003, 2007, 2012, dan 2017. Studi ini menemukan bahwa peningkatan satu tahun bersekolah rata-rata mengurangi kemungkinan pernikahan anak sebesar 3,8-6,6 persen. Studi ini juga menunjukkan bahwa terdapat bukti efek pengetahuan, yang berarti pengaruh pendidikan pada probabilitas pernikahan anak disalurkan melalui media masa dan peningkatan pengetahuan kesehatan reproduksi.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>