Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Deasy Sukmasari
"ABSTRAK
Jurnal ini membahas tentang Perayaan Qixi sebagai salah satu perayaan yang dirayakan oleh masyarakat Cina setiap tahun, tepatnya pada tanggal tujuh bulan ke-tujuh penanggalan bulan. .Masyarakat Cina meyakini bahwa perayaan Qixi dilatarbelakangi oleh legenda Niu Lang dan Zhi N . Pada awal kemunculannya, yaitu pada era sebelum Dinasti Han, Perayaan Qixi dirayakan sebagai perayaan penanda berakhirnya musim panen. Sejak memasuki era Han, Perayaan Qixi mengalami perluasan makna menjadi sebuah perayaan yg bermuatan nilai-nilai budaya. Kegiatan yg dilakukan untuk merayakannya pun semakin beranekaragam. Seiring dengan perkembangan zaman dan derasnya arus globalisasi, budaya yg dimiliki oleh bangsa Cina pun turut berubah. Hal ini menyebabkan timbulnya pergeseran pemaknaan Perayaan Qixi oleh masyarakat Cina. Masyarakat Cina di masa sekarang lebih menitikberatkan unsur percintaan dalam Perayaan Qixi. Kegiatan yg dilakukan untuk merayakan perayaan ini pun mengalami perubahan ekstrim menjadi kegiatan yg berhubungan dengan hal-hal percintaan. Oleh karena itu perayaan ini lambat laun dimaknai oleh masyarakat Cina sebagai perayaan kasih sayang seperti halnya hari valentine. Metode penelitian yang digunakan dalam jurnal ini adalah metode kualitatif.

ABSTRACT
This journal discusses about Qixi Celebration as one of annual chinese society celebration, precisely celebrated on the seventh of seven month of lunar calendar..Niu Lang and Zhi N legend are believed as a background of Qixicelebration by chinese society. At the beginning of its appearance, before Han Dynasty era, it is celebrated as a marker of harvesting season ending. Entering Han Era, the meaning of Qixi Celebration expands into a celebration which contains cultural values. Activities undertaken to celebrate even more diverse. As the time goes by and also the rapid flow of globalization, chinese culture has changed. Chinese society point of view in Qixi Celebration has transformated. Nowadays, they emphasize the element of romance in Qixi Celebration. All activities have extremely transformated into romance activity. Therefore, chinese society gradually interpret this celebration as a celebration of affection, the same as Valentine 39 s day. This journal uses qualitative research method with literature study approach. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Tio Vany
"Topik penelitian ini adalah mengenai pembauran masyarakat Cina Benteng yang berdomisili di wilayah Tangerang, khususnya di kawasan Pasar Lama. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan bagaimana berjalannya proses pembauran yang dilakukan antara Masyarakat Cina Benteng dengan masyarakat Non-Cina Benteng di sekitarnya, faktor-faktor apa yang menjadi penghambat dan penunjang proses pembauran tersebut, serta memaparkan apa saja dampak dari pembauran masyarakat Cina Benteng, baik bagi masyarakat Cina Benteng itu sendiri maupun bagi masyarakat Non-Cina Benteng di sekitarnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Adapun hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa upaya pembauran yang dilakukan antara masyarakat Cina Benteng dan masyarakat Non-Cina Benteng, baik melalui perkawinan maupun perayaan-perayaan etnis Cina Benteng, telah berhasil menghantarkan kedua kelompok masyarakat ini hidup berdampingan dalam keharmonisan, tanpa mempermasalahkan perbedaan.

The topic of this research is about the assimilation of Chinese Benteng community in Tangerang, especially in Pasar Lama area. The purpose of this research is to describe how the process of assimilation between the Chinese Benteng community and the non-Chinese Benteng, which factors are inhibiting and supporting the process of assimilation, and explaining the impacts of the assimilation of the Chinese Benteng community for themselves and for the non-Chinese Benteng community. The research 39;s method is qualitative. The results of this study show that the assimilation between Chinese Benteng community and non-Chinese Benteng community through marriage and celebration of traditional Chinese Benteng rituals, have succeeded in bringing both of them living side by side in harmony, without questioning the differences.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Rajiyem
"Dampak globalisasi dan kemajuan teknologi komunikasi terhadap perubahan budaya lokal sudah tak bisa dibendung lagi. Masyarakat khawatir akibatnya terhadap perubahan budaya lokal. Penelitian ini dilakukan untuk memahami konstruksi sosial atas nilai-nilai tradisi perayaan budaya Sekaten pada masyarakat Jawa. Berbagai pemberitaan Sekaten di media menunjukkan bahwa ada perubahan penekanan yang semula menekankan unsur religi, sekarang cenderung menekankan faktor ekonomi. Perubahan ini tak terjadi dalam waktu yang singkat. Sekaten sebagai tradisi perayaan budaya telah dikonstruksi dan direkonstruksi tak terlepas dari konteks sosial, politik, ekonomi, budaya dan masyarakat serta penguasa sesuai zamannya. Dengan demikian yang menjadi pertanyaan penelitian adalah bagaimana konstruksi sosial atas nilai tradisi perayaan Sekaten pada masyarakat Jawa?
Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, peneliti menggunakan teori konstruksi sosial atas realitas sebagai teori utama, yang dikemukakan oleh Berger dan Luckman.Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode etnografi dan paradigma konstruktivisme. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam terhadap lima narasumber dari Desa Manding di Yogyakarta. Adapun analisis data yang digunakan adalah tematik dan keabsahan data dilakukan melalui triangulasi.
Hasil penelitian menunjukkan informan dapat dikategorikan dalam kelompok tradisional dan non tradisional. Ada perbedaan mendasar dari ketiga kelompok tersebut dalam mengkonstruksi realitas objektif nilai tradisi Sekaten yang dibagi menjadi: 1 benda-benda dalam tradisi perayaan Sekaten; yang dipahami melalui realitas subyektif ada atau tidak ada makna magis sekaten 2 relasi rakyat dengan raja, terjadi melalui realitas subjektif atas kedudukan raja; 3 relasi manusia dengan Tuhan melalui realitas subjektif terhadap kepercayaan akan Tuhan.Mereka, yang berusia di atas 50 tahun, yang tergabung dalam kelompok tradisional, memiliki keyakinan Kejawen masih mempunyai kepercayaan yang kuat akan adanya jimat, makna magis pada benda-benda dalam tradisi Sekaten, dan adanya kesaktian yang dimiliki Sultan sebagai sesembahannya. Sebaliknya, kelompok non tradisional, menganut agama Islam dengan taat, tidak lagi percaya pada jimat, tidak ada makna magis pada benda-benda dalam tradisi Sekaten dan memandang Sultan sebagai gubernur yang tidak lagi memiliki kesaktian. Sementara itu, di dalam kelompok tradisional dan non tradisional, terdapat informan yang disebut Islam Kejawen. Mereka ini mengikuti ajaran Islam namun masih percaya adanya jimat dan benda magis dalam Sekaten, meyakini bahwa semua itu terjadi melalui kuasa Tuhan.Bagaimana perubahan konstruksi sosial atas realitas itu terjadi, bisa dilihat melalui media, kebijakan pemerintah ataupun pelaksanaan ritual dalam keraton yang dikontruksi dan direkonstruksi sesuai zamannya dan tidak terlepas dari konteks sosial, politik, ekonomi dan budaya.

The impacts of globalization and technological advances on local culture cannot be dammed anymore that these issues make local community worried about the future of their local culture. This research attempts to understand the social construction of the reality values of traditional cultural celebration of Sekaten in Javanese society. News reports on Sekaten show that there is a changing value of the tradition which it used to be about religious event but now it is more about economic. This change did not happen in a short period. In addition, the construction and the deconstruction of the values of Sekaten are not related to the power relation, social context, politics, economy, culture, and the community in its time. The research question in this study is, how does the social construction on the traditional value reality of Sekaten in the Javanese society.
To answer the question, this study uses Berger and Luckman rsquo s Social Construction of Reality Theory. This study uses qualitative approach with ethnography method and constructivism paradigm. The data was collected through in depth interviews of five speakers from Manding Village in Yogyakarta. The data analysis used is thematic and data validity is done through triangulation.
The results show that informants can be categorised into traditional and non traditional groups. There are fundamental differences between the three groups in constructing the objective reality of the Sekaten tradition values which are divided into 1 Objects in the tradition of the Sekaten celebration, which is understood by the subjective reality of the existence or absence of a sectional magical meanings 2 The relation of the people to the king, which occurs through the subjective reality of the king 39 s position 3 Human relation with God through subjective reality to belief in God.Respondents who are over 50 belong traditional groups, they still practice the traditional Kejawen belief and they belief in the existence of amulets, the existence of magical meanings on objects in Sekaten. Including believing in the magic that the Sultan of Yogyakarta has in his offerings. In contrast, the non traditional group, they practice Islam faithfully. This groups no longer believes in the amulets, or the existence of magical meanings on objects in the Sekaten tradition and they view the Sultan as a governor who no longer has supernatural powers. Meanwhile, there is also a group of informants called the Islam Kejawen. They follow the teachings of Islam but still believe in magical amulets and talismans in Sekaten, but they believe that they happen through the power of God.How social change in the construction of reality occurs, can be seen in many ways such as through the media, government policy or the implementation of rituals in the palace that is constructed and reconstructed from time to time and the processes are inseparable from the social, political, economic and cultural context."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
D2324
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Poppy Novita Sari
"Jurnal ini membahas mengenai perayaan Idul Fitri dan Idul Adha di Cina, khususnya di Xinjiang. Islam merupakan agama minoritas di Cina. Umat muslim di Cina, hanya merayakan dua perayaan besar, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Dalam menyambut dan merayakan perayaan Idul Fitri dan Idul Adha, masyarakat muslim Cina memiliki tradisi yang dipengaruhi oleh budaya setempat. Idul Fitri dan Idul Adha memiliki makna penting bagi umat muslim Cina sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT. Penelitian ini secara khusus membahas kegiatan apa saja yang dilakukan umat muslim dalam menyambut perayaan Idul Fitri dan Idul Adha, bagaimana kegiatan umat muslim di Cina dalam merayakan perayaan Idul Fitri dan Idul Adha dan apa makna perayaan Idul Fitri dan Idul Adha bagi umat muslim Cina.

This journal discusses about Ied El Fitri and Ied El Adha celebration in China, particularly in Xinjiang. Islam is a minority religion in China. Moeslem people in China only celebrate two kind of celebrations which are Ied El Fitri and Ied El Adha. Those people have special ways to celebrate these two celebrations that are influenced by their local tradition. Ied El Fitri and Ied El Adha have distinct values to moeslem people as expression of gratitude to Allah. This research particularly discuss about what kind of activities, the meaning, and how moeslem people celebrate Ied El Fitri and Ied El Adha in China."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Sam
"ABSTRAK
Sembahyang rebut atau Chiong Si Ku (Qiāng shì gù-枪事故) sebenarnya berawal dari perayaan sembahyang arwah leluhur atau Zhōng yuán jié (中元节). Sembahyang rebut merupakan salah satu perayaan terbesar bagi masyarakat peranakkan Tionghoa penganut Konghucu di Indonesia yang jatuh pada Chit ngiat pan (七月半-Qī yuè bàn)-tanggal 15 bulan 7 penanggalan kalender Cina. Bagi masyarakat Tionghoa, makna dari sembahyang rebut yaitu selain sebagai wujud laku bakti, juga supaya dapat menghindari kenaasan selama tahun tersebut dengan meminta perlindungan leluhur. Di Kelenteng Setya Bhakti Koba, Bangka Tengah walaupun perayaan sembahyang rebut sarat akan nilai agamis Konghucu, namun peran masyarakat masyarakat non-Tionghoa dan non-Konghucu menjadi sangat penting dalam penyelenggaraan sembahyang rebut ini. Jurnal ini akan membahas mengenai gambaran tentang sembahyang rebut, proses dan tata cara perayaan sembahyang rebut, makna sembahyang rebut bagi masyarakat peranakkan Tionghoa dan non-Tionghoa, serta peran masyarakat setempat dalam perayaan sembahyang rebut.

ABSTRACT
Sembahyang rebut or Chiong Si Ku (枪事故-Qiāng shì gù) was originated from the celebration of the ancestor spirit or Zhong yuan jie (中元节-Zhōng yuán jié). Sembayang rebut is one of the biggest celebration for chinese people whom are confucianism adherent in Indonesia. They call the celebration day as Chit ngiat pan (七月半-Qī yuè bàn) that according to Chinese
calendar happens on the fifteenth day of the seventh month. To the Chinese people, besides for honor the ancestors, sembahyang rebut is also to avoid bad luck on that year by asking for protection from the ancestor spirit. On Setya Bhakti Temple, Koba, Central Bangka even sembayang rebut has religious value, but the non-Chinese and non-confucianism adherents take a big role on the event. This journal is going to discuss about sembahyang rebut in general, the process, and procedures, the meaning of sembahyang rebut to the Chinese and non-Chinese people and the role of the local people to the event."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Rissa Amanda
"Jurnal ini membahas tentang asal-usul bakcang dan kue cang secara lebih mendalam, juga bakcang dan kue cang di Indonesia sebagai hasil dari akulturasi antara budaya Tiongkok dengan Indonesia. Bakcang dan kue cang ini biasanya disajikan dalam Perayaan Peh Cun yang merupakan salah satu perayaan yang dirayakan oleh masyarakat Tionghoa setiap tahun, tepatnya pada tanggal 5 - bulan 5 penanggalan Imlek. Masyarakat Tionghoa meyakini bahwa munculnya bakcang dan kue cang dalam perayaan Peh Cun didasari oleh cerita Wu Zixu seorang tokoh dari zaman Musim Semi ndash; Musim Gugur dan tokoh Qu Yuan dari zaman Negara Berperang. Bagi masyarakat Tionghoa, bakcang dan kue cang ini menjadi salah satu simbol untuk mengenang jasa dan kematian Wu Zixu dan Qu Yuan yang kemudian simbol ini dijadikan salah satu simbol terpenting dalam perayaan Peh Cun. Seiring dengan berjalannya waktu, karena berkembangnya zaman dan terjadinya akulturasi antara budaya Tiongkok dengan Indonesia, lambat laun bakcang dan kue cang mengalami perkembangan dalam segi makna, fungsi, serta bentuk fisik maupun variasi isi bakcang yang disesuaikan dengan bahan makanan yang ada di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam jurnal ini adalah metode kualitatif berbasis studi kepustakaan.

This journal discusses the origin of bakcang and kue cang more deeply, also bakcang and kue cang in Indonesia as a result of acculturation between Chinese culture and Indonesian. Bakcang and kue cang is usually presented in Peh Cun Celebration which is one of the celebrations that celebrated by Chinese people every year, precisely on the fifth day of the fifth lunar month. The Chinese people believe that the emergence of bakcang and kue cang in the Peh Cun Celebration based on the story of Wu Zixu, a figure from the Spring ndash; Autumn era and Qu Yuan, from the Warring States era. For Chinese society, bakcang and kue cang become one of the symbols to commemorate the kindness and the death of Wu Zixu and Qu Yuan which later become one of the most important symbols in the Peh Cun celebration. As time goes by because of the current development and the occurrence of acculturation between Chinese culture and Indonesian, bakcang and kue cang gradually go through development in terms of meaning, function, as well as physical form and variations of bakcang contents which be adjusted with foodstuff in Indonesia. The research method that were used in this journal is a qualitative method based on literature study.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library