Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vevi Ratna Sari
Abstrak :
Skripsi ini berisi tentang bentuk, hiasan, dan keletakan relung-relung candi Hindu dan Buddha di Jawa Tengah pada abad ke-8--10. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bentuk, hiasan, dan keletakan relung-relung candi Hindu dan Buddha dan melihat persamaan dan perbedaannya, serta diharapkan dari penelitian ini menambah pengetahuan mengenai perbedaan fisik yang terdapat di candi Hindu dan Buddha. Dalam penelitian ini dilakukan pengidentifikasian relung-relung yang terdapat di candi Hindu dan Buddha di Jawa Tengah pads abad ke-8-10, balk itu berupa data lapangan maupun studi kepustakaaii. Hasr1 penelitian lapangan dan kepustakaan ini kemudian diklasifikasikan secara umum (bentuk, bingkai relung, dan hiasan), dan diklasifikasikan lagi berdasarkan kronologi relatif yang telah dilakukan oleh peneliti.-peneliti sebelumnya. Pada tahap pengolahan data, hasil klasifikasi tersebut dianalisis dengan cara perbandingan terhadap masing-masing relung Hindu, masing-masing relung Budhha dan perbandingan di antara keduanya untuk mendapatkan hasil akhir. Hasil penelitian menunjukkan dari 28 jenis relung Hindu dan enam belas jenis relung Buddha terdapat tujuh bentuk relung, yaitu bentuk empat persegi panjang, empat persegi panjang dengan puncak busur lemah, empat persegi panjang dengan puncak busur tinggi, empat persegi panjang dengan puncak segi tiga, empat persegi panjang dengan puncak seperti puncak huruf M, empat persegi panjang dengan puncak seperti puncak huruf M ganda, dan empat persegi panjang dengan puncak lengkung kurawal. Diketahtu bentuk yang dominan dari relung Hindu adalah bentuk empat persegi panjang, sedangkan untuk bentuk relung Buddha adalah empat persegi panjang dengan puncak busur lemah dan empat persegi panjang dengan puncak seperti puncak huruf M. Untuk hiasan relung, umumnya pada candi Hindu dan Buddha sama, yaitu hiasan kola-makara dengan lidah api atau pilaster. Keletakan yang paling umum pada relung Hindu adalah tiga relung utama yang masing-masing berada pada dinding luar bagian utara, selatan, dan timur atau barat sesuai dengan arah hadap candi dan dua relung penjaga yang masing-masing terletak di kanan-kiri pintu masuk, sedangkan pada relung Buddha setiap candi memiliki keletakan yang berbeda-beda dan umumnya berada di dalam bilik. Sehingga dapat dikatakan untuk membedakan relung Hindu dan Buddha tidak dapat dilihat dari bentuk dan hiasannya, tetapi dapat dilihat dari keletakan relung-relung tersebut.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S12038
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kayato Hardani
Abstrak :
Penempatan prasasti merupakan suatu cara, proses dan perbuatan secara sadar maupun nirsadar dari sang penulis prasasti yang dapat berupa aktifitas meletakkan teks prasasti dalam suatu ruang (posisi dan lokasi) tertentu yang dilatarbelakangi oleh logika, ide, gagasan dan konsep tertentu. Peran penulis prasasti di dalam menulis/memahatkan prasasti di dalam batur candi perwara dan stupa perwara menjadikan informasi yang ia sampaikan menjadi suatu bekuan peristiwa di masa lampau. Ia mempunyai kewajiban menyampaikan ide gagasan kepada pembaca atau masyarakat pendukung budaya candi melalui media yang memuat tanda (aksara dan bahasa) yang bisa dipahami bersama-sama oleh suatu komunitas atau masyarakat pada abad ke-9 Masehi. Sang penulis prasasti yang diasumsikan adalah para bhiksu memiliki ciri personal sebagai cerminan kebahasaan masyarakat pada masanya, segala proses penulisan prasasti yang dibuat oleh bhiksu tersebut tidak mungkin menggambarkan realita masa itu secara keseluruhan, oleh karena itu pemahaman terhadap prasasti tidak hanya dibatas pada kata saja melainkan kata dalam konteks. Konteks tersebut adalah penempatan prasasti tersebut di dalam satu konteks keruangan yakni relasi-relasi yang terbentuk pada satu halaman kompleks percandian Buddha. Relasi-relasi tersebut dapat diungkapkan kembali maknanya menjadi narasi sejarah yang logis dengan menggunakan pendekatan strukturalisme yang terbingkai dalam perspektif agama Buddha Mahayana abad ke-9 Masehi. Pendekatan strukturalisme Levi-Strauss adalah untuk menemukan struktur dan memberi makna dengan tafsir di luar stuktur atas suatu fenomena budaya. Prasasti pendek yang ditempatkan di candi perwara dan stupa perwara dapat dipahami sebagai fenomena budaya yang mengandung logika, ide dan gagasan dari sang penulis prasasti ketika memulai memahatkan tulisan di batu andesit komponen candi sebagai media penyampaian informasi. Melalui pendekatan strukturalisme Levi-Strauss terlihat bahwa penempatan di dalam posisi yang sejajar dan seimbang memberi asumsi bahwa kesemua prasasti berada di dalam relasi sintagmatik untuk makna yang sama meskipun tidak dalam bentuk sinonim. Kedekatan jarak penempatan prasasti dapat dimaknai sebagai kedekatan di dalam struktur birokrasi maupun kekerabatan. Simpul penting formula dharmma di dalam satu baris candi perwara terlihat dengan pola yang berulang yakni kehadiran Çri Mahàràja yang senantiasa diapit oleh pejabat kerajaan dan pejabat daerah watak.
Inscription placement is a way, process and action consciously and unconsciously from the author of the inscription which can be in the form of activities putting the inscription text in a certain space (position and location) against the background of a certain logic, ideas, ideas, and concepts. The role of the writer of the inscription in writing / carving inscriptions in the batur (base) of perwara temples and ancillary stupas makes the information he presents becomes a record of events in the past. He should convey ideas to readers or the people who support the culture of the temple through media that contain signs (characters and languages) that can be understood together by a community or society in the 9th century AD. The writer of the inscription which is assumed is that monks have personal characteristics as a reflection of the language of society at the time, all the process of writing inscriptions made by the monk is not possible to describe the reality of the period as a whole, therefore understanding inscriptions is not limited to words but words in context. The context is the placement of these inscriptions in a spatial context, namely the relationships formed on a complex page of Buddhist temples. These relations can be re-revealed to be a logical historical narrative by using a structuralism approach framed in the perspective of 9th century Mahayana Buddhism. Levi-Strauss's structuralism approach is to find structure and give meaning to interpretations outside the structure of a cultural phenomenon. Short inscriptions placed in perwara temples and ancillary stupas can be understood as cultural phenomena that contain logic, ideas and ideas from the writers of inscriptions when they began sculpting writing on andesite stone components of the temple as a medium for delivering information. Through Levi- Strauss's structuralism approach, it is seen that placement in equal and balanced positions assumes that all inscriptions are in syntagmatic relations for the same meaning even though they are not synonymous. The proximity of the placement of the inscription can be interpreted as closeness in the bureaucratic structure and kinship. The important knot of the dharmma formula in a row of perwara temples is seen with a repetitive pattern, namely the presence of Çri Maharaja, which is always flanked by royal officials and regional officials.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T53613
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Windyasti Sulistyo
Abstrak :
Masa Singhasari-Majapahit yang berlangsung dari abad ke-13--15 M, meninggalkan bangunan-bangunan suci dengan bentuk dan arsitektur yang beragam. Selain itu, pada tiap-tiap percandian yang didirikan pada masa tersebut juga memiliki penataan yang berbeda-beda. Hal itulah yang melatari penelitian tentang penataan percandian Hindu pada masa Singhasari-Majapahit, dengan melihat pola penataan dart komponen bangunan candi induk, candi (bangunan) perwara, pagar keliling, gapura pintu masuk, serta bangunan lain yang mungkin saling berbeda pada setiap percandian. Selain itu mencari hubungan kelanjutan dalam pendirian bangunan suci dari Masa Singhasari-Majapahit dengan masa sebelumnya (masa klasik tua). Penelitian berkisar masalah deskripsi dari komponen bangunan, mengenai ukuran, arah hadap, keletakan. Percandian yang dijadikan ruang lingkup penelitian adalah Candi Kidal, Candi Singasari, Candi Jawi, Candi Panataran, Candi Sumberjati, Candi Bangkal, dan Candi Tegawangi. Untuk mengetahui bentuk penataan tiap percandian, dilakukan dengan melihat bentuk tiap komponen bangunan, dan mencari tabu ukuran, arah hadap, jarak antar komponen bangunan. Jika semua data tersebut diketahui, diperbandingkan setiap komponen bangunan candi yang ada dan dicari tabu apakah terdapat hubungan kelanjutan dengan masa sebelumnya. Hasil penelitan yang dicapai menunjukkan bahwa pada percandian masa Majapahit-Singhasari masih menunjukkan adanya kesinambungan bentuk penataan dengan masa sebelumnya. Hal ini terlihat dengan adanya penggunaan bangunan perwara, walaupun beberapa percandian memiliki bentuk yang bebeda, namun hal tersebut dapat dimaklumi karena adanya perbedaan pandangan dari masyarakat pendukung pada saat itu, juga selisih waktu yang ada sangat jauh, Selain itu, hubungan kelanjutan antar masa Singhasari-Majapahit dengan masa sebelumnya terlihat dengan penggunaan unsur agama yang masih banyak dianut pada masa itu, yaitu Hindu dan Buddha. Hubungan kelanjutan penataan percandian juga terlihat dengan masih digunakannya bangunan perwara sebagai banguna pendamping dari candi induk, Selain itu, sangat mungkin juga bahwa candi perwara tersebut juga digunakan sebagai tempat menaruh dan menyimpan alat-alat upacara keagamaan, selain juga sebagai tempat pelaksanaan upacara keagamaan.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S12068
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library