Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sarah Khansa Agharid
"Penelitian ini ditujukan mengenai eksplorasi hubungan ibu-anak perempuan dan sosialisasi gender di dalam film Brave (2012). Bagaimana hubungan ibu-anak perempuan ini digambarkan dan bagaimana sosialisasi gender mempengaruhi hubungan tersebut di dalam film merupakan fokus dalam studi ini. Konsep dari Chodorow dalam hubungan ibu-anak perempuan digunakan sebagai kerangka teori. Hasil dari studi ini menunjukan bahwa ibu dan anak perempuan memiliki hubungan yang kompleks dan ambivalan. Lalu, anak perempuan akan lebih seperti ibunya karena dia memiliki identifikasi yang berkepanjangan dengan ibunya. Selanjutnya, ada pembalikan peran dalam sosialisasi gender yang memberikan efek besar terhadap hubungan ibu-anak perembuan. Studi ini berkontribusi untuk memberikan sebuah pemahaman baru mengenai hubungan ibu-anak perempuan dan sosialisasi gender dengan memberikan gambaran masalah dan solusi dari hubungan tersebut yang ada di dalam film.
This research is directed towards an exploration of mother-daughter relationship and gender socialization in the movie Brave (2012). How mother-daughter relationship is represented and how gender socialization affects it in the movie are the focuses of the study. Chodorow?s concept on mother-daughter relationship is used as the framework of the study. The findings of the study show that mother and daughter have a complex and ambivalent relationship and then the daughter will be more like the mother because she has a prolonged identification with the mother. Moreover, there is a reversal role of socializing the gender which gives a big effect on the mother-daughter relationship. The study contributes to give a new understanding regarding mother-daughter relationship and gender socialization by depicting the problems and solutions of the relationship in the movie."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Fira Isrofillah
"Penelitian ini menyimpulkan bahwa media sosial mampu menjadi ruang berani bagi penyandang disabilitas mental psikosial untuk membuka identitasnya dan melakukan aksi pernyataan diri di ruang publik. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa stigmanisasi kelompok psikososial menyebabkan ketakutan mencari pertolongan dan mendapatkan akses di ruang publik seperti akses kesehatan, pendidikan, ekonomi dan hak dasar hidup lainnya. Penelitian menemukan tingginya represi dominasi di ruang publik ke kelompok psikososial merupakan dampak dari konstruksi sosial. Stigmanisasi kelompok psikososial di ruang produksi mengakibatkan kelompok ini kesulitan untuk melakukan aktivitas ekonomi hingga mengharuskan mereka mendapatkan pekerjaan yang mampu menerima statusnya sebagai disabilitas psikososial. Penelitian ini juga menemukan represi di ruang reproduksi lebih tinggi dibanding ruang produksi karena ada kekhawatiran aksi stigmanisasi akan berdampak kepada keluarga yang menyebabkan pengrusakan identitas melalui pengungkapan di ruang publik. Penemuan lainnya adalah terjadi pembatasan dengan skala dan isu tergantung keputusan tiap individu ketika melakukan aksi pernyataan diri di digital. Pembatasan ini terutama terjadi di topik bunuh diri. Tingginya represi di dua ruang utama, ruang produksi dan reproduksi tersebut, menjadikan kelompok disabilitas psikososial mencari ruang ketiga sebagai ruang aman. Di digital, kelompok ini menemukan keberanian untuk melakukan aksi pernyataan diri ini melalui karyanya sendiri sebagai ekspresi di ruang publik. Keberanian ini dipengaruhi kemudahan dan kebebasan berekspresi melalui fitur teks, gambar, video dan kombinasinya sesuai selera tiap individu. Selain itu, minimnya interaksi langsung dengan manusia membuat mereka merasa aman untuk berekspresi dengan berbagai gaya dan skala keterbukaan sesuai keputusan tiap individu. Penelitian menggunakan paradigma kritis dan pendekatan kualitatif melalui pengambilan data lapangan melalui wawancara narasumber penyandang disabilitas mental psikososial yang melakukan aksi peryataan diri di akun sosial media pribadinya.

This study concludes that social media can be a brave space for people with psychosocial mental disabilities to disclosure their identities and perform coming out actions in public spaces. Previous research has found that stigmatization of psychosocial groups leads to fear of seeking help and gaining access in public spaces such as access to health, education, economics and other basic rights of life. Research found that the high repression of dominance in the public sphere to psychosocial groups is the impact of social construction. The stigmatization of psychosocial groups in the production space has resulted in difficulties for this group to carry out economic activities, requiring them to find jobs that are able to accept their status as psychosocial disabilities. This study also found that repression in the reproductive space is higher than in the production space because there are concerns that stigmatization would have an impact on the family which lead to spoiling identity by disclosure in public spaces. There are also restrictions on the scale and topic of issues depending on the decision of each individual when making coming out action on digital. This restriction is particularly on the suicide thought topic. The high repression in the two main spaces, the production and the reproductive space, makes the psychosocial disability group look for a third space as a safe space. In digital, this group finds the courage to perform coming out action through its own work as an expression in the public space. This courage is influenced by the convenience and autonomy of expression through text, images, videos and their combinations according to individual's taste. In addition, the lack of direct interaction with humans makes the group feels safe to express themselves in various styles and scales of disclosure according to individual's decision. The research uses critical paradigm and qualitative approach by collecting data on the field based on interviewing persons with psychosocial mental disability who perform coming out action on social media accounts."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sabrina Hotulinii Elizabeth
"Brave adalah film fantasi animasi tahun 2012 yang diproduksi oleh Pixar Animation Studios. Film ini menyajikan penggambaran yang bernuansa dan kompleks dari protagonis wanita feminis pertama, Merida, melampaui narasi tingkat permukaan dan menantang norma gender tradisional. Studi ini menganggap bahwa metode Merida menangani konfliknya dapat diterapkan dalam menggambarkan perubahan masyarakat dalam peran perempuan saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana Pixar merepresentasikan tokoh protagonis perempuan dengan nilai feminis melalui tanda-tanda dan simbolisme dalam film animasi Brave (2012). Kajian ini menggunakan pendekatan analisis semiotik, yang mengacu pada metodologi analisis film David Bordwell dan kerangka analisis semiotik Roland Barthes. Analisis ini berfokus pada adegan signifikan, pengembangan karakter, dialog, dan citra visual untuk mengungkap cara bernuansa feminisme dikomunikasikan melalui tanda-tanda dan simbolisme. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa Brave (2012) memasukkan rangkaian tanda-tanda dan simbolisme yang memperlihatkan prinsip-prinsip feminis, antara lain rambut merah Merida yang merepresentasikan simbol penting atas otonomi dirinya, kekuatan dan independensi Merida dalam menantang konsep tradisional feminitas diilustrasikan dengan busur dan panah sebagai motif utamanya, dan dialog serta interaksi antar karakter menyoroti diskusi feminis dengan menguraikan nilai tekad diri sendiri dan penghapusan harapan patriarkal.

Brave is a 2012 animated fantasy film produced by Pixar Animation Studios. The film presents a nuanced and complex portrayal of the first feminist female protagonist, Merida, going beyond surface-level narratives and challenges traditional gender norms. The study suggests that the methods in which Merida deals with such conflict can be applicable in illustrating societal shifts in women's roles today. This study aims to examine how Pixar represents female protagonists with feminist values through signs and symbolism in the animated film Brave (2012). The study employs a semiotic analysis approach, drawing on David Bordwell's film analysis methodologies and Roland Barthes' semiotic analysis framework. The analysis focuses on key scenes, character development, dialogue, and visual motifs to uncover the nuanced ways in which feminism is communicated through signs and symbolism. The results of the study reveal that Brave (2012) incorporated an array of symbols and signs that highlight feminist principles, including Merida's red hair, which represents a strong symbol of her autonomy, Merida's strength and agency are illustrated with archery as the key motive, challenging traditional concepts of femininity, and the dialogue and interactions between characters highlight feminist discourse by outlining the value of self-determination and the eradication of patriarchal expectations."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvia Yulita
"ABSTRAK
Istilah yang agak umum bagi golongan "tukang pukul" dan seorang yang suka berkelahi oleh masyarakat Indonesia disebut jagoan. Jagoan bernada lebih positif ketimbang istilah preman pada masa kini.
Jagoan adalah sebutan untuk anggota masyarakat yang berpengaruh dan disegani di kampungnya, orang yang kuat, tukang pukul dan pemberani.
Dalam masyarakat Bekasi, jawara dianggap lebih tinggi tingkatannya dari pada jagoan. Jawara dianggap sebagai pendekar, ksatria yang ditokohkan masyarakat Bekasi sebagai orang yang suka memberi perlindungan dan keselamatan secara fisik terhadap masyarakat, juga dianggap sebagai orang yang dituakan atau sesepuh.
Penelitian ini mengangkat permasalahan peranan jawara pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia di daerah Bekasi. Semangat nasionalisme yang dimiliki para jawara akibat pengaruh kelompok-kelompok pemuda di Jakarta dan pemimpin-pemimpin nasionalis Indonesia.
Kelompok-kelompok pemuda, pemimpin-pemimpin nasionalis, dan para jawara bahu membahu dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan mereka ditujukan untuk melawan tentara Jepang dan tentara Belanda yang ingin bercokol kembali di wilayah Indonesia.
Karena semangat revolusionernya, maka aksi-aksi yang dilakukan para jawara berekses pada perampokan-perampokan dan pembakaran Gereja Wetan di Kampung Sawah yang oleh mereka dianggap sebagai kaki tangan kolonial Belanda.

ABSTRAK
The rather common term for faction " bouncer" and a pugnacious by Indonesia society referred as a champion. The champion impressing more positive compared to freeman term at present day.
The champion is mention for the society member having an effect on and respected in his kampong, one who the strength, bounce and brave.
In Bekasi society, jawara is assumed as someone who has higher level than a champion. Jawara is considered to be a hero, chevalier who is figured by Bekasi society as one who likes to give safety and protection in physical to society. He is also considered to be someone who old or doyen.
This research is carefully examined the jawara's role from Bekasi in the Indonesian Revolution. The spirit of nationalism was possessed by the champions influenced by the young man groups and the nationalist leaders in Jakarta.
The young man groups, the nationalist leaders, and jawara-jawara were in cooperative to defend the country. Their struggle intended to against Japanese military and the restoration of the Dutch colonialism.
Because of The of spirit of revolutionary so many kinds of bad action there were robberies and the burning of the Catholic Church in Kampong Sawah that it was regarded to back up the Dutch colonialism.
"
2007
T17232
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library