Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Salamun
"Menteri Kesehatan R.I telah menyatakan bahwa pada tahun 1980 diperkirakan di Indonesia terdapat lebih kurang 1,2 juta tuna netra dan oleh karenanya kebutaan dinyatakan sebagai bencana nasional (Departemen Kesehatan RI, 1983; Hamurwono, 1984). Kemudian berdasarkan data Direktorat Rehabilitasi Penderita Cacat Departemen Sosial RI tahun 1980, ternyata bahwa tuna netra menempati tempat tertinggi di antara cacat-cacat lainnya (Departemen Kesehatan RI, 1983; Hamurwono, 1984).
Hasil survai Morbiditas Mata dan Kebutaan di Indonesia yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan RI bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Ahli Mata Indonesia pada tahun 1982, menunjukkan bahwa kelainan refraksi menduduki urutan paling atas dari 10 penyakit mata utama (Departemen Kesehatan RI,1983; Hamurwono, 1984).
Dari hasil survai kesehatan anak didaerah DKI Jaya yang dilakukan oleh Kanwil Depkes DKI bersama PERDAMI Cabang DKI pada anak Sekolah Dasar dan lbtiddaiah di seluruh wilayah DKI diketahui bahwa angka kelainan refraksi rata-rata sebesar 11,8%. Sehingga di Indonesia dari ± 48,6 juta murid Sekolah Dasar diperkirakan terdapat 5,8 juta orang anak yang menderita kelainan refraksi (Biro Pusat Statistik, 1986; Marsetio, 1989).
Menurut para peneliti dari berbagai negara, penyakit mata yang dapat mengakibatkan kebutaan, ternyata berbeda-beda penyebabnya. Di Amerika Serikat misalnya berdasarkan laporan resmi US Department of Health pada tahun 1976, miopia merupakan penyebab kebutaan ke tujuh dalam daftar urutan penyebab kebutaan. Sedangkan di Jerman Timur menunjukkan tingkat kedua, Uni Sovyet kedua, Denmark ketiga, Jepang kelima, Hongkong kelima, Sri Langka kelima dan Jerman Barat ketujuh (Lim & Jones, 1981).
Dalam bidang oftalmologi tercatat bahwa miopia merupakan obyek penelitian yang paling lama telah dilakukan. Hal ini disebabkan karena penglihatan sangat penting untuk kehidupan. Dalam sejarahnya kelainan miopia telah diketahui sejak zaman Aristoteles, tetapi penelitian yang lebih mendalam dan akurat serta sistematis baru dilakukan pada pertengahan abad 19 oleh Von Jaegger, Donders, Von Graefe, Von Reuss dan Von Arlt. Pada permulaan pertengahan abad ke 19 sejalan dengan kemajuan di bidang oftalmologi dan optik, Schnabel & Herrnheiser telah membuktikan bahwa miopia antara lain dapat disebabkan oleh panjang sumbu bola mata (Von Graefe, 1854; Von Jaeger, 1861; Donders, 1864; Von Arlt, 1876; Schnabel & Herrnheiser, 1895; Curtin, 1985).
Dibandingkan dengan seluruh kelainan refraksi mata manusia, miopia diketahui merupakan masalah yang paling besar karena menyangkut jumlah penderita kelainan refraksi yang tertinggi serta menyebabkan gangguan terhadap kehidupan serta pekerjaan sehari-hari (Sato, 1957; Goldschmidt, 1978; Fledelius, 1978).
Pada miopia derajat rendah, gangguan penglihatan yang mungkin terjadi dapat diatasi dengan mudah dan umumnya tidak akan mengganggu kehidupan sehari-hari. Pada miopia derajat sedang dan tinggi dapat menimbulkan masalah ekonomi yang bermakna.
Menurut laporan US Department of Health pada tahun 1978 dapat dilihat bahwa keadaan miopia pada penduduk Amerika Serikat menimbulkan kerugian sebesar empat milyar dollar, yaitu biaya untuk mengatasi keadaan miopia penduduk, agar mereka dapat melakukan kehidupan serta pekerjaan sehari-hari (Curtin, 1985)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993
D295
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aghnia Permatasari
"Kebutaan merupakan masalah yang ada di dunia, dimana penyebab utama masalah ini adalah katarak, baik di Indonesia maupun di dunia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data prevalensi katarak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada tahun 2010 dan faktor-faktor yang berkaitan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi potong lintang dengan menggunakan data sekunder berupa rekam medik sebanyak 904 sampel yang dipilih secara random dari 147.288 rekam medis pasien poliklinik RSCM tahun 2010.
Data variabel yang disertakan dalam penelitian ini meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pernikahan, pekerjaan, asuransi pembiayaan, status gizi, gaya hidup, dan riwayat penyakit sebelumnya. Analisis data dilakukan untuk mendapatkan angka prevalensi katarak di RSCM pada tahun 2010 dan faktor yang berhubungan dengan katarak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 2 dari 11 variabel bebas yang terisi lengkap, yaitu usia dan jenis kelamin. Prevalensi katarak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tahun 2010 adalah sebesar 12,5% dan menempati peringkat pertama penyakit terbanyak. Berdasarkan uji hipotesis, didapatkan bahwa katarak lebih banyak terjadi pada pasien berusia > 40 tahun dari usia< 40 tahun dengan nilai kemaknaan p<0,001 dan terdapat peningkatan kejadian katarak seiring dengan penurunan tingkat pendidikan dengan nilai kemaknaan p=0,030.
Sementara, tidak didapatkan perbedaan bermakna antara variabel jenis kelamin (p=0,235), status pernikahan (p=0,624), pekerjaan (p=0,273), asuransi pembiayaan (p=0,865), status gizi (p=0,523), dan riwayat penyakit sebelumnya (p=0,403) dengan kejadian katarak. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa usia (>40 tahun) merupakan faktor risiko terjadinya katarak.

Blindness is the world's health problem, which the most common cause is cataract, even in Indonesia. This study aims to estimate the prevalence of cataract in Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) in 2010 and its correlating factors using cross-sectional study design. Samples of this study were secondary data using medical record, with total amount of 904 samples which were randomly chosen from 147,288 medical records of RSCM policlinic patients in year 2010.
Variable data being included in this study were age, gender, education, marital status, jobstatus, utilization of health insurance, nutrient status, lifestyle, and disease history. Data analysis was done to estimate the prevalence of cataract in RSCM in 2010 and its relations with correlating factors.
The results showed that only 2 of 11 independent variables was complete, the age and the gender. The prevalence of cataract in Cipto Mangunkusumo Hospital in 2010 was 12.5% and it had the first rank of the disease. Based on hypothesis test, we obtained that cataract was more common in subject > 40 years old (p<0.001) and there was a trend of increasing cataract?s event with decreasing education (p=0.030).
However, other variables such as gender (p=0.235), marital status (p=0.624), job status (0.273), utilization of health insurance (0.865), nutrient status (p=0.523), and disease history (p=0.403) did not have significant different in cataract?s event. Based on the result, it can be concluded that age is the risk factor of cataract.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Husnaniah B. Sukiman
"Katarak merupakan penyebab utama kebutaan terutama di negara berkembang. Di Indonesia dari hasil survei morbiditas Departemen Kesehatan tahun 1982, didapatkan angka kebutaan pada kedua mata sebanyak 1,2%, dimana 0,76% disebabkan oleh katarak, 0,13% kekeruhan kornea, 0,10% glaukoma, 0,06% refraksi, 0,03% retina dan 0,02% kekurangan giz (1). Dari kenyataan ini dapat dimengerti mengapa hampir setiap dokter mata lebih sering melakukan bedah katarak dibandingkan dengan bedah mata lainnya.(2)
Penderita katarak datang kepada dokter mata bukan dengan maksud untuk mengangkat kataraknya melainkan dengan tujuan untuk dapat melihat lagi. Hal ini membuat dokter mata berkewajiban untuk lebih menyempurnakan prosedur operasinya dalam mengurangi risiko komplikasi (2).
Salah satu komplikasi yang paling ditakuti adalah endoftalmitis pasca bedah. Meskipun dengan diagnosis yang cepat serta pengobatan yang agresif, mata yang telah terinfeksi ini sukar kembali normal.(3,4)
Berbagai sumber infeksi dapat mencemari isi bola mata sewaktu dilakukan bedah katarak, salah satunya adalah flora normal dari jaringan mata penderita sendiri.(3,5,6,7) Locatcher-Khorazo, Seegal, Goodner (dikutip oleh Forster) dan Indrakesuma di Bagian Mata FKUI/RSCM, mendapatkan bahwa Stafilokokus epidermidis merupakan flora normal yang terbanyak terdapat pada jaringan mata penderita pra bedah katarak, disamping Stafilokokus aureus.(5,8)
Forster dan Valenton menemukan Stafilokokus epidermidis dari isolasi kuman sebagai penyebab endoftalmitis pasca bedah katarak, sedangkan Allen menemukan Stafilokokus aureus disamping Pseudomonas aeruginosa dan miselaneus.(5,9,10)
Dari keadaan tersebut diatas jelas tergambar bahwa flora normal pada jaringan mata penderita dapat mencemari isi bola mata sewaktu dilakukan bedah katarak. Dikatakan bahwa penggunaan antibiotika topikal pra bedah katarak .masih merupakan kontroversi. Hal ini karena efek toksis, resistensi kuman dan reaksi alergi, terutama bila antibiotika tersebut nantinya juga dipakai secara sistemik.(11, 12)
Pemakaian povidon yodium sebagai antiseptik topikal merupakan pilihan lain untuk mencegah pertumbuhan kuman pra bedah katarak. Selain harganya yang cukup murah, yodium yang dilepas akan bekerja sebagai bakterisid berspektrum luas yang membunuh semua bakteri dalam waktu kurang dari satu menit, kecuali yang berbentuk spora akan lebih lambat dipengaruhi. Belum pernah dilaporkan adanya resistensi kuman terhadap povidon yodium, disamping itu penggunaannya tidak menyebabkan toksik terhadap kornea dan konjungtiva.(13,14,15,18)"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irwan Rauf
"PENDAHULUAN
Berdasarkan hasil survei morbiditas mata dan kebutaan yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1962, prevalensi kebutaan dua mata adalah 1,2 % dari populasi penduduk, dan katarak merupakan penyebab kebutaan yang terbanyak, yaitu 66,9% dari total kebutaan(1).
Pada kongres pertama Persatuan Dokter Ahli mata Indonesia di Jakarta pada tahun 1968, menteri Kesehatan Republik Indonesia telah menetapkan bahwa kebutaan adalah merupakan bencana nasional, dan adalah merupakan kewajiban setiap warga negara untuk menanggulangi sesuatu bencana nasional (2).
Katarak merupakan penyebab kebutaan yang tak dapat dicegah tetapi dapat ditanggulangi (3). Cara untuk menanggulangi kebutaan karena katarak adalah dengan pembedahan. Pada setiap pembedahan katarak, sebagaimana pembedahan intra okular lainnya dibutuhkan tekanan bola mata yang rendah dengan tujuan untuk mempermudah jalannya pembedahan maupun menghindarkan penyulit-penyulit yang mungkin terjadi(4,5,6).
Usaha-usaha untuk menurunkan tekanan bola mata ada bermacam-macam, antara lain; pemberian manitol intra vena, penghambat karbonik anhidrase, digital oressure, kantong air raksa, balon Honan dan Bantal tekan modifikasi Sidarto (7,8,9,10,11).
Pemakaian balon Honan dengan tekanan 30 mmHg selama 30 menit pada penderita-penderita yang akan dilakukan pembedahan katarak, sebagaimana yang biasa dilakukan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, dapat menurunkan tekanan bola rata rata-rata 5,9-10,9 mmHg (9,10,12).
Prolaps badan kaca yang merupakan salah satu komplikasi pembedahan katarak didapatkan 7-2 % pada penderita-penderita yang tidak dilakukan usaha penurunan tekanan bola mata sebelum operasi (13), sedangkan menurut Syarifuddin (10), yang mempergunakan balon Honan 30 nmHg selama 30 menit pada penderita katarak yang akan dilakukan pembedahan, dari 15 penderita yang telah dilakukan pembedahan tidak ada satupun yang mengalami prolaps badan kaca. Tetapi usaha untuk menurunkan tekanan bola mata dengan penekanan tidak selamanya aman, karena secara teori dapat menyebabkan okiusi arteri sentralis retina dengan resiko kebutaan(4).
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T58496
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudardjat Sugiri
"Kebutaan, penurunan fungsi penglihatan dan kesakitan mata telah dinyatakan sebagai masalah kesehatan masyarakat yang penting di wilayah Asia Tenggara (WHO). Berdasarkan WHO maka diperkirakan terdapat 12 juta kebutaan dan 60 juta penurunan penglihatan di Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri berdasarkan survai morbiditas mata dan kebutaan tahun 1982 yang dikelola oleh Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI menyatakan bahwa prevalensi kebutaan di Indonesia berkisar 1,2% dari jumlah penduduk Indonesia. Dari angka tersebut prosentase penyebab kebutaan utama ialah :
- katarak 0.70%
- kelainan kornea 0.13%
- penyakit glaukoma 0.10%
- kelainan refraksi 0.06%
- kelainan retina 0.03%
- kelainan nutrisi 0.02%
Banyak macam cara pengobatan penyakit glaukoma baik secara obat-obatan maupun secara operasi. Cara operasi bisa dilakukan dengan membuka aliran akuos dari bilik mata depan ke celah sub konjungtiva pada mata taripa blok pupil, untuk membentuk pengaliran cairan akuos, atau dengan mengurangi pembentukan cairan akuos di badan siliar(3,4,5).
Dari pengalaman klinis dapat terjadi suatu keadaan glaukoma yang berat misalnya glaukoma refrakter atau glaukoma absolut, glaukoma hemaragik atau glaukoma neovaskular, dimana tindakan operasi kurang berhasil. Pada keadaan diatas perlu dipikirkan cara pengobatan yang lebih efektif lain untuk menurunkan tekanan intra okular. Di Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo, pada glaukoma neovaskular dilakukan tindakan transkleral kriokoagulasi dan transkleral diatermi dengan tujuan mengurangi keadaan iskemia retina/koroid, untuk menurunkan tekanan intra okular.
Sikatrik korioretina terjadi karena kerusakan epitel pigmen retina dan reseptor retina, terjadi penggabungan dari lapisan retina luar ke membrana Bruch, terjadi perubahan jaringan ikat korio-kapiler dan lapisan pembuluh darah koroid dalam, degenerasi dan disorganisasi dari retina sensoris dan sel-sel penyokong (6,8). Keadaan ini dapat terjadi akibat perubahan atau setelah tindakan krioterapi atau diatermi dari pada retina, baik pada perubahan penyakit retina maupun pada terapi glaukoma diatas.
Pada suatu kelainan di retina , dapat di ikuti dengan penurunan tekanan intra okular (T.I.O.) yang moderat, pengurangan aliran humor akuos melalui bilik mata depan, suar ringan di akuos dan peningkatan kadar protein cairan subretinal. Ada 2 hipotesa kemungkinan terjadinya keadaan tersebut. Hipotesa pertama menyatakan bahwa kelainan retina akan menimbulkan inflamasi ringan sistem traktus uvea, disebabkan kegagalan sawar darah-akuos, disertai suar akuos & pengurangan produksi akuos, mengakibatkan peninggian protein cairan sub retinal. Hipotesa kedua mengatakan bahwa terjadi kegagalan ringan sawar darah akuos. Dan juga, produksi akuos tetap normal tetapi terjadi perubahan aliran dari bilik mata belakang kerongga badan kaca, melalui kelainan diretina dan melewati epitel pigmen retina.
Aliran yang tidak lazim ini (misdirected/unconvention al route) dari humor akuos menyebabkan penurunan tekanan intra okular, dan membawa protein dari bilik mata belakang yang akan mengumpui di celah subretinal.
Pembuktian adanya aliran cairan dari badan kaca ke celah retina ini terlihat pada percobaan binatang kera yang disuntikan cairan fluoresin iso tiosianat dextran. Disini terjadi kerusakan intregitas retina sensoris, yang diikuti pengaliran cairan badan kaca ke celah subretinal dan akan di absorpsi pembuluh darah koroid dan menimbulkan penurunan tekanan intra okular."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T58520
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Portland : Glimmer Train Inc
RM 050 GTS 70:1 (2009) (2)
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
M. Sulaiman Abidin
"Tujuan: Mendapatkan prevalensi kebutaan anak dan pola penyebabnya pada Panti Sosial Bina Netra (PSBN) di Pulau Jawa, identifikasi penyebab kebutaan yang dapat dicegah dan diterapi, serta menilai faktor-faktor risiko yang memepengaruhi pola penyebab kebutaannya.
Metode: Sebanyak 479 siswa dari 5 PSBN di Pulau Jawa diperiksa secara klinis dalam periode Desember 2005 - Januari 2006 dengan menggunakan format baku WI-10 untuk mengetahui penyebab kebutaannya. Data yang dianalisa adalah anak yang mempunyai usia di bawah 16 tahun atau onset kebutaannya terjadi di bawah usia 16 tahun (tajam penglihatan < 3160). Hubungan antara penyebab kebutaan yang dapat ditanggulangi dengan faktor sosiodernografi dan karakteristik medik dianalisa.
Hasil: Siswa yang tergolong kategori buta sebesar 95%; gangguan tajam penglihatan berat 4,6% dan gangguan tajam penglihatan ringan 0,4%. Kelainan anatomi yang terbanyak adalah kelainan bola mata (ptisis bulbi) 37,1%, diikuti retina (distrofi retina) 15,4%, lensa (katarak) 15,4% dan kelainan kornea (sikatrik kornea) 11,6%. Kelainan etiologi yang utama adalah kelainan yang etiologinya tidak diketahui 32,5%, diikuti kelainan genetik 30,8% (terutama distrofi retina) dan kelainan infeksi masa anak (terutama campak dan defisiensi vitamin A) 29,5%. Faktor risiko yang mempengaruhi pola penyebab kebutaan anak adalah riwayat perkawinan sedarah orang tua, riwayat keluarga dengan kelainan yang sama dengan subyek dan onset kebutaan
Kesimpulan: Pola penyebab kebutaan anak merupakan campuran kelainan herediter/ genetik dan infeksi pada masa kanak-kanak. Penyakit campak dan defisiensi vitamin A merupakan penyebab terbanyak kebutaan anak yang sebenarnya dapat dieegah, sedangkan katarak dan glaucoma/buftalmos merupakan kelainan yang sebenarnya dapat diterapi pada 5 buah PSBN di Pulau Jawa (Indonesia). Peningkatan strategi pencegahan primer perlu dilakukan dengan meningkatkan cakupan imunisasi dan pemberian kapsul vitamin A. Pusat rujukan tarsier untuk oftalmologi pediatri perlu ditingkatkan untuk menangani kasus yang sebenarnya dapat diterapi dini seperti katarak dan glaukonia.

Aim: to obtain the prevalence and pattern causes of childhood blindness in schools for the blind in Java Island (Indonesia) with a view to determining potentially preventable and treatable causes. To evaluate risk factors that influences the pattern of causes of blindness.
Methods: Four hundred and seventy nine students in five schools for blind in Java island, Indonesia, were examined clinically during December 2005 until January 2006 using the standard WHO/PBL eye examination record for blindness and low vision form. Data were analyzed for those children with blindness visual acuity less than 3/60, aged less than 16 years or the onset of the visual loss younger than 16 years. Relations between avoidable causes of blindness and social demography or medical characteristics factors were analyzed.
Results: Most of the students (95%) were blind (BL); 4.6% were severe visual impairment (SVI) and 0.4% visual impairment (VI). The major anatomical site of blindness was whole globe (phthisis bulbi) in 37.1%, retina (retinal dystrophies) in 15.4%, Iens (cataract) in 15.4% and cornea (corneal scar) in 11.6%. The underlying causes of blindness were undetermined/ unknown in 32.5%, genetic diseases in 30.8% (mainly retinal dystrophies) and postnatal infection in 29.5% (mainly measles or vitamin A deficiency). The risk factors that influence the pattern of cause childhood blindness were consanguinity, presence of family history and onset of blindness since birth.
Conclusions: The major causes of blindness were a mixed pattern of hereditary/ genetic diseases and postnatal infection. Measles and vitamin A deficiency were the major causes of preventable blindness, while cataract and glaucoma/ buphthalmos were the major causes of treatable blindness. There is a need to strengthen current primary preventions strategies with improved the efficacy of immunization and vitamin A supplementation coverage. Tertiary referral centre for pediatric ophthalmology should be set up to manage treatable causes, such as cataract and glaucoma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinar Berliana Yandikaputri
"ABSTRAK
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menemukan bagaimana cara orang yang terpengaruh oleh buta warna melihat dengan tujuan untuk menentukan bagaimana mereka menjelajahi ruang tertutup dan terbuka sebagai buta warna. Pemahaman yang tepat tentang pengalaman mereka dalam menjelajahi ruang tiga dimensi di industri kreatif sekarang harus dianggap sebagai persyaratan penting. Penelitian dilakukan dengan meminta satu responden dari protanomaly dan satu responden dari protanopia berjalan melalui ruang tertutup monokromatik dan berwarna-warni serta ruang terbuka supaya mereka dapat merasakan kesan dalam ruang tiga dimensi. Menganalisis teori dengan pernyataan yang diperoleh dari pengalaman mereka melalui wawancara, penelitian menunjukkan bahwa keberadaan kontras dan bayangan sangat penting dalam membentuk pengalaman spasial orang yang terpengaruh oleh buta warna melalui kedalaman dalam tiga dimensi. Hasilnya menunjukkan bagaimana ruang terbuka yang mereka alami membuat mereka merasa lebih nyaman daripada ruang tertutup. Disebabkan oleh jumlah penetrasi cahaya dan bayangan yang dihasilkan di ruang terbuka lebih signifikan dibandingkan dengan yang ada di ruang tertutup. Temuan ini menunjukkan perlunya meningkatkan kesadaran dan pendidikan dalam industri kreatif menuju buta warna untuk merancang ruang yang dapat sepenuhnya dialami oleh buta warna.

ABSTRACT
The aim of this writing is to discover how people who affected by colour-blindness see, to determine how they explore enclosed and open space as colour-blinds. Appropriate understanding of their experience in exploring three-dimensional spaces in the creative industries should now be considered as an essential requirement. Research is carried out by having one respondent from the protanomaly and one respondent from the protanopia walking through a monochromatic and colourful enclosed space and an outdoor space for them to feel the impression in three dimensions. Analysing the theory with the statements gained from their experience through interviews, the study shows that the existence of contrast and shadow is crucial in making colour-blinds experience space through depth in three dimensions. The result shows how the outdoor space they experienced makes them feel more comfortable than the enclosed space. Caused by the amount of light penetration and the shadows produced in the open space are more significant compared to the one in the enclosed space. These findings suggest the need to improve awareness and education within the creative industries towards colour-blindness in order to design a space that can be fully experienced by colour-blinds."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mustaqim Prasetya
"Latar Belakang: Gangguan penglihatan adalah gejala kedua yang sering muncul pada tumor otak setelah nyeri kepala. Gejala gangguan penglihatan yang paling sering terjadi pada tumor otak adalah penurunan visus atau tajam penglihatan (low vision sampai kebutaan), sedang tanda yang paling sering dijumpai adalah atrofi n. optikus dan papilledema. Penurunan tajam penglihatan yang dialami penderita tumor otak dapat sangat berat hingga berupa kebutaan. Sampai saat ini belum terdapat data angka kejadian gangguan penglihatan sampai kebutaan pada tumor otak di Indonesia.
Metode: Sebagai studi potong lintang analitik, dikumpulkanlah data pasien penderita tumor otak di atas usia 6 tahun yang datang berobat ke poliklinik Bedah Saraf FKUIRSCM pasien September 2013 hingga Februari 2014 dari catatan rekam medis.
Hasil: Jumlah pasien tumor otak yang mengalami buta sebanyak 37 orang (34,6 %) dengan usia rata-rata 45,3 (SD 11,3 tahun). Sebesar 86,5 % penderita berada pada usia produktif 15-54 tahun. Dari 37 pasien tumor otak yang buta terlihat proporsi gejala penyerta terbesar adalah sefalgia (terutama sefalgia kronis), diikuti oleh gangguan oftalmologi lain. Data pemeriksaan funduskopi hanya ditemukan pada kurang dari 50 % penderita, dengan temuan yang terbanyak adalah papil atrofi.
Kesimpulan: Besar angka kebutaan pada pasien tumor otak menunjukkan bahwa kondisi ini tidak hanya menjadi masalah medis saja tetapi juga masalah sosial yang serius. Banyaknya jumlah pasien tanpa data funduskopi menandakan masih lemahnya standar pemeriksaan neurooftalmologi ataupun pencatatan yang ada saat ini, padahal pemeriksaan funduskopi berperan sangat penting mendeteksi dini kejadian tumor otak pada pasien dengan gangguan penglihatan.

Background: Vision impairment is the second most common symptom in brain tumor after headache, with decreased visual acuity or low vision as its most common manifestation, and optic nerve atrophy and papilledema as its most common sign. Blindness may be the final outcome of this impairment. Until now, there is no data regarding the prevalence of vision impairment in brain tumor patient in Indonesia.
Method: As a analytic cross-sectional study, data is collected from the medical record regarding brain tumor patient above the age of 6 years old who were seen in the neurosurgery facility in FKUI-RSCM from September 2013 to February 2014.
Result: As much as 37 patient (34,6%) brain tumor patient were found to be blind; mean age was 45,3 years old (SD 11,3 years old), with 86,5% patient was in the productive age 15-54 years old. The commonest related symptoms was headache (especially chronic headache), followed by other ophthalmologic symptoms. Funduscopy data was found only in less than 50% patient; the commonest finding was optic nerve atrophy.
Conclusion: Blindness rate in brain tumor patient is not just a medical issue, but also a social one. Funduscopy usage must be encouraged more to provide early detection for brain tumor patient with vision impairment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T58019
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pandu Utama Manggala
"ABSTRAK
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 16.056 pulau terdaftar dengan luas wilayah laut mencapai 5.9 juta km2. Letaknya yang strategis ditandai dari hadirnya beberapa titik sumbat perdagangan dunia di wilayah Indonesia, yakni Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok. Dimana kini, sekitar 2/3 perdagangan minyak dunia dan lebih dari setengah total pelayaran kapal container dengan nilai 5.4 trilyun USD melewati jalur Selat Malaka untuk menuju ke Laut Tiongkok Selatan. Namun demikian, Indonesia seakan abai terhadap nilai strategis wilayah maritimnya dengan berbagai kebijakan yang disebut Prof. Geoffrey Till sebagai sea blindness. Salah satu yang terlihat adalah dari kebijakan postur pertahanan Indonesia yang dijalankan dengan mengadopsi sistem pertahanan territorial. Pemahaman mendasar ini diperlukan guna membenahi dan menata ulang sistem pertahanan Indonesia yang sesuai dengan realitas letak geografis Indonesia, sebagai Poros Maritim Dunia.
"
Jakarta: Policy Analysis and Development Agency, 2018
300 JHLN 4:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>