Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"This handbook provides an all-inclusive insight into biomarkers assessing the impact of nutrition on human health. The reader will gain insight into the area of circulating body fluid biomarkers, from cardiovascular related markers to liver functional tests. Various biomarkers related to the intake of micronutrient and macronutrients are presented, and the effects of different diets, pesticide exposure and dietary supplements are discussed, so are changes of genetic, cellular and histological variables. This systematic handbook is a must have for biomedical researchers as well as clinicians and pharmacologists, who wish to gain extensive understanding on the analysis of effects of various nutritional and dietary effects on human health, ageing and longevity"
Switzerland: Springer, 2022
613.2 BIO
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hondli Putra
"Benzena adalah salah satu zat yang bersifat toksik dan mudah menguap yang dikenal dengan Volatile Organic Compounds VOCs . Benzena dapat menyebabkan kanker dan leukemia. Salah satu biomarker benzena dalam tubuh untuk lingkungan udara ambien adalah S-Phenylmercapturic Acid S-PMA . Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi benzena di udara dan konsentrasi S-PMA dalam urin serta hubungan antara keduanya. Perlu juga di ketahuinya kekuatan hubungan antara konsentrasi S-PMA dengan variabel umur, lama pajanan, status merokok, transportasi sekolah, garasi kendaraan dan penggunaan masker. Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan desain studi potong lintang cross sectional . Penelitian dilaksanakan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 16 Kota Bandung pada bulan Mei 2017. Jumlah sampel sebesar 33 sampel murid kelas VIII dengan pemilihan sampel adalah acak sederhana. Konsentrasi benzena diukur dengan teknik gas kromatografi metode NIOSH 1501 dan S-PMA di ukur dengan metode LC-MS/MS. Hasil pengukuran didapatkan konsentrasi benzena di udara tidak terdeteksi < 0,092 ppm pada 10 titik pengukuran. Rata-rata konsentrasi S-PMA pada urin siswa yaitu sebesar 1,39 g/g kreatinin. Tidak ada hubungan antara konsentrasi benzena dengan konsentrasi S-PMA di urin. Kekuatan hubungan antara konsentrasi S-PMA dalam urin dengan variabel umur, lama pajanan, status merokok, transportasi sekolah dan penggunaan masker dapat digambarkan dengan persamaan regresi linier: Kadar S-PMA = 1,646 ndash; 0,179 lama pajanan 0,337 status merokok 0,596 transportasi 1,021 penggunaan masker ndash; 0,108 umur. Variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap penentuan peningkatan konsentrasi S-PMA di urin adalah penggunaan masker diperoleh p value = 0,040 artinya secara statistik ada perbedaan yang signifikan antara penggunaan masker dengan peningkatan konsentrasi S-PMA. Untuk penelitian selanjutnya disarankan agar memperhatikan metode pengukuran benzena ke tingkat yang lebih rendah ppb."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
T48845
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Efata Bilvian Ivano Polii
"Latar belakang : Pneumonia komunitas (PK) merupakan penyakit dengan angka kejadian morbiditas dan mortalitas yang tinggi secara global. Sebagai penyakit infeksi maka respons inflamasi bisa diukur melalui beberapa serum biomarker yang bisa digunakan sebagai prediktor untuk lama rawat. Identifikasi pasien risiko tinggi lama rawat yang panjang dengan menggunakan kombinasi beberapa serum biomarker diharapkan bisa menjadi acuan dalam intervensi yang cepat dan tepat termasuk didalamnya penggunaan antibiotik sehingga berpengaruh pada luaran klinis pasien PK.
Tujuan : Studi ini bertujuan untuk mendapat sistem skoring dengan menggunakan beberapa serum biomarker seperti prokalsitonin, C-reactive protein (CRP), leukosit, asam laktat, D-dimer dan albumin terhadap lama rawat pasien PK sedang berat
Metode : Studi ini menggunakan desain kohort prospektif pasien PK sedang berat yang dirawat di IGD/ICU/HCU RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo periode Mei 2022 s/d Juli 2023. Variabel-variabel prediktor lama rawat pasien PK sedang berat didapatkan dari hasil analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil : Dari total 360 subjek yang memiliki lama rawat > 14 hari sebanyak 204 subjek (56,67%) dan ≤ 14 hari sebanyak 156 subjek (44,44%). Variabel prediktor yang secara konsisten mempengaruhi lama rawat adalah asam laktat dengan RR 1,305 (IK 95% 1,097 – 1,551, p=0,003) dan albumin dengan RR 2,234 (IK 95% 1,164– 2,156, p=0,003). Performa determinan dengan analisis kurva ROC menunjukkan kemampuan prediksi lemah (AUC=0,629). Performa kalibrasi dengan uji Hosmer-Lemeshow test menunjukkan validasi baik (0,562). Biomarker lain yang dianggap signifikan dalam analisis bivariat yaitu prokalsitonin dengan RR 1,481 (IK 95% 1,121-1,954, p=0,006) dan C-reactive protein RR 2,465 (IK 95% 1,141-5,326). Leukosit dan D-dimer tidak dinilai signifikan sebagai biomarker PK sedang berat (p = 0,947).
Simpulan : Terdapat hubungan antara asam laktat dan albumin dengan lama rawat pasien PK sedang berat. Tidak terdapat model skoring lama rawat pasien PK sedang berat.

Background: Community-acquired pneumonia (CAP) is a disease with a high global incidence of morbidity and mortality. As an infectious disease, the inflammatory response can be measured through several serum biomarkers that can be used as predictors for the length of hospital stay (LOS). The identification of patients at high risk for prolonged hospitalization using a combination of several serum biomarkers is expected to serve as a reference for prompt and accurate interventions, including the use of antibiotics, thereby influencing the clinical outcomes of CAP patients.
Objective: This study aims to establish a scoring system using several serum biomarkers such as procalcitonin, C-reactive protein (CRP), leukocytes, lactic acid, D-dimer, and albumin for the length of hospital stay in patients with moderate to severe CAP.
Method: This study employs a prospective cohort design involving patients with moderate to severe CAP treated in the Emergency Department (ED), Intensive Care Unit (ICU), and High-Care Unit (HCU) at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo from May 2022 to July 2023. Variables to predict for the length of hospital stay in patients with moderate to severe CAP were obtained from multivariate analysis using logistic regression.
Results: A total of 360 subjects were included in this study, including 204 subjects (56.67%) with LOS more than 14 days, while 156 subjects (44.44%) had LOS of 14 days or less. The consistently influencing predictor variables for the length of hospital stay were lactate with RR 1.305 (95% CI 1.097–1.551, p=0.003) and albumin with RR 2.234 (95% CI 1.164–2.156, p=0.003). Determinant performance with ROC curve analysis showed weak predictive ability (AUC=0.629). Calibration performance with the Hosmer-Lemeshow test indicated good validation (0.562). Other biomarkers considered significant only in bivariate analysis were procalcitonin with RR 1.481 (95% CI 1.121–1.954, p=0.006) and C-reactive protein with RR 2.465 (95% CI 1.141–5.326). Leukocytes an D-dimer were not considered significant as a biomarker for moderate to severe CAP (p=0.947).
Conclusion: There is a relationship between lactate and albumin with the length of hospital stay in patients with moderate to severe CAP. However, there is no scoring model for the length of hospital stay in these patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Samuel Pratama
"Latar Belakang: Doxorubiscin merupakan salah satu obat kemoterapeutik yang tergolong sebagai anthracyclines. Doxorubiscin digunakan dalam pengobatan berbagai penyakit kanker. Namun, kegunaan obat ini sangat dibatasi oleh efek sampingnya yaitu kardiotoksisitas. Salah satu mekanisme kardiotoksisitas tersebut adalah terbentuknya spesies oksigen reaktif yang menyebabkan berkurangnya kadar nitrik oksida. Satu-satunya agen yang diakui untuk melawan efek kardiotoksisitas ini adalah dexrazoxane, obat pengikat ion besi. Agen profilaksis baru sangat dibutuhkan karena dexrazoxane sendiri masih memiliki banyak efek samping dan harganya yang sangat mahal. L-Citrulline, zat asam amino yang dikandung oleh beberapa makanan dan buah, berpotensi untuk menjadi agen profilaksis baru dikarenakan sifat antioksidannya.
Metode: Doxorubiscin diberikan secara intraperitoneal dan L-Citrulline secara oral ke tikus Wistar sebagai subjek penelitian. Serum dari setiap subjek akan diambil dan dipakai sebagai sampel untuk eksperimen ini. Spectrophotometry dilakukan untuk mengukur kadar dari glutathione (GSH) dan malondialdehyde (MDA) pada serum. Analisis statistik digunakan untuk membandingkan perbedaan diantara grup subjek percobaan.
Hasil: Setelah pemberian doxorubiscin, terdapat penurunan pada kadar GSH serum dan kenaikan kadar MDA serum. Setelah pemberian L-Citrulline, terjadi kenaikan kadar GSH dan MDA serum. Besarnya konsentrasi L-Citrulline yang diberikan berbanding lurus dengan besarnya perubahan pada kadar keduanya.
Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian, suplementasi L-Citrulline tidak dapat mengurangi efek kardiotoksisitas doxorubisin. Hal ini disebabkan karena terjadi kerusakan pada nitric oxide synthase dan produksi peroksinitrit yang berlebihan. Sementara kenaikan kadar GSH dapat diakibatkan oleh mekanisme refluks GSH, menunjukan adanya proses penghancuran sel.


Background: Doxorubicin is a chemotherapeutic agent which has been used as treatment for various types of malignancy. However, the clinical use of it has been limited because of a risk for cardiotoxicity. Most studied cardiotoxicity mechanism involves reactive oxygen species generation which results in reduced level of nitric oxide. Nitric oxide is an important compound that protects from oxidative stress and cardiac damage. The only approved agent to counteract this cardiotoxicity is dexrazoxane, an iron chelator. New prophylactic agent is needed to be found as dexrazoxane still has lot of side effects and expensive price. L-Citrulline, an amino acid found in certain foods and fruits, has the potential to become the new prophylactic agent due to its antioxidant property.
Method: Wistar rats as subject are administered by doxorubicin via intraperitoneal and L-Citrulline via oral. Serum is taken as sample for the experiment. Spectrophotometry is done to measure the concentration of serum glutathione (GSH) and malondialdehyde (MDA). Statistical analysis is done to compare the difference among subject groups.
Results: After the doxorubicin treatment, there is a decreased serum GSH but increased MDA level. After L-Citrulline treatment, there is an increased in both serum GSH and MDA level. The concentration of administered L-Citrulline was directly proportional to the changes intensity.
Conclusion: Based on the result of this experiment, L-Citrulline supplementation cannot reduce the doxorubicin-induced cardiotoxicity. This failure is due to uncoupling of nitric oxide synthase and peroxynitrite overproduction. While increased GSH level may be caused by the GSH reflux mechanism, indicating cell death progression."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amsterdam: Elsevier, 2012
615.7 THE
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Aryo Winartomo
"Latar Belakang: Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai dengan kepadatan tulang yang rendah dan kerusakan mikroarsitektur jaringan tulang dengan konsekuensi peningkatan kerapuhan tulang. Kondisi tersebut menyebabkan penderita rentan untuk mengalami fraktur khususnya fraktur kompresi. Salah satu penelitian yang sudah dilakukan berupa penggunakan sel Sekretom sebagai penghambat perburukan osteoporosis, sekretome adalah sekresi non-sel yang diproduksi oleh sel punca mesnkimal.
Metode: Penelitian ini merupakan kohort retrospektif dengan data sekunder diambil dari rekam medic,sampel diambil secara Total sampling yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi osteoporosis vertebra. Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2022 sampai dengan Desember 2023, dengan data sekunder yang diambil dari periode Januari 2017— Desember 2022.
Hasil: Penelitian ini melibatkan 11 subjek penelitian yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi terdiri dari 4 (36,4%) laki-laki dan 7 (63,6%) perempuan. Golongan usia yang paling banyak adalah 60-74 tahun (54,5%). terdapat perbedaan efektiftas yang bermakna pada sebelum dan sesudah pemberian secretome pada paseien osteoporosis berdasarkan parameter laboratorium osteocalcin, CTX, Trombosit, dan LED terdapat perbedaan efektiftas yang bermakna bermakna berdasarkan parameter Radiologi diantaranya T-Score Lumbal 1, lumbal 2, lumbal 3, lumbal 4 dan lumbal 1-4 sebelum dan sesudah pemberian sekretom pada pasien osteoporosis vertebra.
Kesimpulan: Sekretom dapat memperbaiki perburukan osteoporosis vertebra berdasarkan penurunan biomarker laboratorium dan kenaikan biomarker radiologi BMD.

Introduction: Osteoporosis is a systemic bone disease characterized by low bone density and microarchitectural deterioration of bone tissue with consequent increased bone fragility. This condition causes the patient to be susceptible to fractures, especially compression fractures. One of the studies that have been carried out is the use of secretome cells as an inhibitor of the worsening of osteoporosis, secretomes are non-cell secretions produced by meschymal stem cells.
Method: This study is a retrospective cohort with secondary data taken from medical records, the sample was taken by total sampling in accordance with the inclusion and exclusion criteria for vertebral osteoporosis. The study was conducted from July 2022 to December 2023, with secondary data taken from the period January 2017—December 2022.
Result: This study involved 11 research subjects who had met the inclusion and exclusion criteria consisting of 4 (36.4%) men and 7 (63.6%) women. The most common age group is 60-74 years (54.5%). there was a significant difference in effectiveness before and after administration of secretome in osteoporosis patients based on laboratory parameters osteocalcin, CTX, Platelets, and ESR. lumbar 1-4 before and after administration of secretome in patients with vertebral osteoporosis.
Conclusion: Secretome can ameliorate the worsening of vertebral osteoporosis based on a decrease in laboratory biomarkers and an increase in the radiological biomarker BMD.
"
Jakarta: 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mitari Nuzullita
"Latar belakang: Kanker ovarium merupakan jenis kanker ke-3 yang paling sering dialami oleh wanita di Indonesia. Diagnosis yang terlambat berperan besar dalam tingginya angka mortalitas. Metode skrining cepat kanker ovarium semakin penting untuk diteliti, dengan beragam biomarker penanda kanker seperti CA-125, HE4, dan FOLR1 yang menawarkan indeks diagnostik dan kemudahan prosedur yang menjanjikan.
Metode: Studi deskriptif desain potong lintang ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada Januari 2022 hingga Januari 2023. Kadar serum CA-125, HE4, dan FOLR1 dianalisis dari 48 subjek yang terbagi dalam kelompok tumor ovarium ganas dan jinak. Diagnosis pasti tumor merujuk hasil pemeriksaan histopatologis dan pencitraan. Data demografis pasien seperti usia, status menopause, ukuran tumor, hingga hasil analisis sitologi cairan asites dikumpulkan.
Hasil: Hasil analisis demografis menunjukkan kecenderungan subjek menopause untuk memiliki tumor ovarium non-maligna (57,6% vs. 26,7%; p < 0,05), dan subjek dengan cairan asites ganas cenderung memiliki tumor ovaium maligna (3,0% vs. 40,0%; p < 0,05). Kadar ketiga biomarker serum meningkat pada kelompok tumor maligna, namun hanya HE4 (median 12,43 vs. 42,03; p < 0,05) yang memiliki perbedaan bermakna (CA-125 median 102,50 vs. 461,85; p = 0,062; FOLR1 median 0,070 vs. 0,172; p=0,213). Area under the curve (AUC) pada hasil analisis kurva receiver operating characteristic (ROC) menunjukkan hasil 0,630, 0,747, dan 0,794 secara berturut-turut untuk biomarker FOLR1, Ca125, dan HE4, dengan analisis beda proporsi signifikan pada titik potong 0,1165 ng/mL (Se 66,7%, Sp 60,6%), 208,00 U/mL (Se 73,3%, Sp 84,8%), dan 19,66 pg/mL (Se 86,7%, Sp 60,6%). Analisis kombinasi biomarker menunjukkan peningkatan sensitifitas namun penurunan spesifisitas.
Kesimpulan: Kadar serum ketiga biomarker memiliki kemampuan yang baik sebagai prediktor keganasan tumor ovarium maligna. Pada populasi penelitian, HE4 secara tunggal memiliki indeks diagnostik terbaik, dan kombinasi biomarker tidak memberikan peningkatan kemampuan diagnostik.

Background : Ovarian cancer is the third most common cancer in women in Indonesia. Late diagnosis significantly contributes to high mortality rates. Rapid screening methods for ovarian cancer are increasingly important, with biomarkers such as CA-125, HE4, and FOLR1 offering promising diagnostic indices and procedural ease.
Methods: This cross-sectional descriptive study was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital, Jakarta from January 2022 to January 2023. Serum levels of CA-125, HE4, and FOLR1 were analyzed in 48 subjects divided into malignant and benign ovarian tumor groups. Tumor type diagnosis was based on histopathological examination and imaging. Patient demographic data including age, menopausal status, tumor size, and cytology analysis of ascitic fluid were collected.
Results: Demographic analysis showed tendencies of menopausal subjects to have non-malignant ovarian tumors (57.6% vs. 26.7%; p < 0.05), and subjects with malignant ascitic fluid were more likely to have malignant ovarian tumors (3.0% vs. 40.0%; p < 0.05). Serum levels of all three biomarkers were higher in the malignant group, but only HE4 (median 12.43 vs. 42.03; p < 0.05) showed significant differences (CA-125 median 102.50 vs. 461.85; p = 0.062; FOLR1 median 0.070 vs. 0.172; p = 0.213). The area under the curve (AUC) for the receiver operating characteristic (ROC) curve analysis showed 0.630, 0.747, and 0.794 for FOLR1, CA-125, and HE4, respectively. Significant cut-off points were 0.1165 ng/mL (Se 66.7%, Sp 60.6%), 208.00 U/mL (Se 73.3%, Sp 84.8%), and 19.66 pg/mL (Se 86.7%, Sp 60.6%). Biomarker combination analysis increased sensitivity but decreased specificity.
Conclusion: Serum levels of the three biomarkers are good predictors of malignancy in ovarian tumors. In this study population, HE4 alone had the best diagnostic index, and combining biomarkers did not enhance diagnostic capability.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sean Alexander Lee Tzien Yi
"

Latar belakang: Diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) adalah suatu penyakit metabolik yang terjadi akibat gangguan fungsi insulin. Hiperglikemia dapat memicu produksi reactive oxygen species yang berlebih sehingga terjadi ketidakseimbangan sistem redoks tubuh. Apabila kondisi ini terjadi secara terus menerus, tubuh dapat mengalami stres oksidatif yang ditandai dengan menurunnya kadar antioksidan enzimatik dan meningkatnya peroksidasi lipid. Salah satu organ yang paling rentan terkena dampak dari stres oksidatif adalah ginjal. Metformin adalah obat lini pertama pada DMT2 yang juga memiliki efek renoprotektif, tetapi metformin dapat menyebabkan sejumlah efek samping yang kurang nyaman bagi pasien. Î±-mangostin merupakan senyawa yang dipercaya memiliki efek antioksidan sehingga diharapkan dapat menjadi kandidat potensial dalam memperbaiki stres oksidatif pada kondisi tersebut.

Tujuan: Studi ini bertujuan untuk mengetahui efek antioksidan Î±-mangostin pada biomarker stres oksidatif pada DMT2, terutama pada kadar MDA dan SOD ginjal.
Metode: Penelitian berlangsung selama sebelas minggu menggunakan tikus Wistar berusia 10-12 minggu yang terbagi ke dalam enam kelompok: kontrol, kontrol+AM 200 mg/kg, DMT2, DMT2+metformin 200 mg/kg, DMT2+AM 100 mg/kg, DMT2+AM 200 mg/kg. Induksi DMT2 dilakukan dengan diet tinggi lemak-karbohidrat dan injeksi streptozotocin (STZ). Kadar MDA dan SOD diperoleh dengan menggunakan assay kit pada organ ginjal tersimpan.
Hasil: Studi ini menunjukan adanya penurunan kadar MDA yang signifikan pada tiga kelompok perlakuan: DMT2+metformin 200 mg/kg (p=0,001), DMT2+AM 100 mg/kg (p=0,001), dan DMT2+AM 200 mg/kg (p=0,001) dibandingkan dengan kelompok DMT2 tanpa suplementasi. Selain itu, peningkatan kadar SOD yang signifikan secara statistik hanya ditemukan pada kelompok tikus DMT2+AM 200 mg/kg (p=0,030) dibandingkan dengan kelompok DMT2 tanpa suplementasi.
Simpulan: Hasil ini menyimpulkan bahwa Î±-mangostin dapat memberikan efek antioksidatif pada ginjal tikus dengan DMT2, ditandai dengan penurunan kadar MDA dan peningkatan kadar SOD. Maka dari itu, dibutuhkan penelitian lanjutan agar didapatkan hasil yang lebih optimal serta dapat diaplikasikan pada manusia.

 


Background: Type 2 diabetes mellitus (T2DM) is a metabolic disorder caused by impaired insulin function. Hyperglycemia would induce an excessive production of reactive oxygen species which causes imbalance to the body’s redox system. This condition will eventually lead to oxidative stress, showed by decreasing enzymatic antioxidant levels and increasing lipid peroxidation. Kidneys are one of the susceptible organs to be the target of oxidative stress. Metformin has been the first-line therapy for type 2 diabetes mellitus. While it also has a renoprotective effect, there are some reports about its serious adverse effects on the patients. Î±-mangostin, a substance that is believed to have an antioxidant effect, is expected to be a potential candidate on ameliorating oxidative stress in such condition

Objective: This study aims to investigate the antioxidant effect of Î±-mangostin on oxidative stress biomarkers on T2DM, specifically on the kidney’s MDA and SOD levels.
Methods: This study was conducted for eleven weeks using 10-12 weeks old Wistar rats, which were divided into six groups: control, control+AM 200 mg/kg, T2DM, T2DM+metformin 200 mg/kg, T2DM+AM 100 mg/kg, T2DM+AM 200 mg/kg. T2DM groups were induced using a high-fat/high-glucose diet followed by streptozotocin (STZ) injection. MDA and SOD levels were measured by assay kit on refrigerated kidney samples.
Results: This study showed a significant decrease in MDA levels on three groups: DMT2+metformin (p=0,001 vs. DMT2), DMT2+AM 100 mg/kg (p=0,001 vs. DMT2), and DMT2+AM 200 mg/kg (p=0,001 vs. DMT2). On the other hand, a significant increase in SOD levels is found only within the DMT2+AM 200 mg/kg group (p=0,030 vs. DMT2).
Conclusion: These findings demonstrated that Î±-mangostin did establish antioxidative effects on T2DM-induced rat’s kidney, showed by a decrease in the MDA level and an increase in the SOD level. Therefore, further studies are essential to obtain better results.

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rustam Effendi
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
610 IJIM 49:4 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fathia Yusrina
"Diabetes melitus tipe 2 (DMT2) adalah penyakit gangguan metabolisme yang menyebabkan regulasi insulin terganggu dan dapat mengakibatkan komplikasi penyakit ginjal diabetes (PGD). Saat ini, gold standard penilaian fungsi ginjal dilakukan berdasarkan parameter eGFR dan albuminuria, tetapi kedua parameter tersebut memiliki beberapa keterbatasan. Oleh karena itu, metode baru untuk deteksi dini fungsi ginjal dapat bermanfaat dalam upaya pencarian target terapi yang lebih tepat, salah satunya melalui pendekatan metabolomik. Tujuan penelitian ini yaitu melihat perbedaan profil metabolit serum pasien DMT2 risiko rendah (n=16) dan tinggi (n=16) PGD berdasarkan klasifikasi KDIGO 2022 yang mengonsumsi metformin-glimepirid. Desain penelitian cross-sectional dengan teknik consecutive sampling dilakukan di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu dan RSUD Jatipadang. Sebanyak total 32 partisipan yang memenuhi kriteria inklusi dibandingkan profil metabolitnya berdasarkan kategori risiko PGD. Sampel darah, urin, serta data karakteristik dasar dan klinis dikumpulkan untuk analisis metabolomik. Analisis untargeted metabolomics dilakukan menggunakan LC/MS-QTOF dengan metode yang sudah tervalidasi. Pengolahan data dilakukan menggunakan MetaboAnalyst 5.0 dan SPSS versi 24.0. Seluruh metabolit yang terdeteksi diidentifikasi oleh database Metlin, HMDB, PubChem, dan KEGG. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada seluruh karakteristik dasar dan klinis subjek penelitian. Terdapat perbedaan bermakna pada ekspresi metabolit antara dua kelompok sampel. Berdasarkan parameter VIP score >1; FC >1.2; p-value <0,05; AUC >0,65 yang ditetapkan, diperoleh tiga metabolit yang memiliki potensi sebagai senyawa biomarker dalam perkembangan PGD, yaitu acetyl-N-formyl-5-methoxykynurenamine (AFMK), phosphatydilinositol-4,5-bisphosphate (PIP2), dan cytidine diphosphate diacylglycerol (CDP-DAG). Berdasarkan ketiga metabolit tersebut, tiga jalur metabolisme berhasil terdeteksi dan berpotensi terlibat dalam perkembangan PGD yaitu metabolisme triptofan, metabolisme fosfatidilinositol, serta metabolisme gliserofosfolipid. 

Type 2 diabetes mellitus (T2DM) is a metabolic disorder causing insulin regulation to be disrupted and may lead to diabetic kidney disease (DKD) complication. The current gold standard for assessing kidney function based on eGFR and albuminuria have some limitations. Therefore, a new method for assessing kidney function may be useful for a better therapeutic target discovery, such as through metabolomics approach. This study aims to compare the serum metabolite profiles of T2DM patients consuming metformin-glimepiride with low (n=16) and high (n=16) risk of DKD based on KDIGO 2022. A cross-sectional study with consecutive sampling method was carried out at Puskesmas Pasar Minggu and RSUD Jatipadang. A total of 32 participants fulfilled the inclusion criteria were compared for their metabolite profiles. Blood, urine, baseline and clinical characteristics data were collected to perform untargeted metabolomics analysis using a validated LC/MS-QTOF method. Data processing was performed using MetaboAnalyst 5.0 and SPSS 24.0. Metabolites were identified by Metlin, HMDB, PubChem, and KEGG databases. There were no significant differences among all basic and clinical characteristics of the participants. There were significant differences of metabolite expression between two sample groups. Based on the applied parameters VIP score >1; FC>1.2; p-value <0.05; AUC >0.65, three metabolites were found to have potential as biomarker in the development of DKD, namely acetyl-N-formyl-5-methoxykynurenamine (AFMK), phosphatydilinositol-4,5-bisphosphate (PIP2), and cytidine diphosphate diacylglycerol (CDP-DAG). Based on these metabolites, three metabolic pathways were detected and found to be potentially involved in the development of DKD, namely tryptophan metabolism, phosphatidylinositol metabolism, and glycerophospholipid metabolism."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>