Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rafindhra Adhitya Prihastama
"Latar belakang. Bayi kurang bulan merupakan masalah yang masih sering menghantui dunia kedokteran akibat komplikasi jangka pendek, jangka panjang, maupun kematian secara langsung. Salah satu komplikasi yang dapat muncul adalah enterokolitis nekrotikans, sebuah penyakit kegawatdaruratan gastrointestinal bersifat fatal. Enterokolitis nekrotikans sendiri dapat dicegah dengan pemberian ASI, salah satu metodenya adalah meneteskan ASI secara orofaringeal atau biasa disebut sebagai care.
Tujuan. Mengetahui perbandingan antara pemberian oral care dengan kejadian enterokolitis nekrotikans pada bayi kurang bulan, mengetahui sebaran karakteristik subjek penelitian (jenis kelamin, usia gestational, berat lahir, dan usia ibu, mengetahui angka kejadian enterokolitis nekrotikans pada bayi kurang bulan yang mendapat oral care, mengetahui angka kejadian enterokolitis nekrotikans pada bayi kurang bulan yang tidak mendapat oral care, dan mengetahui perbandingan angka kejadian enterokolitis nekrotikans antara bayi kurang bulan yang mendapat oral care dengan bayi yang tidak mendapat oral care.
Metode penelitian. Penelitian dilakukan dengan metode crosssectional komparatif pada bayi kurang bulan yang dirawat di NICU RSCM pada tahun 2016-2017 dengan jumlah total subjek sebanyak 144 orang dan dipilih secara random sampling. Sumber data merupakan rekam medis dan pengambilan data dilakukan selama 6 bulan dari Januari hingga Agustus 2018.
Hasil penelitian. Dari 144 pasien, didapatkan 72 bayi kurang bulan mendapat oral care dan 72 bayi kurang bulan tidak mendapat oral care. Dari kedua kelompok tersebut, ditemukan adanya perbedaan pada masa gestasi (p=0,006) dan berat lahir bayi (p=0.042). Pada 72 bayi kurang bulan yang mendapat oral care, terdapat 19 bayi kurang bulan yang mengalami enterokolitis nekrotikans dan pada 72 bayi kurang bulan lainnya yang tidak mendapatkan oral care, terdapat 9 bayi kurang bulan yang tidak mendapatkan oral care. Perbandingan kedua kejadian enterokolitis nekrotikans pada kedua kelompok tersebut adalah 26.4% banding 12.5%. Dengan menggunakan analisis kategorik, didapatkan hubungan antara oral care dengan kejadian enterokolitis nekrotikans (p=0.036).
Kesimpulan. Terdapat hubungan antara pemberian oral care dengan angka kejadian enterokolitis nekrotikans. Namun penelitian lebih lanjut dengan skala yang lebih besar harus untuk menentukan melihat hasil lebih spesifik dan lebih lanjut mengenai sebab-akibat.

Introduction. Premature infants still pose a big problem in the medicine due to its association with high morbidity and mortality. Necrotizing enterocolitis, or NEC, a gastrointestinal emergency case, is one of the complications that rises from prematurity. NEC can be prevented with breast milk, especially mothers own milk, through oropharyngeal administration, or in other words, oral care.
Objectives. To determine comparison between oral care administration with necrotizing enterocolitis incidence on preterm infants, to determine the distribution of subjects based on characteristic (gender, gestational age, birth weight, and mothers age), to determine the incidence of necrotizing enterocolitis on preterm infants with oral care administration, to determine the incidence of necrotizing enterocolitis on preterm infants without oral care, and to compare the incidence of necrotizing enterocolitis between preterm infant with and without oral care.
Methods. A cross-sectional study was conducted on preterm infants who were treated in Neonatal Intensive Care Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital between 2016 and 2017. There were 144 subjects chosen by simple random sampling. Medical record from Perinatology Division was the source of data and data was taken from January until August 2018.
Result. From 144 Premature infant, there were 72 premature infants with oral care and 72 premature infants without oral care. In those two groups, two characteristics, gestational age (p=-0.006) and birth weight (p=0.042), were significantly different. There were 19 preterm infants with oral care and 9 preterm infants without oral care who suffered from necrotizing enterocolitis. The proportion of necrotizing enterocolitis in these two groups is 26.4%:12.5% The difference is significant (p=0.036).
Conclusion. There is a significant association between oral care and the incidence of necrotizing enterocolitis, though further larger studies must be conducted to obtain more detailed results.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nayla Karima
"Latar Belakang:. Sepsis neonatorum awitan dini masih menjadi penyebab kesakitan dan kematian yang utama pada neonatus, dengan angka lebih tinggi terjadi pada bayi kurang bulan. Berbagai faktor diketahui berhubungan dengan kejadian sepsis neonatorum awitan dini, namun penelitian yang dilakukan pada bayi prematur masih terbatas. Tujuan:. Mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian sepsis neonatorum awitan ini pada bayi kurang bulan di RSCM.
Metode:. Penelitian desain case-control dengan mengambil data dari rekam medis bayi lahir kurang bulan di RSCM pada rentang waktu Januari 2016-Desember 2017 sebanyak 186 sampel (93 untuk masing-masing kelompok). Data dianalisis secara bivariat dan multivariat.
Hasil: Terdapat perbedaan bermakna dari karakteristik bayi kurang bulan antara kelompok kasus dan kontrol yaitu usia gestasi, jenis kelamin laki-laki, dan berat lahir. Gejala klinis tersering ditemukan adalah sesak napas. Dari 7 faktor yang dianalisis, infeksi intrauterin, nilai APGAR 1 menit pertama, dan nilai APGAR 5 menit pertama pada analisis bivariat dimasukkan ke analisis multivariat (p<0,25) sementara pada faktor lainnya tidak ditemukan hubungan yang bermakna. Pada analisis multivariat, ditemukan bahwa jenis kelamin laki-laki, usia gestasi, infeksi intrauterin, dan nilai APGAR 1 menit pertama memiliki hasil yang bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Jenis kelamin laki-laki, usia gestasi, infeksi intrauterin, dan nilai APGAR 1 menit pertama merupakan faktor risiko independen sepsis neonatorum awitan dini pada bayi kurang bulan. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kejadian sepsis neonatorum awitan dini pada bayi kurang bulan.

Background: Early onset neonatal sepsis is still considered as a common cause of morbidity and mortality in neonates, with a higher prevalence found in preterm infants. Many factors are known to be correlating to the cases of early onset neonatal sepsis, but research done specifically in preterm infants is limited.
Objective: To determine the factors associated with early onset neonatal sepsis in preterm infants.
Method: This research was done using a case-control design, where the data is taken from the medical record of preterm patients born in RSCM within January 2016-December 2017. The total sample is 186 (93 for each group). Data was then analyzed using bivariate and multivariate analysis.
Result: A significant result was found in characteristic such as gestational age, gender, and birth weight. Out of 7 factors that were analysed, the factors that were analysed using multivariate analysis were intrauterine infection, low APGAR score in the first minute, and low APGAR score in the fifth minute. From multivariate analysis, gender, gestational age, intrauterine inflammation, and low APGAR score in the first minute were stastically significant.
Conclusion: gender, gestational age, intrauterine inflammation, and low APGAR score in the first minute are independent risk factors for early onset neonatal sepsis. Further study is needed to understand the correlation between those factors and early onset neonatal sepsis in preterm infants.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angga Wiratama Lokeswara
"Latar belakang: Menurut data WHO, sebanyak 15 juta bayi di dunia dilahirkan kurang bulan setiap tahunnya, dan Indonesia menduduki peringkat ke-5 di dunia. Salah satu komplikasi pada bayi kurang bulan yang sering terjadi adalah sepsis. Sepsis Neonatorum Awitan Dini (SNAD) merupakan infeksi sistemik pada bayi pada usia kurang dari 72 jam yang seringkali disebabkan oleh transmisi patogen secara vertikal sebelum atau saat proses kelahiran. Strategi utama dalam penanggulangan kejadian SNAD bergantung pada identifikasi faktor risiko, termasuk ketuban pecah berkepanjangan. Namun, sampai saat ini masih belum ada kesepakatan terkait ambang batas waktu ketuban pecah yang meningkatkan risiko kejadian SNAD secara signifikan pada populasi bayi kurang bulan.
Tujuan: (1) Mengetahui sebaran subjek penelitian berdasarkan karakteristik jenis kelamin, usia gestasi, usia ibu, berat lahir dan metode persalinan. (2) Mengetahui sebaran subjek penelitian berdasaran gejala klinis dan hasil pemeriksaan kultur. (3) Mengetahui hubungan antara waktu ketuban pecah dengan kejadian SNAD pada ambang batas waktu 24 jam, 18 jam dan 12 jam di RSCM.
Metode penelitian: Sebuah studi kasus-kontrol dilakukan pada populasi bayi kurang bulan yang lahir di RSCM dari tahun 2016-2017. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok: (1) kelompok kasus yang mengalami SNAD; dan (2) kelompok kontrol yang tidak mengalami SNAD; dipilih secara simple random sampling. Jumlah total subjek pada penelitian ini adalah 154 bayi kurang bulan (77 kasus dan 77 kontrol). Pengambilan data dilakukan pada Januari-Agustus 2018 dengan melihat rekam medis subjek penelitian, dilanjutkan dengan analisis bivariat menggunakan uji Chi Squared dan analisis multivariat menggunakan regresi logistik.
Hasil penelitian: Semua karakteristik tidak memiliki perbedaan yang bermakna, kecuali usia gestasi (p=0,012) dan berat lahir (p=0,02). Gejala klinis yang paling sering ditemukan dan memiliki hubungan yang bermakna adalah sesak napas (63,0%; p<0,001) dan instabilitas suhu (40,9%; p<0,001).
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara waktu ketuban pecah dengan kejadian SNAD pada bayi kurang bulan di RSCM pada ambang batas waktu 12 jam, 18 jam dan 24 jam. Ketuban pecah lebih dari 12, 18 dan 24 jam meningkatkan risiko SNAD pada bayi kurang bulan 2,3 kali lipat, dan ketuban pecah lebih dari  12 jam meningkatkan risiko 2,9 kali lipat setelah adjustment.

Introduction: According to WHO, 15 million babies are born premature annually, and  Indonesia ranks 5th worldwide. One of the most frequent complications in preterm infants is sepsis. Early onset neonatal sepsis (EONS) is defined as the systemic infection in infants less than 72 hours old which is often caused by vertical transmission of pathogens before or during labour. With the current lack of consensus in the definition of neonatal sepsis, identification risk factors, including prolonged premature preterm rupture of membranes (ROM), becomes the main strategy. Unfortunately, there is also currently lack of worldwide agreement in the threshold of duration of ROM which significantly increases the risk of EONS in preterm infants.
Objectives: (1) To determine the distribution of subjects based on selected characteristics: gender, gestational age, maternal age, birth weight and mode of delivery. (2) To determine the distribution of subjects based on clinical symptoms and bacterial culture examination. (3) To determine the association between the duration of ROM and the incidence of EONS in preterm infants, at the thresholds of 24 hours, 18 hours and 12 hours, in RSCM.
Methods: A case-control study was done on preterm infants born in RSCM in 2016-2017. The subjects were divided into 2 groups: (1) the case group for preterm infants who had EONS; and (2) the control group for preterm infants who did not have EONS; each selected by simple random sampling. The total number of subjects in the study was 154 preterm infants (77 in the case group and 77 in the control group). Data collection from the medical records of the subjects was performed in January-August 2018, followed by bivariate analysis using Chi Square Test and  multivariate analysis using logistic regression.
Result: Characteristics had insignificant differences, except gestational age (p=0,012) and birth weight (p=0,02). The clinical symptoms which were most frequent and had significant associations with EONS were respiratory instability (63,0%, p<0,001) and temperature instability (40,9%, p<0,001).
Conclusion. There is a significant association between the duration of ROM at 12, 18 and 24 hours, and the incidence of EONS in preterm infants, especially at duration of more than 12 hours. Prolonged PPROM for 12, 18, and 24 hours increases the risk of EONS in preterm infants 2.3 times (unadjusted) and PPROM for 12 hours increases the risk of EONS in preterm infants 2.9 times after adjustment for other factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library