Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nieken Kartika Yurida
"Artikel ini membahas mengenai simulasi dan hiperrealitas dalam fenomena manusia Barbie. Kesempurnaan boneka Barbie menimbulkan keinginan dari mereka yang menyukainya untuk mengubah dirinya menjadi seperti boneka. Metode penelitian yang digunakan dalam metode kualitatif dengan konsep simulasi dan hiperrealitas Jean Baudrillard sebagai alat pembacaan kritisnya. Kasus yang akan dibahas adalah kasus manusia Barbie Sarah Burge yang merombak tubuhnya melalui serangkaian operasi plastik sehingga ia membentuk dirinya menyerupai boneka Barbie. Hasil analisis memperlihatkan bahwa perkenalan dini atas prosedur operasi plastik menjadikan Sarah Burge percaya bahwa realitas penampilan fisik tubuh dan wajahnya dapat dibentuk sesuai dengan realitas lain yang dibayangkan. Boneka Barbie yang awalnya dibentuk dengan manusia sebagai referensinya, justru sekarang menjadi rujukan realitas kesempurnaan yang ingin dia bentuk dalam penampilan fisiknya. Operasi plastik yang telah semakin berkembang menjadi sarana simulasi yang memfasilitasi keinginan manusia untuk mengonstruksi realitas baru dalam penampilan fisiknya.

This article discusses simulation and hyperreality in the human phenomenon Barbie. The perfection of the Barbie doll raises the desire of those who love it to transform themselves into a doll. The research method used is a qualitative method with the concept of simulation and hyperreality by Jean Baudrillard as a means of critical reading. The case that will be discussed is the case of human Barbie Sarah Burge, who remodeled her body through a series of plastic surgeries so that she shaped herself like a Barbie doll. The results of the analysis show that the early introduction of plastic surgery procedures made Sarah Burge believe that the reality of the physical appearance of her body and face could be shaped in accordance with other imagined realities. Barbie doll, which was originally formed with a human as a reference, is now a reference to the reality of perfection that she wants to shape in her physical appearance. Plastic surgery has increasingly developed into a means of simulation that facilitates the human desire to construct a new reality in its physical appearance."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Alyssa Melita Rahmat
"Boneka Barbie selalu dikaitkan dengan hal-hal yang negatif dikarenakan standar kecantikan dan penampilannya yang tidak realistis. Oleh karena itu, Mattel membentuk sebuah kampanye baru, “You Can Be Anything”, dengan tujuan memotivasi para perempuan untuk bermimpi besar dan menjadi apapun yang mereka impikan. Salah satu cara untuk menyebarluaskan kampanye ini adalah dengan mengunggah beberapa video ke dalam channel YouTube Barbie. Artikel ini mendiskusikan bagaimana warna merah muda tidak hanya digunakan sebagai penanda feminitas tetapi juga sebagai pesan pemberdayaan. Akan tetapi, pesan ini justru menjadi ambigu terhadap tujuan dari kampanye ini. Maka, dengan menggabungkan analisis bagaimana pemberdayaan tersalur melalui program pembinaan perempuan dan konsep konotasi dan denotasi oleh Roland Barthes, artikel ini menunjukan bahwa kampanye YCBA menggambarkan keambiguitasan pada pemberdayaan perempuan, yang merupakan target utama pemasaran Barbie, dan kampanye ini juga menekankan bahwa perempuan masih membutuhkan kesetaraan di tempat kerja mereka maupun karir lainnya. Selain itu, artikel ini juga menemukan beberapa hal dalam kampanye Barbie yang menunjukan bahwa terkadang para perempuan tetap dipandang rendah dan masih didominasi oleh nilai-nilai patriakal.

The famous Barbie doll stereotypically being seen with negativity due to its unrealistic beauty standard and appearance. Therefore, Mattel created a new campaign, “You Can Be Anything”, to encourage young girls to have big dream and be whatever they want to be. One of the ways in which this campaign is being disseminated is by uploading the videos on the company’s YouTube channel. This article explores how the color pink is not only utilized as a signifier of femininity but also carries a message of empowerment. This eventually leads to an ambiguous interpretation of the campaign’s mission. Combining an analysis on how female empowerment works in this campaign through the depiction of female mentorship program and the concept offered by Roland Barthes on the level of connotation and denotation, the findings show that this YCBA campaign ambiguously portrays empowerment for young girls, which are the target markets of Barbie, and emphasizes on how girls are still in need of equality in the work place or any careers in general. However, there are still moments of disempowerment in which the campaign affirms to the dominant patriarchal values."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Juwita Anindya
"Hampir semua orang tahu Barbie, sebuah boneka yang menunjukkan nilai-nilai budaya dan konsep kecantikan wanita. Bagaimanapun, Barbie hanya merepresetasikan satu budaya yang spesifik, yakni budaya kebaratan. Berbeda dengan budaya kebaratan, budaya ketimuran juga membutuhkan sebuah boneka yang dapat merepresentasikan budayanya. Kemudian muncullah Fulla sebagai representasi kecantikan budaya ketimuran. Fulla menunjukkan nilai-nilai budaya ketimuran serta konsep kecantikan baru yang berbeda dengan Barbie. Kemunculan Fulla memang dapat mempertegas perbedaan yang ada antara budaya kebaratan dan ketimuran, namun ia dapat memberi pilihan lain untuk membentuk pola pikir masyarakat mengenai adanya kecantikan budaya ketimuran. Dengan menggunakan teori Orientalisme Said penulis berharap dapat terbantu untuk mendukung argumen-argumen mengenai budaya ketimuran yang dapat menjadi kompetitor yang sama kuat dengan budaya kebaratan di masa sekarang ini.

Most people know Barbie, a doll that conveys some values about culture and about the concept of women?s beauty. However, Barbie only represents one specific culture, which is Western culture. Different with Western culture, Eastern culture needs a doll who can represent their values. Then, Fulla appears as the representative of Eastern beauty. Fulla conveys some values about Eastern culture and about the new concept of women?s beauty which are different from Barbie. Fulla?s appearance here is thought can emphasize the cultural differences among the society, but it can give another choice to shape people?s new thought about the beauty of Eastern culture. Using Said?s orientalism will help the writer to support the arguments about Eastern culture that can be an equal competitor to Western culture nowadays.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Kerenhapukh Gavrila Ninda Wijaya
"Di beberapa tahun terakhir, penggunaan strategi retro marketing telah menjadi lazim digunakan oleh para merek karena dinilai dapat membentuk perilaku konsumen. Nostalgia yang menjadi kunci penting dalam retro marketing dengan efektif menawarkan pengalaman afektif dan emosional konsumen. Salah satu merek yang menggunakan strategi retro marketing adalah merek Barbie untuk mempromosikan filmnya dengan judul ‘Barbie’ (2023). Dengan mengangkat kasus kampanye pemasaran film Barbie (2023), penelitian ini bertujuan untuk meneliti penggunaan retro marketing dalam membentuk perilaku konsumen. Penelitian ini menggunakan konsep retro marketing, nostalgia, dan perilaku konsumen untuk membahas strategi pemasaran film Barbie (2023). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi literatur dengan mencari sumber-sumber ilmiah yang sudah ada terkait dengan retro marketing, nostalgia dan perilaku konsumen. Secara keseluruhan, hasil dari strategi pemasaran yang ditelaah melalui empat elemen retro marketing dapat dikategorikan berhasil membentuk perilaku konsumen yang positif. Kesuksesan ini dilihat dari jumlah pendapatan film di Box Office, serta interaksi yang dihasilkan bersama para penggemar.

In recent years, the use of retro marketing strategies has become commonly used by brands because it is considered to be able to shape consumer behavior. Nostalgia is an important key in retro marketing by effectively offering consumers an affective and emotional experience. One brand that has used retro marketing strategy exceptionally well is the Barbie brand to promote its film entitled 'Barbie' (2023). By taking the case of the marketing campaign for the Barbie movie (2023), this research aims to examine the use of retro marketing in shaping consumer behavior. This research uses the concepts of retro marketing, nostalgia, and consumer behavior to discuss the marketing strategy for the film Barbie (2023). This research uses a qualitative approach with a literature study method by looking for existing scientific sources related to retro marketing, nostalgia and consumer behavior. Overall, the results of the marketing strategy examined through the four elements of retro marketing can be categorized as successful in forming positive consumer behavior. This success can be seen from the number of film revenue at the Box Office, as well as the interaction generated with fans.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Fayza Julia Pramesti Hapsari Prayoga
"Posisi Barbie sebagai “simbol feminisme” telah dipertanyakan karena representasinya atas pemberdayaan perempuan yang mengaitkan kesuksesan dengan pencapaian individu dan penampilan serta gaya hidup tertentu. Terlepas dari pesan feminis mengenai pilihan dan pemberdayaan, film Barbie (2023) yang disutradarai Greta Gerwig meneruskan narasi posfeminisme Barbie dengan mengangkat pendekatan individualistik terhadap pemberdayaan perempuan. Karya tulis ini menganalisis bagaimana posfeminisme dan, selanjutnya, feminisme neoliberal hadir di sepanjang film Barbie dan membahas ambivalensi gerakan feminisme dalam film tersebut. Dengan menganalisis adegan dan dialog dalam film Barbie dan menerapkan posfeminisme serta feminisme neoliberal sebagai kerangka konseptual, Karya tulis ini menemukan bahwa struktur masyarakat Barbie Land melekat dengan karakteristik posfeminisme. Selain itu, struktur kekuasaan di Barbie Land meniru struktur kekuasaan patriarki di Real World (Dunia Nyata) yang berusaha ditantang oleh narasi film Barbie. Solusi untuk patriarki yang ditawarkan berfokus kepada mengambil Kembali kekuasaan mutlak daripada mengatasi permasalahan yang ada di dalam struktur kekuasaan Barbie Land. Hasil studi ini mendorong kajian kritis terhadap budaya media posfeminis yang dapat berkontribusi terhadap tekanan individu yang dialami oleh perempuan dengan kedok “pemberdayaan.”

Barbie’s position as a “feminist icon” has been questioned due to her representation of women’s empowerment, which associates success with individual achievements and a particular look and lifestyle. Despite the feminist message of choice and empowerment, the live-action adaptation Barbie (2023), directed by Greta Gerwig, sustains the postfeminist narrative of Barbie as it promotes an individualistic approach to women’s empowerment. This paper analyses how postfeminism and, by extension, neoliberal feminism is present throughout Barbie and addresses the ambivalence of the feminist movement in the movie. By analysing scenes and dialogues in the film and applying postfeminism and neoliberal feminism as conceptual frameworks, the paper finds that the societal structure of Barbie Land adheres to the characteristics of postfeminism. Furthermore, the power structure in Barbie Land mimics the power structure of the Real World’s patriarchy that it supposedly challenges. The solutions to patriarchy that the movie offers focus more on regaining absolute power rather than addressing the issues within the power structure of Barbie Land. The findings call for a critical examination of postfeminist media culture, which may contribute to the individual pressures that women are experiencing under the guise of women’s empowerment."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa
"

Fenomena 'Barbenheimer' yang muncul di X pada tahun 2023 merupakan tren meme yang memengaruhi persepsi dan minat pengguna terhadap film Barbie dan Oppenheimer. Meme ini menciptakan gelombang viral dengan mengeksploitasi kontras antara kedua film tersebut. Melalui analisis kualitatif terhadap tweet, penelitian ini mengungkap peran meme dalam memicu respons komedi, mempromosikan kedua film, dan menciptakan pemasaran viral. Tren 'Barbenheimer' memberikan dampak positif bagi industri bioskop dengan meningkatkan kunjungan dan memperkenalkan konsep double feature. Namun, fenomena ini juga menimbulkan kontroversi, terutama di Jepang, yang menyoroti potensi konsekuensi negatif ketika humor membahas topik-topik yang sensitif. Penelitian ini bertujuan untuk memahami secara mendalam tren 'Barbenheimer', dengan fokus pada persepsi dan reaksi publik, keterlibatan dengan film Barbie dan Oppenheimer, serta peran meme dalam pemasaran. Penelitian ini menyoroti kekuatan pemasaran digital melalui media sosial sambil mengenali tantangan dalam konteks global yang beragam.


The ‘Barbenheimer’ phenomenon that appeared on X in 2023 is a meme trend influencing users' perception and interest in Barbie and Oppenheimer movies. This meme created viral waves by exploiting the contrast between the two movies. Through qualitative analysis of tweets, this research reveals the role of memes in triggering comedic responses, promoting both movies, and creating viral marketing. The ‘Barbenheimer’ trend positively impacted the cinema industry by increasing visits and introducing the double feature concept. However, this phenomenon has also caused controversy, especially in Japan, highlighting the potential for negative consequences when humor addresses sensitive topics. This study aims to deeply understand the 'Barbenheimer' trend, focusing on public perception and reaction, engagement with the Barbie and Oppenheimer movies, the role of memes in marketing. This research highlights the power of digital marketing through social media while recognizing the challenges in diverse global contexts.

 

"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deiva Delisha
"Dream Gap Project merupakan inisiatif yang dilakukan secara global oleh salah satu brand perusahaan Mattel, yaitu Barbie. Program yang telah membantu banyak anak perempuan untuk mencapai potensi terbaiknya melalui pemberian sumber daya, inspirasi, serta bentuk dukungan lainnya dikomunikasikan melalui berbagai medium komunikasi, baik yang dimiliki Mattel (Owned Media) maupun yang diperolehnya (Earned Media). Sebagai upaya manajemen reputasi yang dilakukan, program komunikasi kampanye Dream Gap Project yang dilakukan Mattel dianalisis menggunakan konsep manajemen reputasi untuk melihat performa keuangan, penambahan nilai produk bagi konsumen, dan tingkatan kepedulian sosial. Berdasarkan analisis, manajemen reputasi yang dilakukan perusahaan telah berkontribusi positif kepada peningkatan penjualan. Dream Gap Project yang turut memberikan donasi dan kerja sama dengan sejumlah mitra sesuai dengan dasar manajemen reputasi, yaitu tingkat kepedulian sosial. Melalui diversifikasi produk, Mattel telah menambahkan nilai terhadap produk yang dibeli konsumen. Tingkatan elaborasi rendah pada konteks manajemen reputasi diimplementasikan Mattel melalui peningkatan awareness kampanye, tingkatan elaborasi sedang dilakukan melalui narasi kampanye, dan tingkatan tinggi dilakukan melalui kolaborasi dengan mitra.

Dream Gap Project is an initiative carried out globally by one of Mattel's corporate brands, namely Barbie. This program which have helped girls reach their full potential through resources, inspiration, and other forms of support are communicated through a variety of communication mediums, both owned by Mattel (Owned Media) and earned (Earned Media). As a reputation management effort, Mattel's Dream Gap Project campaign communication program was analyzed using reputation management concepts to look at the company's financial performance, product value addition for consumers, and social responsiveness. Based on the analysis, the company's reputation management has contributed positively to the increase in sales. Dream Gap Project which also provided donations and collaboration with a number of partners in accordance with the basis of reputation management, namely the level of social responsiveness. Through product diversification, Mattel has added value to the products consumers buy. The low level of elaboration in the context of reputation management is implemented by Mattel through increasing campaign awareness, the level of elaboration is being done through campaign narrative, and the high level is done through collaboration with partners.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Chika Widyaputri Mulyono
"Riset ini bertujuan untuk melihat representasi diversitas pada mainan anak sebagai bagian dari budaya populer yaitu boneka Barbie People of Color Inspiring Women Series dalam membentuk citra keberagaman akan budaya, etnis, dan rasial, serta pekerjaan seorang perempuan. Barbie hingga kini masih menjadi ikon pop culture Amerika yang dijuluki perempuan berambut pirang bermata biru. Dalam melihat fokus tersebut, analisis ini akan menggunakan konsep representasi media, diversitas, dan mainan sebagai bagian dari budaya populer. Metode penelitian yang digunakan dalam riset ini yaitu studi literatur dan analisis semiotika Roland Barthes kepada tiga boneka Barbie yang diproduksi mengikuti tokoh perempuan berkulit berwarna (People of Color), yaitu Ibtihaj Muhammad, Frida Kahlo, dan Maya Angelou. Semiotika Roland Barthes akan membahas seputar signified (petanda) dan signifier (penanda) yang dikembangkan menjadi makna konotasi dan denotasi (Fiske, 2012). Berdasarkan temuan dari hasil riset ini, dapat disimpulkan bahwa Mattel sebagai produsen perusahaan mainan Barbie telah mengupayakan fokus mereka kepada seri Barbie Inspiring Women Series terutama pada tokoh People of Color yang mengandung pesan untuk mematahkan stereotip standar kecantikan Barbie menjadi lebih inklusif akan keragaman budaya dan lebih representatif untuk anak – anak di seluruh dunia.

This research aims to look at the representation of diversity in children's toys as part of popular culture, namely the Barbie People of Color Inspiring Women Series, which shaping the image of diversity in culture, ethnicity, and race, as well as woman’s occupation. Barbie is still an icon of American pop culture, represented as a blondehaired, blue-eyed woman. By looking through this focus, this analysis will use the concepts of media representation, diversity, and toys as part of popular culture. The research method used in this research is a literature study and semiotic analysis of Roland Barthes on three Barbie dolls produced following the People of Color female characters, namely Ibtihaj Muhammad, Frida Kahlo, and Maya Angelou. Roland Barthes' semiotics will discuss about signified and signifier which are developed into connotative and denotative meanings (Fiske, 2012). Based on the findings of this research, it can be concluded that Mattel as a producer of Barbie toy company has made efforts to focus their objectives on the Barbie Inspiring Women Series, especially on the People of Color character that contains a message to break the stereotype of Barbie's beauty standards to be more inclusive of cultural diversity and be more representative for children around the world."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Adityas Marini
"Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan untuk meneliti Barbie sebagai ikon budaya (kecantikan dan budaya konsumerisme) dilihat pada konteks Indonesia. Untuk melihat ini digunakan iklan perawatan (pembentukan) tubuh yaitu iklan impressions yang selalu muncul dalam Majalah Kartini.
Kerangka pemikiran yang digunakan untuk melihat hal ini adalah Barbie Culture milik Mary F. Rogers, yang melakukan penelitian mengenai Barbie sebagai ikon budaya (kecantikan dan budaya konsumerisme). Shoemaker dan Reese untuk faktor-faktor yang mempengaruhi isi media, ideologi Althusser, pembacaan text Stuart Hall, dan feminis sosialis sebagai pisau analisanya. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, kepada pihak terkait dan studi literatur. Metode analisa datanya digunakan Critical Discourse Analysis Norman Fairdough untuk melihat produksi dan konsumsi teks.
Hasil yang didapat dari analisa dan diskusi yang dilakukan adalah dengan karakteristik tubuh plastiknya, Barbie bukan hanya merupakan ikon kecantikan dan ikon budaya konsumerisme (seperti yang dikatakan Rogers) tetapi Barbie juga bisa menjadi ikon visual kekerasan fisik bagi kecantikan ragawi perempuan."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T22609
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library