Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adennisa Cahya Pramesti
"Pasal 37 UU Perkawinan telah menentukan bahwa apabila perkawinan bubar karena perceraian, maka harta bersama dibagi menurut hukumnya masing-masing. Pasal tersebut memberikan pengertian terhadap apa yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing, yakni adalah hukum adat, hukum agama, dan hukum-hukum lainnya. Namun permasalahannya adalah hingga saat ini tidak ada ketentuan mengenai bagaimana bentuk pembagian harta bersama tersebut. Tidak jarang masyarakat kemudian memilih untuk membuat suatu kesepakatan mengenai pembagian harta bersama dalam bentuk akta Notaris agar kemudian akta tersebut memiliki nilai autentisitas. Suatu akta Notaris sendiri merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak dan karenanya suatu akta Notaris berkedudukan sebagai perjanjian yang mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Penelitian ini menganalisis tentang bagaimana kedudukan dan dasar hukum akta pembagian harta bersama menurut UU Perkawinan dan KUHPerdata dan bagaimana keabsahan suatu akta pembagian harta sebagai suatu perjanjian berdasarkan studi kasus. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan meneliti bahan kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih terdapat kekosongan hukum mengenai kedudukan akta pembagian harta bersama sebagai suatu perjanjian dalam bidang hukum keluarga sehingga dasar hukum yang dipakai hanya sebatas Pasal 37 UU Perkawinan dan ketentuan hukum perjanjian dalam Buku III KUHPerdata. Kedudukan akta pembagian harta bersama yang disamakan dengan perjanjian, maka Majelis Hakim sudah seharusnya dapat memberikan pertimbangan hukum dalam suatu perkara yang tidak hanya berangkat dari bunyi kesepakatan, melainkan juga harus menimbang bagaimana keabsahan dari kesepakatan itu sendiri. Majelis Hakim memiliki wewenang untuk membatasi asas kebebasan berkontrak dengan berangkat dari nilai-nilai kepatutan, keadilan, dan perikemanusiaan. Dengan demikian, dibutuhkan suatu pembaharuan undang-undang dalam bidang hukum perkawinan agar sekiranya dapat mengisi kekosongan hukum di masyarakat yang sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang kian kompleks. Wewenang menemukan hukum oleh Hakim sudah seharusnya diterapkan bilamana ada kekosongan hukum. Sekiranya Hakim juga dapat bersikap lebih bijaksana dalam memutus perkara dengan memandang semua aspek agar menghasilkan putusan yang memenuhi rasa keadilan.

Article 37 of the Marriage Law stipulates that if a marriage is dissolved by divorce, the marital property shall be divided according to their respective laws. The article provides an understanding of what is meant by their respective laws, namely customary law, religious law, and other laws. However, the problem is that until now there are no provisions regarding how the form of division of marital property. It is not uncommon for the community to then choose to make an agreement regarding the division of marital property in the form of a Notarial deed so that the deed has authenticity. A Notarial deed itself is a manifestation of the principle of freedom of contract and therefore a Notarial deed acts as a binding agreement for the parties who make it. This research analyzes how the position and legal basis of the deed of division of marital property according to the Marriage Law and Civil Code and how the validity of a deed of division of property as an agreement based on a case study. The research method used is normative juridical by examining literature materials. The results of this study indicate that there is still a legal vacuum regarding the position of the deed of division of marital property as an agreement in the field of family law so that the legal basis used is limited to Article 37 of the Marriage Law and the provisions of agreement law in Book III of the Civil Code. The position of the deed of division of marital property is equated with an agreement, so the Panel of Judges should be able to provide legal considerations in a case that does not only depart from the sound of the agreement, but must also consider how the validity of the agreement itself. Judges have the authority to limit the principle of freedom of contract by departing from the values of decency, justice, and humanity. Thus, it is necessary to reform the law in the field of marriage law so that it can fill the legal vacuum in society in line with the increasingly complex needs of society. The authority to made law by judges should be applied when there is a legal vacuum. If the Judge can also be wiser in deciding cases by looking at all aspects in order to produce a decision that fulfills a sense of justice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hesti Kurnia Dewi
"Pasal 35 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan harta bawaan dari masing-masing suami yang diperoleh karena hadiah atau warisan menjadi penguasaan masing-masing. Berakhirnya harta bersama hanya karena putusnya perkawinan. Obyek jual beli tanah saat suami istri dalam proses gugatan cerai di pengadilan agama yang dijual dengan dasar Akta Pembagian Harta Bersama tetap membutuhkan persetujuan pasangan. Tujuan penelitian ini untuk mengembangkan pengetahuan dibidang hukum. Sehingga penulis ingin mengetahui mendalam bagaimana kedudukan Akta jual beli atas harta bersama yang masih dalam proses peradilan dan bagaimana keabsahan Akta jual beli Nomor 487/20/Skr/2003 dikaitkan putusan Pengadilan Tinggi Palembang Nomor 111/PDT/2017/PT.PLG. Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif dengan data utama yang digunakan yaitu data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Disimpulkan bahwa kedudukan Akta jual beli atas harta bersama yang masih dalam proses peradilan adalah sah ketika ditandatangani suami dan istri/tetap memerlukan persetujuan pasangan, terkait pembuatan Akta Pembagian Harta Bersama ketika perkawinan belum berakhir merupakan perbuatan menyalahi hukum. Akta jual beli Nomor 487/20/SKR/2003 masih diakui keabsahannya untuk dipakai dalam perbuatan hukum oleh pihak yang mendapat hak atasnya.

Article 35 of the Marriage Law No. 1 of 1974 states that the property acquired during marriage becomes a joint asset and the inheritance of each husband is obtained because the gift or inheritance is the control of each. The end of joint property is only due to the breakup of marriage. The object of buying and selling land when a husband and wife are in divorce proceedings in a religious court that is sold on the basis of the Joint Asset Sharing Act still requires the approval of the couple. The purpose of this study is to develop knowledge in the field of law. So the author wants to know in depth how the Deed of sale and purchase of shared assets is still in the judicial process and how the validity of the sale and purchase Deed Number 487/20 / Skr / 2003 is attributed to the decision of the Palembang High Court Number 111 / PDT / 2017 / PT. PLG. In conducting research, the author uses a juridical-normative library research method with the main data used, namely secondary data obtained from library materials in the form of primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. It was concluded that the position of the Deed of sale and purchase of shared assets that are still in the judicial process is valid when signed by the husband and wife / still requires the approval of the spouse, related to the making of the Shared Assets Deed when the marriage is not over. The sale and purchase deed Number 487/20 / SKR / 2003 is still recognized as valid for use in legal actions by the party who has the right to it."
Depok: Universitas Indonesia, 2019
T54288
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library