Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pardede, Dimas Kusnugroho Bonardo
"Latar belakang. Emergence agitation (EA) merupakan gangguan perilaku sementara yang sering terjadi pascaanestesia inhalasi dan berpotensi membahayakan pasien. Pemberian propofol 1-3 mg/kg di akhir anestesia inhalasi mencegah EA tetapi memperpanjang waktu pindah ke ruang pulih. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas propofol dosis 0,5 mg/kg di akhir anestesia untuk menurunkan kejadian EA pasien anak yang menjalani anestesia umum inhalasi. Propofol dinilai efektif jika dapat menurunkan kejadian EA tanpa memperpanjang waktu pindah.
Metode. Penelitian uji klinik acak tersamar ganda terhadap anak usia 1-5 tahun yang menjalani anestesia umum inhalasi di RSCM pada bulan Mei – Agustus 2018. Sebanyak 108 subjek didapatkan dengan metode konsekutif yang dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok propofol (n=54) mendapat propofol 0,5 mg/kg di akhir anestesia, sedangkan kontrol (n=54) tidak mendapat propofol. Kejadian EA, waktu pindah, hipotensi, desaturasi dan mual-muntah pascaoperasi dicatat. EA dinilai dengan skala Aono dan Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED). Analisis data menggunakan uji chi-square dan t tidak berpasangan.
Hasil. Kejadian EA pada kelompok propofol sebesar 25,9% sedangkan kontrol 51,9% (RR = 0,500; IK 95% 0,298-0,840; p=0,006). Rerata waktu pindah kelompok propofol lebih lama (9,51 ± 3,93 menit) dibandingkan kontrol (7,80 ± 3,57 menit) (selisih rerata 1,71 menit; IK 95% 0,28-3,14; p=0,020). Hipotensi didapatkan pada satu pasien (1,9%) pada kelompok propofol sedangkan pada kontrol tidak ada. Mual-muntah terjadi pada lima pasien (9,3%) pada kelompok propofol dan delapan pasien (14,8%) pada kontrol. Tidak ada desaturasi pada kedua kelompok.
Simpulan. Pemberian propofol dosis 0,5 mg/kg di akhir anestesia secara statistik tidak efektif namun secara klinis efektif menurunkan kejadian EA pasien anak yang menjalani anestesia umum inhalasi.

Background. Emergence agitation (EA) is a common transient behavioral disturbance after inhalational anesthesia and may cause harm. Propofol 1-3 mg/kg administration at the end of inhalational anesthesia prevents EA but prolongs transfer time to recovery room. This study evaluated the effectivity of propofol 0,5 mg/kg at the end of anesthesia to reduce the incidence of EA in children undergoing general inhalational anesthesia. Propofol was considered effective if could reduce the incidence of EA without prolonging transfer time.
Method. This was a double-blind randomized clinical trial on children aged 1-5 years old underwent general inhalational anesthesia in Cipto Mangunkusumo Hospital. One hundred eight subjects were included using consecutive sampling method and randomized into two groups. Propofol group (n=54) was given propofol 0,5 mg/kg at the end of anesthesia while control group (n=54) was not. Incidence of EA, transfer time, postoperative hypotension, desaturation and nausea-vomiting were observed. Aono and Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED) scale were used to assess EA. Statistical tests used were chi square and unpaired t test.
Result. Incidence of EA in propofol group was 25,9% while in control group was 51,9% (RR = 0,500; 95% CI 0,298-0,840; p=0,006). Mean transfer time in propofol group was longer (9,51 ± 3,93 minute) than control group (7,80 ± 3,57 minute) (mean difference 1,71 minute; 95% CI 0,28-3,14; p=0,020). Hypotension was found in one patient (1,9%) in propofol group while in control group there was none. Nausea-vomiting was found in five patients (9,3%) in propofol group and eight patients (14,8%) in control. There was no desaturation in both groups.
Conclusion. Administration of propofol 0,5 mg/kg at the end of anesthesia statistically ineffective but clinically effective in reducing the incidence of EA in children undergoing general inhalational anesthesia."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2018
T58605
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Sekarastri
"Agitasi merupakan salah satu gejala yang paling sering dialami lansia dengan neuropsikiatri demensia. Perilaku yang dapat diamati dari gejala agitasi adalah vokalisasi menyimpang, agitasi motorik, agresivitas dan perilaku menolak perawatan. Faktor yang umum menjadi penyebab penurunan fungsi kognitif pada lansia proses menua, pengaruh internal seperti pendidikan, kehidupan sosial, dan sikap; kesehatan fisik dan mental; efek medikasi; serta faktor lingkungan dan merokok. Penanganan agitasi selama ini mengutamakan pemberian agen antipsikotik yang banyak memberikan efek samping bagi lansia. Karya ilmiah ini menjelaskan asuhan keperawatan untuk penanganan agitasi nonfarmakoterapi dengan terapi multisensori Snoezelen. Asuhan keperawatan diberikan selama 5 minggu dengan 14 kali sesi terapi. Hasilnya terdapat efek yang signifikan terhadap penurunan gejala agitasi. Efek jangka panjang kurang signifikan pada klien dengan kerusakan kognitif dan mental berat.

Agitation is one of the most frequently experienced by elderly with neuropsychiatric dementia. Avoidable behaviors from symptoms of agitation are aberrant vocalization, motor agitation, aggressiveness and behavior to refuse treatment. Common factors cause a decrease in cognitive function in aging processes, internal influences such as education, social life, and attitudes, physical and mental health, medicinal effect, and Environmental factors and smoking. Agitation management has prioritized giving antipsychotic agents that provide side effects for the elderly. This scientific work explains nursing care for the handling of nonfarmacotherapy agitation with Snoezelen multisensory therapy. Nursing care is given for 5 weeks with 14 therapy sessions. A significant effect on decreasing the effect of agitation. Long-term effects are less significant for clients with severe cognitive and mental damage."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sinambela, A.N. Dahlia
"Pendahuluan: Agitasi merupakan kejadian umum yang dialami pasien di ruang intensif, bersifat fluktuatif, terjadi kapan saja baik siang maupun malam hari sejak hari pertama menjalani perawatan di ruang intensif serta bisa berlanjut pada hari-hari berikutnya. Salah satu intervensi yang dapat digunakan untuk menurunkan agitasi adalah pemberian terapi komplementer berupa terapi musik relaksasi dan aromaterapi citrus bergamot. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh terapi musik relaksasi dan aromaterapi citrus bergamot terhadap penurunan agitasi pasien di ruang perawatan intensif. Metode: Desain penelitian quasy eksperiment pre post test design with control group. Metode pemilihan sampel yakni consequtive sampling dengan jumlah sebanyak 50 responden, dibagi menjadi kelompok kontrol dan kelompok intervensi yang memenuhi kriteria inklusi berupa pasien berusia di atas 18 tahun, pasien dengan skala agitasi RASS ≥ 2, memiliki kemampuan mendengar yang baik dan berkomunikasi secara nonverbal (pada pasien terintubasi dapat dengan mengangkat jari, mengedipkan mata, atau menganggukkan kepala) jika ada pertanyaan peneliti pada saat pengumpulan data; GCS ≥ 9; tidak menggunakan sedasi minimal 3 jam sebelum perlakuan dan tidak menggunakan agen penghambat neuromuskuler. Instrumen penelitian dengan menggunakan Richmond Agitation Sedation Scale dalam mengumpulkan data agitasi sebelum dan setelah perlakuan. Hasil: Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan uji Wilcoxon terdapat perbedaan rerata yang bermakna pada skor agitasi sesaat setelah (p<0,001: α:0,05) dan 3 jam setelah perlakuan (p=0,007: α:0,05). Hasil uji Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna tingkat agitasi antara kelompok kontrol dan intervensi sesaat setelah dan 3 jam setelah perlakuan (p<0.001; α:0.05). Kesimpulan: Intervensi kombinasi terapi musik relaksasi dan aromaterapi citrus bergamot sebagai bagian dari terapi komplementer dapat digunakan untuk menurunkan agitasi pada pasien di ruang intensif.

Agitation is a common occurrence experienced by patients in intensive care, is fluctuating, occurs at any time of the day or night since the first day of treatment in the intensive care unit and can continue in the following days. One intervention that can be used to reduce agitation is the provision of complementary therapy in the form of relaxation music therapy and citrus bergamot aromatherapy. Objective: This study aims to identify the effect of relaxation music therapy and bergamot citrus aromatherapy on reducing patient agitation in the intensive care unit. Methods: Quasy experimental research design pre post test design with control group. The sample selection method is consequtive sampling with a total of 50 respondents, divided into control groups and intervention groups who meet the inclusion criteria such as patients over 18 years of age, patients with RASS agitation scale ≥ 2, have good hearing ability and communicate nonverbally (in intubated patients can be by raising a finger, winking, or nodding the head) if there are researcher questions at the time of data collection; GCS ≥ 9; not using sedation at least 3 hours before treatment and not using neuromuscular blocking agents. The research instrument used the Richmond Agitation Sedation Scale in collecting agitation data before and after treatment. Results: Based on the results of bivariate analysis with Wilcoxon test, there is a significant mean difference in agitation score immediately after (p<0.001: α: 0.05) and 3 hours after treatment (p=0.007: α: 0.05). The Mann Whitney test results showed that there was a significant difference in the level of agitation between the control and intervention groups shortly after and 3 hours after treatment (p<0.001; α: 0.05). Conclusion: The combined intervention of relaxation music therapy and citrus bergamot aromatherapy as part of complementary therapy can be used to reduce agitation in patients in the intensive care unit."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zaki Farhan
"Pendahuluan : Sevofluran memiliki waktu pulih sekitar 3 sampai 4 menit lebih cepat dibandingkan dengan isofluran dan 3 menit lebih lama dibandingkan desfluran. Sevofluran berkontribusi menyebabkan emergence agitation. Pemberian propofol 0,5 mg/kg setelah pengakhiran sevofluran diharapkan tidak lebih buruk dibandingkan kelompok kontrol dan dapat menurunkan kejadian emergence agitation pada pasien pediatrik bedah oftalmologi. Metode : Penelitian ini adalah uji acak tersamar ganda yang melibatkan 74 pasien anak usia 2-6 tahun yang menjalani operasi oftalmologi di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien akan dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang diberikan propofol 0.5 mg/kg dan kelompok kontrol yang diberikan NaCl 0,9% setelah pengakhiran sevofluran. Setelah tindakan selesai akan dicatat waktu pulih dan dilakukan observasi kejadian emergence agitation dengan menggunakan skala PAED. Hasil : Median waktu pulih pasien yang diberikan propofol 19 (10-29) menit dibandingkan kelompok kontrol 15 (9-20) menit dengan P <0,05. Kejadian emergence agitation pada kelompok propofol 10,8% dibanding kelompok kontrol 51,4% dengan P< 0,001. Kejadian efek samping hipotensi dan desaturasi 0%. Simpulan : Pemberian propofol 0,5 mg/kg setelah pengakhiran sevofluran memiliki waktu pulih yang lebih buruk dibandingkan kelompok kontrol, namun secara klinis tidak berdampak signifikan dan dapat menurunkan insiden emergence agitation.

Background: Sevoflurane has a recovery time that is approximately 3 to 4 minutes faster than isoflurane and 3 minutes longer than desflurane. Sevoflurane contributes to emergence agitation. Administration of propofol 0.5 mg/kg after discontinuation of sevoflurane is expected to be no worse than the control group and can reduce the incidence of emergence agitation in pediatric ophthalmology surgical patients. Methods: This study is a double-blind randomized trial involving 74 pediatric patients aged 2-6 years undergoing ophthalmic surgery at dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital. Patients were divided into two groups: one group received 0.5 mg/kg propofol and the control group received 0.9% NaCl after the termination of sevoflurane. After the procedure, recovery time was recorded and the incidence of emergence agitation was observed using the PAED scale. Results: The median recovery time for patients who received propofol was 19 (10- 29) minutes compared to the control group at 15 (9-20) minutes with P < 0.05. The incidence of emergence agitation in the propofol group was 10.8% compared to 51.4% in the control group with P < 0.001. The incidence of side effects such as hypotension and desaturation was 0%. Conclusion: Administration of 0.5 mg/kg propofol after the termination of sevoflurane results in a longer recovery time compared to the control group, but this is not clinically significant and can reduce the incidence of emergence agitation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yanuar Mohamad Marda
"Kebutuhan manusia akan energi membawa pengaruh yaitu perubahan iklim terutama dikarenakan dikarenakan oleh pemakaian sumber energi yang menghasilkan limbah gas rumah kaca. Energi elektrokimia berpeluang menjadi sumber energi alternatif yang lebih ramah lingkungan. Aluminum Al 2024 memiliki potensi untuk menghasilkan energi melalui proses elektrokimia. Tesis ini bertujuan untuk mempelajari, mengamati dan memahami pengaruh pasangan galvanik, elektrolit dan adanya transpor massa terhadap timbulnya beda potensial dan arus listrik pada proses elektrokimia dengan menggunakan logam aluminum Al 2024 sebagai anoda. Aluminum Al 2024 dihubungkan secara galvanik dengan elektroda Cu dan graphite yang lebih elektropositif. Pasangan galvanik tersebut diuji dengan menggunakan elektrolit HCl dan NaCl pada beberapa konsentrasi dengan perlakuan agitasi terhadap elektrolit yang berbeda. Pengukuran keluaran berupa rapat arus listrik dan beda potensial dilakukan untuk mengamati daya listrik yang dihasilkan. Data yang dihasilkan dipelajari secara kualitatif dan kuantitatif. Penggunaan elektrolit HCl menghasilkan arus yang lebih besar dibanding penggunaan NaCl. Penggunaan NaCl menghasilkan beda potensial yang lebih besar dibanding penggunaan HCl. Pasangan galvanik memiliki pengaruh yang besar dalam menentukan daya listrik. Tingkat agitasi berpengaruh besar pada keluaran arus listrik tetapi tidak berpengaruh signifikan pada keluaran beda potensial. Konsentrasi larutan berpengaruh dalam menentukan beda potensial namun kurang berpengaruh dalam menentukan besarnya arus listrik. Nilai pH elektrolit kurang memiliki pengaruh signifikan dalam menentukan beda potensial maupun arus listrik. Pengaruh konsentrasi elektrolit, jenis pasangan galvanik, pH dan agitasi secara bersama terhadap beda potensial adalah 69,4%, yang artinya adalah 69,4 % nilai beda potensial dapat dijelaskan oleh parameter-parameter tersebut . Urutan tingkat pengaruh terhadap beda potensial dari yang terbesar sebagai berikut: pasangan galvanik; konsentrasi larutan ; pH; dan agitasi. Pengaruh konsentrasi elektrolit, jenis pasangan galvanik, pH dan agitasi secara bersama terhadap rapat arus listrik adalah 37%. Urutan tingkat pengaruh terhadap arus listrik dari yang terbesar sebagai berikut: agitasi; pasangan galvanik; pH; dan konsentrasi larutan.

Human need for energy influences climate change, mainly due to the use of energy sources that produce greenhouse gas. Electrochemical energy has the opportunity to become a more environmentally friendly alternative energy source. Aluminum Al 2024 has the potential to produce energy through electrochemical processes. This thesis aims to study, observe and understand the influence of galvanic couple, electrolytes and the presence of mass transport on the electric potential and electric currents in electrochemical processes using Al 2024 aluminum metal as anodes. Aluminum Al 2024 is galvanically connected to the more electropositive Cu and graphite electrodes. The galvanic couple was tested using HCl and NaCl electrolytes at several different concentrations with agitation treatment of different electrolytes. Output measurements in the form of electric current density and voltage are carried out to observe the electrical power produced. The resulting data was studied qualitatively and quantitatively. The use of the HCl electrolyte produces a greater current than the use of NaCl. The use of NaCl produces a greater voltage than the use of HCl. The galvanic couple has a significant influence in determining electrical power. The level of agitation has a significant effect on the electric current output but does not have a significant effect on the voltage output. The concentration of the solution has an influence in determining the voltage but has less influence in determining the magnitude of the electric current. The pH value of the electrolyte does not have a significant influence in determining the voltage or electric current. The influence of electrolyte concentration, type of galvanic couple, pH and agitation together on the voltage is 69.4%, which means that 69.4% of the voltage value can be explained by these parameters. The order of the level of influence on the voltage from the largest is as follows: galvanic pair; solution concentration; pH; and agitation. The influence of electrolyte concentration, type of galvanic couple, pH and agitation together on the electric current density is 37%. The order of levels of influence on electric current from greatest is as follows: agitation; galvanic couple; pH; and solution concentration."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jacky Desfriadi
"Latar belakang: Emergence agitation (EA) merupakan gangguan perilaku sementara yang sering terjadi pascaanestesia dengan sevoflurane dan berpotensi membahayakan pasien. Pemberian magnesium sulfat 10 % 20 mg/kg bolus IV selama 15 menit, dilanjutkan 10 mg/kg/jam secara infus kontinyu selama pembedahan diketahui mencegah EA. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas magnesium sulfat 10% 20 mg/kg bolus IV selama 10 menit pada 10 menit sebelum anestesia selesai dalam mencegah EA pada anak yang menjalani anestesia dengan sevoflurane. Magnesium sulfat dinilai efektif jika dapat menurunkan kejadian EA.
Metode: Penelitian uji klinik acak tersamar ganda pada anak usia 1,5-12 tahun yang menjalani anestesia dengan sevoflurane di RSCM pada bulan September-Oktober 2018. Sebanyak 108 subjek didapatkan dengan metode konsekutif yang dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok Magnesium (n=54) mendapat magnesium sulfat 10% 20 mg/kg bolus IV selama 10 menit dengan pompa syringe pada 10 menit sebelum anestesia selesai, sedangkan kontrol (n=54) mendapat NaCl 0,9% 0,2 ml/kg bolus IV selama 10 menit dengan pompa syringe pada 10 menit sebelum anestesia selesai. Kejadian EA, waktu pulih, hipotensi pascaoperasi dicatat. EA dinilai dengan Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED). Analisis data menggunakan uji multivariat regresi logistik.
Hasil: Kejadian EA pada kelompok magnesium sebesar 25,9% sedangkan kontrol 16,7% (OR = 0,786; IK 95% 0,296-2,091; p=0,63). Waktu pulih memiliki nilai rerata 8,2 + 4,74 menit untuk kelompok magnesium dibandingkan kontrol 10,87 + 6,799 menit (OR = 2,667; IK 95% 0,431-4,903; p=0,02). Pada kedua kelompok, tidak didapatkan kejadian hipotensi.
Simpulan: Pemberian magnesium sulfat 10% 20 mg/kg bolus IV selama 10 menit pada 10 menit sebelum anestesia selesai secara statistik tidak efektif mencegah kejadian EA pada anak yang menjalani anestesia dengan sevoflurane.

Background: Emergence agitation (EA) is a common transient behavioral disturbance after anesthesia with sevoflurane and may cause harm. Magnesium sulphate 10% 20 mg/kg as a slow intravenous bolus over 15 minutes, followed by 10 mg/kg/h as a continous intravenous infusion during surgery can prevent EA. This study evaluated the effectivity of magnesium sulphate 10% 20 mg/kg as a slow intravenous bolus over 10 minutes at 10 minutes before anesthesia ended to prevent the incidence of EA in children undergoing anesthesia with sevoflurane. Magnesium sulphate was considered effective if could reduce the incidence of EA.
Method: This was a double-blind randomized clinical trial on children aged 1,5-12 years old underwent anesthesia with sevoflurane in RSCM on September until Oktober 2018. One hundred eight subjects were included using consecutive sampling method and randomized into two groups. Magnesium group (n=54) was given magnesium sulphate 10% 20 mg/kg as a slow intravenous bolus over 10 minutes at 10 minutes before anesthesia ended while control group (n=54) was given NaCl 0,9% 0,2 ml/kg as a slow intravenous bolus over 10 minutes at 10 minutes before anesthesia ended. Incidence of EA, recovery time and postoperative hypotension were observed. Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED) scale was used to assess EA. Statistical tests used were logistic regresssion multivariate analysis.
Result: Incidence of EA in magnesium group was 25,9% while in control group was 16,7% (OR = 0,786; 95% CI 0,296-2,091; p=0,63). Mean recovery time in magnesium group was 8,2 ± 4,74 minutes and control group was 10,87 ± 6,799 minutes (OR = 2,667; 95% CI 0,431-4,903; p=0,02). Hypotension was not found in both groups.
Conclusion: Administration of magnesium sulphate 10% 20 mg/kg as a slow intravenous bolus over 10 minutes at 10 minutes before anesthesia ended was not effective to prevent the incidence of EA in children undergoing anesthesia with sevoflurane."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yudha Adipratama
"Industri pegolahan bijih pertambangan merupakan salah satu industry yang paling tidak ramah lingkungan, hal tersebut dikarenakan penggunaan reagen-reagen berbahaya dalam prosesnya seperti sianida dan merkuri. Seiring dengan berjalanya waktu dilakukan berbagai penelitian untuk mengatasi masalah tersebut,salah satunya adalah penggunaan larutan chloride-hypochlorite. Larutan tersebut dapat digunakan dalam proses pengolahan bijih karena mampu melarutkan emas sampai kondisi ekonomis, tetapi tetap ramah terhadap lingkungan.
Pada penelitian ini, pengaruh variabel volume asam hidroklorida dan kecepatan agitasi dalam pelindian emas dengan larutan chloride-hypochlorite diteliti. Sampel yang digunakan berasal dari bijih sulfida tinggi hasil pertambangan di Boolang Mongondow, Indonesia yang dikarakterisasi menggunakan OM, LIBS, XRF, dan ICP-OES untuk mengidentifikasi jenis bijih serta melihat kadar awal emas. Sampel di lindi dengan metode agitation leaching dengan temperatur dalam skala lab.
Hasil pelindian dikarakterisasi dengan ICP-OES untuk melihat kadar emas yang diperoleh dan dihitung nilai recovery melalui data-data yang diperoleh. Hasil yang didapat menunjukan peningkatan volume HCl dapat meningkatkan nilai recovery sampai titik tertentu, lalu akan mengalami penurunan jika sudah melewati batas optimal. Peningkatan kecepatan agitasi dapat meningkatkan nilai recovery, namun pada penelitian ini terjadi anomali dimana sampel dengan kecepatan agitasi tertinggi memiliki nilai recovery yang rendah.

Gold ore processing industry is one of the least environmentally friendly industry, due to the use of hazardous reagents in the process, such as cyanide and mercury. As the time goes, various studies have been conducted to overcome the problem. One of the study being developed is the use of chloride hypochlorite for gold leaching. The solution can be used in ore processing because its capability of dissolving gold economically, but still environmentally friendly.
In this study, the effect of the volume of hydrochloric acid and agitation speed in gold leaching with chloride hypochlorite solution was investigated. high sulfide ore is used as sample for this study, which was taken from Boolang Mongondow, Indonesia. Sample is characterized using OM, LIBS, XRF, and ICP OES to identify ore type and to see the initial gold content. Sample is leached using agitation washing method with temperature in laboratory scale. Leachant is characterized using ICP OES to see the gold content obtained and the recovery value calculated through the data obtained.
The result shows that an increase in HCl volume may increase the value of recovery to a certain point, but will decrease if it has exceeded the optimal limit. Increased speed of agitation may increase the value of recovery, but in this study anomalies occur where sample with the highest agitation speed have a low recovery value.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandra Andini
"Praktik Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Kekhususan Respirasi di RSUP Perasahabatan Jakarta merupakan aplikasi peran dan fungsi sebagai ners spesialis dengan menerapkan Model Adaptasi Roy dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem respirasi baik pada pasien kelolaan utama maupun 30 pasien resume. Selain sebagai pemberi asuhan keperawatan peran perawat spesialis respirasi adalah menerapkan tidakan berbasis bukti ilmiah pada area respirasi yaitu dengan memberikan terapi suara berbasis alam dalam mengurangi kecemasan, agitasi, dan stress pada pasien terpasang ventilator mekanik. Peran selanjutnya dari perawat spesialis respirasi adalah melakukan inovasi melalui analisi situasi dan studi literature dalam hal ini adalah penerapan The Respiratory Distress Observation Scale (RDOS) dalam menilai risiko terjadinya distress pernapasan. Hasil praktik menunjukan bahwa teori Model Adapatasi Roy dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem respirasi dan suara berbasis alam cukup efektif dalam mengurangi kecemasan, agitasi, dan stress pada pasien terpasang ventilator mekanik. Serta RDOS dapat diterapkan pada pasien dengan gangguan respirasi dalam menilai risiko distress pernapasan.

The Practice of Medical Nursing Specialists Specialized in Respiration in RSUP Perasahabatan Jakarta is the application of roles and functions as specialist nurses by applying Roy's Adaptation Model in providing nursing care to patients with respiratory system disorders in both the main managed patient and 30 resume patients. Aside from being a nursing care provider, the role of respiration specialist nurses is to apply scientific evidence-based nursing actions to the area of ​​respiration by providing nature-based sound terapi to reduce anxiety, agitation, and stress in patients with mechanical ventilators. The next role of respiration specialist nurses is to innovate through situation analysis and literature studies in this case is the application of The Respiratory Distress Observation Scale (RDOS) in assessing the risk of respiratory distress. Practical results show that Roy's adaptation theory in providing nursing care to patients with respiratory and natural-based sound disorders is quite effective in , agitation, and stress in patients with mechanical ventilators. As well as RDOS can be applied to patients with respiratory disorders in assessing the risk of respiratory distress."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library