Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sidiarto Kusumoputro
Jakarta: UI-Press, 2009
616.855 SID a (1);616.855 SID a (2)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Totok Suhardiyanto
"Seorang manusia dalam berkomunikasi dengan manusia yang lain melalui bahasa, tanpa sadar telah menggunakan bermacam organ tubuh (Lesser, 1978). Salah satu yang telah diketahui bersama adalah kelompok organ tubuh yang disebut sistem pengucapan atau artikulasi. Dalam proses pengucapan, bunyi bahasa dihasilkan, salah satunya, akibat gerak artikulator aktif. Gerak artikulator aktif tersebut diatur sepenuhnya oleh organ tubuh yang disebut otak (Markam dan Yani, 1982). Namun, ternyata otak tidak hanya mengatur gerak alat-alat motoris seperti articulator aktif saja, tetapi juga menyimpan dan memroses bahasa itu sendiri. Hal itu dapat dilihat pada beberapa kasus anak yang mengalami hambatan dalam perkembangan otaknya, yang ternyata juga mengalami kelambatan dalam perkembangan bahasanya (lebih lanjut lihat Krashen, 1973). Setidak-tidaknya hal tersebut menyiratkan adanya hubungan di antara bahasa dan otak manusia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S11189
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amila
"Afasia motorik adalah kesulitan dalam mengkoordinasikan pikiran, perasaan dan kemauan menjadi simbol bermakna dan dimengerti oleh orang lain dalam bentuk ekspresi verbal dan tulisan. Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya pengaruh pemberian komunikasi dengan AAC terhadap kemampuan fungsional komunikasi dan depresi pada pasien stroke dengan afasia motorik. Desain penelitian yang digunakan adalah quasi experiment dengan pendekatan post test non equivalent control group pada 21 responden yang terbagi menjadi 11 orang kelompok kontrol dan 10 orang kelompok intervensi.
Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna rata-rata kemampuan fungsional komunikasi antara kelompok kontrol dengan intervensi dengan nilai p > 0.05 (p = 0.542 pada α = 0.05), tetapi terdapat perbedaan yang bermakna rata-rata depresi antara kelompok kontrol dan intervensi dengan nilai p< 0.05 ( p = 0.022 pada α = 0.05). Berdasarkan gambaran hasil penelitian ini, maka pemberian komunikasi dengan AAC dapat dijadikan sebagai salah satu intervensi keperawatan untuk memfasilitasi komunikasi sehingga dapat menurunkan depresi pada pasien stroke dengan afasia motorik.

Motor aphasia is difficulty in coordinating the thoughts, feelings and desires into meaningful symbols and understand in form of verbal expression and writing. The purpose of this study was to know the influence of conducting communication by AAC to the communication functional ability and depression for stroke patients with motor aphasia. The study design used is quasi experiment by approaching post test non equivalent control group for 21 respondents consist of 11 people of control group and 10 people of the intervention group.
The results showed that no significant difference in the average communication functional ability between the control group and intervention group with p values > 0.05 (p = 0.542 at α = 0.05), but there were significant differences between the average depression of control and intervention group with p values < 0.05 (p = 0.022 at α = 0.05). Based on the results of study, the giving of communication by AAC could be one of the nursing intervention for facilitating communication that will decrease depression to the stroke patient with motor aphasia.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
T29939
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Totok Suhardiyanto
"ABSTRAK
Blumstein (1994) mengemukakan bahwa, selain menunjukkan adanya gejala agramatisme dan kegagalan leksikal, penderita afasia Broca juga memperlihatkan munculnya deficit fonologis.
Hampir semua penderita afasia sebenarnya memperlihatkan kesalahan atau penyimpangan fonologis dalam ujaran yang dihasilkannya.
Meskipun kesalahan fonologis tersebut mungkin muncul dalam bentuk yang beraneka ragam, penyimpangan itu dapat disederhanakan ke dalam empat kategori, seperti kesalahan penyulihan fonem, kesalahan pelesapan atau penghilangan, kesalahan penambahan, dan kesalahan lingkungan.
Kesalahan lingkungan mempunyai manisfetasi yang berupa kemunculan fonem tertentu akibat pengaruh konteks fonologis yang melingkunginya. Kesalahan lingkungan itu mencakup metatesis dan asimilasi.
Penelitian ini bertujuan untuk memerikan kesulitan segmental pada penderita afasia berbahasa Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan menjelaskan mekanisme yang mendasari penyimpangan fonologis. Untuk menjelaskan bagaimana proses tuturan berjalan, penelitian ini menggunakan model Levelt yang telah dimodifikasi oleh den Ouden dan Bastiaanse (1999). Model itu disusun untuk menjelaskan mekanisme bertutur dalam otak manusia. Menurut den Ouden dan Bastiaanse, ada tiga tahap fonologis pada proses produksi tuturan, yaitu (1) pemanggilan kembali bentuk dasar dan leksikon; (2) pengkodean fonologis; (3) proses pengartikulasian rancangan fonetis.
Tujuan lain dari penelitian ini adalah mengkaji bagaimana mekanisme penyeleksian dan pemanggilan kembali unsur leksikal. Aitchinson (1994) rnengeanzkakan bahwa kata tidak berserakan secara acak pada benak manusia, tetapi terorganisasi dalam system yang canggih dan saling berkait. Pembahasan mengenai mekanisme penyeleksian dan pemanggilan kembali ini menarik karena mekanisme tersebut dapat menjelaskan bagaimana kesalahan segmental muncul.
Kesalahan penyulihan fonem merupakan kesalahan yang sering muncul pada subjek peneltian ini. Fenomena ini merupakan ciri khas pada ketiga afasia kortikal, yakni afasia Broca, afasia konduksi, dan afasia Wernicke (lihat Kusumoputro 1999). Meskipun demikian, terdapat sebuah gejala yang menunjukkan bahwa penderita mengidap afasia
Broca, yakni kemunculan penyederhanaan fonem secara dorninan (42. 73%). Subjek penelitian ini juga memiliki masalah dengan konsonan dental dan dental, stop dan nasal, serta bersuara. Pada bunyi segmental yang berupa vokal, penderita bermasalah dengan vokal rendah, pusat, dan tak bulat. Di samping itu, meskipun pada cacat yang ringan, penderita mengalami masalah dengan proses inisiasi tuturan. Hal itu tampak dari seringnya penderita rnenghasilkan kesalahan pada bagian awal kata (32,04%)

ABSTRACT
Blumstein (1994) stated that beside indicating a failure in grammatical and lexical process` Broca's aphasic also demonstrated phonological deficits. It is the case that nearly all aphasics manifest some phonological difficulties in speech output. Despite of the various phonological errors that may occur to the array, these errors can be reduced to four descriptive categories: phoneme substitution errors, omission or simplification errors, addition errors, and environment errors, in which an occurrence of particular phoneme can be accounted for by influence of the surrounding phonological context. These environment errors include metatheses and assimilation.
The aim of this research is to describe the phonological difficulties in Indonesian aphasic and to explain the mechanism that underlies a phonological impairment. To explain the work of speech process, this research uses a modified Levelt's model. This model was modified by den Ouden and Bastiaanse (1999). The model is designed to describe a speech mechanism in human brains. According to den Ouden and Bastiaanse, there are three phonological levels in speech production, namely (I) the retrieval of underlying forms from the lexicon; (2) the stage of phonological encoding, the result of which is a phonetic plan that is stored in a buffer, (3) the actual articulation itself.
The other aim of this research is to study a lexical selection and retrieval mechanism. Aitchison (1994) argues that word isn't scrambled randomly in the minds, but well organized in a sophisticated and interrelated system A discussion about lexical selection and retrieval mechanism becomes important because the mechanism can explain how segmental errors occur.
Substitution phoneme error is the most frequent in this case (46.65%). This phenomenon is a characteristic of the cortical aphasia, i.e. Broca's aphasia, conduction aphasia, and Wernicke aphasia (see Kusurnoputro 1999). But, there is a symptom indicates the patient suffers Broca's aphasia, namely the predominantly simplification error (42.73%). The patient also handicaps with dental and labial, stops and nasal, and voiced consonant, in consonant, and low, central, and unrounded, in vowels. Beside that, even in the assertive damage, the subject has problem with initiation. The subject shows a frequent lexical failure on the beginning of words (32.04%)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wheny Hari Muljati
"
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan memaparkan pola-pola kecacatan leksikal dan kecacatan gramatikal dari keluaran wicara penderita afasia Wernicke. Tulisan ini dilatarbelakangi oleh masih terbatasnya penelitian di bidang neurolinguistik_afasiologi oleh kaum bahasawan Indonesia, padahal bidang ini sangat membutuhkan peran linguis untuk antara lain membuat tes-tes untuk mendiagnosa penderita afasia dari sudut bahasanya. Selain itu penderita afasia Wernicke khususnya, sering disalahmengerti sebagai penderita gangguan jiwa, sehingga penulis lebih memilih afasia Wernicke ini sebagai sumber penelitian untuk lebih mengenal karakteristiknya.
Penelitan ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Teori yang digunakan adalah teori-teori linguistik dan neurolinguistik. Teori lingusitik yang digunakan dalam karya ilmiah ini terutama adalah teori-teori sintaksis dan semantik.
Kesimpulan yang diperoleh penulis mengenai dua kasus yang ada adalah bahwa kecacatan leksikal pada kalimat ujaran penderita afasia Wernicke adalah berupa adanya jargon, parafasia, dan sirkumlokusi pada kalimat ujarannya. Selanjutnya, kecacatan gramatikal adalah adanya kecacatan kata, frase, klausa pembentuk struktur kalimat ujaran penderita. Selain itu penulis juga menemukan gejala bentuk tegun berupa pengulangan satuan pengisi fungsi gramatikal, penambahan kalimat dan unsur kalimat, yang menyebabkan kalimat/rangkaian kalimat ujaran penderita menjadi lebih panjang dan atau lebih banyak dari yang seharusnya. Selain itu dari penelitian ini juga didapatkan kesimpulan tertentu berkaitan dengan aspek neuro-patologis kedua responden dihubungkan dengan kecacatan bahasanya.
Selanjutnya di bagian akhir tulisan ini penulis juga mengusulkan perlunya penelitian-penelitian lanjutan dalam bidang ini mengenai afasia jenis lain dan terutama penelitian mengenai afasia Wernicke.
"
1998
S11094
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ani Oktarina
"Stroke atau cerebrovascular accident(CVA) merupakan penyebab kematian nomor tiga di Amerika Serikat dan salah satu penyebab kematian dan kecacatan neurologis yang utama di Indonesia. Stroke merupakan penyakit kronis yang bersifat menetap dan tidak dapat pulih secara total yang disebabkan oleh adanya gangguan peredaran darah otak (GPDO) (Mansjoer et al, 2000; Taylor, 1999). Efek yang ditimbulkan dari CVA beragarn, tergantung pada daerah otak yang terganggu. Selain kelumpuhan, kesulitan berbicara, dan memori yang terganggu, gangguan yang sering rnuncul adalah afasia yaitu gangguan pada kemampuan menggunakan kata-kata (Davison & Neale, 1996).
Gangguan bahasa (Afasia) merupakan salah satu akibat dari kerusakan hemisfer kiri pada pasien stroke yang kinan. Salah satu alat diagnostik untuk melakukan pengukuran dalam bidang neuropsikologi yaitu TADIR (Tes afasia, diagnosa, inforrnasi, dan rehabilitasi). Melalui TADIR dapat dilihat sindrom afasia yang diderita oleh pasien. Pembagian sindrom-sindrom afasia dalam TADIR menggunakan klasiiikasi Boston yang dibuat oleh Goodglass dan Kaplan. Atas dasar aspek-aspek penamaan, kelancaran, peniruan dan pernahaman auditif, maka
Goodglass 3: Kaplan (dalam Dharmaperwira-Prins, 2002) menyusun klasifikasi sindrom-sindrom afasia. Setiap sindrom afasia dihubungkan dengan suatu tempat kerusakan tertentu di otak. Salah satu tujuan pemeriksaan ialah menenlukan letak kerusakan. Penelitian yang dilakukan oleh Kertesz (dalam Dharmaperwira-Prius, 2002) dengan menggunakan CT-scan, secara garis besar membenarkan lokalisasi sindrom afasia klasifikasi Boston (Dharmaperwira-Pnns, 2002).
Sementara itu dibidang kedokteran, khusuanya secara neurologis, untuk diagnostik lebih lanjut yang menunjukkan tempat kerusakan di otak dapat dimanfaatkan teknologi tertentu seperti penggunaan CT-scan dan MRI.
Hasil penelitian yang telah dilakukan di luar negeri dengan menggunakan CT-scan, secara garis besar telah membenarkan lokalisasi sindrom afasia yang klasifikasi Boston. Sedangkan pembagian sindrom-sindrom afasia dalam TADIR menggunakan klasifikasi Boston yang dibuat oleh Goodglass dan Kaplan. Hal ini yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti kembali hasil penelitian itu, terutama di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara hasil CT-scan/MRI tentang lokasi kerusakan di otak dengan
sindrom afasia yang diderita pasien berdasarkan hasil tes TADIR.
Di dalam penelitian ini digunakan data sekunder dari bagian Fungsi Luhur, Neurologi RSCM selama tahun 2003. Untuk menghitung korelasi antara hasil CT-scan/MRI tentang lokasi kerusakan di otak dengan sindrom afasia yang diderita pasien berdasarkan hasil tes TADIR, digunakan teknik Cramer Coejicient C dan diolah dengan menggunakan program SPSS 10.0 for Windows.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara hasil CT-scan/MRI tentang lokasi kerusakan di otalc dengan sindrom afasia yang diderita pasien berdasarlcan hasil tes TADIR. Dengan demikian hasil penelitian ini akan memperkuat teori klasifikasi Boston yang dibuat oleh Goodglass & Kaplan (dalam Dharmapenvira-Prius, 2002) yang menyusun klasifikasi sindrom-sindrom afasia dimana tiap sindrom afasia dihubungkan
dengan suatu tempat kerusakan tertentu di otak. Selain itu hasil penelitian ini juga
mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan Kertesz (dalam Dharmaperwira-Prins, 2002) dengan menggunakan CT-scan yang secara garis besar membenarkan lokalisasi sindrom afasia berdasarkan klasifikasi Boston.
Sebagai penutup, diberikan saran-saran untuk penelitian selanjutnya. Untuk penelitian lanjutan dapat memperbanyak sampel, hal ini terkait dengan generalisaai hasil pada populasi. Selain itu secara statistik, dengan sampel besar diharapkan agar semua kategori dalam perhitungan dapat diolah dan tidak ada kategori yang hilang. Perlunya penelitian lanjutan akan afasia terkait dengan aspek psikososial yang ditimbulkannya, dimana seseorang yang terkena afasia akan mempunyai kesulitan besar atau kecil dalam penggunaan bahasanya. Dampak dari perubahan itu tidak hanya dirasakan oleh pasien tetapi juga keluarga dan lingkungan sekitarnya. Perlunya kerjasama lebih lanjut antara bidang neurologi, psikologi, logopedi dan Iinguistik dalam menangani gangguan bahasa atau afasia. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan informasi bagi para dokter, perawat, psikolog, terapis wicara, dan pihak lain yang terkait bahwa selain CT-scan dan MRI, tes TADIR dapat digunakan untuk mendeteksi lokasi kerusakan di otak, serta merupakan salah satu pilihan dari alat diagnostik gangguan bahasa (Afasia) dengan biaya yang relatif tenjangkau dan pelaksanaannya tidak memakan banyak waktu."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38382
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhilah Rizka Utami
"Stres akibat kesulitan berkomunikasi tidak hanya dialami pasien stroke yang mengalami afasia, tetapi keluarga yang melakukan perawatan juga merasakan stres. Stres ini dapat dipengaruhi oleh pengetahuan tentang afasia dan dukungan sosial yang dimiliki keluarga. Tujuan penelitian ini untuk melihat hubungan antara tingkat pengetahuan tentang afasia dan dukungan sosial dengan tingkat stres pada keluarga pasien stroke yang mengalami afasia. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan 79 anggota keluarga pasien stroke yang mengalami afasia pada dua rumah sakit di Bukittinggi. Instrumen yang digunakan yaitu kuesioner tentang afasia, The Medical Outcome Study Social Support Survey dan Perceived Stress Scale. Hasil penelitian dengan menggunakan uji Spearman Rank didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan tentang afasia dengan stres keluarga p=0,006. Kemudian tidak terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan sosial dengan stres keluarga p=0,883. Penelitian ini merekomendasikan pentingnya menilai stres pada keluarga pasien stroke dengan afasia dan meningkatkan pengetahuan keluarga tentang afasia sehingga stres dapat diatasi.

Stress due to communication difficulties is affecting both stroke patients with aphasia and family member who takes on caregiver role. The stress may be affected by knowledge on aphasia and social support of family. This study aimed to identify relationship between family's level of knowledge on aphasia, social support, and stress level in family of stroke patient with aphasia. The study design was cross sectional with total sample of 79 families of stroke patients with aphasia in two hospitals in Bukittinggi. Questionnaire of aphasia, The Medical Outcome Study Social Support Survey and Perceived Stress Scale were employed in this study. The result of Spearman Rank analysis indicated that there was a significant correlation between family's level of knowledge on aphasia and family stress p 0,006 and there was no significant correlation between social support and family stress p 0,883. This study suggested the significance of stress assessment on family of stroke patient with aphasia and improving family's knowledge on aphasia in order to cope with the stress perceived.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
S67368
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Poppy Andita Wulandari
"Latar belakang: Seiring kemajuan alat pencitraan di bidang neurologi, telah ditemukan banyak lokasi lesi sindrom afasia diluar lokasi klasiknya. Regio yang berkaitan dengan fungsi bahasa tidak hanya terkait dengan gray matter namun juga white matter tract yang menghubungkan antar regio bahasa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan proporsi antara lokalisasi lesi klasik dan non klasik pada sindrom afasia dengan menggunakan MRI dan DTI.
Metode: Desain penelitian cross sectional. Pengambilan sampel dengan tekhnik consecutive sampling pada pasien sindrom afasia yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Dilakukan pemeriksaan afasia yang disetujui oleh 2 pakar dan penilaian MRI DTI dengan jeda maksimal 2 hari.
Hasil: Dari seluruh sindrom afasia didapatkan proporsi lokalisasi klasik 40% dan non klasik 60%. Terdapat perbandingan proporsi yang signifikan antara lokasi klasik dan non klasik pada afasia konduksi dibandingkan afasia global dan afasia anomik dengan nilai p < 0.05. Lokasi klasik pada afasia konduksi secara signifikan lebih banyak dibandingkan dengan lokasi klasik pada afasia global dan afasia anomik.
Kesimpulan: Pada studi pendahuluan ini dari seluruh sindrom afasia didapatkan lokalisasi non klasik lebih banyak dibandingkan lokalisasi klasiknya, masih dibutuhkan pengumpulan sampel lebih lanjut untuk dapat melakukan uji analitik yang mewakili populasi penelitian.

Background: Along with advances in neurology imaging technology, many locations of aphasia syndrome lesions have been found outside the classic location. Regions related to language function are not only related to gray matter but also white matter tracts that connect between language regions. This study aims to determine the difference in proportion between the localization of classic and non-classical lesions in aphasia syndrome using MRI and DTI.
Methods: The study design was cross-sectional. Sampling was taken using consecutive techniques in patients with aphasia syndrome who met the inclusion and exclusion criteria.
The aphasia examination which approved by 2 experts and the MRI-DTI assessment was carried out within 2 days intervals.
Results: From all aphasia syndromes, the proportion of classic and non-classical localization is 40% and 60%. There is a significant proportion comparison between classic and non-classical locations in conduction aphasia compared to global aphasia and anomic aphasia with p-value <0.05. The classical location of conduction aphasia is significantly more than the classical location of global aphasia and anomic aphasia.
Conclusion: In this preliminary study, were found more non-classical localizations of aphasia syndrome, than its classical localizations. Further sample collection is still needed to carry out analytical tests that more representative with study population.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library