Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
Seli Muna Ardiani
"Kekerasan seksual selama ini banyak dipahami dalam definisi subjektif. Maknanya bergantung pada pengetahuan dan batasan subjek penahu. Untuk memecahkan masalah ini, Superson mewakili model feminis analitik, mencoba merumuskan suatu kerangka definisi objektif yang melepaskan kondisi-kondisi: 1) subjek A tidak mengetahui apa itu kekerasan seksual, 2) subjek A tidak mendefinisikan bahwa tindakan B terhadapnya adalah kekerasan seksual, 3) subjek A mengetahui bahwa B melakukan kekerasan seksual terhadapnya namun enggan untuk mengartikulasikan. Studi ini merupakan bentuk dukungan terhadap gagasan objektivitas di dalam kekerasan seksual sekaligus koreksi dengan mempertimbangkan diskusi yang berkembang di dalam teori feminisme. Secara khusus, proses pertimbangan dan kritik yang saya lakukan menggunakan kerangka realisme konstruksi sosial Sally Haslanger. Sehingga, rekonseptualisasi atas definisi objektif saya formulasikan melalui kekuatan konstruksi sosial konstitutif. Amatan ini juga ditujukan pada implikasi argumen objektivitas di dalam kebijakan kekerasan seksual di Indonesia yang saya khususkan yakni UU TPKS (Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual No 12 Tahun 2022). Permasalahan tersebut saya urai dalam dua rumusan pertanyaan: 1) Bagaimana argumen objektivitas di dalam kekerasan seksual: 1.a) Bagaimana problem pendefinisian kekerasan seksual? 1.b) Bagaimana pemeriksaan argumen objektif dan sumbangsihnya dalam perdebatan teori feminisme mengenai kekerasan seksual?, 2) Apa implikasi teoretik argumen objektivitas bagi kebijakan kekerasan seksual? Kesimpulannya, argumen objektivitas memberikan sumbangan bagi perdebatan teori feminisme, yakni melalui pemeriksaan realisme konstruksi sosial kausal dan konstitutif. Dua model ini mampu menunjukkan mana argumen lemah dan kuat dalam tiga perspektif feminisme mengenai kekerasan seksual (natural-biologi, sosiokultural, dan liberal). Pembedaan tersebut setidaknya berguna dalam melihat keluasan tindakan kekerasan seksual di dalam UU TPKS. Kendati demikian, keluasan permasalahan yang ada dalam UU TPKS tidak sepenuhnya mampu ditangkap oleh model ini. Oleh karenanya, saya memberikan catatan tambahan yang menyangkut dimensi korban kekerasan seksual dan tindakan yang belum diakomodir di dalam UU TPKS.
Sexual violence has been widely understood in terms of subjective definitions. Its meaning depends on the knowledge and limitations of the knowing subject. To solve this problem, Superson represents the analytic feminist model, trying to formulate an objective definitional framework that releases the conditions: 1) subject A does not know what sexual violence is, 2) subject A does not define that B's actions against him are sexual violence, 3) subject A knew that B had sexually assaulted her but was reluctant to articulate it. This study is a form of support for the idea of objectivity in sexual violence as well as a correction by considering the discussions that developed in feminism theory. In particular, the process of consideration and criticism that I carried out used the framework of Sally Haslanger's social construction realism. Thus, I have formulated a reconceptualization of the objective definition through the power of constitutive social construction. This observation is also aimed at the implications of objectivity arguments in the policy of sexual violence in Indonesia, which I specifically focus on, namely the UU TPKS (Law on the Crime of Sexual Violence No. 12, 2022). I will describe the problem in two questions: 1) What is the argument for objectivity in sexual violence: 1.a) How is the problem of defining sexual violence? 1.b) How is the objective argument examined and its contribution to the feminist theory debate on sexual violence? 2) What are the theoretical implications of the objectivity argument for sexual violence policy? In conclusion, the objectivity argument contributes to the debate on feminism theory, namely through an examination of the realism of causal and constitutive social constructions. These two models are able to show which arguments are weak and strong in the three feminist perspectives regarding sexual violence (natural-biological, sociocultural, and liberal). This distinction is at least useful in looking at the breadth of acts of sexual violence in the UU TPKS. However, the breadth of the problems contained in the UU TPKS cannot be fully captured by this model. Therefore, I provide additional notes concerning the dimensions of victims of sexual violence and acts that have not been accommodated in the UU TPKS."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Mega Ayu Faraswati
"Dalam penulisan tesis ini, Penulis mengeksplorasi tanggung jawab platform media sosial dalam mengatasi kekerasan seksual berbasis elektronik di Indonesia. Bagi sebagian orang khususnya perempuan, media sosial merupakan tempat yang berbahaya karena memuat gambar, video, dan informasi lain yang tidak boleh diposting. Internet telah melahirkan jenis kejahatan baru yang dikenal dengan nama kekerasan siber (KSBE), yang memiliki bentuk dan implikasi yang lebih kompleks. Konten, termasuk pernyataan korban, foto, dan video, dapat lebih mudah dibagikan dan dilihat oleh lebih banyak orang di dunia digital. Berdasarkan fakta tersebut, jelas bahwa upaya hukum terkait penerapan upaya hukum dan tanggung jawab jaringan sosial terhadap kekerasan elektronik masih menjadi permasalahan di Indonesia. Konsep baru tanggung jawab korporasi didasarkan pada pandangan realis terhadap korporasi, yang menyatakan bahwa korporasi adalah individu yang mempunyai kepentingan, bukan berdasarkan tindakan konsumennya. Mengingat pertumbuhan konsep perusahaan dan kekuatannya yang belum pernah terjadi sebelumnya, fokus pada pertanggungjawaban korporasi merupakan hal untuk menetapkan tanggung jawab atas risiko yang terkait dengan penyelenggara sistem elektronik. Permasalahan kewenangan penyelenggara sistem elektronik berupa
user-generated content yang dibagikan oleh penyelenggara sistem elektronik adalah informasi elektronik yang dibuat oleh orang lain hanya dapat dihapus jika informasi elektronik tersebut memuat laporan. Jika penyelenggara sistem elektronik bertindak sebagai distributor, mereka tidak bertanggung jawab untuk menghapus atau mengubah informasi elektronik yang dibuat oleh pengguna. Apabila penyelenggara sistem elektronik bertindak sebagai penerbit, ia bertanggung jawab untuk menghapus (memusnahkan) dan mengelola informasi elektronik yang dibuat oleh pengguna. Pertama, apabila penyelenggara sistem elektronik tidak dapat mencegah, menghapus (menghancurkan) informasi elektronik yang dibatasi sesuai petunjuk, maka mereka dapat melakukan pengendalian. Kedua, apabila penyelenggara sistem elektronik tidak melaksanakan tugasnya mengirimkan pesan-pesan elektronik yang dilarang sehingga menimbulkan kematian atau gangguan kepada masyarakat, maka penyelenggara sistem elektronik dikenakan tanggung jawab hukum dan tindak pidana, yang mana mungkin melibatkan hukuman pidana. Tanggung jawab pidana korporasi atas penyebaran konten KSBE dan penghasutan terhadap komunitas pengguna media sosial dapat dilakukan oleh penyelenggara sistem elektronik sebagai pelaku komersial. Sedangkan dalam pengaturan UU TPKS dan UU ITE mengenai pertanggungjawaban pidana perusahaan, khususnya yang melakukan tindak kekerasan pencurian elektronik, masih bermasalah dalam penerapannya dan belum memiliki landasan yang kuat dalam penerapannya.
In writing this thesis, the author explores the responsibility of social media platforms in overcoming electronic-based sexual violence in Indonesia. For some people, especially women, social media is a dangerous place because it contains images, videos and other information that should not be posted. The internet has given birth to a new type of crime known as cyber violence (KSBE), which has more complex forms and implications. Content, including victim statements, photos and videos, can be more easily shared and seen by more people in the digital world. Based on these facts, it is clear that legal remedies related to the implementation of legal remedies and social network responsibility for electronic violence are still a problem in Indonesia. The new concept of corporate responsibility is based on a realist view of corporations, which states that corporations are individuals who have interests, not based on the actions of their consumers. Given the unprecedented growth of the corporate concept and its power, a focus on corporate responsibility is essential for assigning responsibility for the risks associated with electronic systems providers. Problems with the authority of electronic system administrators include:user-generated content What is shared by electronic system operators is that electronic information created by other people can only be deleted if the electronic information contains a report. If electronic system operators act as distributors, they are not responsible for deleting or changing electronic information created by users. If the electronic system operator acts as a publisher, he is responsible for deleting (destroying) and managing electronic information created by the user. First, if electronic system administrators cannot prevent or delete (destroy) restricted electronic information according to instructions, then they can exercise control. Second, if the electronic system operator does not carry out its duties in sending prohibited electronic messages, thereby causing death or disturbance to the public, then the electronic system operator is subject to legal responsibility and criminal action, which may involve criminal penalties. Corporate criminal responsibility for the dissemination of KSBE content and incitement against the social media user community can be carried out by electronic system operators as commercial actors. Meanwhile, the provisions of the TPKS Law and ITE Law regarding criminal liability of companies, especially those that commit violent acts of electronic theft, are still problematic in their implementation and do not yet have a strong foundation in their implementation."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library